• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Curah Hujan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Curah Hujan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 2.1.1 Kondisi Geografis dan Administrasi

Kabupaten Pontianak adalah salah satu dari 12 daerah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Kalimantan Barat. Secara geografis Kabupaten Pontianak terletak pada 0° 44' Lintang Utara dan 1° 00' Lintang Selatan, serta diantara 108° 24' Bujur Timur dan 109° 00' Bujur Timur.

Secara administratif Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 berbatasan dengan : • Sebelah Utara Kabupaten Bengkayang

• Sebelah Selatan Kabupaten Ketapang • Sebelah Barat Laut Natuna

• Sebelah Timur Kabupaten Landak

Kabupaten Pontianak sampai dengan akhir tahun 2005 membawahi 16 kecamatan dengan luas wilayah 8.262,10 km2 atau sekitar 5,63% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat. Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Batu Ampar dengan luas 2.002,70 km2 atau sekitar 24,24% dari luas wilayah kabupaten. Sedangkan yang terkecil wilayahnya adalah Kecamatan Anjungan seluas 80,58 km2 atau sekitar 0,98% dari luas wilayah kabupaten . 2.1.2 Curah Hujan

Secara umum jumlah curah hujan Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 tercatat sebesar 31.171 mm per tahun atau rata-rata sebesar 250 mm per bulan. Rata-rata curah hujan tertinggi selama tahun 2005 terjadi pada bulan Nopember yaitu sebesar 389 mm, sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan April sebesar 154 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada Kecamatan Anjungan sebesar 3.692 mm, sedangkan untuk curah hujan terendah terjadi pada Kecamatan Sungai Kakap sebesar 735 mm.

Jumlah hari hujan di Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 sebanyak 162 hari per tahun atau rata-rata 14 hari per bulan. Rata-rata hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebanyak 22 hari sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus sebanyak 9 hari. Apabila dilihat dari angka per kecamatan, diperoleh

(2)

hari hujan tertinggi pada tahun 2005 yakni berada di Kecamatan Sungai Kunyit sebanyak 207 hari, sedangkan untuk hari hujan terendah berada di Kecamatan Sungai Kakap sebanyak 65 hari.

2.1.3 Penduduk

Penduduk Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 berjumlah 725.662 jiwa yang terdiri dari 371.273 jiwa (51,16%) orang pria dan 354.389 jiwa (48,84%) orang wanita. Bila dibandingkan dengan tahun 2004, dengan jumlah penduduk 709.933 jiwa, berarti telah terjadi pertambahan penduduk sekitar 2,22 % atau adanya pertambahan penduduk pada tahun 2005 sebanyak 15.729 jiwa. Penyebaran penduduk di Kabupaten Pontianak tidak merata sehingga akan dijumpai adanya kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan ada juga kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang sedang bahkan sedikit. Hal ini terjadi pada Kecamatan Sungai Raya yang memiliki jumlah penduduk hingga mencapai 205.216 jiwa (satu-satunya kecamatan di Kabupaten Pontianak dengan jumlah penduduk di atas 200.000 jiwa), dan beberapa kecamatan dengan jumlah penduduk antara 50.000-100.000 jiwa seperti terjadi pada Kecamatan Sungai Kakap sebanyak 95.808 jiwa, Sungai Ambawang (61.797 jiwa) dan Mempawah Hilir (56.343 jiwa). Selain itu tergambar pula kelompok kecamatan yang jarang/kecil jumlah penduduknya yaitu di bawah 20.000 jiwa seperti pada Kecamatan Segedong (19.745 jiwa), Teluk Pakedai (18.801 jiwa), Anjungan (14.233 jiwa) dan Terentang (7.928 jiwa).

Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya yang lebih besar dibandingkan dengan kecamatan lainnya dapat dimaklumi karena letak kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kota Pontianak (yang menjadi ibukota Propinsi Kalimantan Barat) serta banyak dijumpai perusahaan industri kayu yang berkategori industri besar dan sedang yang banyak menyerap tenaga kerja.

Pada tahun 2005 sex ratio (rasio jenis kelamin) di Kabupaten Pontianak sebesar 104,8 yang berarti tiap 100 penduduk perempuan terdapat 104 penduduk laki-laki. Kemudian luas wilayah kabupaten ini adalah 8.262,10 km2 dengan kepadatan penduduknya 88 jiwa per km2. Kecamatan yang terpadat penduduknya adalah Kecamatan Sungai Pinyuh dengan kepadatan 372 jiwa per km2 dan yang terkecil kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Terentang (10 jiwa per km2 ).

(3)

Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Pontianak periode tahun 1990–2000 sebesar 1,96% per tahun, dimana data tersebut tidak termasuk penduduk tidak tetap. Angka ini lebih besar dari angka Propinsi Kalimantan Barat yaitu 1,56% dan angka nasional 1,35%. Jika dibandingkan dengan dekade sebelumnya, yaitu tahun 1980-1990 yang sebesar 2,55%, maka laju pertumbuhan penduduk per tahunnya mengalami penurunan yang berarti pertambahan penduduk tiap tahun periode tahun 1990-2001 lebih kecil dibandingkan periode tahun 1980-1990.

Dari data penduduk menurut golongan umur dapat terlihat bahwa komposisi penduduk Kabupaten Pontianak masih didominasi oleh penduduk usia muda (0-14 tahun), baik penduduk laki-laki maupun perempuan, yang berarti angka beban ketergantungan (Dependency Ratio) masih besar, yaitu 61,12. Sedangkan untuk golongan umur yang paling banyak penduduknya ada pada golongan umur 5–9 tahun, dan yang paling sedikit adalah pada golongan umur di atas 75 tahun. 2.1.4 Pendidikan

Dalam upaya mengimbangi pertambahan penduduk khususnya usia sekolah maka salah satu usaha pemerintah maupun swasta di bidang pendidikan adalah menyediakan berbagai sarana fisik dan pengadaan tenaga guru yang memadai, hal ini dilaksanakan guna mencapai tahap mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada tahun 2005 terdapat beberapa jenjang sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pontianak mengalami penambahan dari tahun sebelumnya antara lain: SD Negeri dari 477 sekolah menjadi 478 sekolah, SD Swasta dari 15 sekolah menjadi 19 sekolah, SMP Negeri dari 44 sekolah menjadi 51 sekolah. SLTP Swasta 43 sekolah menjadi 45 sekolah.

Sementara itu SMA Negeri dari 14 sekolah menjadi 15 sekolah, SMA Swasta dari 20 sekolah menjadi 24 sekolah, SMK Negeri dari 3 sekolah menjadi 4 sekolah, SMK Swasta tidak ada penambahan. Hingga tahun 2005 Kabupaten Pontianak belum memiliki SMP Kejuruan, dari jumlah SMP sebanyak 96 buah semuanya SMP Umum. Untuk jumlah SLTA seluruh sebanyak 54 sekolah diantaranya SMK 15 buah (27,78%), dan SMA sebanyak 39 buah (72,22%).

(4)

2.1.5 Kondisi Perikanan Tangkap

Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak yang tercatat pada periode 1992-2005 mengalami fluktuasi produksi turun naik, seperti terjadi pada produksi perikanan tahun 1992 sebesar 25.091,4 ton menjadi 25.549,7 ton pada tahun 1993 (naik 1,83%), seperti terlihat pada Gambar 2. Namun nilai produksi perikanan laut tersebut meningkat terus setiap tahunnya, hal ini menggambarkan bahwa produksi ikan mengalami turun naik di lain pihak harga ikan terus meningkat. Seperti terjadi pada periode 1992-2000 nilai produksi ikan laut mengalami kenaikan setiap tahun, tetapi pada periode 2000-2002 mengalami penurunan, meningkat lagi pada periode 2003–2004 dan mengalami penurunan kembali pada periode 2004–2005. 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun P ro d u k si ( to n )

Sumber: BAPPEDA Kabupaten Pontianak (2006)

Gambar 2 Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak Periode 1992-2005. Demikian pula halnya terjadi pada produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Pontianak periode 1992-2005 yang mengalami fluktuasi produksi turun naik, seperti terjadi pada produksi perikanan tahun 1992 sebesar 573,60 ton meningkat menjadi 679,70 ton (naik 18,50%) pada tahun 1993, seperti terlihat pada Gambar 3.

(5)

0,0 100,0 200,0 300,0 400,0 500,0 600,0 700,0 800,0 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun P ro d u k si ( to n )

Sumber: BAPPEDA Kabupaten Pontianak (2006)

Gambar 3 Produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Pontianak Periode 1992-2005.

Selain data produksi perikanan laut dan perikanan perairan umum, berikut disajikan pula data-data lain yang berhubungan dengan bidang perikanan di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak, meliputi jumlah RTP (Tabel 1), jumlah trip (Tabel 2) dan perbanding jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan laut (Tabel 3) dan perikanan perairan umum (Tabel 4). Tabel 1 Jumlah RTP di Kabupaten Pontianak tahun 2005

No Uraian Jumlah

1 RTP perikanan tangkap di laut 3.445

2 RTP perikanan tangkap di perairan umum 508 3 Jumlah perahu/kapal motor di laut 3.635 4 Jumlah perahu/kapal motor di perairan umum 562 5 Jumlah unit alat tangkap di laut 5.171 6 Jumlah unit alat tangkap di perairan umum 1.430 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006)

Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah perahu/kapal motor di Laut dan di perairan umum lebih besar dari jumlah RTP perikanan tangkap (laut dan perairan umum), hal ini berarti bahwa RTP perikanan tangkap di laut dan di perairan umum memiliki perahu/kapal motor lebih dari satu. Hal tersebut dapat

(6)

terjadi disebabkan karena kegiatan perikanan tangkap di laut dan di perairan umum merupakan alternatif untuk berusaha yang memberikan keuntungan.

Tabel 2 Perbandingan jumlah trip perahu/kapal motor laut di Kabupaten Pontianak tahun 2004 dan 2005

Jumlah Trip No Perahu/Kapal Motor

2004 2005 Keterangan

1 Perahu/Kapal tanpa motor

a Jukung 2.521 2.931 16,26% (naik)

b Perahu Papan Kecil 4.478 5.115 14,23% (naik) c Perahu Papan Sedang 23.170 25.212 8,81% (naik) d Perahu Papan Besar 3.153 4.134 31,11% (naik)

2 Motor Tempel 84.739 86.969 2,63% (naik)

3 Perahu/Kapal Motor

a 0-5 GT 77.096 74.726 -3,07% (turun)

b 5-10 GT 27.458 20.404 -25,69% (turun)

c 10-20 GT 4.777 2.526 -47,12% (turun)

Jumlah 227.392 222.017 -2,36% (turun)

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006)

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa jumlah trip pada tahun 2005 menurun sebesar 2,36% dari tahun 2004. Kenaikan trip pada tahun 2005 terjadi pada seluruh perahu/kapal tanpa motor dan motor tempel, terbanyak terjadi pada perahu papan besar sebesar 31,11%, sedangkan pada perahu/kapal motor terjadi penurunan secara keseluruhan, yang terbanyak terjadi pada perahu/kapal motor ukuran 10-20 GT sebesar 47,12%. Hal ini disebabkan pada pertengahan tahun 2005 telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai 100%, sehingga mengakibatkan biaya operasional meningkat, terutama bagi nelayan kapal motor berukuran 10-20 GT, yang menggunakan alat tangkap pukat tarik untuk udang, sehingga produksi udang (Tabel 3) menurun sebesar 34,34%.

(7)

Tabel 3 Perbandingan jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan laut menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun 2004-2005

2004 2005

No Jenis Alat Tangkap Produksi

(ton) Nilai (000)

Produksi

(ton) Nilai (000)

1 Pukat Tarik Udang 7.031,0 42.186.000,0 4.014,5 27.700.050,0

2 Payang/Pukat Bawal 98,7 1.974.500,0 79,5 1.669.500,0

3 Jaring Insang Hanyut 6.262,3 37.573.800,0 5.941,7 40.780.730,0

4 Jaring Insang Tetap 775,6 4.653.600,0 852,4 5.881.560,0

5 Jaring Tiga Lapis 403,1 2.418.600,0 427,6 2.950.440,0

6 Bgn. Tancap/Kelong 191,8 492.775,0 151,4 419.640,0

7 Rawai Hanyut 451,3 2.707.800,0 397,1 2.739.990,0

8 Rawai Tetap 262,0 1.572.000,0 295,2 2.096.880,0

9 Sero/Belat 59,1 354.600,0 71,9 496.110,0

10 Jermal 3.767,9 22.607.400,0 3.749,5 24.371.750,0

11 Bubu Ikan Merah 103,5 1.811.250,0 108,7 1.956.600,0

12 Togo/Ambai 435,8 2.614.800,0 449,3 2.920.450,0

13 Alat Kepiting 107,3 643.800,0 100,4 652.600,0

Jumlah 19.949,4 121.610.925,0 16.639,2 114.636.300,0

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006)

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi perikanan pada tahun 2005 dari tahun 2004 sebesar 16,59%, diikuti pula dengan penurunan nilai sebesar 5,74%. Penurunan produksi dan nilai tersebut terjadi pada perikanan Pukat Tarik Udang yang menggunakan kapal motor ukuran 10-20 GT, disebabkan oleh kenaikan harga BBM pada pertengahan tahun 2005.

(8)

Tabel 4 Perbandingan jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan perairan umum menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun 2004-2005

Tahun 2004 Tahun 2005

No Jenis Alat tangkap Produksi

(ton) Nilai (000)

Produksi

(ton) Nilai (000) 1 Jaring insang tetap 252,3 2.270.700,0 248,4 2.111.400,0

2 Rawai 97,8 880.200,0 79,3 713.700,0 3 Pancing 58,4 525.600,0 58,0 493.000,0 4 Sero / Belat 80,5 713.050,0 93,7 921.540,0 5 Bubu Ikan 2,9 29.435,0 3,2 31.472,0 6 Jala Tebar 7,8 383.859,0 41,5 408.152,0 7 Rompong 53,9 551.756,0 59,3 583.236,0 Jumlah 583,6 5.354.600,0 583,4 5.262.500,0 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006)

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa jumlah produksi beserta nilainya pada kegiatan perikanan di perairan umum cukup stabil, tidak terjadi kenaikan atau penurunan yang drastis. Kenaikan harga BBM sebesar 100% pada pertengahan tahun 2005 tidak berpengaruh terhadap kegiatan perikanan di perairan umum. Hal ini disebabkan karena jarak fishing ground di perairan umum lebih kecil/pendek daripada jarak fishing ground di laut.

2.2 Deskripsi Ikan

2.2.1 Morfologi Kakap Merah

Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk tiga genus yaitu Lutjanus, Latidae dan Labotidae. Jenis-jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya disebut kakap merah, dan jenis lainnya yaitu Lates calcarifer yang termasuk suku Latidae umumnya disebut kakap putih dan Lobotos surinamensis yang termasuk suku Lobotidae disebut kakap batu (Hutomo et al. 1986).

Ikan kakap merah keluarga Lutjanidae mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Saanin, 1984) :

(9)

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Perciodea Famili : Lutjanidae

Sub famili : Lutjanidae Genus : Lutjanus

Spesies : Lutjanus sp.

Gambar 4 Ikan kakap merah (Lutjanus sp.).

Ciri-ciri kakap merah (Lutjanus sp.) mempunyai tubuh yang memanjang dan melebar, gepeng atau lonjong, kepala cembung atau sedikit cekung. Jenis ikan ini umumnya bermulut lebar dan agak menjorok ke muka, gigi konikel pada taring-taringnya tersusun dalam satu atau dua baris dengan serangkaian gigi caninnya yang berada pada bagian depan. Ikan ini mengalami pembesaran dengan bentuk segitiga maupun bentuk V dengan atau tanpa penambahan pada bagian ujung maupun penajaman. Bagian bawah pra penutup insang bergerigi dengan ujung berbentuk tonjolan yang tajam.

Sirip punggung dan sirip duburnya terdiri dari jari-jari keras dan jari-jari lunak. Sirip punggung umumnya berkesinambungan dan berlekuk pada bagian antara yang berduri keras dan bagian yang berduri lunak. Batas belakang ekornya agak cekung dengan kedua ujung sedikit tumpul. Warna sangat bervariasi, mulai dari yang kemerahan, kekuningan, kelabu hingga kecoklatan. Ada yang

(10)

mempunyai garis-garis berwarna gelap dan terkadang dijumpai adanya bercak kehitaman pada sisi tubuh sebelah atas tepat di bawah awal sirip punggung berjari lunak. Pada umumnya berukuran panjang antara 25 – 50 cm, walaupun tidak jarang mencapai 90 cm (Gunarso, 1995). Ikan kakap merah menerima berbagai informasi mengenai keadaan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti melalui indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis dan sebagainya.

2.2.2 Makanan dan Kebiasaan Makan

Menurut Effendi (1997), makanan merupakan faktor pengendali yang penting dalam menghasilkan sejumlah ikan disuatu perairan, karena merupakan faktor yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan di suatu perairan. Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia bagi ikan dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam-macam ukuran dan umur ikan itu sendiri (Nikolsky, 1963) Menurut Moyle dan Chech (1988), ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja.

Menurut Effendi (1997), kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan bagaimana cara ikan memperoleh makanannya. Effendi (1997) menambahkan bahwa faktor-faktor yang menentukan suatu jenis ikan akan memakan suatu jenis oeganisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna, rasa, tekstur makanan dan selera ikan terhadap makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur, tempat dan waktu.

Jenis ikan kakap merah umumnya termasuk ikan buas, karena pada umumnya merupakan predator yang senantiasa aktif mencari makan pada malam hari (nokturnal). Aktivitas ikan nokturnal tidak seaktif ikan diurnal (siang hari).

(11)

Gerakkannya lambat, cenderung diam dan arah geraknya tidak dilengkapi area yang luas dibandingkan ikan diurnal. Diduga ikan nokturnal lebih banyak menggunakan indera perasa dan penciuman dibandingkan indera penglihatannya. Bola mata yang besar menunjukkan ikan nokturnal menggunakan indera penglihatannya untuk ambang batas intensitas cahaya tertentu, tetapi tidak untuk intesitas cahaya yang kuat (Iskandar dan Mawardi, 1997).

Ikan kakap merah lebih suka memangsa jenis-jenis ikan. Adapun mangsa lain berupa jenis kepiting, udang, jenis crustacea, gastropoda serta berbagai jenis plankton utamanya urochordata. Umumnya kakap merah yang berukuran besar, baik panjang maupun tinggi tubuhnya, memangsa jenis-jenis ikan maupun invertebrata berukuran besar yang ada di dekat permukaan di perairan karang. Jenis kakap merah ini biasanya menghuni perairan pantai berkarang hingga kedalaman 100 meter, hidup soliter dan tidak termasuk jenis ikan yang berkelompok. Mereka umumnya dilengkapi dengan gigi kanin yang merupakan adaptasi sehubungan dengan tingkah laku makannya, agar mangsa tidak mudah lepas. Ikan dewasa umumnya berwarna merah darah pada punggungnya dan berwarna putih pada bagian perutnya (Gunarso, 1995).

2.2.3 Sifat Hidup dan Pemijahan

Ikan kakap merah tergolong diecious yaitu ikan ini terpisah antara jantan dan betinanya. Hampir tidak dijumpai seksual dimorfisme atau beda nyata antara jenis jantan dan betina baik dalam hal struktur tubuh maupun dalam hal warna. Pola reproduksinya gonokorisme, yaitu setelah terjadi diferensiasi jenis kelamin, maka jenis seksnya akan berlangsung selama hidupnya, jantan sebagai jantan dan betina sebagai betina. Jenis ikan ini rata-rata mencapai tingkat pendewasaan pertama saat panjang tubuhnya telah mencapai 41–51% dari panjang tubuh total atau panjang tubuh maksimum. Jantan mengalami matang kelamin pada ukuran yang lebih kecil dari betinanya. Kelompok ikan yang siap memijah, biasanya terdiri dari sepuluh ekor atau lebih, akan muncul ke permukaan pada waktu senja atau malam hari di bulan Agustus dengan suhu air berkisar antara 22,2–25,2ºC. Ikan kakap jantan yang mengambil inisiatif berlangsungnya pemijahan yang diawali dengan menyentuh dan menggesek-gesekkan tubuh mereka pada salah

(12)

seekor betinanya. Setelah itu baru ikan-ikan lain ikut bergabung, mereka berputar-putar membentuk spiral sambil melepas gamet sedikit di bawah permukaan air.

Secara umum ikan kakap merah yang berukuran besar akan bertambah pula umur maksimumnya dibandingkan yang berukuran kecil. Ikan kakap merah yang berukuran besar akan mampu mencapai umur maksimum berkisar antara 15–20 tahun, umumnya menghuni perairan mulai dangkal hingga kedalaman 60–100 meter (Gunarso, 1995).

2.2.4 Habitat dan Penyebaran

Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) umumnya menghuni daerah perairan karang ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung menembus sampai ke perairan tawar. Jenis kakap merah berukuran besar umumnya membentuk gerombolan yang tidak begitu besar dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam daripada jenis yang berukuran kecil. Selain itu biasanya kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40–50 meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30–33 ppt serta suhu antara 5-32ºC (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1991). Jenis yang berukuran kecil seringkali dijumpai beragregasi di dekat permukaan perairan karang pada waktu siang hari. Pada malam hari umumnya menyebar guna mencari makanannya baik berupa jenis ikan maupun crustacea. Ikan-ikan berukuran kecil untuk beberapa jenis ikan kakap biasanya menempati daerah bakau yang dangkal atau daerah-daerah yang ditumbuhi rumput laut. Potensi ikan kakap merah jarang ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan lingkungan yang beragam mulai dari perairan dangkal, muara sungai, hutan bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang atau batu karang.

Famili Lutjanidae utamanya menghuni perairan tropis maupun sub tropis, walau tiga dari genus Lutjanus ada yang hidup di air tawar (Baskoro et al. 2004). Penyebaran kakap merah di Indonesia sangat luas dan hampir menghuni seluruh perairan pantai Indonesia. Penyebaran kakap merah arah ke utara mencapai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan serta Filipina. Penyebaran arah ke selatan mencapai perairan tropis Australia, arah ke barat hingga Arfika Selatan dan perairan tropis Atlantik Amerika, sedangkan arah ke

(13)

Timur mencapai pulau-pulau di Samudera Pasifik (Direktorat Jenderal Perikanan, 1983 dalam Baskoro et al. 2004).

Menurut Djamal dan Marzuki (1992), daerah penyebaran kakap merah hampir di seluruh Perairan Laut Jawa, mulai dari Perairan Bawean, Kepulauan Karimun Jawa, Selat Sunda, Selatan Jawa, Timur dan Barat Kalimantan, Perairan Sulawesi, Kepulauan Riau. Untuk lebih lengkapnya penyebaran dan daerah penangkapan kakap merah di Indonesia disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Penyebaran kakap merah di Perairan Indonesia

Perairan Daerah

penyebaran Daerah penangkapan utama Sumatera Seluruh perairan Sebagian perairan Aceh, terutama bagian

utara dan barat, sebagian pantai timur Sumatra barat, sekitar Bengkalis, Bangka dan Belitung, pantai barat Sumatra Utara, pantai Sumatra Barat, Bengkulu dan pantai timur Lampung

Jawa dan Nusa Tenggara

Seluruh perairan Selat Sunda bagian timur, sekitar

Cirebon, perairan utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Karimun Jawa, Utara Madura, Ujung Kulon, Cilacap, Nusa Barung, sekitar selat Lombok, perairan Sumbawa, Flores Timur dan pulau Rote Kalimantan

dan Sulawesi

Seluruh perairan kecuali laut dalam

Lepas pantai Kalimantan Barat, sebagian besar pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, perairan sekitar Samarinda, perairan sedikit di luar teluk Palu berikut lepas pantainya

Maluku dan Irian Jaya

Seluruh perairan Perairan di luar antara Buru-Seram, perairan teluk Bintuni, teluk Cendrawasih, di luar pantai bagian tengah dan selatan Laut Banda Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (1991)

2.3 Alat Tangkap Perangkap (Traps)

Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan. Alat ini bersifat pasif menunggu ikan/hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Pemasangannya berdasarkan

(14)

pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso, 1985). Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung ikan, menghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar. Selanjutnya Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen) dan lain sebagainya. Alat tangkap tersebut dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap), dipasang (ditanam) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan.

Martasuganda (2003) mengatakan proses ikan, kepiting atau udang terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan dikarenakan adanya :

1) Tertarik bau umpan; 2) Dipakai untuk berlindung;

3) Karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; dan 4) Tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi. 2.3.1 Alat Tangkap Bubu (Pots)

Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah, desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah, 1999).

Menurut Von Brant (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok alat perangkap (traps). IMAI (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring).

(15)

Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasa terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri (Subani dan Barus, 1989). Bubu kakap merah yang digunakan selama penelitian di Mempwah Hilir terlihat pada Gambar 5, dimensi kedua jenis bubu dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Unit penangkapan bubu terdiri atas kapal, alat tangkap bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh nelayan di Mempawah Hilir pada saat pengoperasian bubu kakap. Posisi peletakan bubu tanpa menggunakan pelampung tanda, posisi tersebut dicatat dengan menggunakan alat bantu GPS (Global Position System) sehingga hanya nelayan tersebut saja yang mengetahui posisi peletakan bubu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian hasil tangkapan bubu dan terseretnya bubu oleh kapal.

Gambar 5 Bubu bambu (kiri) dan bubu jaring (kanan) yang digunakan. 2.3.2 Pengoperasian Bubu Kakap

Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperaiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps; dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps.

(16)

Sumertha dan Soedharma (1975) menjelaskan bahwa penyebaran hidup biota di laut dipengaruhi oleh tingkat kedalaman, arus, pasang surut serta mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Puslitkan, 1991), kakap merah (Lutjanus sanguineus) cenderung membentuk gerombolan dengan ukuran yang berbeda untuk kedalaman perairan yang berbeda.

Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan oleh alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap seolah perangkap sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa hingga ikan yang masuk kedalamnya tidak dapat melarikan diri. Mursbahan (1977) menyatakan bahwa ikan banyak terdapat di sekitar rumpon, mungkin karena rumpon tersebut terlihat oleh ikan sebagai tempat berlindung dari buruan musuhnya. Larger et. al. (1977) menambahkan bahwa reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung. Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyoso (1979) terjadi karena :

1) Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; 2) Keragaman ikan di dalam populasi;

3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.

2.4 Teknik Penangkapan yang Diterapkan

Di Kabupaten Pontianak, ikan kakap merah ditangkap dengan bubu, rawai hanyut dan rawai tetap. Salah satu kecamatan di Kabupaten Pontianak yang menangkap ikan kakap merah adalah Kecamatan Mempawah Hilir dengan menggunakan bubu, baik bubu bambu maupun bubu jaring. Bubu adalah alat tradisional, biasanya dioperasikan menjadi satu rangkaian dari beberapa unit bubu, atau satu unit bubu (single trap). Daerah penangkapan adalah dekat muara sungai atau sekitar pantai yang berkarang. Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan menggunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996).

(17)

Bubu dan jaring penghalang (barrier net) adalah jenis-jenis alat tangkap yang sebenarnya sudah digunakan oleh nelayan sejak lama. Mereka banyak ditinggalkan sejak digunakannya sianida (pada perikanan karang) dan pukat harimau (pada perikanan laut dalam) yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkapan yang berlipat ganda. Upaya menggalakkan kembali alat-alat tangkap ini tidak semata menganjurkan nelayan kembali ke kondisi dulu, tetapi disertai modifikasi yang bertujuan meningkatkan hasil tangkapan dan tetap mengendalikan dampaknya terhadap kualitas habitat (Widyaningsih, 2004). 2.5 Capaian Penelitian Bubu sebelumnya

Penelitian tentang perikanan bubu telah banyak dilakukan hingga saat ini, antara lain mengenai:

1) Studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mawardi, 1998). Pada penelitian ini menunjukkan hasil tangkapan bubu sayap dengan Leader net (DL) dan bubu sayap tanpa Leader net (TL) berbeda nyata. Demikian pula hasil tangkapan bubu sayap (DL) siang dan bubu sayap (TL) malam hari berbeda nyata. Berbeda dengan hasil tangkapan bubu sayap (TL) tidak memperlihatkan hasil tangkapan yang berbeda nyata antara siang dan malam. Hasil rekaman tingkah laku ikan didapatkan proses dan kuantitas ikan pada saat mendekati dan menjauhi mulut bubu, ikan yang masuk kedalam bubu dan yang berhasil meloloskan diri serta menjauhi bubu.

2) Pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dalam pengoperasian bubu (Urbinas, 2004). Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat trend kedalaman bahwa semakin dalam perairan, hasil tangkapan semakin tinggi atau sebaliknya semakin dangkal perairan, hasil tangkapan semakin sedikit. Kakap merah lebih banyak tertangkap pada kedalaman 109,6-123,6 m, 53,2-67,2 m, 67,3-81,3 m, 137,8-151,8 m dan 39,1-53,1 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit. Selain itu, ikan kakap merah memiliki pola penyebaran yang tinggi pada kedalaman 33,1-81,3 m dan 109,6-151,8 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit, sedangkan pola penyebaran rendah terjadi pada kedalaman 81,4-109,5 m dengan kontur dasar perairan yang landai.

(18)

3) Perbandingan hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat (Setiawan, 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat lebih efektif untuk menangkap jenis crustacea.

4) Hasil tangkapan dari bubu kawat dan bubu lipat (Purnama, 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu kawat dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat dapat digunakan sebagai pengganti bubu kawat dan lebih efektif dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan maupun biota lainnya.

5) dan lain-lain.

2.6 Analisis Kriteria Investasi

Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali maupun perluasan proyek. Tujuan utama yaitu memperoleh manfaat keuangan atau non keuangan yang layak dikemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh orang perorangan, swasta maupun badan-badan pemerintah (Sutojo, 2000).

Hasil perhitungan kreteria investasi merupakan indikator dari modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total benefit yang diterima dengan total biaya yang dikeluarkan dalam bentuk present value selama umur ekonomis proyek. Apabila hasil perhitungan telah menunjukkan feasible (layak), pelaksanaannya akan jarang mengalami kegagalan. Kegagalan hanya terjadi karena faktor-faktor uncontrolable seperti banjir, gempa bumu, perubahan peraturan pemerintah, di samping data yang digunakan tidak relevan (Ibrahim, 1998).

Ibrahim (1998) menambahkan, perkiraan benefit (cash in flows) dan perkiraan cost (cast out flows) yang menggambarkan tentang posisi keuangan di masa yang akan datang dapat digunakan sebagai alat kontrol dalam pengendalian biaya untuk memudahkan dalam mencapai tujuan usaha/proyek. Di pihak lain, dengan adanya hasil perhitungan kreterian investasi, penanam modal dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah modal yang ditanam lebih baik pada proyek atau lembaga keuangan seperti bank dan lain sebagainya.

(19)

Hasil analisis kreteria investasi dinyatakan diterima dalam pengertian studi kelayakan bisnis adalah feasible untuk dilaksanakan dan dikembangkan karena dapat menghasilkan benefit dilihat dari segi financial benefit sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam studi kelayakan. Dalam pengertian evaluasi proyek, feasible adalah memberikan indikasi bahwa proyek tersebut telah masuk dalam urutan prioritas untuk dikerjakan karena proyek tersebut layak, sesuai dengan analisis proyek. Pelaksanaan proyek sangat tergantung pada kemampuan investasi yang tersedia (Ibrahim, 1998).

Untuk mencari suatu ukuran menyeluruh mengenai baik tidaknya suatu proyek, maka di kenal kreteria Invesment Creteria atau kreteria investasi. Kreteria ini pada hakekatnya untuk mengukur hubungan antara manfaat dan biaya proyek. Kreteria investasi yang sering digunakan dalam menilai kelayakan proyek adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Average Rate of Return (ARR), Payback Period (PP), Net Benefit–Cost Ratio (R/C Ratio) dan Return-Cost Ratio (R/C Ratio).

Gambar

Gambar 2  Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak Periode 1992-2005.
Gambar  3    Produksi  perikanan  perairan  umum  di  Kabupaten  Pontianak  Periode  1992-2005
Tabel  2    Perbandingan  jumlah  trip  perahu/kapal  motor  laut  di  Kabupaten  Pontianak tahun 2004 dan 2005
Tabel  3  Perbandingan  jumlah  produksi  beserta  nilainya  pada  perikanan  laut  menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun 2004-2005
+5

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini membahas tentang model pelaksanaan ta’zir pada santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Barat Mranggen Demak. Kajian skripsi ini dilatarbelakangi oleh

Dengan demikian, tujuan yang dicapai dalam penelitian ini diantaranya yaitu untuk mengetahui prosedur pembuatan media pembelajaran CD multimedia interaktif, untuk

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya, sehingga laporan Tugas Akhir dengan judul “Pengembangan Sistem Human

Sebelum melakukan pelatihan pembuatan tempe biji karet tim KKN Alternatif 1 UNNES 2020 melakukan uji coba atau mempraktikan cara pembuatan tempe biji karet yang

Tim Survey Kepuasan Pencari Keadilan akan memberikan saran rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan terutama pada unsur-unsur yang mempunyai nilai kurang baik,

Kepala Dinas Kesehatan Propinsi berkoordinasi dengan Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan di wilayah kerjanya untuk mengusulkan kepada Menteri Kesehatan tentang

Demikian pula buku-buku sejarah Islam yang ditulis dengan menggunakan periodesasi tertentu untuk memahami isi atau materi setiap rentetan waktu, misalnya buku-buku sejarah