• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIK RITUAL SESAJI ANAK GUNUNG KELUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA SIMBOLIK RITUAL SESAJI ANAK GUNUNG KELUD"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA SIMBOLIK RITUAL SESAJI ANAK GUNUNG KELUD

Annisaul Dzikrun Ni mah1 Dwi Sulistyorini, Musthofa Kamal.

Universitas Negeri Malang Email: annisaul.dzikrun@gmail.com

Abstract: The objective of this research: to describe (1) processions, and (2) meanings, and nonverbal symbols in offering ritual ceremony of child of kelud mountain. Data collection: deep interview and observation. Methods: qualitative descriptive and semiotics approach. The research results (1) processions, (a) preparation and (b) execution: departing, handover of the offerings, burning the ubo rampen, communicating, ujub, prayer, fighting over the offerings (2) meanings, and nonverbal symbols (a) processions and clothes, (b) sacred symbols: pundhen, ritual symbols: buceng kuat, lodho sego gurih, buceng kendit, sego punar, buceng towo, keleman, jajan pasar, jenang reno pitu, kembang setaman, sisir, bedak, cermin, cok bakal, and ubo rampen.

Abstrak: Tujuan penelitian ini mendeskripsikan (1) prosesi, dan, (2) makna dan simbol nonverbal ritual sesaji anak gunung kelud. Pengumpulan data: wawancara mendalam dan observasi. Metode: kualitatif deskriptif dan pendekatan semiotika. Hasil penelitian (1) prosesi (a) persiapan (b) pelaksanaan: pemberangkatan, serah terima sesaji, pembakaran ubo rampen, komunikasi, ujub, doa, dan berebut sesaji, (2) makna dan simbol nonverbal (a) prosesi dan baju, (b) simbol keramat: pundhen, simbol ritual: buceng kuat, lodho sego gurih, buceng kendit, sego punar, buceng towo, keleman, jajan pasar, jenang reno pitu, kembang setaman, sisir, bedak, cermin, cok bakal, dan ubo rampen.

Kata Kunci: Makna simbolik, Ritual, Sesaji, Gunung Kelud

Upacara adat termasuk dalam folklor sebagian lisan. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan (Danandjaja, 2002:195). Pada pelaksanaan upacara adat dibutuhkan ubo rampen atau sesaji. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makan secara simbolik kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia (Endraswara, 2003b:195). Gunung Kelud merupakan salah satu Gunung berapi di Jawa Timur yang memiliki upacara adat karena kepercayaan masyarakat yang begitu kuat terhadap kekuatan gaibnya. Setiap tahunnya di Gunung Kelud diadakan upacara adat yang disebut dengan ritual sesaji. Acara ini merupakan tradisi tahunan yang ada sejak zaman nenek moyang dan diwariskan kepada generasi penerus untuk dilestarikan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan

1

(2)

prosesi, serta makna dan simbol dalam upacara adat ritual sesaji anak Gunung Kelud.

METODE

Data dalam penelitian ini adalah kata-kata hasil wawancara dengan informan dan tindakan pelaku upacara pada upacara adat ritual sesaji. Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara mendalam dan observasi. Sumber data pada penelitian ini adalah informan yaitu Kepala Desa Sugihwaras, sesepuh Desa Sugihwaras, dan peristiwa upacara adat ritual sesaji. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memiliki karakteristik deskriptif. Untuk menganalisis simbol-simbol yang terdapat pada upacara ritual ini digunakan pendekatan semiotika. Instrumen pengumpulan data berupa

pedoman wawancara, pedoman pengamatan, alat perekam, kamera, dan alat tulis. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah pengumpul data, sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Penelitian ini dilakukan di kawasan wisata Gunung Kelud dan Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Desember 2011 sampai Februari 2012.

Makna dan simbol dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika signifikasi menghasilkan fungsi-fungsi tanda yang disepakati secara konvensional oleh masyarakat Desa Sugihwaras. Teori semiotika komunikasi digunakan untuk mengungkap maksud-maksud tertentu secara fisik dalam prosesi upacara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian, dan verifikasi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Penyajian data dilakukan dengan uraian singkat. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.Verifiksi data yaitu mengambil kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara; dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan adalah temuan yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori (Sugiyono, 2008: 246 253). Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi yaitu mengulang atau klarifikasi dengan aneka sumber. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori. HASIL

Asal usul upacara adat ritual adalah dari sejarah terjadinya kawah Gunung Kelud. Masyarakat sekitar Gunung Kelud secara turun temurun mengadakan

(3)

upacara adat ritual yang dahulunya disebut larung sesaji Gunung Kelud dan kini menjadi upacara adat ritual sesaji Anak Gunung Kelud.

Tujuan Upacara Adat Ritual Sesaji. Tujuan dari upacara adat ritual sesaji adalah meminta keselamatan kepada Tuhan agar masyarakat desa Sugihwaras dan sekitarnya diberi keselamatan, misalnya ada bencana jangan sampai ada korban. Upacara tersebut juga meminta berkah agar masyarakat yang bercocok tanam diberikan hasil yang memuaskan. Hal itu disebabkan karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat desa Sugihwaras adalah berkebun.

Tahapan Upacara Adat Ritual Sesaji. Upacara ritual sesaji terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan terdiri dari ritual ke pundhen Mbah Sumber dan Mbah Ringin sebagai simbol meminta izin kepada dhanyang desa tersebut agar ritual sesaji berjalan lancar. Memasak sesaji yang dilakukan oleh perempuan yang sudah menopause. Persiapan selanjutnya adalah pembersihan jalan yang dilakukan oleh sesepuh Desa Sugihwaras

dilakukan pada malam hari sebelum ritual sesaji dilaksanakan. Upacara adat ritual sesaji dilaksanakan pada hari Minggu Pon tanggal 11 Desember 2011. Upacara dimulai pada pukul 09.00 10.00 WIB. Bertempat di lokasi wisata Gunung Kelud. Prosesi ritual sesaji yaitu 1) pemberangkatan menuju lokasi ritual

didahului oleh Ratu sebagi cucuk lampah, serta pembawa sesaji, 2) serah terima sesaji, 3) arak-arakan sesaji menuju pelataran di atas terowongan Ganesha, 4) mempersiapkan sesaji, 5) pembakaran ubo rampen sesaji, 6) komunikasi dengan makhluk gaib penghuni Gunung Kelud, 7) penyampaian sesaji, 8) pembacaan doa, dan 9) memperebutkan sesaji. Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Suro

(Muharam).

Makna Tanda Nonverbal Pada Upacara Adat Ritual Sesaji. Prosesi pertama pada ritual sesaji yaitu serah terima kembang setaman yang diberikan oleh Bupati/Camat kepada petugas merupakan simbol penyerahan sesaji dari Bupati kepada sesepuh desa Ngancar. Hal itu bermakna bahwa meskipun dana dari pemerintah Kabupaten Kediri, tetapi pelaksanaan acara ritual sesaji diserahkan sepenuhnya kepada sesepuh Desa Sugihwaras. Prosesi selanjutnya yang memiliki makna simbolik adalah pembakaran ubo rampen, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta. Ubo rampen dibakar oleh Mbah Ronggo. Makna yang terkandung adalah ubo rampen ini hanya dibakar oleh juru kunci yang dipercaya suguh di sana.

Prosesi selanjutnya yaitu mengheningkan cipta dengan memegang ubo rampen yang telah dibakar, diikuti dengan menghentakkan tangan ke tanah sebanyak tiga kali. Prosesi ini bermakna komunikasi dengan alam gaib yaitu penghuni GunungKelud. Prosesi selanjutnya adalah ujub oleh Mbah Ronggo. Prosesi tersebut bermakna masrahne atau menyampaikan. Prosesi selanjutnya yaitu pembacaan doa oleh Kyai Ja is. Pembacaan doa secara islam mengandung makna agar masyarakat yang mengikuti ritual sesaji tetap mengingat bahwa tujuan utama dalam berdoa adalah meminta kepada Allah sedangkan ritual sesaji ini hanya sebagai sarana untuk menghormati keberadaan makhluk halus yang harus dihargai. Sedangkan sesaji yang diberikan adalah sebagai lambang penghormatan kepada tokoh makhluk halus yang dituju.

Prosesi selanjutnya yang memiliki makna simbolik yaitu berebut sesaji setelah didoakan. Bagi masyarakat yang mempercayai, prosesi ini bermakna berebut berkah. Selain pada prosesi upacara, juga terdapat simbol nonverbal pada

(4)

baju yang digunakan oleh para sesepuh dan pinisepuh, serta perangkat desa. Makna dari pakaian hitam adalah penghuni Gunung Kelud menyukai warna hitam. Oleh karena itu, untuk menghormati penghuni Kelud, para sesepuh menggunakan pakaian hitam.

Sesaji pada upacara adat ritual sesaji adalah sebagai berikut. 1) Buceng kuat, 2) lodho sego gurih, 3) buceng kendit, 4) sego punar, 5) buceng towo, 6) keleman, 7)jajan pasar, 8) jenang reno pitu, 9) kembang setaman, 10)sisir, bedak, cermin, 11) cok bakal, dan12)ubo rampen.

Makna yang Terkandung dalam Sesaji pada Upacara Adat Ritual Sesaji Pertama, buceng kuat. Buceng kuat adalah buceng yang bagian ujungnya berupa ketan. Buceng ini merupakan simbol kekuatan. Makna dari buceng kuat adalah masyarakat meminta keselamatan, kekuatan dalam kehidupan. Buceng kuat memiliki perlengkapan pendamping yang berupa jenang sengkolo, sego golong, kulup, tahu tempe, podo moro, mi, dan telur. Jenang sengkolo adalah simbol meminta keselamatan. Jenang ini berupa bubur beras berwarna merah yaitu bubur yang diberi gula merah dan di atasnya diberi sedikit bubur putih. Sengkolo yang berarti malapetaka, penggunaan jenang sengkolo pada ritual sesaji adalah sebuah harapan masyarakat Desa Sugihwaras agar diberikan keselamatan apabila terjadi musibah dan mencegah malapetaka yang telah terjadi agar tidak terulang lagi. Sego golong adalah nasi biasa yang dipelang dengan daun pisang. Nasi ini berukuran satu kepalan tangan yang berjumlah tujuh pelang. Makna sego golong adalah menyatukan tujuh hari, tujuh malam, lima pasaran, tiga puluh hari, dua belas bulan, empat minggu, tepatnya di hari itu (Minggu pon). Sego golong bermakna kemajemukan waktu dan hari.

Kedua, lodho sego gurih disebut juga sekul suci ulam sari adalah sesaji yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam.

Penggunaan sesaji ini adalah sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dari Nabi supaya diijabahi oleh Allah. Lodho sego gurih berasal dari kata tuladha yang bermakna contoh. Selain kepada Nabi Muhammad, sesaji ini juga ditujukan kepada Sunan Kalijaga. Lodho sego gurih terdiri dari ayam lodho, nasi gurih, pisang rojo temen (asli) satu tangkep, sambal goreng, mi, srundeng, buah-buahan.

Ketiga, buceng kendit adalah buceng yang dilingkari nasi kuning di tengahnya. Buceng ini adalah simbol hubungan antara penghuni Kelud dengan Laut Selatan.

Keempat, sego punar atau nasi kuning yaitu nasi yang dimasak dengan sedikit parutan kunyit sehingga berwarna kuning bersih. Sego punar adalah simbol kebersihan. Makna nasi kuning adalah membersihkan sesuatu yang tidak baik. Sego punar terdiri dari sambal goreng kering, srundeng, lodho.

Kelima, buceng towo adalah buceng yang dibuat dari nasi biasa, tetapi ujungnya juga berupa ketan seperti buceng kuat. Buceng towo adalah simbol kekebalan. Berasal dari kata towo/tawar yang berarti kebal. Makna buceng towo adalah jangan sampai ada pengganggu yang berhasil mengganggu, selain itu agar pengganggu tersebut takut karena ada sesuatu yang kebal tersebut. Buceng towo digunakan untuk ritual malam, tujuannya nyaponi jalan agar tidak terjadi

kecelakaan. Buceng towo terdiri dari ayam panggang tanpa rasa, cok bakal, wedang pahitan dan kelapa hijau.

(5)

Keenam, keleman adalah simbol keselamatan dalam bercocok tanam. Penggunaan keleman bertujuan agar tanaman tidak diganggu hama dan untuk memberitahu among tani. Perlengkapan keleman terdiri dari dua macam, yaitu polo gemandul dan polo pendem yang dikukus. Polo gemandul yaitu kacang panjang, pisang rebus, dan waluh. Polo pendem yaitu kacang tanah, garut, ketela rambat, ganyong, gothe, uwi, ketela pohon,

Ketujuh, jajan pasar pada ritual sesaji adalah simbol keramaian. Maksud penggunaan jajan pasar adalah sebuah harapan supaya pengunjung wisata Gunung Kelud ramai seperti pasar. Jajan pasar terdiri dari bermacam-macam makanan ringan yang biasa tersedia di pasar.

Kedelapan, jenang reno pitu disebut juga jenang Suro adalah jenang yang berupa kacang, kedelai, koro dan jenis kacang-kacangan yang lain yang berjumlah tujuh macam. Jenang ini juga berjumlah tujuh warna yaitu putih, hitam, biru, merah muda/merah, oranye, coklat, abu-abu. Jenang ini disebut jenang Suro karena jenang ini digunakan hanya pada waktu ritual pada bulan Suro. Makna jenang renopitu ini adalah mengambil makna dari arah papat kiblat limo pancer dan hari pasaran serta warnanya. Nama lain dari jenang ini adalah jenang tulak.

Kesembilan, kembang setaman terdiri dari air, bunga kenanga, bunga mawar, bunga kantil, daun beringin, andong, puring, tunas pohon pisang raja kecil, mayang, dan daun jambe. Makna dari kembang setaman dalam ritual sesaji adalah ritual di desa Sugihwaras ini akan berkesinambungan seterusnya, sebagai simbol penyiram penghuni kelud agar tenteram, dan simbol menyambung kehidupan yang memiliki hajat.

Kesepuluh, sisir, bedak, dan cermin ditujukan kepada penghuni gunung kelud yang berjenis kelamin wanita yaitu Nyai Gadung Melati. Makna sisir, bedak, cermin adalah perlengkapan untuk berhias bagi wanita.

Kesebelas, cok bakal adalah simbol bibit dhanyang bumi, yaitu makhluk halus yang menguasai bumi. Cok bakal terdiri dari bunga telon, telur, bumbu dapur (teri, bawang merah, bawang putih, lombok), janur, korek, rokok gudang garam kobot, sirih, uang, badeg ketan hitam, kendi kecil.

Keduabelas, ubo rampen untuk sesaji terdiri dari dupa ratus, gondo wangi, kemenyan, kembang wangi, jerami (merang), candu. Ubo rampen adalah

peralatan yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan sesaji kepada roh yang dituju. Selain itu juga sebagai simbol untuk pasrah sesaji dan untuk

memanggil roh yang akan diberi sesaji. PEMBAHASAN

Prosesi Upacara Adat Ritual Sesaji

Upacara ritual sesaji terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan terdiri dari ritual ke pundhen Mbah Sumber dan Mbah Ringin sebagai simbol meminta izin kepada dhanyang desa tersebut agar ritual sesaji berjalan lancar. Memasak sesaji dilakukan oleh perempuan yang sudah menopause. Masakan tersebut tidak boleh dicicipi karena makanan setelah dicicipi adalah makanan sisa. Persiapan selanjutnya adalah pembersihan jalan yang dilakukan oleh sesepuh Desa Sugihwaras dilakukan pada malam hari sebelum ritual sesaji dilaksanakan. Pembersihan jalan ini bertujuan agar pengunjung yang yang melintasi jalan yang dianggap rawan kecelakaan bisa selamat sampai tujuan. Ritual ini dilakukan dengan cara meletakkan cok bakal di

(6)

tempat rawan tersebut. Cok bakal digunakan sebagai tumbal/upah kepada makhluk halus tersebut. Ritual ini juga mencegah hujan turun saat pelaksanaan ritual sesaji di anak Gunung Kelud. Upacara adat ritual sesaji dilaksanakan pada hari Minggu Pon tanggal 11 Desember 2011. Upacara dimulai pada pukul 09.00 10.00 WIB. Bertempat di lokasi wisata Gunung Kelud. Pemilihan hari Minggu didasarkan pada hari libur yang bertujuan untuk menarik wisatawan.

Prosesi ritual sesaji yaitu 1) pemberangkatan menuju lokasi ritual

didahului oleh Ratu sebagi cucuk lampah, serta pembawa sesaji, 2) serah terima sesaji, 3) menuju pelataran di atas terowongan Ganesha, 4) mempersiapkan sesaji, 5) pembakaran ubo rampen sesaji, 6) komunikasi dengan makhluk gaib penghuni Gunung Kelud, 7) penyampaian sesaji, 8) pembacaan doa, dan 9) memperebutkan sesaji. Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Suro (Muharam). Makna Tanda Nonverbal pada Upacara Adat Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud

Makna nonverbal pada upacara adat ritual sesaji terdapat pada prosesi, simbol keramat, dan simbol ritual. Prosesi pertama pada ritual sesaji yaitu serah terima kembang setaman yang diberikan oleh Bupati/Camat kepada petugas merupakan simbol penyerahan sesaji dari Bupati kepada sesepuh desa Ngancar. Hal itu bermakna bahwa meskipun dana dari pemerintah Kabupaten Kediri, tetapi pelaksanaan acara ritual sesaji diserahkan sepenuhnya kepada sesepuh Desa Sugihwaras.

Prosesi selanjutnya yang memiliki makna simbolik adalah pembakaran uborampen, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta. Ubo rampen dibakar oleh Mbah Ronggo. Makna yang terkandung adalah ubo rampen ini hanya dibakar oleh juru kunci yang dipercaya suguh di sana. Prosesi selanjutnya yaitu

mengheningkan cipta dengan memegang ubo rampen yang telah dibakar, diikuti dengan menghentakkan tangan ke tanah sebanyak tiga kali. Prosesi ini bermakna komunikasi dengan alam gaib yaitu penghuni Gunung Kelud. Prosesi selanjutnya adalah ujub oleh Mbah Ronggo. Prosesi tersebut bermakna masrahne atau

menyampaikan.

Prosesi selanjutnya yaitu pembacaan doa oleh Kyai Ja is. Pembacaan doa secara islam mengandung makna agar masyarakat yang mengikuti ritual sesaji tetap mengingat bahwa tujuan utama dalam berdoa adalah meminta kepada Allah sedangkan ritual sesaji ini hanya sebagai sarana untuk menghormati keberadaan makhluk halus yang harus dihargai. Sedangkan sesaji yang diberikan adalah sebagai lambang penghormatan kepada tokoh makhluk halus yang dituju. Selain itu, sesaji juga sebagai sarana dalam bersedekah kepada masyarakat yang

mengikuti seperti ajaran Nabi Muhammad yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga. Dalam kaitannya dengan hal ini Hadisutrisno (2009:154) menyatakan bahwa sesaji yang sebelumnya mempunyai maksud untuk berbakti kepada roh halus sedikit demi sedikit diubah oleh Sunan Kalijaga sehingga menjadi tata cara pemberian sedekah kepada fakir miskin, tetangga dekat, sanak keluarga, famili dan sebagainya.

Prosesi selanjutnya yang memiliki makna simbolik yaitu berebut sesaji setelah didoakan. Bagi masyarakat yang mempercayai, prosesi ini bermakna berebut berkah karena semakin banyak yang didapat maka semakin banyak berkah yang diperoleh. Selain pada prosesi upacara, juga terdapat simbol

(7)

nonverbal pada baju yang digunakan oleh para sesepuh dan pinisepuh, serta perangkat desa. Makna dari pakaian hitam adalah penghuni Gunung Kelud menyukai warna hitam. Oleh karena itu, untuk menghormati penghuni Kelud, para sesepuh menggunakan pakaian hitam. Pakaian hitam yang digunakan

sesepuh salah satunya berupa beskap yang dilengkapi dengan benik kancing baju di sebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam benik itu adalah

hendaklah orang Jawa dalam melakukan semua tindakan dalam hal apapun becike diniknik, diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain (Hadisutrisno, 2009:87). Pemakaian udheng mempunyai makna bahwa para sesepuh dianggap lebih mudheng (paham) tentang hidup dan upacara ritual sesaji.

Makna nonverbal selanjutnya terdapat pada simbol keramat berupa pundhen. Terdapat dua pundhen di Desa Sugihwaras yaitu pundhen Mbah Ringin dan Pundhen Mbah Sumber. Pundhen Mbah Sumber berupa makam dan sumber mata air. Sumber mata air inilah yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Kecamatan Ngancar. Oleh karena itu, dhanyang Mbah Sumber ini seolah-olah adalah pahlawan yang dihormati karena telah berjasa menebang hutan dan menemukan mata air yang saat ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Margomulyo Sugihwaras sampai dengan Ngancar. Untuk itulah masyarakat mendoakan atau menghormati pahlawan yang telah berjasa bagi desa itu.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Suyono (2009:121) menyatakan bahwa dhanyang akan dimintai berkah pada upacara perkawinan, sebelum mengerjakan tanah persawahan atau sebelum memetik hasil panen. Sesaji yang dibawa untuk ritual di pundhen ini adalah lodho sego gurih dan cok bakal. Setelah diujubkan dan membagikan sesaji kepada masyarakat yang mengikuti kenduri, kemudian meletakkan cok bakal dan sego kokoh yang terdiri dari (leher ayam, sayap ayam, dan kaki ayam) di pundhen tersebut. Tujuannya adalah supaya orang yang memiliki hajat tersebut diberi keselamatan dan dikabulkan apa yang diinginkan.

Bar diujubne niko dipendet niku sego kokoh gulu, swiwi kalih cakar niku

ditinggal ten mriku kalian cok bakal (Setelah diujubkan diambil sego kokoh leher ayam, sayap ayam, dan kaki ayam diletakkan di situ dan cok bakal).

Pundhen Mbah Ringin ini berupa satu pohon beringin yang terpecah menjadi tiga bagian karena akarnya yang menjulur ke tanah sehingga membentuk pohon baru. Menurut Suyono (2009:216) Waringin menurut kepercayaan orang Jawa, di antara pohon-pohon keramat, Waringin (beringin) menempati urutan yang pertama. Pohon Waringin dipercaya sebagai tempat hunian hantu-hantu yang berkuasa. Adapun cara berdoa dan perlakuan masyarakat terhadap pundhen ini sama dengan pada pundhen Mbah Sumber.

Makna nonverbal juga terdapat pada simbol ritual yaitu sesaji. Makna dari masing-masing tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama,buceng kuat adalah buceng yang bagian ujungnya berupa ketan. Buceng ini merupakan simbol kekuatan. Makna dari buceng kuat adalah

masyarakat meminta keselamatan, kekuatan dalam kehidupan. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian yang diperuntukkan bagi Yang Kuasa dengan tujuan menyenangkan mereka disebut Selamatan. Jenang sengkolo adalah simbol meminta keselamatan. Sengkolo yang berarti malapetaka, penggunaan jenang sengkolo pada ritual sesaji adalah sebuah harapan masyarakat Desa Sugihwaras agar diberikan keselamatan apabila terjadi musibah

(8)

dan mencegah malapetaka yang telah terjadi agar tidak terulang lagi. Makna sego golong adalah menyatukan tujuh hari, tujuh malam, lima pasaran, tiga puluh hari, dua belas bulan, empat minggu, tepatnya di hari itu (Minggu pon). Sego golong bermakna kemajemukan waktu dan hari. Sejak masih dalam rahim sang ibu, manusia dibayang-bayangi oleh Naga Kala atau bahaya. Ketika manusia telah lahir, maka harus berhati-hati pula karena segala penjuru mata angin selalu ada Naga Kala itu (Doyodipuro, 2005:580). Oleh karena itu, manusia memiliki ancaman bahaya pada waktu, hari, minggu, bulan dan tahun tertentu. Sehingga manusia berusaha untuk meminta keselamatan dengan menggunakan sego golong yang berarti mengumpulkan hari, minggu, bulan dan tahun kemudian hari yang digunakan untuk ritual sehingga yang bersangkutan diberikan keselamatan atas semua waktu tersebut.

Kedua, sega gurih atau sega wuduk, yakni nasi putih diberi santan, garam dan daun salam sehingga rasanya gurih, nasi ini juga disebut nasi rasul karena nasi ini bagi orang Jawa merupakan permohonan keselamatan dan kesejahteraan Nabi Muhammad saw, para sahabat, bagi penyelenggara dan peserta upacara

(Hadisutrisno, 2009:189 190). Sega wuduk berasal dari kata wudlu (Giri MC, 2010:21). Selain itu, Lodho sego gurih disebut juga sekul suci ulam sari

adalah sesaji yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Penggunaan sesaji ini adalah sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dari Nabi supaya diijabahi oleh Allah. Lodho sego gurih berasal dari kata tuladha yang bermakna contoh. Hal itu dimaksudkan bahwa Nabi

Muhammad adalah tuntunan kita (umat Islam) memberi tuntunan yang baik untuk ritual. Selain kepada Nabi Muhammad, sesaji ini juga ditujukan kepada Sunan Kalijaga yang telah mengubah sesaji yang sebelumnya mempunyai maksud untuk berbakti kepada roh halus sedikit demi sedikit diubah oleh Sunan Kalijaga

sehingga menjadi tata cara pemberian sedekah. Oleh karena itu, selamatan/ritual sesaji ini salah satu sarana untuk bersedekah. Berkaitan dengan hal ini, menurut Giri MC (2010:25) ayam lodho diingkung dimaknai sebagai sikap pasrah dan menyerah atas kekuasaan Tuhan. Orang Jawa mengartikan kata ingkung dengan pengertian dibanda atau dibelenggu. Sedangkan makna dari penggunaan pisang rojo temen (pisang ayu) adalah memberitahu pada tuntunan kita yaitu Siti Fatimah. Lodho sego gurih termasuk jenis sesaji selamatan karena sesaji ini ditujukan kepada rasul dan wali.

Ketiga, buceng kendit adalah buceng yang dilingkari nasi kuning di tengahnya. Buceng ini adalah simbol hubungan antara penghuni Kelud dengan Laut Selatan. Hal itu dapat disimpulkan bahwa makna buceng ini adalah memberitahu penghuni kedua tempat itu supaya tidak mengganggu upacara ini. Seperti yang terdapat pada legenda terbentuknya kawah yaitu, Joto Suro dan Maeso Suro yang meminta bantuan pada Nyi Roro Kidul. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, makhluk-makhluk mengerikan; hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesaji ini disebut sebagai penulakan.

Keempat, sego punar atau nasi kuning yaitu nasi yang dimasak dengan sedikit parutan kunyit sehingga berwarna kuning bersih. Sego punar adalah simbol kebersihan. Makna nasi kuning adalah membersihkan sesuatu yang tidak baik. Maksud penggunaan sego punar dalam ritual ini ditujukan kepada Nyi Roro Kidul (Ratu Mas) dan bala tentaranya agar tidak mengganggu acara ini. Dalam

(9)

kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, makhluk-makhluk mengerikan; hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesaji ini disebut sebagai penulakan.

Kelima, buceng towo adalah buceng yang dibuat dari nasi biasa, tetapi ujungnya juga berupa ketan seperti buceng kuat. Buceng towo adalah simbol kekebalan. Berasal dari kata towo/tawar yang berarti kebal. Makna buceng towo adalah jangan sampai ada pengganggu yang berhasil mengganggu, selain itu agar pengganggu tersebut takut karena ada sesuatu yang kebal tersebut. Buceng towo digunakan untuk ritual malam, tujuannya nyaponi jalan agar tidak terjadi

kecelakaan. Buceng towo adalah buceng yang berupa ketan tanpa garam

pelengkap buceng towo terdiri dari ayam panggang tanpa rasa, cok bakal, wedang pahitan dan kelapa hijau. Penggunaan ayam panggang adalah pelengkap pada buceng. Cok bakal berjumlah lima buah yaitu sesuai dengan arah papat kiblat limo pancer. Papat kiblat limo pancer menurut Endraswara (2003a:7) artinya empat penjuru dan satu di tengah. Kiblat alam semesta diawali dari Timur (Wetan atau witan), artinya kawitan (mula). Arah timur adalah awal kiblat, sebagai lambang saudara manusia yang disebut kawah. Selanjutnya menyusul Selatan (lambang darah), Barat (lambang pusar/plasenta), dan Utara (lambang adhi ari-ari). Kiblat tersebut adalah alam hidup manusia. Agar manusia bisa selamat, ia harus memahami alam semesta sebagai simbol kekuasaan Tuhan. Wedang pahitan adalah minuman kopi yang tidak diberi gula. Makna dari wedang pahitan adalah untuk menghindari gangguan roh halus. Sedangkan kelapa hijau adalah salah satu kesukaan Eyang Tunggul Wulung yaitu penghuni Gunung Kelud. Buceng towo ini diletakkan di anak Gunung Kelud sebelah selatan, karena di sanabanyakmakhluk halus. Misalnya akan menggangggu jangan sampai berhasil dan sebagai upah makhluk halus di sana. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, makhluk-makhluk mengerikan; hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesaji ini disebut sebagai penulakan.

Keenam, keleman adalah simbol keselamatan dalam bercocok tanam. Penggunaan keleman bertujuan agar tanaman tidak diganggu hama dan untuk memberitahu among tani. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian yang dilakukan secara teratur kepada tumbuh-tumbuhan disebut wadima.

Ketujuh, jajan pasar pada ritual sesaji adalah simbol keramaian. Maksud penggunaan jajan pasar adalah sebuah harapan supaya pengunjung wisata Gunung Kelud ramai seperti pasar. Jajan pasar terdiri dari bermacam-macam makanan ringan yang biasa tersedia di pasar.Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian yang diperuntukkan bagi Yang Kuasa dengan tujuan menyenangkan mereka disebut selamatan.

Kedelapan, jenang reno pitu mengambil makna dari arah papat kiblat limo pancer dan hari pasaran serta warnanya. Nama lain dari jenang ini adalah jenang tulak. Hal itu dapat disimpulkan bahwa makna keseluruhan dari jenang ini adalah sebagai penolak bahaya dari segala arah. Apabila bahaya itu datang dari Timur, agar kembali ke Timur, bila datang dari Barat agar kembali ke Barat, apabila bahaya itu datang dari Utara agar kembali ke Utara, apabila bahaya datang dari Selatan agar kembali ke Selatan. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Suyono (2009:131 132) sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan,

(10)

makhluk-makhluk mengerikan; hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesaji ini disebut sebagai penulakan.

Kesembilan, kembang setaman dalam ritual sesaji adalah ritual di desa Sugihwaras ini akan berkesinambungan seterusnya, dan sebagai simbol penyiram penghuni kelud agar tenteram, dan simbol menyambung kehidupan yang memiliki hajat.

Kesepuluh, sisir, bedak, cermin ditujukan kepada penghuni gunung kelud yang berjenis kelamin wanita yaitu Nyai Gadung Melati. Makna sisir, bedak, cermin adalah perlengkapan untuk berhias bagi wanita. Dalam kaitannya dengan hal ini Giri MC (2010:40) menyatakan bahwa sisir, bedak, dan cermin biasa digunakan pada upacara selamatan yang berkaitan dengan pertanian. Uborampe ini diperuntukkan bagi Dewi Sri penguasa pertanian agar senantiasa ayu, cantik dan menarik. Menurut Suyono (2009:131 132) sesajian yang dilakukan secara teratur kepada kekuatan seseorang yang sudah meninggal disebut wadima.

Kesebelas, cok bakal adalah simbol bibit dhanyang bumi, yaitu yang makhluk halus menguasai bumi. Selain itu, penggunaan cok bakal juga memberitahu cikal bakal GunungKelud. Menurut Suyono (2009:131 132) sesajian ini termasuk penulakan dan wadima yaitu untuk menolak pengaruh roh jahat karena sebagai penolak bahaya dan memberikan kepada kekuatan seseorang yang sudah meninggal.

Keduabelas, ubo rampen adalah peralatan yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan sesaji kepada roh yang dituju. Selain itu juga sebagai simbol untuk pasrah sesaji dan untuk memanggil roh yang akan diberi sesaji. Dalam kaitannya dengan hal ini, Hadisutrisno (2009:190) menyatakan bahwa kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan doa, kemenyan yang dibakar akan menimbulkan asap berbau harum. Kemenyan bagi orang Jawa melambangkan perilaku transendental dan ibadah kepada Allah SWT yang wajib dipelihara dan dijaga.

PENUTUP Simpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan yang terdiri dari prosesi upacara adat ritual sesaji dan makna tanda nonverbal pada upacara adat ritual sesaji. Prosesi upacara adat ritual sesaji terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah persiapan yang meliputi ritual ke pundhen Mbah Ringin dan Mbah Sumber, memasak sesaji, dan pembersihan jalan. Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan yang terdiri dari 1) pemberangkatan menuju lokasi ritual, 2) serah terima sesaji, 3) arak arakan sesaji menuju pelataran di atas terowongan Ganesha, 4) mempersiapkan sesaji, 5) pembakaran ubo rampen sesaji, 6) komunikasi dengan makhluk gaib penghuni Gunung Kelud, 7) penyampaian sesaji, 8) pembacaan doa, dan 9) memperebutkan sesaji.

Adapun makna dan simbol nonverbal mengacu pada tanda nonverbal yang terdapat pada upacara adat ritual sesaji, yang meliputi (a) tanda nonverbal dalam upacara adat ritual sesaji yaitu, sebagian prosesi yang bermakna simbolik dan baju yang dipakai oleh sesepuh dan perangkat Desa Sugihwaras, (b) objek tanda

nonverbal: simbol-simbol keramat dan simbol-simbol ritual. Simbol-simbol keramat berupa pundhen Mbah Ringin dan Mbah Sumber. Simbol ritual berupa sesaji yang terdiri dari: 1) buceng kuat, 2) lodho sego gurih, 3) buceng kendit, 4)

(11)

sego punar, 5) buceng towo, 6) keleman, 7) jajan pasar, 8) jenang reno pitu, 9) kembang setaman, 10) sisir, bedak, cermin, 11) cok bakal, dan12) ubo rampen

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka saran dirumuskan sebagai berikut. Pemerintah daerah setempat hendaknya mengelola komunitas adat baik melalui Dinas Pariwisata maupun instansi terkait agar kebudayaan Jawa khususnya ritual sesaji dapat terjaga. Peneliti lain disarankan agar mengembangkan penelitian ini dari segi sumber atau hal-hal lain yang terkait dengan Gunung Kelud. Seperti mitologi atau kepercayaan masyarakat. Kepada masyarakat, disarankan agar ikut menjaga kelestarian melalui pemahaman yang benar terhadap ritual sesaji. Masyarakat terkadang masih menganggap ritual sebagai maksud yang lain (negatif), sehingga pemahaman mengenai ritual sebagai budaya Jawa bisa diartikan sebagai mengabdi kepada makhluk halus penghuni Gunung Kelud. Masyarakat yang menganut agama Islam hendaknya memandang hal itu sebagai suatu tradisi selamatan/sedekah dan bukan sebagai tradisi yang membelokkan akidah.

DAFTAR RUJUKAN

Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia:Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Doyodipuro, KRHT H. 2005. Horoskop Jawa Misteri Pranata Mangsa. Dahara Prize. Semarang.

Endraswara, S. 2003a. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala.

Endraswara, S. 2003b. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Jogjakarta: Narasi.

Giri MC, W. 2010. Sajen & Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. Hadisutrisno, B. 2009. Islam Kejawen. Yogyakarta: Eule Book.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suyono, C. R. P. 2009. Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis. Yogyakarta: Lkis.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis parameter kualitas air pada pendederan lobster Panulirus homarus dengan menggunakan teknologi RAS.. BAHAN

v) Menyediakan air untuk hewan ternak yaitu berbasis pada analisis kebutuhan, kesempatan dan sistem pengelolaan air setempat. w) Melakukan kegiatan rehabilitasi sumber air

Dengan menyimak video kegiatan gotong royong dalam masyarakat, siswa dapat menyebutkan akibat – akibat yang timbul karena tidak adanya penerapan tanggung jawab

Yohanes Harimurti, SE., M.Si., Ak., selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan banyak ilmu dan dukungan, serta nasehat kepada

c. Manajemen memerlukan informasi keuangan yang teliti dan andal untuk menjalankan kegiatan usahanya. Banyak informasi yang digunakan oleh mnajemen untuk dasar pengambilan

Selain empat jenis ikan pelagis diatas masih terdapat empat jenis ikan pelagis yang juga tertangkap setiap tahun di Perairan Prigi yaitu ikan lemadang, tetengkek, slengseng

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh plasmodium ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp betina yang mengandung plasmodium. Pemukiman masyarakat

 Di sisi lain, perusahaan ritel tersebut juga mengumumkan akan menambah dan membuka satu gerai baru di Balikpapan, demikian informasi dari LPPF yang disampaikan lewat keterbukaan