• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL. A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL. A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional

Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971.

Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his wellbeing.”70

Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armedconflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but mustbe clearly distinguish from these its purposeand spirit being different.”71

Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) terjadi apabila tindakan tertentu yang dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik

70

GPH Haryomataram, Op.cit.

71

(2)

atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan, pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan), perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk, kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan; perkosaan, memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama; penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”. Tindakan yang dilarang ini dilakukan sebagai bagian dari seranganskala luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. “Skala luas” artinya skala besar baikserangannyamaupun jumlah penduduk yang menjadi sasaran, sementara kata “sistematis” artinya tindakan yang sifatnya terorganisir dan tidak mungkin terjadi secara acak72

Menurut International Criminal Court sebuah serangan dianggap “berskala luas” apabila serangan itu berupa tindakan yang sering dilakukan dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif secara sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak. International Criminal Court mendefinisikan

.

Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa 1949 dikenal juga istilah kejahatan perang. Dua kategori kejahatan perang berlaku dalam konteks konflik bersenjata internasional, seperti konflik antara pasukan bersenjata Indonesia dan gerakan pembebasan nasional Timor-Lesteantara tahun 1975 dan 1999.

Kategori pertama adalah “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa, adalah : Suatu “pelanggaran berat” terjadi apabila tindakan kejahatan tertentu dilakukan terhadap orang yang lemah, misalnya orang yang terluka, orang yang sakit, tawanan perang dan penduduk sipil.

72

(3)

kata “sistematik” sebagai “tindakan terorganisir, yang mengikuti pola tetap, yang berasal dari kebijakan umum dan melibatkan sumber daya umum dan swasta yang besar harus ada unsur rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan. Rencana atau kebijakan tersebut tidak harus dinyatakan secara formal; Rencana atau kebijakan tersebut bisa dirunut dari kenyataan di lapangan, termasuk “skala tindakan kekerasan yang dilakukan.” Baik Indonesia dan Portugal meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I, tentang :

a. Pembunuhan, disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, secara sengaja

menyebabkan penderitaan yang mendalam atau luka parah baik fisik maupun kesehatan

b. Penghancuran besar-besaran dan perampasan harta benda yang tidak terkait dengan

keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan semena-mena

c. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bertugas di pasukan musuh d. Secara sengaja menolak memberikan hak atas pengadilan yang tidak berat sebelah

kepada tawanan perang atau penduduk sipil

e. Deportasi atau pemindahan yang tidak sah atau pembatasan kebebasan penduduk sipil secara tidak sah; dan memperlakukan penduduk sipil sebagai sandera.

Kategori kedua terdiri dari pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Hal initermasuk misalnya, pembunuhan, penyiksaan, perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil; pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang; perampokan harta benda milik pribadi maupun milik negara; dan penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang tidak terkait dengan keperluan militer. Dalam sebuah konflik bersenjata internal, seperti antara pengikut Fretilin

(4)

pada tahun 1975, kejahatan perang terdiri dari pelanggaran yang paling berat seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum Pasal 3 Konvensi Jenewa atau dalam hukum dan kebiasaan perang73

73

ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977, hal. 30.

.

Selanjutnya di dalam Pasal Umum 3 termasuk tindak kejahatan terhadap orang yang tidak ikut terlibat dalam perseteruan, seperti anggota pasukan bersenjata yang elah meletakkan senjata atau yang sakit, terluka atau dalam tahanan. Tindak kejahatan demikian meliputi pembunuhan, kekerasan terhadap orang, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; melakukan tindakan terkait dengan martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan; menjadikan sandera; dan memutuskan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa proses hukum yang layak.

Selanjutnya mengenai masalah Pembunuhan yang sah dan penahanan. Pembunuhan dan penahanan penempur oleh anggota pasukan musuh tidak dianggap melanggar hukum humaniter internasional apabila pembunuhan tersebut dilakukan dalam batas-batas cara perang yang bisa diterima. Tindakan semacam ini karena itu dimasukkan dalam definisi pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai Komisi. Tindakan tersebut tidak dicakup dalam Laporan ini, dan tidak dimasukkan dalam tindakan-tindakan yang didefinisikan sebagai pelanggaran untuk maksud analisa statistik. Untuk negera Indonesia, sebagai instrumen internasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dan menjadi peserta (pihak) Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of Victims of War) dengan cara aksesi berdasar UU Nomor 59 Tahun 1958 mengenai keikutsertaan RI dalam keempat konvensi tersebut.

(5)

Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan salah satu di antara pelanggaran berat (grave breaches) dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi.

Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.

B. Kejahatan Kemanusiaan sebagai Kejahatan Internasional

Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari

(6)

serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa :

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

d Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara, atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas

(widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya

(7)

kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender74

Sementara, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah "tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil". Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes against humanity,

antara lain : (1) pembunuhan, (2) penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit, (3) pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah, (4) penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental, (5) penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, (6)

.

Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanit) adalah satu dari empat "kejahatan-kejahatan internasional" (international crimes), di samping The Crime of Genocide, War Crimes dan The Crime of Aggression. International Crimes

sendiri didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain,

international crimes ini menganut asas universal juridiction.

74

(8)

kekerasan seksual dan (7) penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau penahanan sewenang-wenang)75

Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanit) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecahan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk…..mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu

.

76

Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LSM, yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu ‘setiap aksi yang tak berprikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok’. Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC harus membatasi diri hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis keteimbang yang dilakukan secara spontan, serta mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi untuk membedakan dirinya dari kelompok kriminal biasa. Definisi di dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal (salah satu atau lebih dri beberapa

.

75

http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

76

(9)

perbuatan) sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil.

Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001 yang lalu. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yurisdiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya tak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tak dapat menyelidiki kelompok-kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organisasi criminal dengan agenda politik seperti Kartel Obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara untuk memilih melakukan yurisdiksi atas warga yang ditahan. Walaupun pengalamanan Columbia di masa lalu (ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobar dan

(10)

pemimpin Kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan internasional77

Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 Statuta Roma yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin

.

Termasuk diantara aksi-aksi di bawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefinisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh/atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia) ditujukan untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Definisi ersebut akan memberatkan mereka yang termasuk dalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemerintah yang menutup-nutupi aktifitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum dalam Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rejim melalui penindasan rasional secara sistematik.

77

(11)

melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berprikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional.

Kejahatan “penindasan” didefinisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘pembersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genoside. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh “pasukan kematian” di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan “subversif” di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan (seperti genoside atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu, tak akan ada maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan.

Bagaimanapun kejahatan penindasan (yang definisinya membingungkan karena tumpang tindih antara Pasal 7 (1) (h) dan Pasal 7 (2) (g) akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah professional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rejim klien-kliennya.

(12)

C. Yurisdiksi Pengadilan Internasional terhadap Pelaku Kejahatan Internasional

Mekanisme yang paling cepat untuk menggerakkan kekuatan menyelidiki dan mengadili kejahatan internasional dinyatakan dalam Pasal 13 (b), dimana suatu “situasi” ditunjukkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan PBB yang bertindak menurut Bab VII Piagam PBB. Inilah metode yang digunakan pada Pengadilan Den Haag dan Arusha, yaitu melalui resolusi yang menyatakan bahwa situasi di Yugoslavia dan Rwanda mengancam perdamaian dunia. PBB tidak perlu lagi membentuk pengadilan ad-hoc, ketika sudah ada kesepakatan negara-negara

superpower atas kebutuhan untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, yangdilakukan pada masa damai atau perang, oleh atau di wilayah negara manapun (baik negara pihak ataupun bukan negara pihak dari statuta). Dewan keamanan kemudian akan menyerahkan masalah itu kepada jaksa di ICC. Tindakan tersebut secara otomatis menarik yurisdiksi pengadilan atas kasus-kasus yang dipilih oleh jaksa untuk dibuatkan tuntutannya.

Dalam hal kelambanan tindakan atau ketidaksepakatan dalam Dewan Keamanan PBB, posisi pengadilan menjadi makin sulit. Pengadilan tidak dapat memperoleh yurisdiksi tanpa resolusi Dewan Keamanan, kecuali jika tindakan yang dipertanyakan terjadi di dalam wilayah negara yang merupakan negara pihak dari Statuta. Atau jika terdakwa adalah warga negara yang merupakan negara pihak dari Statuta. Tak satupun kondisi ini akan terpenuhi dalam kasus pimpinan politik dan militer yang terlibat dalam tindakan represif yang kejam terhadap warga sipil atau kelompok etnis yang menentang pemerintahan. Sebab adalah tidak logis untuk

(13)

mengharapkan negara-negara yang dipimpin orang-orang semacam itu akan meratifikasi Statuta Roma.78

Selanjutnya, dewasa ini isu mengenai terorisme sangat berkembang di dunia internasional, Dua tahun masa war of terrorism yang dimotori Amerika Serikat masih belum menyentuh akar pemasalahan. Yang tersisa kini kedukaan para keluarga korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kunci utama dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika Serikat hanya mengejar pelaku teror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris (baca Osama bin Laden). Kelangsungan hidup International Criminal Court akan lebih bergantung pada tingkat keahlian dan pengalaman hakim-hakim dan jaksa-jaksa ketimbang dari Statutanya. Sistem penunjukan Internasional cenderung ragu untuk tidak mengindahkan Pemerintah atau mereka yang bertanggung jawab kepada negara. Seringkali tidak ada orang-orang yang benar-benar independen dengan pemikiran dan imajinasi yang baik. Tapi, salah satu alasan utama mengapa Pengadilan Nuremburg berhasil adalah karena hakim-hakim dari Inggris, Prancis dan Amerika telah berpengalaman sebagai Pembela Kriminal, selain juga sebagai jaksa penuntut. Dari pengalaman inilah berekmang ras keadilan yang mendorong proses penuntutan di pengadilan tersebut. Jadi, yang dibutuhkan International Criminal Court adalah suatu sistem penunjukan yang independen dari pemerintahan-pemerintahan, dan satu perangkat kualifikasi berdasarkan suatu statuta yang memberikan bobot kepada mereka yang mempunyai karakteristik karir yaitu pernah melakukan pekerjaan pembelaan kriminal.

78

(14)

Mengurai, mengidentifikasi, dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terjadinya terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internaional, Playground-nya berskala international. Terorisme dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tatapi manjadi masalah seluruh umat manusia.

Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris manjadi materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extraordinary crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa. Karena sifatnya yang

extraordinary crime inilah hampir semua negara mengunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Akan tetapi, Kent Roach (Canada), Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum pidana dan HAM (antara lain, Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) menolak pandangan demikian. Bagii mereka, terorisme merupakan tindak pidana biasa dan penangganannyapun cukup dengan aturan perundang-undang yang berlaku bagi tindak pidana lainnya. Dalam kontek sistem peradilan pidana cukup dengan ketentuan KUHP dan KUHAP saja tidak perlu menggunakan UU Antiteroris atau yang lainnya seperti ISA (Internal scurity act).79

Namun demikian, tidak dapat disanggah bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagia mala per se bukan termasuk mala prohibita. Hal ini karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela. Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against

79

M. Jodi Santoso, Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana, Harian Tempo, 27 Oktober 2003.

(15)

humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court. Amerika Serikat dengan tegas menolak usulan beberapa negara yang menghendaki tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Dengan tidak masuknya terorisme maka menurut Art. 5 Rome Statute of the international Criminal Court (Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional) hanya empat tindak pidana yang dianggap sebagai tindak pidana paling serius, yaitu : (1) genocida; (2) tindak pidana terhadap kemanusian; (3) tindak pidana perang; dan (4) agresi. Sampai sekarang, Amerika Serikat belum menandatangani

International criminal court. Pada hal dukungan Amerika Serikat sangat dibutuhkan dalam upaya dunia internasional untuk segera pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Di sinilah mulai muncul anggapan negatif atas ambivalensi Amerika Serikat dalam upaya penanganan terorisme. Pada sisi lain Amerika Serikat menolak terorisme masuk dalam yuridiksi International Criminal Court dan sampai sekarang belum menandatangai ICC pda sisi lain Amerika Serikat, melalui pernyataan resmi George W. Bush tanggal 11 Oktober 2001, terorisme sebagai Sebuah Serangan Terhadap Peradaban Dunia.80

Ambivalensi sikap Amerika juga tercermin dalam law enforcement. Amerika Serikat telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam criminal justice process terhadap pelaku terorisme. Sikap ini berbeda dengan upaya perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana (protection of human right in criminal justice administration) di mana Amerika Serikat sebagai pendukung utamanya. Bahkan konsep perlindungan HAM dalam sistem peradilan Pidana (criminal Justice system) yang berkembang di Amerika Serikat telah menjadi kiblat bagi negara-negara berkembang. Akan tetapi, administrasi peradilan pidana yang telah dibangun selama

80

(16)

berabad-abad tersebut sama sekali tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme. Amerika Serikat telah berhasil membangun sistem peradilan pidana yang kondusif bagi perlindungan tersangka pelaku tindak pidana di negaranya tetapi gagal mengembangankan sistem peradilan pidana internasional.

Catatan terpenting yang dapat dicermati selama dua tahun masa war of terrorism adalah Amerika Serikat telah memutar “jarum jam” administrasi peradilan pidana. Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun yang lalu. Amerika Serikat telah membawa kembali dunia peradilan pidana ke abad 13 di mana metode yang digunakan dalam administrasi peradilan pidana adalah iquisitorial method ketika pertama kali muncul dalam sejarah peradilan pidana.

Karakteristik penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem model iquisitorial seperti antara lain : dilakukan secara rahasia, tersangka pelaku tindak pidana ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan puhak lain termasuk keluarga, Pemeriksaan saksi terpisah. Tujuan pemeriksaan waktu itu adalah untuk memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka. Apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan

(toture) sampai diperoleh pengakuan. Tertuduh tidak berhak didampingi pembela, tidak ada perlindungan dan jaminan hak asasi. Karakteristik yang demikian sebenarnya telah lama ditinggalkan. Akan tetapi, Amerika dalam penanganan tindak pidana terorisme telah mengangkat kembali administrasi peradilan pidana yang demikian dalam penangganan tindak pidana terorisme. Penahanan para tersangaka di

(17)

Guntanamo, proses penyidikan yang rahasia, dan menghilangkan hak-hak dasar seorang tersangka lainnya telah dihilangkan.81

D. Mekanisme Penegakan Hukum Internasional terhadap Kejahatan Kemanusiaan

1). Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Internasional

Dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokoy dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman.

Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter).

Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg ini, yaitu :

1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace).

2. kejahatan perang (crimes war)

3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).

Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan

81

(18)

demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara.

Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.

Sama halnya dengan mahkamah Nuremberg, mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap 3 (tiga) kejahatan, yaitu : 82

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma) akan membantu penanganan masalah ini dengan 1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace).

2. kejahatan perang (crimes war)

3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).

Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi.

82

Rumusan dan pengertian dari ketiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah Tokyo ini adalah sama dengan apa yang terdapat dalam mahkamah Nuremberg. Hanya saja mengenai

war crimes di Piagam Mahkamah Tokyo dirumuskan sebagai Conventional War Crimes yang diartikan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang tanpa penjelasan lebih lanjut.

(19)

membentuk Pengadilan Pidana Internasional yang permanen bagi para pelaku kejahatan untuk diadili dan membantu para korban, ketika negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannnya. Keberhasilan ini akan bergantung pada meluasnya ratifikasi atas Statuta Roma.

Berdasarkan peraturan umum, peradilan harus dilaksanakan di tempat terjadinya kejahatan selama peradilan tersebut bukan beradilan yang curang dan tidak adil, dan tidak memberlakukan hukuman mati. Peradilan seringkali dirasa lebih efisien dan sangat berpengaruh ketika terjadi di tempat di mana bukti banyak ditemukan, tertuduh dan sebagian besar korban dan saksi tinggal dan menetap dan pihak-pihat tersebut mengenal sistem hukum dan bahasa setempat dengan baik. Namun, di banyak kasus, peradilan yang memenuhi standar hampir tidak pernah mungkin dilaksanakan di negara di mana kejahatan terjadi. Hukum yang mengatur kejahatan demikian mungkin tidak ada atau sistem hukum telah runtuh. Mungkin negara tersebut tidak memiliki sumber daya untuk peradilan yang demikian atau tidak mampu memberikan perlindungan bagi para tersangka, korban, saksi atau pihak lain yang terlibat pengadilan. Jaksa Penuntut mungkin tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan penyelidikan. Mereka juga mungkin dihalang-halangi untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan oleh lembaga eksekutif, karena beberapa dai mereka mungkin terlibat atau oleh aturan-aturan amnesti, permberian maaf dan langkah-langkah yang menyerupai berujung pada impunitas.

Pengadilan di seluruh negara memiliki wewenang dan tugas di bawah hukum internasional, untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di mana pun ke pengadilan. Praktik yuridiksi universal oleh pengadilan nasional tersebut akan sangat bermanfaat pada saat para tersangka mengunjungi atau mencari perlindungan di negara mereka

(20)

atau ketika negara di mana kejahatan terjadi mengekstradisi para tersangka. Yuridiksi universal juga membantu mengisi kekosongan Statuta Roma dengan mengizinkan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma yang akan dibawa ke pengadilan. Namun, jumlah kasus tersebut sepertinya masih akan terbatas pada masa-masa yang akan datang.

Mengapa pengadilan Ad Hoc atas kejahatan internasional tidak langsung dibentuk saat dibutuhkan? Lebih dari setengah abad sejak Nuremberg dan Tokyo, Dewan Keamanan PBB hanya membentuk dua pengadilan kejahatan internasional ad hoc. Meskipun Pengadilan Kejahatan Internasional bagi bekas Yugoslavia yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda, yang dibentuk pada tahun 1994 telah cukup efektif, dimana mayoritas dari mereka yang sudah diketahui terlibat dan mereka dengan kasus-kasus yang akan disidangkan sudah ditahan, keduanya masih terbatas pada kejahatan yang dilakukan di dua wilayah tertentu dan dalam dua peristiwa tertentu saja. Sejak tahun 1993, Dewan Keamanan gagal membentuk pengadilan ad hoc serupa untuk peristiwa berat lain, seperti di Kamboja, Chechnya, Timor Timur, Guatemala, Irak, Liberia, Sierra Leone dan Somalia. Keterlambatan ini sebagian disebabkan oleh mahalnya pembentukan lembaga-lembaga baru dan kurangnya keinginan politik.

Dalam hal ini International Criminal Court akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut International Criminal Court mendapatkan ijin untuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara,

(21)

para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.

Meskipun anggara tahunan International Criminal Court mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena International Criminal Court bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka International Criminal Court jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut International Criminal Court, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.

(22)

2). Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)

Pada malam tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime

against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang)83

83

Diakses dari sit .

Sesuatu yang bersejarah baru saja hadir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama-sama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya Statuta itu. Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan, setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan-hambatan yurisdiksional akan membatasi efektivitasnya pada tahun-tahun awal.

Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar.

(23)

Berikut ini kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan dan eksistensi Mahkamah Internasional, antara lain 84

Mahkamah ini merupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena Mahkamah ini diberlakuka n atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB, meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional Mahkamah ini atas dasar kewenangannya untuk memprakarsai suatu penyelidikan (Pasal 13 dan 16)

:

1. Struktur Mahkamah

85

Pada awalnya, Mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (Pasal 36 ayat 6 dan 9). Paling tidak separuh dari para hakim tersebut memiliki kompetensi di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak lima lainnya mempunyai kompetensi di bidang hukum internasional, misalnya saja hukum humaniter internasional, dan hukum HAM internasional (Pasal 36 ayat 5). Orang-orang ini haruslah memiliki pengalaman praktek yang luas dalam penuntutan atau penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3). Jaksa akan

.

84

Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma.

85

Dalam memilih para hakim, negara pihak harus memperhitungkan perlunya representasi berdasarkan prinsip-prinsip sistem legal di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan jender (Pasal 36 ayat 8). Para hakim akan “disebar” dalam tiga bagian : pra-peradilan, peradilan, dan peradilan banding (Pasal 39). Mayoritas absolut dari Majelis Negara Pihak akan menetapkan jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja sembilan tahun, dan tidak dapat dipilih kembali (Pasal 42 ayat 4).

(24)

bertindak atas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu).

Prinsip yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional” (Pasal 1). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17).

Meskipun Mahkamah mempunyai standar tersendiri untuk menilai sebuah peradilan nasional, Statuta yang ada juga memungkinkan tertuduh atau negara yang bersangkutan untuk menentang campur tangan Mahkamah (Pasal 18 dan 19). Standar untuk menentukan “ketidakbersediaan” untuk menyelidiki atau menyidangkan sangatlah tinggi. Misalnya, keputusan nasional yang diambil dengan tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab kriminal (Pasal 17 ayat 2.a). Seperti halnya untuk menentukan ketidakmampuan memerlukan apa yang disebut sebagai “keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya” (Pasal 17 ayat 3). Prinsip komplementaritas menggarisbawahi bahwa Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak tersedia.

2. Hal-Hal Yang Dapat ditanganai oleh Mahkamah

Para partisipan konferensi menentukan tindak kejahatan apa saja yang dimasukkan dalam yurisdiksi Mahkamah, dan bagaimana menetapkan batasan-batasannya. Mahkamah akan mempunyai yurisdiksi atas tindak kejahatan genocide,

(25)

kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan bahwa Mahkamah akan mempunyai yurisdiksi atas agresi, setelah Mahkamah menegaskan batasan-batasan tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika Mahkamah menjalankan yurisdiksinya. Ada kesepakatan universal bahwa genocide haruslah disertakan, dengan pengertian sebagaimana yang tercantum pada Konvensi Genocide 1948. Sementara, bentuk-bentuk kejahatan yang lain sempat mengundang perdebatan dan sedikit kontroversi.

3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak Piagam Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Memang ada desakan dari beberapa negara untuk membatasi kewenangan Mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan yang terjadi saat berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya tidak memandatkan hal ini, dan hanya membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa Mahkamah tetap memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa damai maupun di tengah konflik bersenjata.

Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah apakah yurisdiksi Mahkamah juga termasuk atas “serangan yang luas atau sistematik yang diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil.” Beberapa negara berargumen bahwa Mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok pembela HAM merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tak perlu

(26)

bagi Mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti bahwa yang terjadi merupakan kebijakan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa rangkaian aksi yang meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup untuk mendukung yurisdiksi Mahkamah.

Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan dengan “Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah sistematik. Statuta juga mensyaratkan adanya “aksi individual yang berkaitan dengan serangan” menimbulkan sugesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang kebijakan yang bersangkutan, untuk bisa dinyatakan bersalah. Persyaratan ini sebetulnya merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yurisdiksi Mahkamah atas jenis kejahatan ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah : perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b) (Pasal 8 ayat 2.b.xxii) (Pasal 8 ayat 2.e.vi). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung dalam hukum internasional yang ada dalam hal ini. Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis

(27)

bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.

4. Kejahatan Perang

Statuta Roma memberikan kepada Mahkamah yurisdiksi atas kejahatan perang baik yang dilakukan dalam konflik internasional maupun internal (Pasal 8 ayat 2). Dimasukkannya konflik bersenjata internal dalam yurisdiksi Mahkamah sangatlah vital, karena kebanyakan konflik bersenjata yang terjadi di dunia dewasa ini terjadi dalam batas-batas suatu negara. Sayangnya, terjadi kompromi untuk tidak mengikutsertakan sejumlah tindak kejahatan yang sebenarnya merupakanpelanggaran serius dalam konflik bersenjata internal. Misalnya saja menimbulkan secara sengaja kelaparan penduduk sipil sebagai salah satu metode memenangkan perang. Ada beberapa upaya yang terus dilakukan dalam seminggu terakhir pembahasan oleh beberapa negara untuk membatasi lebih banyak lagi jangkauan kejahatan di dalam konflik bersenjata internal atau mengusulkan ambang yang menyulitkan Mahkamah dalam menerapkan yurisdiksinya. Untung saja upaya-upaya ini tidak berhasil. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma tentang kejahatan di dalam konflik bersenjata internal harus melalui berbagai argumen sekedar untuk menentukan apakah suatu kejahatan tertentu perlu diatur dalam hukum internasional. Statuta ini termasuk di dalamnya sebuah prasyarat yang menyatakan “Mahkamah mempunyai yurisdksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya apabila dilakukuan sebagai suatu bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.” (Pasal 8 ayat 1). Pernyataan ini merupakan sebuah kompromi antara mereka yang menginginkan Mahkamah untuk mempunyai yurisdiksi hanya ketika sebuah kejahatan perang

(28)

merupakan bagian dari suatu rencana atau bagian dari suatu pelaksanaan yang luas sifatnya, dengan mereka yang menginginkan tidak adanya prasyarat sama sekali. Kata “sebagai suatu bagian” dianggap membatasi yurisdiksi Mahkamah, namun juga memberi jalan pada Mahkamah untuk melakukan suatu tindakan jika keadaan memungkinkan, meskipun tidak ada bukti bahwa ada rencana atau ada pelaksanaan kejahatan perang berskala luas.

Kekecewaan timbul ketika Statuta mencantumkan bahwa perintah atasan dapat digunakan sebagai pembelaan atas tuduhan kejahatan perang. Jika Nuremberg memang benar-benar berarti, ialah bahwa kalimat “saya cuma mengikuti perintah” tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk melakukan kejahatan perang. Bahkan Statuta Pengadilan bagi Yugoslavia dan Rwanda menyatakan dengan tegas bahwa perintah atasan tidak dapat membebaskan seorang individu dari tanggung jawabnya.

Di bawah Statuta Roma, sayangnya, seorang tertuduh dapat menghindar dari tanggung jawab pidananya dengan menunjukkan bahwa ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum (Pasal 33). Statuta Roma ini justru menyimpang dari Piagam Nuremberg dan statuta-statuta pendirian Peradilan HAM internasional yang pernah ada, dengan membuatnya semakin sulit untuk menerapkan atau menghadirkan tanggung jawab seorang atasan secara pidana atas kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah (Pasal 28).

Isu politis yang sentral yang dibahas dalam minggu terakhir Konferensi adalah bagaimana persidangan Mahkamah bisa “dipicu”. Ada kesepakatan yang meluas bahwa Negara Pihaklah yang seharusnya dapat merujuk suatu keadaan tertentu pada Mahkamah. Tapi ada juga debat yang alot mengenai apakah Dewan Keamanan sebaiknya dapat merujuk suatu keadaan tertentu, dan apakah jaksa penuntut dapat

(29)

berinisiatif melakukan suatu penyelidikan atas mosinya sendiri86. Salah satu yang paling kuat menentang kewenangan Dewan Keamanan ini adalah India, yang berargumen bahwa Dewan Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun dalam operasional Mahkamah. Dalam penjelasannya ketika memberikan suara menentang, India menambahkan bahwa “pemberian peran kepada Dewan Keamanan yang tercantum dalam Statuta melanggar hukum internasional.” Dewan Keamanan juga mempunyai wewenang untuk menunda penyelidikan atau penuntutan sampai selama dua belas bulan dan dapat diperbaharui kembali (Pasal 16)87

Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’

.

3). Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional

86

Statuta Roma mengijinkan Dewan Keamanan merujuk atau meneruskan sebuah keadaan atau situasi (dimana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan) kepada Mahkamah, saat memainkan peran sebagaimana yang disebutkan pada Bab VII Piagam PBB (Pasal 13.b).

87

Dalam sudut pandang berkaitan dengan kewenangan ini, sangatlah mengejutkan bahwa mereka yang menentang ICC dalam Kongres Amerika Serikat, macam senator Jesse Helms dan senator Rod Grams, mengkritik Statuta Roma sebagai sebuah upaya untuk memuarakan semua persoalan pada Dewan Keamanan. Grams lebih lanjut mengatakan bahwa Statuta Roma tersebut justru merupakan “sebuah kemenangan besar bagi mereka yang mengkritik Dewan Keamanan selama ini”. Padahal faktanya para pengkritik Dewan Keamanan yang paling keras, seperti India, Irak, dan Libya, justru menolak untuk mendukung Statuta ini, sementara tiga dari lima anggota tetap Dewan Keamanan justru mendukungnya.

(30)

tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.

Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara88

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik

.

89

Di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam

.

88

Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 409.

89

(31)

Piagam PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya, rujukan Negara Pihak dan penyelidikan

propio motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah ditekan, maka Mahkamah dapat melangkah maju hanya jika situasi yang ada melibatkan peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12 ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta, meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaannya atas yurisdiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah (Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak, atau bisa dibilang kebanyakan, negara yang di wilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagaimana yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani Statuta Roma ini. Prakondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan. Harapan kelompok pembela HAM dan pendukungnya adalah pada akhirnya bisa tercapai sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif.

Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yurisdiksi Mahkamah. Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka, dan negara dimana korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan

(32)

negara-negara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini, dan menghasilkan kesepakatan yang hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yurisdiksi yang lain. Mengikutsertakan negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah, memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara perratifikasi yang sedang melakukan misi ke negara non perratifikasi. Mahkamah akan bisa menerapkan yurisdiksinya atas kejahatan perang yang menimpa pasukan penjaga perdamaian, walaupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang tidak menerima yurisdiksi Mahkamah. Ironinya, negara-negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yurisdiksi Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga perdamaian internasional.

Kelompok pembela HAM berargumen bahwa prinsip “yurisdiksi universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yurisdiksi universal adalah sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas, yang menyatakan bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu mempedulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaraan. Sebagai contoh praktis, kemampuan Mahkamah untuk menentukan kejahatan apa saja yang masuk dalam yurisdiksinya akan bisa ditingkatkan jika diberi yurisdiksi universal. Tak perlu banyak komentar kiranya,

(33)

Statuta ini akhirnya, dengan prakondisi yang “ketat” untuk penerapan jurisdiksinya, merefleksikan kemunduran substansial dari jurisdiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecewakan selama Konferensi.

Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut untuk menginisiasi sebuah penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang independen dan efektif merasa bahwa seorang jaksa penuntut dengan wewenang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan cukup jika pengadilan yang ada belumlah efektif dalam menghukum dan mencegah tindakan pidana internasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jka berkaitan dengan kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya, jaksa penuntut yang independen sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang sangat keji dimana kemauan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.

Statuta Roma sangat membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus meyakinkan terlebih dahulu dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan penyelidikan, dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yurisdiksi Mahkamah,” (Pasal 15 ayat 4). Jaksa Penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakuka n oleh otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa otoritas yang ada benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan (Pasal 17 dan 18). Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa

(34)

Penuntut harus menunda proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan memintanya (Pasal 16). Terakhir, Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut90

Seperti diketahui, Amerika Serikat menentang Statuta Roma. Alasan utama yang diberikan oleh AS kenapa mereka “menentang” Statuta Roma adalah bahwa Mahkamah akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah. AS mendesak agar Mahkamah hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara dimana tersangka adalah warganya telah menerima yurisdiksi. Dubes Scheffer mencela basis teritorial bagi yurisdiksi Mahkamah sebagai “sebuah bentuk yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” ini menurutnya,

. Berbagai sistem dan prosedur bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien. Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan, kenyataan bahwa subyek yurisdiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan “saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yurisdiksi Mahkamah juga berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan politik”, cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara tegas dan diterima secara luas.

90

Pihak Amerika Serikat menentang pemberian hak propio motu dengan dasar, seperti yang diungkapkan duta besar David Scheffer, “hanya akan membuat Mahkamah terbebani dengan pengaduan dan pengalihan masalah yang melimpah, sekaligus membuat Mahkamah terlibat dalam kontroversi, pengambilan keputusan politik, dan kebingungan”. Meskipun sang duta besar mengekspresikan perhatian yang mendalam, masih perlu dipertanyakan apakah yang diperingatkannya itu benar-benar “membahayakan” keseluruhan Statuta.

(35)

“bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari hukum perjanjian”. Meskipun ungkapan itu bisa dibilang keras, tidak ada yang luar biasa jika sebuah negara punya kuasa untuk memutuskan bagaimana menghakimi sebuah kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, terutama jika kejahatan itu termasuk diantara yang paling serius yang bisa dibayangkan. Memang kenyataannya, basis teritorial bagi yurisdiksi memang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari kewarganegaraan. Sangat mengejutkan jika pemerintah AS mengklaim bahwa negara-negara yang berdaulat punya yurisdiksi yang terbatas di wilayah mereka sendiri91

Dewasa ini berkembang wacana di dunia internasional untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internasl negara-negara berdaulat agar menghentikan kekejaman dan penindasan sistematis. Kewajiban tersebut dalam jangka waktu yang panjang serta meluas, diucapkan oleh Theoore Roosevelt pada

.

Kalau dianalisa lebih lanjut, ada banyak kompromi dibuat oleh negara-negara yang ikut Konferensi Roma dengan maksud menghasilkan sebuah perjanjian yang bisa mendapatkan dukungan luas. Hasil yang dicapai tidak seperti yang diharapka n oleh kelompok-kelompok pembela HAM, meskipun di beberapa bagian justru melenceng lebih jauh dari yang diharapkan oleh beberapa negara. Tapi yang jelas, Statuta Roma ini menyediakan sebuah kerangka (framework) dari keadilan internasional bagi generasi mendatang. Pengorbanan nyawa manusia dan penderitaan akibat rantai impunity akan semakin panjang jika kita tidak memberi kesempatan bagi kerangka kerja ini untuk diterapkan.

91

AS dengan cerdik merujuk pada “yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” yang secara akurat menegaskan bahwa sebuah perjanjian atau Statuta tidak dapat mengikat negara-negara yang bukan penandatangan. Statuta Roma ini, walau bagaimanapun, tidak menyetujui yurisdiksi Mahkamah atas “negara manapun”.Selebihnya, Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas individu, dan tidak mengikat negara yang bukan termasuk Negara Pihak. Beberapa negara tertentu tidak mempunyai kewajiban, misalnya, untuk menyerahkan tersangka, bekerja sama dalam penyelidikan, atau melakukan hal-hal lainnya.

(36)

masa transisi abad ke-2092

Ketika ahli-ahli hukum internasional pada awal-awal abad seperti Grotius dan Vattel mencari definisi dari peperangan demi “keadilan”, mereka terus menerus memasukkan alasan penyelamatan bagi rakyat tertindas. Jika untuk berdirinya negara, tirani menjadi demikian tak tertahankan kekejamannya, setiap kekuatan asing berhak untuk menolong rakyat yang tertindas, yang meminta bantuannya

. Ia menaruh perhatian untuk menjustifikasi peperangan untuk membatasi tindakan barbar Spanyol di Panama dan Kuba, yang juga dalam rangka mengamankan kepentingan Amerika Serikat. Pada abad ke-19, terjadi intervensi sporadis oleh kekuatan Eropa terhadap kekaisaran Ottoman Turki, yang didorong oleh pembunuhan massal kaum Nasrani di Bosnia, Kreta dan Syria. Ekspedisi hukuman ini dibenarkan atas nama agama tanpa banyak masalah tentang keabsahannya.

93

Kesulitan muncul dalam hukum ketika korban-korban bukanlah penduduk mayoritas dari negara. Mereka hanya merupakan rakyat dari sebuah propinsi atau sekelompok ras tertentu atau keduanya. Kita bisa membayangkan betapa konyoknya sebuah tuntutan yang dibuat atas nama mereka, yang ditunjukkan dalam tuntutan

. Inilah perkembangan yang logis dari teori Locke tentang pemerintahan yang didasarkan atas persetujuan bersama. Jika para tiran dapat dijatuhkan ketika mereka menyalahgunakan kekuasaannya dan membunuh rakyat, maka rakyatnya wajib dilindungi. Dengan demikian, pemerintahan negara dapat dipandang sah memberikan ‘bantuan kemanusiaan”. Sesungguhnya jika tirani dipandang sebagai kekuatan colonial yang melakukan kekejaman yang meluas dan ditentang oleh mayoritas penduduk asli (rakyatnya), maka hak akan “bantuan kemanusiaan” merupakan hak dalam mendukung penentuan nasib sendiri.

92

Geoffrey Robertson QC, op.cit, hal. 499-500.

93

Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of Humanitarian Intervention, Stanford International Law Journal, 1987, hal. 23.

(37)

Hitler, sebagai hak untuk menginvasi Cekoslowakia untuk melindungi minoritas Jerman dari tuduhan kebrutalan bangsa Chez. Dengan dasar itu pula, Hitler menginvasi Polandia untuk menyelamatkan minoritas Jerman dari tuduhan tidak manusiawinya bangsa Polandia.

Bagaimanapun Hitler telah memberikan label buruk pada hak untuk melakukan “intervensi kemanusiaan”. Namun, kemudian terdapat preseden-preseden dari abad ke-20 yang lebih baik. Setelah Perang Dunia I, ketika hak-hak minoritas diatur oleh Liga Bangsa-Bangsa, pertanyaan tentang pemisahan diri disebut dalam dua laporan para ahl hukum yang meminta Liga menentukan hari depan kepulauan Aalan milik Finlandia. Mereka melaporkan pada tahun 1920, bahwa Liga berhak mempertimbangan tuntutan kelompok minoritas untuk memisahkan diri jika terjadi perlakukan kejam yang nyata dan berkelanjutan, yang mengakibatkan kerusakan sebagian atau seluruh penduduk sebuah negara94

Kasus kepulauan Aalan inilah yang membayangi Kosovo, tahun 1999, sebuah propinsi yang terbentuk oleh sejaran, terdiri dari 90% orang Albania muslim yang dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka karena perlakuan yang kejam dari Milosevic terus berlanjut terhadap kekuatan Serbia yang berdaulat. Jika Kosovar (penduduk Kosovo), telah mempunyai hak untuk memisahkan diri, apakah jeritan mereka untuk meminta bantuan mewajibkan NATO untuk menanggapinya ? Ini tergantung pada apakah setiap hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau hak mendukung upaya pemisahan diri dapat diperbolehkan di luar ikatan rejim hukum internasional yang dibuat oleh Piagam PBB. Pertanyaan ini juga berlaku pada setiap persetujuan internasional yang lainnya

.

95

94

Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27-33, dikutip di dala

. Hal mana sebenarnya di dalam Pasal 7 dari

North Atlantic Treaty gugur, bahwa keanggotaan NATO tidak mempengaruhi

95

(38)

tanggung jawab utama dari Dewan Keamanan PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Selanjutnya di dalam Pasal 27 Piagam PBB, memperbolehkan PBB sendiri untuk melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang pada dasarnya berada dalam “yurisdiksi domestic dari negara-negara manapun”, namun hanya dalam rangka penerapan tindakan-tindakan penegakan oleh Dewan Keamanan yang terlebih dahulu harus “menentukan ada tidaknya ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi lainnya”96

Untuk memenuhi “perang demi keadilan” yang diperbolehkan oleh Bab VII dari Piagam PBB, kecaman Dewan Keamanan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan kemanusiaan tidaklah cukup. Harus adar resolusi untuk menggunakan

. Kemudian jika tindakan-tindakan dari kekerasan bersenjata masih tidak mencukupi, Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau kekuatan darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.

Argumentasi dari mereka yang melontarkan kritik-kritik pada tindakan NATO adalah bahwa organ PBB ini wewenangnya mencakup hal intervensi yang implikasinya kemudian menghilangkan setiap hak-hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan yang didasarkan pada hukum kebiasaan, baik itu dari suatu negara atau sebuah kelompok regional, tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan. Hal ini bertujuan untuk menambah kepercayaan mereka dan tak satupun tindakan dapat diambil di bawah pengaturan-pengaturan badan regional tanpa pemberian wewenang dari Dewan Keamanan, walaupun dalam kenyataannya hal itu merujuk pada situasi-situasi dimana PBB telah mempergunakan badan-badan regional.

96

(39)

kekerasan yang disetujui oleh setidaknya 9 dari 15 anggota dan tidak ada satupun dari lima anggota permanent, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis dan Inggris yang melemparkan veto.

Hak untuk intervensi kemanusiaan muncul dalam keadaan darurat, untuk menghentikan tindakan kriminal terhadap kemanusiaan yang terus berlanjut. Tidak pernah disarankan bahwa catatan hak asasi manusia yang buruk kemudian tanpa menjustifikasi intervensi bersenjata. Pendapat International Court of Justice tentang kasus “Nicaragua” melumpuhkan hipotesa “hak melakukan intervensi ideology” yang seringkali menjustifikasi destablisasi sistem politik tertentu. Tidak diputuskan apakah sebuah kelompok regional negara-negara berhak untuk menggunakan kekerasan guna menghentikan negara lain dimana pembunuhan massal atau sebagian penduduk sedang berlangsung. Sesungguhnya International Court of Justice terus menekankan bahwa Piagam PBB tidak mencakup keseluruhan area peraturan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional terus ada untuk hidup bersama dengan hukum perjanjian, misalnya Piagam PBB97

Apakah hak intervensi kemanusiaan benar-benar eksis dalam hukum kebiasaan menjadi isu yang dihindari oleh International Court of Justice, dua bulan setelah pemboman NATO terhadap Yugoslavia. International Court of Justice

menolak permintaan Yugoslavia yang meminta adanya “tindakan sementara (provisional measure)”. International Court of Justice menyatakan keprihatian yang mendalam atas penggunaan kekerasan di Yugoslavia. Mungkin hal ini terjadi karena

International Court of Justice mempunyai tanggung jawab di bawah Piagam PBB untuk membantu memelihara perdamaian dan keamanan dan situasi saat itu (pemboman) menjadi isu hukum internasional yang paling serius. Bodohnya

.

97

Sebagian pakar hukum berpendapat, bahwa kritik yang dilontarkan pada NATO adalah salah. Piagam PBB tidak mengatur masalah itu dan meniadakan penggunaan kekerasan senjata sesuai dengan kaidah hukum kebiasaan yang telah mengkristal secara bebas terlepas dari hukum perjanjian.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penerapan PBL terhadap kemampuan komunikasi matematis ditinjau dari level sekolah menunjukkan bahwa untuk level sekolah tinggi siswa yang lebih baik daripada

Retribusi pemerikasaan alat pemadam kebakaran, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan pemeriksaan dan atau

• BANYAK TAHAPAN DALAM PROSES SELEKSI DAN URUTANNYA BERVARIASI TIDAK HANYA PADA ORGANISASI, TETAPI JUGA PADA TIPE DAN TINGKATAN PEKERJAAN YANG AKAN DIISI , BIAYA PELAKSANAAN,

Sedangkan kekurangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini antara lain dari SDM dengan kualifikasi yang dibutuhkan masih kurang, masih ada pelaksana yang belum

Pada permulaan tahun 1970 an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan yang berhubungan dengan Marina Pollution pada dasarnya sama

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada setiap setiap proses dengan pengadukan dan tanpa pengadukan, penjerapan ion logam Pb 2+ meningkat seiring dengan peningkatan bobot

Hasil uji aktivitas rebusan seduhan dan perasan daun sirsak gunung terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli setelah diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37˚C

Dari hasil evaluasi penilaian yang dilakukan terhadap website Bina Darma mendapatkan skor 85 yang berarti website Bina Darma dinyatakan acceptable termasuk dalam grade