• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Self Esteem. Menurut Baron dan Byrne (2005) self esteem adalah evaluasi diri yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Self Esteem. Menurut Baron dan Byrne (2005) self esteem adalah evaluasi diri yang"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

15 A. Self Esteem 1. Pengertian Self Esteem

Menurut Baron dan Byrne (2005) self esteem adalah evaluasi diri yang dibuat oleh masing-masing individu; sikap seseorang terhadap dirinya sendiri di sepanjang dimensi positif-negatif. Definsi tentang self esteem tersebut, Baron dan Byrne (2005) tidak menyamakan antara self esteem dengan self worth (harga diri). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Kernis yang dikutip oleh Baron & Byrne (2005) yang menyatakan bahwa individu yang self esteem-nya sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai kejadian sepele mempunyai sumber self worth (harga diri) yang kurang stabil dibandingkan orang-orang yang self esteem yang relatif konstan. Myers (2012) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi diri seseorang secara keseluruhan atau rasa harga diri seseorang. Berdasarkan definisi yang dikemukakannya, maka Myers (2012) menyamakan istilah self esteem dengan harga diri. Sedangkan, Rosenberg (dalam Mruk, 2006) menyebutkan bahwa self esteem lebih mengacu pada evaluasi individu terhadap dirinya sendiri (self) baik itu positif maupun negatif.

Teori self esteem dari Rosenberg (dalam Mruk, 2006) menjelaskan mengenai self esteem secara global, yaitu evaluasi diri secara keseluruhan baik itu positif maupun negatif. Self esteem bukan merupakan bawaan yang telah dimiliki seseorang sejak lahir tetapi merupakan suatu komponen kepribadian yang

(2)

berkembang semenjak awal kehidupan manusia. Perkembangan ini terjadi secara perlahan-lahan, yaitu melalui interaksinya dengan keluarga (orangtua), orang lain yang bermakna bagi individu tersebut, dan teman-teman sebayanya (Erikson dalam Santrock, 2011).

Keluarga, terutama orangtua memiliki peran yang penting dalam pembentukan self esteem. Orangtua merupakan model pertama dari proses imitasi, anak akan menilai dirinya sendiri sebagaimana orangtua menilai diri anak tersebut. Jika orangtua menerima kemampuan anak, maka ia juga akan menerima dirinya. Tetapi jika orangtua menuntut hal yang terlalu tinggi daripada kemampuan yang ada pada diri anak sehingga orangtua tidak menerima anak sebagaimana adanya, maka anak pun akan menolak dirinya. Semakin besar anak, semakin banyak pula orang di lingkungan sosialnya yang mempengaruhi pembentukan self esteem-nya, meliputi teman sebaya (peers) dan anak kemungkinan menemukan standar penilaian yang berbeda terhadap dirinya.

Kemudian, Coopersmith (1967) mengemukakan bahwa self esteem adalah penilaian diri yang dilakukan oleh individu yang berkaitan dengan dirinya sendiri, yang mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan, dan menujukkan seberapa jauh individu tersebut percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, serta berharga. Coopersmith (1967) juga mengungkapkan bahwa self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan diri. Berdasarkan hal yang diungkapkan Coopersmith self esteem dapat dikatakan

(3)

merupakan penilaian personal dari individu mengenai perasaan berarti dan berharga yang diekspresikan melalui sikap-sikap individu terhadap dirinya. Sikap-sikap individu terhadap dirinya inilah yang nanti akan membawa individu tersebut ke arah kesuksesan atau kegagalan dalam kehidupannya.

Individu dengan self esteem yang rendah merupakan individu yang kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu menilai kemampuan diri. Rendahnya penghargaan diri mengakibatkan individu tidak mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan sosial. Individu dengan self esteem yang rendah juga memiliki kecenderungan untuk membatasi kemampuan diri dalam: bersikap terbuka pada orang lain, mendengarkan kritik, meminta bantuan, dan pemecahan masalah (McKay & Fanning, 2000). Sebaliknya individu dengan self esteem yang tinggi merupakan individu yang puas atas karakter diri (hal-hal positif dan negatif dalam diri), menerima dan memberikan penghargaan positif terhadap diri sehingga akan menumbuhkan rasa aman dalam menyesuaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan sosial. Individu dengan self esteem yang tinggi mengharapkan masukan atau bahkan kritik dari orang lain untuk menilai dirinya. Individu dengan self esteem yang tinggi cenderung aktif serta tidak mengalami kesulitan untuk membina persahabatan dan mampu mengekspresikan pendapatnya (Candraresmi, 2000; McKay & Fanning, 2000).

Pendekatan yang digunakan untuk mengukur self esteem adalah dengan membandingkan konsep diri seseorang dengan ideal self-nya (diri yang ideal menurut individu itu sendiri). Semakin besar kesenjangan antara konsep diri dengan ideal self, maka semakin rendah pula self esteem individu tersebut. Ditto

(4)

dan Griffin (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa self esteem terendah ditemukan di kalangan individu yang mempersepsi karakteristik yang disukai oleh orang lain yang terdapat pada diri individu tersebut sebagai sesuatu yang lumrah-lumrah saja dan karakteritik yang tidak disukai orang lain dalam diri individu tersebut sebagai sesuatu yang relatif tidak lumrah.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self esteem merupakan keseluruhan dari evaluasi yang dilakukan oleh individu tentang keyakinan bahwa dirinya berharga yang diperoleh melalui serangkaian proses panjang dengan mendasarkan penilaian kepada standar tertentu. Standar penilaian diri yang digunakan merupakan kombinasi dari penilaian orang lain yang merupakan orang-orang terdekat individu di lingkungannya meliputi keluarga, teman sebaya, dan masyarakat pada umumnya, serta sistem tata nilai di lingkungan individu tersebut.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Esteem

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi self esteem seorang individu. Menurut Michener dan Delameter (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2003), sumber-sumber terpenting yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan self esteem adalah:

a. Pengalaman dalam keluarga

Coopersmith (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyimpulkan bahwa ada beberapa tipe perilaku orangtua yang dapat meningkatkan self esteem, yaitu: a) menunjukkan penerimaan, afeksi, minat, dan keterlibatan pada

(5)

kejadian-kejadian yang dialami anak, b) menerapkan batasan-batasan jelas perilaku anak secara teguh dan konsisten, c) memberikan kebebasan dalam batas-batas yang menghargai inisiatif, d) bentuk disiplin yang tak memaksa (menghindari hak-hak istimewa dan mendiskusikan alasan-alasannya daripada memberikan hukuman fisik).

b. Umpan balik dalam performa

Self esteem diperoleh sebagai agen penyebab yang aktif terhadap hal-hal yang terjadi di dunia dan dalam pengalaman untuk mencapai tujuan serta mengatasi rintangan-rintangan atau kesulitan yang muncul. Self esteem sebagian terbentuk berdasarkan perasaan individu tentang kemampuan (competence) dan kekuatan (power) untuk mengontrol atau mengendalikan kejadian-kejadian yang menimpa kehidupan individu itu sendiri.

c. Perbandingan sosial

Perbandingan sosial adalah hal penting yang dapat mempengaruhi self esteem karena perasaan mampu atau berharga diperoleh dari performa individu yang sebagian besar dilihat dari perbandingan antara peforma individu satu dengan individu lainnya ketika melakukan tugas yang sama. Bahkan tujuan pribadi individu secara luas berasal dari inspirasi sukses dari tokoh yang dikagumi individu dan tolak ukur tercapainya tujuan tersebut dapat dilihat dari membandingkan capaian kesuksesan pribadi individu dengan capaian kesuksesan sang tokoh idola. Evaluasi tentang capaian kesuksesan ataupun performa individu paling banyak diterima dari lingkungan sosial terdekat, seperti keluarga, teman-teman sebaya, guru ataupun dosen, serta rekan kerja.

(6)

Myers (2012) juga membagai faktor-faktor yang memperngaruhi self esteem menjadi tiga, meliputi:

a. Perasaan individu tentang domain yang dianggap penting bagi dirinya Crocker dan Wolfe (dalam Myers, 2012) menyebutkan bahwa individu akan memiliki self esteem yang tinggi jika individu tersebut merasa senang dengan domain (penampilan, kepandaian, dan hal lain yang ada di dalam dirinya) yang dianggap penting oleh individu tersebut. Misalnya self esteem dari seseorang mungkin saja bergantung pada prestasinya di sekolah dan daya tarik fisik yang ia miliki, sedangkan orang lain mungkin bergantung pada perasaan dicintai oleh Tuhan dan ketaatan pada norma moral.

b. Persepsi diri

Persepsi diri yang sangat spesifik mempunyai pengaruh terhadap harga diri. Misalnya ketika individu merasa bahwa dirinya pandai dalam matematika, maka individu tersebut akan cenderung memiliki prestasi yang baik dalam pelajaran matematika. Meskipun self esteem secara umum tidak tepat dapat memperkirakan prestasi akademik, akan tetapi penilaian diri dalam bidang akdemik dapat digunakan untuk memprediksi prestasi.

c. Faktor lingkungan sosial

Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi self esteem individu meliputi sosialisasi dengan keluarga, terutama sekali keluarga inti (ayah, ibu, dan anak). Kemudian ada sosialisasi dengan teman sebaya (peers). Myers (2012) juga menyebutkan bahwa ancaman terhadap harga diri bisa muncul dari teman sebaya, pandangan ini didukung oleh Zuckerman dan Jost (dalam

(7)

Myers, 2012) yang juga menyebutkan bahwa teman yang sukses dapat lebih mengancam harga diri seseorang daripada orang asing. Hal ini juga dapat muncul diantara pasangan yang menikah, namun meskipun demikian hal ini adalah sesuatu yang sehat karena tujuan karier yang sama antar individu yang saling mengenal dapat menimbulkan ketegangan ataupun kecemburuan. (Clark dan Bennett dalam Myers, 2012).

Jeff Greenberg (dalam Myers, 2012) menawarkan perspektif lain tentang faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi self esteem seorang individu, Greenberg menyebutkan bahwa individu secara terus-menurus individu menuntut agar self esteem-nya sesuai dengan standar masyarakat/lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini dilakukan individu karena tidak ingin kehidupan yang ia miliki terasa sia-sia sehingga dengan mendasarkan harga diri kepada standar yang berlaku di masyarakat maka individu berusaha mendapat pengakuan dari keberadaannya di dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem dari para ahli diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem adalah: 1) faktor internal yang meliputi perasaan individu tentang domain yang ada dalam dirinya dan persepsi individu tentang diri; dan 2) faktor eksternal yang meiputi faktor dari lingkungan sosial individu, diantaranya pengalaman dalam keluarga, hubungan dengan teman sebaya, dan eksistensi di dalam masyarkat.

(8)

3. Aspek-Aspek Self Esteem

Menurut Coopersmith (1967), aspek-aspek dalam self esteem terdiri dari: a. Keberhasilan Diri

Keberhasilan mempunyai arti berbeda untuk masing‐masing individu. Bagi beberapa orang keberhasilan diwakili oleh penghargaan yang berupa materi dan popularitas. Ada empat area keberhasilan self esteem, yaitu:

1) Significance (Keberartian)

Significance merupakan penerimaan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Penerimaan dan perhatian ditandai dengan adanya kehangatan, tanggapan, minat, serta rasa suka terhadap individu sebagaimana individu itu sebenarnya. Penerimaan dan perhatian juga tampak dalam pemberian dorongan dan semangat ketika individu membutuhkan dan mengalami kesulitan, minat terhadap kegiatan dan gagasan individu, ekspresi kasih sayang dan persaudaraan, disiplin yang relatif ringan, verbal dan rasional, serta sikap yang sabar. Semakin banyak eskpresi kasih sayang yang diterima individu, maka individu akan semakin merasa berarti dan berharga. Tetapi apabila individu jarang atau bahkan tidak memperoleh stimulus positif dari orang lain, maka individu akan merasa di tolak dan mengisolasi diri dari pergaulan. 2) Power (Kekuatan)

Power menunjukkan suatu kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain berdasarkan pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Kesuksesan dalam area

(9)

power diukur dengan kemampuan individu dalam mempengaruhi arah tindakan dengan mengendalikan perilakunya sendiri dan orang lain. Power meliputi penerimaan, perhatian, dan perasaan terhadap orang lain.

3) Competence (Kompetensi)

Competence dimaksudkan sebagai keberhasilan dalam mencapai prestasi sesuai tuntutan, baik tujuan atau cita-cita, baik secara pribadi maupun yang berasal dari lingkungan sosial. Kesuksesan dalam area conmpetence ditandai dengan tingginya tingkat performa, sesuai dengan tingkat kesulitan tugas dan tingkat usia.

4) Virtue (Kebajikan)

Menunjukkan adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral, etika, dan agama. Seseorang yang mengikuti kode etik dan moral yang telah diterima dan terinternalisasi di dalam diri berasumsi bahwa perilaku diri yang positif ditandai dengan keberhasilan memenuhi kode tersebut. Perasaan penghargaan terhadap diri seringkali diwarnai dengan kebajikan, ketulusan, dan pemenuhan spiritual.

b. Nilai dan Aspirasi

Nilai diperoleh dari pengalaman dan yang ditanamkan oleh orangtua sejak kecil pada individu. Penilaian atau evaluasi diri individu ditentukan oleh keyakinan-keyakinan individu mengenai cara orang lain mengevaluasi dan memberikan penilaian atas diri individu tersebut. Penilaian dari lingkungan tersebut akan menginternalisasi dan menjadi batasan tingkah laku individu.

(10)

Penilaian terhadap kesuksesan dan keagagalan dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari identitas diri dan dapat membuat individu merasa berharga, baik secara pribadi maupun secara sosial. Individu yang mempunyai self esteem rendah akan mempunyai tingkat aspirasi rendah. Sebaliknya, individu yang mempunyai self esteem tinggi akan mempunyai aspirasi yang tinggi.

c. Pertahanan

Pertahanan diwakili oleh kemampuan individu untuk berusaha melawan perasaan ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu. Individu dengan self esteem yang tinggi akan mempertahankan kemampuan dalam bersaing. Individu tersebut mampu mengekpresikan atau mempertahankan diri serta mam Individu tersebut mampu mengekpresikan atau mempertahankan diri serta mampu mengatasi kelemahan yang dimiliki. Individu yang memiliki self esteem tinggi juga mampu mengatasi penyebab stres, situasi yang sulit atau membingungkan, dan mempunyai aspirasi serta tujuan di dalam hidupnya. Individu dengan self esteem tinggi membangun pertahanan di dalam dirinya dengan cara memberikan kepercayaan dan dukungan kepada orang lain, bahwa orang lain juga memiliki kemampuan yang sama dengan dirinya. Dalam hal ini, pertahanan yang dimaksud tidak hanya mengatasi kecemasan tetapi juga kemampuan untuk memimpin orang lain secara aktif dan asertif. Sebaliknya, individu dengan self esteem yang rendah tidak mampu mempertahankan kemampuan yang dimiliki dan cenderung kalah

(11)

dalam persaingan serta sulit mengatasi kecemasan dan tidak mampu memjadi pemimpin yang aktif dan asertif.

Selain itu, aspek-aspek dari Coopersmith yang digunakan untuk menyusun Coopersmith Self Esteem Inventory (CSEI), Ryden (1978) juga menambahkan satu aspek ketika memodifikasi CSEI menjadi CSEI: Adult Version agar dapat digunakan untuk usia remaja hingga dewasa. Aspek yang ditambahkan Ryden (1978) adalah social desireability, yaitu kecenderungan individu untuk mengikuti norma yang berlaku agar terlihat baik oleh orang lain. Myers (2012) juga menyebutkan bahwa social desireability merupakan kecenderungan individu untuk menampilkan dirinya secara “baik” sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Sedangkan, menurut Rosenberg (1965) terdapat tiga aspek dalam self esteem individu, yaitu:

a. Physical self esteem

Aspek ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh individu. Kemampuan individu untuk menerima keadaan fisiknya atau ada beberapa bagian yang ingin diubah oleh individu tersebut.

b. Social self esteem

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan individu dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Semua yang masuk pada aspek ini adalah tentang pergaulan individu, entah itu pembatasan pergaulan yang dilakukan oleh individu (memilih-milih teman) atau menerima berbagai macam orang sebagai teman. Selain itu, aspek ini juga dapat digunakan untuk melihat

(12)

kemampuan individu dalam berkomunikasi dengan orang lain di dalam dingkungannya.

c. Performance self esteem

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi individu, yaitu tentang puas atau tidaknya individu dan juga perasaan percaya diri individu dengan kemampuan yang dimilikinya.

Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek di dalam self esteem yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada beberapa aspek terkait dengan self esteem yang dimiliki oleh individu meliputi: 1) keberhasilan diri; 2) nilai dan aspirasi; 3) pertahanan, serta selain itu ada tiga aspek tambahan meliputi: 1) physical self esteem; 2) social self esteem; dan 3) performance self esteem, namun demikian ketiga aspek tambahan tersebut keseluruhan telah tercangkup di dalam tiga aspek sebelumnya yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967), yaitu aspek-aspek dalam self esteem: 1) keberhasilan diri yang di dalamnya terdapat performance self esteem; 2) nilai dan aspirasi yang didalamnya terdapat social self esteem; serta 3) pertahanan yang di dalamnya juga terkandung aspek physical self esteem, sehingga di dalam penelitian ini, peneliti lebih banyak mengacu kepada aspek-aspek self esteem dari Coopersmith (1967) ditambah dengan satu aspek tambahan dari Ryden (1978) yaitu social desireability sebagai aspek pelengkap.

(13)

4. Tingkatan Self Esteem

Coopersmith (1967) menyebutkan bahwa individu dengan self esteem yang berbeda hidup dalam dunia yang berbeda. Individu yang memiliki penilaian yang rendah terhadap dirinya terhambat oleh tingkat kecemasan, kemampuan yang rendah dalam mengungkapkan perasaan, serta lebih sering menderita gangguan psikosomatis dan perasaan depresi.

Adapun karakteristik umum yang tampak pada individu dari berbagai tingkatan self esteem menurut Coopersmith adalah sebagai berikut:

a. Tingkat self esteem tinggi

Individu yang memiliki self esteem tinggi akan puas dengan karakter dan kemampuan dirinya yang ditandai dengan adanya evaluasi diri yang positif sehingga memiliki gambaran diri yang positif, mampu menerima masukan dari lingkungannya, dapat melakukan evaluasi secara positif serta memiliki harga diri (self worth) yang positif dan mampu mengoptimalkan dan mengendalikan harga diri yang dimilikinya.

Individu dengan self esteem yang tinggi lebih independen dalam menghadapi berbagai macam situasi, memiliki karakter yang konsisten dalam merespon sesuatu. Gambaran dirinya akan menjelaskan bahwa individu tersebut adalah seorang yang bernilai dan penting, mempunyai kemampuan sebaik individu lain seusianya. Individu tersebut merasa bahwa dirinya dinilai sebagai seorang yang berharga dan dipertimbangkan oleh orang-orang terdekatnya.

(14)

Individu dengan self esteem yang tinggi ini juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dikarenakan adanya pengakuan orang-orang terhadap cara pandang dan pendapat yang dimilikinya. Selain itu, individu dengan self esteem yang tinggi juga merasa percaya diri dengan pandangan dan keputusan yang dibuatnya, serta sikap-sikap positif yang dimiliki oleh individu dengan harga diri tinggi akan membimbingnya pada penerimaan pribadi dan kepercayaan terhadap reaksi dan konklusi yang dibuatnya sendiri, serta memacu individu tersebut untuk memunculkan ide-ide baru. Ketika terlibat di dalam diskusi, individu dengan self esteem yang tinggi akan lebih senang untuk berpartisipasi daripada hanya sekedar menyimak. Individu tersebut memiliki kejujuran dalam berpendapat dan memiliki kemampuan dalam mempertimbangkan isu-isu eksternal. Individu tersebut juga bisa mengelola tindakan sesuai dengan tuntutan lingkungan memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya, dan sangat menyukai tantangan serta tugas-tugas baru dan biasanya tidak merasa kecewa meskipun belum berhasil. Selain itu, sikap-sikap positif pada individu dengan self esteem yang tinggi akan membantunya memiliki kemandirian sosial yang lebih baik.

b. Tingkat self esteem sedang

Pada dasarnya individu yang memiliki tingkat self esteem sedang memiliki kesamaan dengan individu yang memiliki tingkat self esteem yang tinggi dalam hal penerimaan diri. Individu tersebut memiliki penerimaan yang relatif baik, pertahanan yang baik, serta pemahaman dan penghargaan yang

(15)

sangat baik. Namun, individu tersebut kurang mampu mengendalikan harga diri (self worth) yang dimilikinya dari pandangan sosial sehingga kurang konsisten dalam mempertahankan pandangannya. Selain itu, individu dengan self esteem sedang juga ragu-ragu dengan penghargaan yang dimilikinya dan cenderung tidak yakin terhadap kemampuan yang dimilikinya dibandingkan individu lainnya. Individu tersebut memiliki sejumlah pernyataan positif tentang dirinya, tetapi penilaian yang dimilikinya mengenai kemampuan, keberartian, dan harapan lebih moderat dibandingkan yang lain.

c. Tingkat self esteem rendah

Individu dengan self esteem rendah adalah individu yang hilang kepercayaan dirinya dan tidak mampu menilai kemampuan serta atribut dalam dirinya. Individu dengan self esteem rendah menilai atribut-atribut yang ada di dalam dirinya sebagai hal yang negatif. Individu tersebut mempunyai sikap yang negatif terhadap dirinaya sendiri. Gambaran diri pada individu tersebut cenderung memberi kesan depresi dan pesimis. Individu merasa bahwa dirinya bukanlah orang yang penting dan pantas disukai. Individu dengan self esteem rendah tidak yakin dengan ide, kemampuan, dan pandangannya sendiri. Individu tersebut juga merasa bahwa lingkungan tidak memberikan perhatian kepada setiap hal yang dilakukannya.

Individu dengan self esteem yang rendah juga merasa terisolasi, tidak pantas dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri, dan tidak mampu

(16)

mempertahankan dirinya sendiri. Individu tersbeut bahkan merasa terlalu lemah untuk melakukan konfrontasi dan melawan kelemahan yang dimilikinya sendiri. Individu dengan self esteem yang rendah memiliki perasaan ditolak, ragu-ragu, dan tidak berharga. Individu tersebut merasa tidak memiliki kekuatan, hal ini menyebabkan ekspektasi individu akan masa depannya sangat rendah.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkatan self esteem menurut Coopersmith (1967) terdiri dari tiga tingkatan klasifikasi yaitu: 1) tingkat self esteem tinggi; 2) tingkat self esteem sedang; dan 3) tingkat self esteem rendah.

B. Pecandu Narkoba 1. Pengertian Narkoba

Narkoba merupakan akronim dari narkotika, psikotropika, dan bahan Adiktif lainnya. Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum seperti; polisi (termasuk di dalamnya Badan Narkotika Nasional), jaksa, hakim, dan petugas pemasyarakatan. Selain narkoba, sebutan lain yang menunjuk pada ketiga zat tersebut adalah NAPZA yaitu singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Istilah napza biasanya banyak dipakai oleh para praktisi kesehatan dan rehabilitasi. Akan tetapi, pada intinya pemaknaan dari kedua istilah tersebut tetap merujuk kepada tiga jenis zat yang sama (BNN, 2009) Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan

(17)

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alami maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sedangkan bahan adiktif lainnya didefinisikan sebagai zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa narkoba mengacu kepada suatu istilah yang merupakan akronim dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang merupakan zat atau obat yang dapat mempengaruhi kinerja fisik dan mental, serta menimbulkan efek ketergantungan.

2. Jenis-Jenis Narkoba

Secara umum, narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya. Berikut adalah masing-masing jenis dari ketiga zat tersebut:

a. Narkotika

Narkotika merupakan zat atau obat yang memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat, juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi, ketiga sifat inilah yang menyebabkan pemakai narkotika sulit untuk melepaskan

(18)

ketergantungannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, narkotika diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:

1) Narkotika Golongan I

Merupakan narkotika yang paling berbahaya dengan daya adiktif yang sangat tinggi. Karenanya tidak diperbolehkan penggunaannya untuk terapi pengobatan, kecuali penelitian dan pengembangan pengetahuan. Narkotika yang termasuk golongan ini adalah ganja, heroin, kokain, dan opium.

2) Narkotika Golongan II

Merupakan narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Meskipun demikian penggunaan narkotika golongan II untuk terapi atau pengobatan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada pilihan lain. Contoh dari narkotika golongan II ini adalah benzetidin, betametadol, petidin dan turunannya.

3) Narkotika Golongan III

Merupakan jenis narkotika yang memiliki daya adiktif atau potensi ketergantungan ringan dan dapat digunakan secara luas untuk terapi atau pengobatan serta penelitian. Adapun narkoba yang termasuk ke dalam golongan III ini adalah kodein dan turunannya, metadon, dan naltrexon.

(19)

b. Psikotropika

Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa yang menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 terbagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:

1) Psikotropika Golongan I

Merupakan psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Contoh psikotropika golongan I adalah: MDMA/ekstasi, LSD, dan STP.

2) Psikotropika Golongan II

Merupakan psikotropika dengan daya adiktif kuat, akan tetapi berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya: amfetamin, metilfenidat atau ritalin.

3) Psikotropika Golongan III

Merupakan psikotropika dengan daya adiksi sedang dan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya: lumibal, buprenorsina, pentobarbitol, dan flunitrazepam.

4) Psikotropika Golongan IV

Merupakan psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan. Contohnya: nitrazepam (BK, mogadon, dumdid), dan diazepam.

(20)

c. Bahan Adiktif Lainnya

Merupakan zat-zat yang tidak termasuk dalam narkotika dan psikotropika, tetapi memiliki daya adiktif atau dapat menimbulkan ketergantungan. Biasanya ketergantungan seorang individu terhadap zat atau bahan adiktif ini merupakan pintu gerbang kemungkinan adiksi individu terhadap narkotika dan psikotropika. Adapun zat atau bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan-bahan adiktif adalah:

1) Nikotin

Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas sekali di masyarakat Indonesia. Pada upaya penanggulangan narkoba di masyarakat, pemakaian rokok terutama pada remaja menjadi bagian penting dari upaya pencegahan narkoba.

2) Alkohol

Kelompok alkohol dan minuman lain yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran (memabukkan), dan menimbulkan ketagihan akibat mengandung etanol etil alkohol yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan kebudayaan tertentu. Alkohol jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika akan memperkuat pengaruh obat atau zat tersebut di dalam tubuh.

(21)

3) Thinner

Thinner dan zat-zat lain yang jika dihirup dapat memabukkan, seperti lem kayu, pengahpus cair, aseton, bensin, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan maka dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis narkoba secara umum terdiri dari narkotika (golongan I, golongan II, dan golongan III), psikotropika (golongan I, golongan II, golongan III, dan golongan IV), serta zat atau bahan adiktif lainnya yang meliputi: nikotin, alkohol, dan thinner beserta turunannya.

3. Pengertian Pecandu Narkoba

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, pecandu didefinisikan sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan Volkow (2014) mendefinisikan kecanduan narkoba itu sendiri sebagai penyakit kronis yang menyerang otak dan dikarakteristikan dengan adanya keinginan kompulsif individu untuk mencari dan memakai narkoba meskipun individu tersebut tahu bahwa pemakaian narkoba dapat memberikan konsekuensi yang menyakitkan pada dirinya. Selain itu, Volkow (2014) juga menambahkan bahwa seorang pecandu narkoba merupakan individu yang secara kemauan sendiri (sukarela) menginisiasi keputusan untuk terus memakai narkoba, hal ini terjadi karena kemampuan pengendalian diri individu tersebut mengalami disintegrasi akibat beberapa faktor risiko yang terutama

(22)

berasal dari kehidupan masa kecil dari pecandu meliputi kehidupan di rumah dan keluarga serta teman sebaya dan sekolah.

Berdasarkan definisi yang telah dijabarkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pecandu narkoba adalah individu yang mengalami gangguan secara fisik dan psikis ditunjukkan oleh adanya keinginan kompulsif untuk terus menggunakan narkoba meskipun individu tersebut paham tentang risiko negatif dari narkoba.

4. Klasifikasi Pecandu Narkoba

Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bawah pecandu narkoba adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkoba dan dalam keadaan ketergantungan fisik maupun psikis. Sehingga dari pengertian tersebut maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe pecandu narkoba, yaitu:

a. Orang yang menggunakan narkoba dalam keadaan ketergantungan fisik maupun psikis.

Tipe yang pertama dapat dikategorisasikan sebagai pecandu yang memiliki legitimasi untuk menggunakan narkoba demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Kategori ini dikarenakan penggunaan narkoba tersebut sesuai dengan makna dari Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tentunya pecandu yang dimaksud adalah seorang pecandu yang sedang dalam rehabilitasi, khususnya dalam proses intervensi medis. Sehingga apabila ada seorang pecandu yang sedang menggunakan

(23)

narkoba dalam kadar atau jumlah yang ditentukan dalam proses intervensi medis pada pelaksanaan rawat jalan, kemudian tertangkap tangan menggunanakan narkoba untuk dirinya sendiri dan perkaranya diteruskan sampai tahap pemeriksaan di pengadilan, maka pecandu tersebut dinyatakan tidak bersalah dan jika pecandu memang membutuhkan pengobatan dan/atau perawatan intensif berdasarkan asesmen oleh tim medis.

b. Orang yang menyalahgunakan narkoba dalam keadaan ketergantungan fisik maupun psikis.

Pecandu tipe kedua dapat dikategorikan sebagai pecandu yang tidak memiliki legitimasi untuk mempergunakan narkoba bagi kepentingan pelayanan kesehatannya. Pengkategorian seperti itu didasarkan pada pengertian penyalahguna narkoba yang dimaksud pada Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu ada unsur esensial yang melekat unsur tanpa hak atau melawan hukum. Jadi, pecandu tanpa legitimasi merupakan pecandu yang tidak mempunyai hak untuk menggunakan narkoba dan bersifat melawan hukum.

Klasifikasi pecandu narkoba menurut lamanya waktu pemakaian narkoba dapat dibedakan menajdi 2 (dua) tipe (RSKO dalam Poernamasasi, 2014), yaitu:

a. Pecandu Lama

Pecandu narkoba lama adalah pecandu yang memiliki akumulasi penyalahgunaan narkotika lebih dari 5 tahun, belum ataupun sudah pernah mengikuti program rehabilitasi dan masih memiliki ketergatungan baik fisik maupun psikis terhadap narkotika.

(24)

b. Pecandu Baru

Pecandu narkoba baru adalah pecandu yang memiliki akumulasi penylahgunaan narkotika selama 2 sampai 5 tahun dan belum pernah mengikuti program rehabilitasi.

Berdasarkan klasifikasi dari pecandu narkoba yang telah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum tipe-tipe pecandu narkoba dapat dibedakan menjadi: a) pengguna narkoba, yaitu individu yang memakai narkoba untuk kepentingan pelayanan kesehatan pada dirinya dan memiliki legitimasi untuk menggunakan narkoba; b) pecandu narkoba lama, yaitu individu yang telah memakai narkoba dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun tanpa adanya legitimasi dan sudah berulangkali ataupun baru masuk ke program rehabilitasi pecandu narkoba; dan c) pengguna narkoba baru, yaitu individu yang telah menggunakan narkoba dalam kurun waktu 2 sampai 5 tahun terakhir tanpa memiliki legitimasi serta belum pernah mendapatkan rehabilitasi narkoba.

5. Karakteristik Pecandu Narkoba

De Leon (2000) menyebutkan bahwa dalam program rehabilitasi narkoba, para pecandu memiliki karakteristik tersendiri, diantaranya ada karakteristik kognitif dan tingkah laku, karakteristik perseptual, karakteristik emosional, serta karakteristik sosial.

(25)

a. Karakteristik Kognitif dan Tingkah Laku

Ada beberapa karakteristik kognitif dan tingkah laku dari pecandu narkoba, yaitu sebagai berikut:

1) Lack of awareness (kurangnya kesadaran diri)

Para pecandu narkoba tidak menyadari serta tidak mampu mempertimbangkan dampak perbuatannya yang dapat mempengaruhi orang lain serta sebaliknya. Pecandu narkoba kurang mampu berpikir mengenai konsekuensi atas suatu hal.

2) Faulty judgement (penilaian yang salah)

Para pecandu narkoba sering melakukan salah penilaian, khususnya dalam hal pemecahan masalah, pembuatan keputusan, serta penilaian konsekuensi. Kesulitan tersebut tampak terkait dengan kontrol impuls yang buruk, dan ketidakmampuan untuk menunda kebutuhan, serta terkait dengan semua yang merusak perkembangan kemampuan penilaian.

3) Lack of insight (kurangnya pemahaman akan perasaan, pikiran, dan perbuatan)

Para pecandu tidak memahami hubungan antara hal yang dialaminya (perasaan, persepsi, dan tindakan) dengan alasan, pengaruh serta determinan dari pengalaman yang dimilikinya. Kesulitan pemahaman yang khusus adalah kurangnya kesadaran pecandu atas hubungan antara pikiran dan tindakan yang berkaitan dengan narkoba dengan emosi yang dirasakannya.

(26)

4) Poor reality testing (kurang menerima kenyataan dalam kehidupan sehari-hari)

Para pecandu narkoba tidak melihat dirinya sendiri, orang lain, serta keadaan sebagaimana mestinya. Pecandu tidak bersedia untuk menghadapi masalah kehidupan sehari-hari dan cenderung untuk menghindar dan melarikan diri dari masalah-masalah tersebut dalam pikiran dan perilakunya.

5) Habiliation (sulit menyatu denga sistem sosial masyarakat)

Seringkali pecandu narkoba tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan sistem sosial yang ada.

b. Karakteristik Perseptual

Pecandu narkoba memiliki persepsi negatif mengenai diri mereka (Platt dalam De Leon, 2000). Para pecandu yang direhabilitasi memiliki masalah dalam cara melihat dirinya sendiri sebagai individu yang berharga dan sebagai bagian dari masyarakat (De Leon, 2000). Hal ini berkaitan dengan karakteristik perseptual dari pecandu narkoba. Adapun karakteristik perseptual yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Low self esteem (rendahnya tingkat self esteem)

Para pecandu narkoba yang direhabilitasi menampilkan penghargaan terhadap diri yang sangat kurang dan secara khas mengungkapkan persepsi diri yang buruk terhadap perilaku moral dan etis, juga terhadap hubungan dengan orang lain (terutama keluarga). Self esteem yang rendah berkaitan erat dengan perilaku anti sosial. Kemudian

(27)

penyalahgunaan narkoba dari pecandu seringkali berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengembangkan gaya hidup produktif dan juga kesulitan untuk mencegah tekanan berupa stres bertahap yang mereka hadapi dengan gaya hidup produktif, akhirnya narkoba menjadi jalan pelarian dari pemasalahan yang muncul. Para pecandu kesulitan untuk menyukai dan menghargai dirinya sendiri akibat dari anggapan tentang diri mereka dari orang lain dan stigma negatif di masyarakat tentang pecandu narkoba, serta adanya anggapan dari pecandu bahwa dirinya sulit untuk mengontrol diri (De Leon, 2000).

2) Negative identity (idenlitas diri yang negatif)

Sebagian besar pecandu narkoba dalam program rehabilitasi menampilkan identitas sosial yang negatif serta identitas personal yang tidak terbentuk. Cara pecandu melihat, mamaknai, dan melihat dirinya berasal dari sejarah masa lalu ketika masih aktif menggunakan narkoba dan juga dari sejarah masa kecil yang bermasalah. Identitas sosialnya dibentuk dari pandangan publik yang negatif terhadap dirinya, sedangkan identitas personalnya serta konsep mengenai diri sebagai manusia merupakan hal yang tidak stabil dan sangat tidak berbentuk. Pecandu narkoba tidak mengetahui tentang identitasnya dalam konteks perasaannya yang sebenarnya, pikiran, nilai, dan tujuan hidupnya (De Leon, 2000).

(28)

c. Karakteristik Emosional

Pecandu narkoba dalam program rehabilitasi memiliki kesulitan dalam mengalami, mengkomunikasikan, dan mengatasi perasaannya (De Leon, 2000). Karakteristik emosional yang tercermin adalah sebagai berikut:

1) Intolerance of discomfort (tidak toleran terhadap segala bentuk ketidaknyamanan)

Karakteristik dasar yang menyebabkan kesulitan emosional pada pecandu di program rehabilitasi adalah toleransi yang rendah terhadap ketidaknyamanan. Jika dibandingkan dengan orang biasa yang tidak menggunakan narkoba, para residen tampak memiliki batasan yang lebih rendah untuk mentoleransi ketidaknyamanan, tindakan ini sering mengganggu secara interpersonal dan menyimpang secara sosial. Kesulitan pecandu dengan toleransi terkait dengan sindrom withdrawal (gejala pemutusan zat), penyakit umum, gangguan suasana perasaan, frustasi, dan kecemasan yang mendalam, juga kejenuhan (Zuckerman dalam De Leon, 2000).

2) Varieties of guilt (perasaan bersalah yang bervariasi dan terus mengganggu)

Sebagian besar pecandu di program rehabilitasi merasa terganggu oleh berbagai macam perasaan bersalah dan malu (Lecker dalam De Leon, 2000). Sebenarnya dari semua perasaan yang dialami pecandu, perasaan bersalah merupakan perasaan yang paling berpotensi merusak. (De Leon, 2000). Rasa bersalah yang dirasakan pecandu meliputi:

(29)

a) Rasa bersalah terhadap diri sendiri

Rasa bersalah ini muncul dari perilaku merugikan diri sendiri. Pecandu mengalami rasa sakit tertentu dengan melanggar dan menyalahi moral pribadi serta standar sosial tingkah laku, juga karena gagal memenuhi aspirasi dan tujuan hidupnya.

b) Rasa bersalah terhadap orang terdekat pecandu

Rasa bersalah ini muncul dari perilaku merugikan terhadap orang-orang yang dikenal oleh pecandu. Keluarga merupakan pihak yang paling sering disakiti secara langsung oleh pecandu dengan berbagai macam perbuatan negatif seperti mencuri, kekerasan verbal dan fisik, dan juga memperkenalkan narkoba kepada anggota keluarga. Selain itu, secara tidak langsung anggota keluarga juga telah tersakiti dan dirugikan akibat masalah hukum dan kesehatan yang dialami individu pecandu.

c) Rasa bersalah terhadap masyarakat

Rasa bersalah ini muncul dari perilaku merugikan terhadap orang lain yang tidak dikenal oleh pecandu. Pecandu di program rehabilitasi seringkali mengakui rahasia pribadi termasuk tindakan yang dilakukannya di masa lampau ketika pecandu menyakiti orang lain yang belum ia kenal. Biasanya hal-hal tersebut berupa tindak kriminal yang menyebabkan luka ataupun cidera, bahkan kematian.

(30)

3) Hostility and anger (kebencian dan kemarahan)

Kebencian dan kemarahan merupakan karakteristik yang umum diantara para pecandu narkoba. Bagi sebagian besar pecandu narkoba, kebencian dan kemarahan telah menjadi ekspresi emosi yang paling utama di dalam keluarga dan jaringan sosialnya, serta dalam setting institusional. Hal ini berfungsi untuk melindungi dirinya dalam menghadapi dan mengalami emosi lain yang mungkin lebih menyedihkan dan lebih membuat tidak nyaman, seperti rasa takut, rasa sakit, kekecewaan, kesedihan, dan kasih sayang (De Leon, 2000)

4) Dysphoria and loss of feelings (muncul perasaan-perasaan yang terganggu dan kehilangan perasaan bahagia)

Disporia dan perasaan kehilangan merupakan perasaan yang umum dialami oleh pecandu narkoba yang masuk dalam kategori berat. Ketika mengalami disporia (perasaan-perasaan yang terganggu), pecandu mengalami penurunan kesejahteraan fisik dan emosi. Selanjutnya akan muncul anhedonia, yaitu kehilangan atas kemampuan untuk merasakan kesenangan. Pecandu mungkin menyatakan bahwa dirinya tidak lagi mencari peristiwa-peristiwa menyenangkan karena kurangnya kepuasan dalam aktivitas sosial dan seksual, dalam memakan berbagai makanan, atau bahkan dalam penggunaan narkoba. Walaupun pecandu terus terlibat dalam berbagai kegiatan tersebut (De Leon, 2000).

(31)

5) Lack of emotional management (kurangnya kemampuan mengendalikan emosi)

Pada umumnya, pecandu narkoba memiliki kesulitan dalam pengolahan perasaannya sendiri. Baik perasaan negatif maupun perasaan positif. Seringkali perasaan senang akan memicu perayaan yang merugikan diri sendiri seperti penggunaan narkoba. Sedangkan kondisi yang relatif netral seperti kejenuhan, dorongan umum, dan frustrasi dapat menimbulkan reaksi yang problematik seperti kekecewaan dan kesedihan. Seringkali pecandu dalam program rehabilitasi tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi emosi mereka secara pantas dalam kondisi apapun (De Leon, 2000).

6) Abstinence and emotions (mengosongkan/menahan perasaan dan mengekpresikan emosi)

Pemulihan dalam program rehabilitasi tidak akan stabil sampai individu sebagai pecandu memahami perasaanya yang terkait dengan perilaku penggunaan narkoba dan masalah lainnya sampai pada pecandu mempelajari cara untuk mengekspresikan perasaannya secara konstruktif. Hal yang pertama kali diperlukan dalam pembelajaran emosi bagi individu adalah mengalami secara utuh semua perasaan ketika menjalani kondisi abstinen (bersih dari narkoba). Efek yang wajar ketika individu menjlani kondisi bebas narkoba adalah individu akan mengalami emosi dan sensasi termasuk rasa sakit pada tubuh. Untuk pertama kalinya pecandu dalam program rehabilitasi akan merasakan

(32)

berbagai emosi, tidak hanya kegembiraan dan kasih sayang tetapi juga kemarahan, rasa sakit, kekecewaan, kesedihan, dan perasaan bersalah. Perasaan baru ini seringkali mengganggu individu dan secara bertahap akan menimbulkan kegagalan dalam menjalankan program rehabilitasi kemudian menggunakan narkoba kembali (De Leon, 2000).

d. Karakteristik Sosial

Pecandu narkoba dalam program rehabilitasi menampilkan perilaku dan sikap yang mengganggu hubungan sosialnya dengan orang lain dan dunia pada umumnya. Beberapa karakteristik sosial pada pecandu ketika berada dalam program rehabilitasi, yakni:

1) Rasa akan hak

Sikap atau rasa dari pecandu dalam program rehabilitasi yang konsisten akan haknya dimaksudkan untuk memperoleh harapan yang tidak realistis berkaitan dengan keinginan dan kebutuhannya. Biasanya pecandu akan berperilaku penuh kemarahan dan penarikan diri pada ketidakadilan yang dirasakan berkaitan dengan kebutuhannya yang tidak terpenuhi.

2) Rasa tidak bertanggung jawab

Banyak pecandu narkoba dalam program rehabilitasi pada awalnya bertanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaannya. Namun, taggung jawab itu melemah akibat penggunaan narkoba yang berkelanjutan. Bagi pecandu lain yang tidak memiliki pekerjaan umumnya mereka berusakan melakukan setiap hal yang dapat menghasilkan uang baik itu

(33)

melanggar hukum atau tidak yang nantinya uang tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan penggunaan narkoba.

3) Tidak konsisten

Pada umumnya pecandu narkoba gagal dan tidak konsisten dalam memenuhi kewajibannya baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Pecandu narkoba memiliki sejarah yang panjang mengenai ketidaktuntasan pada hal yang dimulainya dalam hidup. Banyak pecandu narkoba yang dapat bekerja secara episodik pada standar yang bisa diterima tetapi tidak mampu menahan dan meneruskan usahanya (De Leon, 2000).

4) Tidak akuntabel

Menjadi akuntabel dalam memenuhi kewajiban menenkankan pada kejujuran pribadi dan sosial dari individu. Pecandu narkoba sering kali menemukan cara untuk mendapatkan langkah-langkah yang diperlukan dalam pemenuhan kewajiban. Pecandu juga seringkali gagal dalam memberikan kejujuran bagi orang lain dalam memenuhi kewajibannya (De Leon, 2000).

5) Kurangnya rasa percaya

Kehilangan dan pelanggaran kepercayaan merupakan tanda khusus yang khas dari kepribadian dan gaya hidup pecandu narkoba. Bagi sebagian besar pecandu di program rehabilitasi, masalah kepercayaan dapat dilihat dalam sejarah kesalahan umum masa kecil, pola

(34)

berbohong, pembuatan alasan, serta pemalsuan. Bagi pecandu di program rehabilitasi, penipuan, manipulasi, dan kebohongan yang tertenam dalam pola penyalahgunaan narkoba bersifat merusak perkembangan dari bentuk kepercayaan apapun yang dialamatkan kepada diri pecandu (De Leon, 2000).

Berdasarkan uraian tentang karakteristik dari pecandu narkoba yang telah disampaikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum karakteristik yang melekat pada pecandu narkoba adalah karakteristik negatif dalam hal kognitif dan tingkah laku, perseptual, maupun emosional dari pecandu narkoba tersebut.

6. Self Esteem pada Pecandu Narkoba

Berdasarkan definisi dari self esteem dan juga definisi dari pecandu narkoba, maka dapat disimpulkan bahwa self esteem pada pecandu narkoba merupakan keseluruhan dari evaluasi yang dilakukan pecandu tentang keyakinan bahwa dirinya berharga yang diperoleh dari serangkaian proses panjang. Penilaian diri pada pecandu ini didasarkan pada standar tertentu yang merupakan kombinasi dari penilaian orang lain serta sistem tata nilai di lingkungan pecandu narkoba tersebut tinggal.

Kemudian, berkaitan dengan karakteristik self esteem pada pecandu narkoba, De Leon (2000) telah menyebutkan bahwa self esteem dari pecandu narkoba secara umum berada pada tingkat yang rendah (low self esteem). Para pecandu narkoba yang direhabilitasi menampilkan penghargaan terhadap diri

(35)

yang sangat kurang dan secara khas mengungkapkan persepsi diri yang buruk terhadap perilaku moral dan etis, juga terhadap hubungan dengan orang lain (terutama keluarga). Self esteem yang rendah berkaitan erat dengan perilaku anti sosial. Kemudian penyalahgunaan narkoba dari pecandu seringkali berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengembangkan gaya hidup produktif dan juga kesulitan untuk mencegah tekanan berupa stres bertahap yang mereka hadapi dengan gaya hidup produktif, akhirnya narkoba menjadi jalan pelarian dari permasalahan yang muncul. Para pecandu kesulitan untuk menyukai dan menghargai dirinya sendiri akibat dari anggapan tentang diri mereka dari orang lain dan stigma negatif di masyarakat tentang pecandu narkoba, serta adanya anggapan dari pecandu bahwa dirinya sulit untuk mengontrol diri (De Leon, 2000).

Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Sheilarina (2012) yang menunjukkan bahwa memang ada rasa rendah diri pada mantan pecandu narkoba yang terlihat dari sikap penarikan diri yang dilakukan oleh mantan pecandu terhadap dunia luar, dan nampak dari perilaku mantan pecandu yang beranggapan bahwa masyarakat memandang negatif dengan keadaan mantan pencandu sendiri atau adanya diskriminasi terhadap para pecandu narkoba. Selain itu, menurut Candraresmi (2000) dalam masyarakat sering muncul pandangan negatif terhadap pecandu narkoba seperti adanya anggapan bahwa pecandu adalah penipu dan pencuri sehingga masyarakat sering memperlakukan pecandu sebagai kriminal dan merasa pesimis bahwa pecandu narkoba dapat berubah menjadi individu yang baik. Pandangan dari Candraresmi (2000)

(36)

tersebut juga didukung oleh Sheilarina (2012) yang menyatakan bahwa pandangan masyarakat yang cenderung negatif pada pecandu narkoba mungkin akan membuat pecandu narkoba semakin memiliki penilaian negatif tentang dirinya yang akan menurunkan self esteem dari pecandu tersebut (Sheilarina, 2012).

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari self esteem yang melekat pada pecandu narkoba baik itu yang belum mendapatkan rehabilitasi, sedang dalam proses rehabilitasi, maupun mantan pecandu keseluruhnya secara umum memiliki tingkat self esteem yang rendah.

C. Pelatihan Pemaafan 1. Pengertian Pemaafan

Tidak ada kepribadian yang mencapai perkembangan sempurna jika belum memiliki sifat pemaaf yang memadai. Memaafkan adalah kualitas yang membuat seorang individu menjadi lebih baik (Julian & Alfred, 2008). Menurut Smedes (1984) menerima orang lain tidak sama dengan memaafkan. Menerima orang lain terjadi ketika orang lain tersebut dianggap sebagai orang yang baik. Sementara itu, memaafkan orang lain terjadi ketika orang lain melakukan hal-hal buruk terhadap individu. Enright (dalam McCullough, Fincham, & Tsang, 2003) mendefinisikan pemaafan sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah

(37)

dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan memberikan rasa kasihan, iba, dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Pendapat yang senada diungkapkan oleh Denmark dan koleganya yang menyebutkan bahwa pemaafan adalah proses (atau hasil dari suatu proses) yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap seorang yang dianggap telah berperilaku menyakiti individu (Denmark, et al, 2006). Pemaafan juga didefinisikan sebagai suatu kebajikan yang melampau perasaan negatif menuju ke penilaian dan sikap yang lebih positif (Lagaree, Turner, & Lollis, 2007). Bahkan beberapa studi menyebutkan bahwa pemaafan merupakan cahaya positif yang mampu mengantarkan individu kepada tujuan hidup yang lebih berarti seperti cinta, kasih sayang, dan empati (Baharuddin, Amat, Jailani, & Sumari, 2011).

Zechmeister dan Romero (2002) menyatakan bahwa pemaafan sering diberikan oleh korban karena dituntut memenuhi peran sosial dalam masyarakat. Selain itu, korban bersedia memaafkan karena merasa mempunyai moral yang tinggi dan ingin mendapat penghargaan dari orang yang menyakiti. Pemaafan juga secara sosial dijadikan instrumen untuk menghalangi keinginan seseorang membalas dendam.

Memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang agar tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti (McCullough, Wortington, & Rachal, 1997). Wade dan Worthington (2003)

(38)

juga menyebutkan bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam membebaskan seseorang dari kemarahan dan rasa bersalahnya. Selain itu, memaafkan dalam hubungan interpersonal memiliki pengaruh terhadap kebahagian dan kepuasan hubungan (Karremans, Van Lange, & Ouwerkerk, 2003 ; Fincham, Beach, & Davila, 2004).

Baumeister, Exline, dan Sommer (1998) menggambarkan dua dimensi dari pemaafan, yaitu: 1) dimensi intrapsikis; dan 2) dimensi interpersonal. Pertama adalah dimensi intrapsikis. Dimensi ini melibatkan aspek emosi dan kognisi dari pemaafan. Kedua adalah dimensi interpersonal. Dimensi ini melibatkan aspek sosial dari pemaafan. Pemaafan yang total mensyaratkan terdapatnya dua dimensi tersebut. Pemaafan yang semu cirinya terbatas pada dimensi interpersonal yang ditandai dengan menyatakan memberi maaf secara verbal terhadap orang yang bersalah tetapi masih terus menyimpan sakit hati dan dendam. Baumeister mensyaratkan adanya penyataan intrapsikis seperti ketulusan dalam pemaafan bukan hanya perilaku interpersonal dan sekedar rekonsiliasi. Pemaafan yang tulus merupakan pilihan sadar individu melepaskan keinginan untuk membalas dan mewujudkannya dengan respon rekonsiliasi (Baumeister, et al, 1998).

Kauppila (2006) dalam bukunya yang berjudul, “Opening The Door To Freedom With Forgiveness Therapy” menyebutkan bahwa terdapat dua tipe pemaafan dalam hubungan interpersonal. Tipe yang pertama adalah pemberian maaf terhadap kesalahan yang dilakukan oleh seorang (baik orang lain maupun

(39)

diri sendiri) dan bertujuan untuk mengobati perasaan bersalah yang dirasakan. Tipe pemaafan ini ditunjukkan untuk ketidakadilan yang diterima atau dilakukan terhadap individu lainnya, ketika seorang ingin memperbaiki perasaan bersalah akibat perbuatan yang ia lakukan. Tipe pemaafan yang kedua adalah pemberian maaf kepada seseorang yang telah menyakiti diri individu tapi orang tersebut tidak menyadari atau tidak mengakui kesalahannya. Tipe pemaafan ini biasanya digunakan dalam menyembuhkan perasaan terluka yang diderita individu di masa lalu akibat situasi yang tak berdaya, misalnya seperti kasus kekerasan atau pelecehan terhadap anak. Tipe pemaafan ini juga digunakan apabila sasaran pemaafan yang dituju telah meninggal atau sudah tidak mungkin untuk bertemu kembali karena alasan jarak fisik dan geografis. Tipe pemaafan ini merupakan tipe yang hanya melibatkan satu orang di dalam prosesnya. Sasaran pemaafan tidak terlibat di dalam proses pemaafan ini secara langsung.

Berdasarkan uraian tentang pemaafan menurut beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan suatu sikap yang melibatkan dimensi interpersonal dan intrapsikis. Pemaafan bertujuan untuk membangun relasi serta rekonsiliasi antara individu sebagai korban dengan individu sebagai pelaku dalam ketidakadilan yang terjadi. Pemaafan dapat dicapai dengan cara individu sebagai korban mengubah emosi dan sikap negatif terhadap individu pelaku menjadi emosi dan sikap yang lebih positif.

(40)

2. Aspek-Aspek Pemaafan

Menurut Sood (2015), aspek-aspek yang terkadung di dalam pemaafan adalah sebagai berikut:

a. Innocence (Kepolosan)

Ketika individu merefleksikan bahwa perbuatan orang lain/pelaku merupakan wujud dari sikap kepolosan dan ketidaktahuan dari pelaku (Sood, 2015). Seorang pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud menyakiti sehingga individu pemaaf tersebut akan mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku (Takaku, 2001).

b. Connection (Keterhubungan)

Ketika individu merasa terhubung dan memiliki relasi dengan seseorang, perilaku orang tersebut akan nampak baik bagi individu. Namun, jika individu tidak merasa terhubung atau memiliki relasi dengan seseorang, maka kecacatan kecil pada sikap maupun perilaku orang tersebut akan sangat mengganggu individu (Sood, 2015).

c. Self Defense (Pertahanan Diri)

Kebanyakan orang berusaha untuk mempertahankan dirinya yang rapuh. Jika individu menyadari bahwa orang lain berperilaku menyakiti individu semata-mata hanyalah bagian dari pertahanan diri orang tersebut, maka meskipun individu merasa tersakiti akibat orang lain ingin

(41)

mempertahankan diri, maka akan lebih mudah untuk memaafkan orang yang menyakiti tersebut (Sood, 2015).

d. Misunderstanding (Kesalahpahaman)

Perasaan tersakiti oleh orang lain bisa saja merupakan persepsi dan penilaian yang salah dari individu. Pada kondisi ini, seharusnya individu tidak membiarkan adanya kesalahan persepsi dengan mengedepankan sikap saling mengerti antara satu sama lain. Dengan lebih mengerti mengenai latar belakang sikap yang dimunculkan oleh orang lain, maka individu akan lebih mudah untuk melakukan pemaafan (Sood, 2015). e. Meaning (Kebermaknaan)

Ketika individu menemukan makna dibalik kesulitan, maka akan semakin mudah bagi individu untuk memaafkan. Rasa sakit bisa membantu individu untuk menemukan makna, dan begitu juga dengan memaafkan (Sood, 2015).

Menurut Enright, et al (dalam Kurtines & Gewitz, 2014) menyebutkan bahwa pemaafan terdiri dari:

a. Revengeful forgiveness (pemaafan akibat balas dendam)

Merupakaan pemaafan yang diberikan oleh individu ketika individu tersebut sudah berhasil membalas/memberikan hukuman kepada orang yang pernah menyakitinya dengan tingkat yang sebanding dengan perasaan sakit yang diderita individu akibat perilaku orang lain tersebut.

(42)

b. Restitutional/compensational forgiveness (pemaafan akibat kompensasi) Merupakan pemaafan yang diberikan oleh individu ketika pelaku sudah mengganti hal yang diambil dari individu tersebut atau ketika individu merasakan perasaan bersalah akibat tidak ingin memberikan maaf, maka individu tersebut akan memberikan maaf hanya sebatas untuk mengurangi perasaan bersalah yang dirasakannya.

c. Expectational forgiveness (pemaafan akibat tekanan)

Merupakan pemaafan yang diberikan individu akibat menerima tekanan dari pihak lain yang menginginkan atau memiliki ekspektasi agar individu mau memaafkan orang yang memiliki kesalahan pada individu tersebut. d. Lawful expectational forgiveness (pemaafan akibat hukum)

Merupakan pemaafan yang diberikan individu apabila ada hukum, norma sosial, maupun religi dari masyarakat/tempat tinggal individu yang mengisyaratkan agar individu mau memberi pemaafan.

e. Forgiveness as social harmony (pemaafan sebagai proses harmonisasi sosial)

Merupakan pemaafan yang diberikan ketika individu merasa bahwa dengan memberikan maaf maka dirinya telah mengembalikan relasi yang baik dengan masyarakat. Pemaafan dilihat sebagai hal yang mampu menurunkan konflik dan kesenjangan di dalam masyarakat dan pemaafan merupakan cara yang dilakukan untuk mengendalikan masyarakat dalam rangka menjaga hubungan yang damai dari para anggotanya.

(43)

f. Forgiveness as love (pemaafan sebagai cinta kasih)

Merupakan pemaafan yang diberikan oleh individu tanpa syarat dan merupakan arti penting dari pemahaman makna cinta dan kasih sayang. Individu merasa bahwa dirinya harus benar-benar peduli dengan orang lain sehingga perilaku yang menyakiti dari orang lain tidak akan menggoyahkan makna dari cinta dan kasih sayang bagi individu tersebut. Individu yang memberi pemaafan bukan lagi mengendalikan orang lain dengan pemaafan yang diberikan tapi untuk membebaskan orang lain dari persaan bersalah yang dirasakannya.

Sedangkan, menurut Orbon, Mercado, dan Balila (2014) inti dari pemaafan meliputi dua pokok utama, yaitu:

a. Forgiveness (pemaafan)

Forgiveness merupakan pemaafan itu sendiri yang meiputi cara manajemen perasaan marah (anger) dan kebencian (resentment), serta belajar memaafkan (learn to forgive) yang meliputi: mencari pemaafan dari Tuhan (spiritual experience), mencari pemaafan dari dalam diri (forgiveness of self), serta mencari dan memberi pemaafan terhadap orang lain (forgiveness of others). Tujuan akhir dari pemaafan adalah untuk menemukan makna dalam kehidupan individu terutama dalam kaitannya dengan kecanduan narkoba (Lyons, 2012).

b. Gratitude (rasa syukur)

Gratitude atau bersyukur adalah metode untuk memperoleh perilaku positif dan mengurangi perilaku negatif yang dimiliki oleh individu

(44)

(Fluhler, 2010). Rasa syukur yang dibudayakan setiap hari diperlukan oleh pecandu narkoba untuk menghadapi berbagai situasi dalam kehidupannya dengan tenang, mengapresiasi hal kecil dan menikmati kehidupannya (Orbon, Mercado, & Balila, 2014).

Berdasarkan pemaparan yang telah diberikan maka, dalam penelitian ini, aspek-aspek di dalam pemaafan yang dimaksudkan oleh peneliti lebih kepada aspek-aspek yang disebutkan oleh Orbon, Mercado, dan Balila (2014), yaitu forgiveness dan gratitude. Aspek-aspek lain seperti yang disebutkan oleh Sood (2015) maupun oleh Enright, et al (dalam Kurtines & Gewitz, 2014) sudah terdapat di ranah forgiveness yang meliputi mencari pemaafan dari Tuhan (spiritual experience), mencari pemaafan dari dalam diri (forgiveness of self), serta mencari dan memberi pemaafan terhadap orang lain (forgiveness of others), serta kombinasi antara forgiveness dan gratitude mengarah kepada forgiveness as harmony dan bahkan forgiveness as love yang merupakan bentuk sejati dari pemaafan itu sendiri yaitu pemaafan yang dilakukan tidak hanya untuk perdamaian dan membebaskan orang lain dari rasa bersalah, tapi juga membebaskan diri sendiri dari kebencian.

3. Pengertian Pelatihan

Menurut Good (dalam Marzuki, 1992) pelatihan adalah proses yang membantu orang lain dalam memperoleh kemampuan dan pengetahuan. Sedangkan Sikula (dalam Martoyo, 1996) menyatakan bahwa pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis

(45)

dan terorganisir yang didalamnya para peserta mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Hamalik (2007) juga menambahkan bahwa pelatihan dapat diberikan dalam bentuk pemberian bantuan. Bantuan dalam hal ini dapat berupa pengarahan, bimbingan, fasilitasi, penyampaian informasi, latihan keterampilan, pengorganisasian suatu lingkungan belajar, yang pada dasarnya peserta telah memiliki potensi dan pengalaman, motivasi untuk melaksanakan sendiri kegiatan pelatihan dan memperbaiki dirinya sendiri sehingga dia pun membantu dirinya sendiri. Jewell dan Siegell (1998) menyatakan bahwa tujuan dari pelatihan adalah untuk memperoleh keterampilan khusus, pengetahuan, atau sikap tertentu dengan mengembangkan kemampuan yang dimiliki individu. Kemampuan yang dimaksud menyangkut potensi fisik, mental, dan psikologis dari individu.

Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan kegiatan atau proses untuk meningkatkan keterampilan dan potensi individu melalui berbagai macam strategi-strategi pembelajaran yang disusun secara sistematis dan diorganisasikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi individu. Tujuan dari pelatihan itu sendiri adalah untuk memperoleh perubahan perilaku dari individu peserta pelatihan.

(46)

4. Pengertian Pelatihan Pemaafan

Pelatihan didefinisikan sebagai kegiatan atau proses untuk meningkatkan keterampilan dan potensi individu melalui berbagai macam strategi-strategi pembelajaran yang disusun secara sistematis dan diorganisasikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi individu, dengan tujuan untuk memperoleh perubahan perilaku dari individu peserta pelatihan. Kemudian, pemaafan adalah suatu sikap yang melibatkan dimensi interpersonal dan intrapsikis untuk membangun relasi serta rekonsiliasi antara individu sebagai korban dengan individu sebagai pelaku dalam ketidakadilan yang terjadi dengan cara individu sebagai korban mengubah emosi dan sikap negatif terhadap individu pelaku menjadi emosi dan sikap yang lebih positif. Sehingga, pelatihan pemaafan dapat didefinisikan sebagai proses untuk meningkatkan keterampilan dan potensi individu melalui berbagai macam strategi-strategi pembelajaran yang disusun secara sistematis dan diorganisasikan demi menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi individu dengan tujuan untuk mengubah emosi dan sikap negatif terhadap orang lain yang pernah menyakiti individu menjadi emosi dan sikap yang lebih positif.

Kemudian, terkait dengan penelitian terhadap pecandu narkoba, maka secara spesifik pelatihan pemaafan juga dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk modifikasi dari terapi pemaafan yang dikemas ke dalam bentuk workshop (seminar, diskusi, dan mengerjakan latihan) yang materinya diambil dari aspek-aspek pemaafan, yaitu: pemaafan (forgiveness) dan bersyukur

(47)

(gratitude) (Orbon, Mercado, & Balila, 2014). Pada bagian pemaafan (forgiveness) hal yang ditanamkan adalah metode untuk manajemen perasaan marah (anger) dan kebencian (resentment), serta belajar memaafkan (learn to forgive) yang meliputi: mencari pemaafan dari Tuhan (spiritual experience), mencari pemaafan dari dalam diri (forgiveness of self), serta mencari dan memberi pemaafan terhadap orang lain (forgiveness of others). Tujuan akhir dari bagian pemaafan (forgiveness) adalah untuk menemukan makna dalam kehidupan pecandu (Lyons, 2012). Kemudian pada bagian bersyukur (gratitude) hal yang ditanamkan adalah metode untuk memperoleh perilaku positif dan mengurangi perilaku negatif yang dimiliki oleh individu (Fluhler, 2010). Perasaan bersyukur dapat disamakan dengan penyembuhan. Semakin bersyukur seorang pecandu, maka semakin besar kesempatan untuk sembuh dari kecanduannya karena perasaan bersyukur dari pecandu membuatnya tetap melakukan hal yang benar sehingga pecandu tersebut akan mampu mempertahankan pemulihan dirinya dari narkoba. Rasa syukur yang dibudayakan setiap hari diperlukan oleh pecandu untuk menghadapi berbagai situasi dalam kehidupannya dengan tenang, mengapresiasi hal kecil dan menikmati kehidupannya (Orbon, Mercado, & Balila, 2014).

Jadi, berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan pemaafan merupakan suatu modifikasi dari terapi pemaafan ke dalam bentuk workshop (seminar, diskusi, dan mengerjakan latihan). Pelatihan pemaafan ini terdiri dari kegiatan atau proses untuk meningkatkan keterampilan dan potensi individu melalui berbagai macam strategi pembelajaran yang sistematis dan

(48)

diorganisasikan agar fokus pembelajaran mengarah pada pemaafan (forgiveness) dan bersyukur (gratitude). Tujuan yang ingin dicapai melalui pelatihan pemaafan adalah untuk mengubah emosi dan sikap negatif individu menjadi emosi dan sikap yang lebih positif.

5. Proses Pelatihan Pemaafan

Pelatihan pemaafan adalah bentuk modifikasi dari terapi pemaafan yang dikemas ke dalam bentuk workshop (presentasi, diskusi, dan mengerjakan latihan). Pelatihan pemaafan memiliki dua fokus utama, yaitu: pemaafan (forgiveness) dan bersyukur (gratitude) (Orbon, Mercado, & Balila, 2014). Pada bagian pemaafan (forgiveness) hal yang ditanamkan adalah metode untuk manajemen perasaan marah (anger) dan kebencian (resentment), serta belajar memaafkan (learn to forgive) yang meliputi: mencari pemaafan dari Tuhan (spiritual experience), mencari pemaafan dari dalam diri (forgiveness of self), serta mencari dan memberi pemaafan terhadap orang lain (forgiveness of others). Tujuan akhir dari bagian pemaafan (forgiveness) adalah untuk menemukan makna dalam kehidupan pecandu (Lyons, 2012). Kemudian pada bagian bersyukur (gratitude) hal yang ditanamkan adalah metode untuk memperoleh perilaku positif dan mengurangi perilaku negatif yang dimiliki oleh individu (Fluhler, 2010). Perasaan bersyukur dapat disamakan dengan penyembuhan. Semakin bersyukur seorang pecandu, maka semakin besar kesempatan untuk sembuh dari kecanduannya karena perasaan bersyukur dari pecandu membuatnya tetap melakukan hal yang benar sehingga pecandu

Referensi

Dokumen terkait

penurunan prestasi pribadi terjadi ketika seseorang menunjukkan perilaku yang kurang berkenan terhadap profesinya, serta merasa sebagai individu yang tidak kompeten

Produk maupun program loyalitas akan disesuaikan dengan keinginan pelanggan secara terus menerus dengan menggunakan semua informasi yang telah didapat sebelumnya untuk membuat

Ciri-ciri orang beriman anatara lain: memiliki sifat hilm (taat melaksanakan ibadah secara terus menerus), takut kepada hari pembalasan, membayar zakat sebagai

Otot akomodasi mata dapat mengalami stress apabila digunakan secara terus-menerus untuk melihat objek dengan ukuran kecil dalam jangka waktu yang lama pada jarak

Karena dengan adanya TQM yang merupakan suatu sistem, yang melakukan perbaikan secara terus menerus dan tetap konsisten baik dalam melayani pelanggan, maka

Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu

a. Perasaan takut dalam kehidupan sehari-hari untuk menempatkan diri secara realistis. Cara menempatkan diri ini berbeda bagi setiap individu. Ada yang menghadapi

Pemenang adalah mereka yang mengembangkan system infromasi agar informasi dapat mengalir keseluruh perusahaan dengan cepat, terus menerus, dan dapat dipelajari secara maksimum,