PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI UNTUK MENGUKUR PERFORMANSI
SISTEM PRODUKSI DENGAN METODE OVERALL THROUGHPUT
EFFECTIVENESS (OTE) DAN PENJADWALAN PREVENTIVE MAINTENANCE
Ade Hardiyansyah, Moses Laksono Singgih Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: adehardiyansyah@gmail.com ; moseslsinggih@gmail.com;
Abstrak
PT Gunawan Dianjaya Steel adalah salah satu produsen plat baja di Indonesia. Saat ini perusahaan belum memakai metode tertentu dalam mengukur performansi sistem produksinya. Perusahaan berpatokan pada nilai availability untuk mengukur memonitor sistem produksinya.
Breakdown mesin yang terjadi pada perusahaan juga cukup tinggi, hal ini akan mempengaruhi availability dari sistem produksi. Penelitian ini merancang alat bantu dalam bentuk program
aplikasi untuk menghitung performansi sistem produksi dengan menerapkan konsep Overall
Throughput Effectiveness (OTE) serta dapat menjadwalkan preventive maintenance agar availability dari sistem produksi dapat meningkat. Konsep OTE ini dapat memberikan gambaran
performansi sistem yang lebih representatif karena merupakan pengembangan dari konsep OEE. Komponen kritis ditentukan menggunakan pareto chart dan didapatkan 15 komponen kritis pada 6 mesin yang berbeda pada divisi produksi Mill Area.
Berdasarkan aplikasi program didapatkan nilai OTE sistem produksi pada tingkat 0,518 pada bulan April 2011. Bagian penjadwalan preventive maintenance yang telah dilakukan pada penelitian menghasilkan availability pada tingkat 0,9363. Nilai tersebut meningkat sebesar 0,042 jika dibandingkan dengan availability bulan April 2011.
Kata kunci : Overall Throughput Effectiveness (OTE), Penjadwalan Preventive Maintenance,
Pengukuran Performansi Sistem Produksi
ABSTRACT
PT Gunawan Dianjaya Steel is an steel plate producer in Indonesia. Now a days company has been not applied a method to measure their production system’s performance. Company uses the score of availability to measure their production system. The machine breakdown in this company is in high level, this condition is affecting the production system availability. In this research is designing the application program for measure the production system’s performance through Overall Throughput Effectiveness (OTE) and scheduling preventive maintenance so the availability of production system will increase. OTE can present about performance of the system more represetative bacause this concept is developed from Overall Equipment effectiveness (OEE) concept. The critical components determined by using pareto chart and 15 components are selected in 6 defferent machine at division of production mill area.
By applied the program, OTE score have got at level 0,518 in April 2011. In preventive maintenance scheduling part which have applied in this research show the availability at level 0,9363. This score was increased for 0,0420 if compared with the availability at April 2011.
Keywords: Overall Throughput Effectiveness (OTE), Preventive Maintenance Scheduling,
Production System performance measurement.
1 Latar Belakang Masalah
PT Gunawan Dianjaya Steel adalah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur pembuatan plat baja jenis hot roller carbon steel plate. PT. GDS adalah perusahaan yang memiliki
customer dari mancanegara maka perusahaan ini
selalu memperhatikan kualitas dari plat baja yang diproduksi.
Plat baja yang dihasilkan meliputi beberapa proses. Berikut adalah proses-proses yang dilakukan untuk memproduksi plat baja yang ditunjukkan pada Gambar 1 :
Gambar 1 Proses Produksi Plat Baja PT. GDS (Sumber : PT GDS)
Pada kondisi nyata di lapangan, selama Mei 2010 hingga April 2011 total produk cacat yang dihasilkan mencapai 426.761,9 kg dari total produksi sebanyak 75.636.914,63 kg. Nilai ini setara dengan 0,56 %. Nilai ini cukup besar karena jika dihitung total kerugian karena produk cacat ini mencapai Rp 3.149.502.822 dalam 3 bulan. Hal ini menandakan proses produksi yang dilakukan perusahaan belum efektif dan efisien. Saat ini perusahaan hanya berpedoman pada tingkat availability untuk menilai kinerja dari sistem produksinya. Telah berkembangnya konsep Overall Equipment
Effectivenes (OEE) untuk menilai efektivitas
dari sebuah mesin produksi. Konsep OEE ini perlu dikembangkan lagi jika ingin menilai performansi dari sebuah sistem produksi yang terdiri dari beberapa mesin yang saling terintegrasi menjadi suatu sistem produksi yaitu dengan konsep Overall Throughput
Effectiveness (OTE).
Nakajima (1988) mengatakan saat ini telah banyak digunakan konsep Overall
Equipment Effectiveness (OEE) untuk mengukur
produktivitas pada tingkat peralatan atau mesin. Konsep ini berkembang pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Konsep OEE ini dijadikan acuan produktivitas dan performansi peralatan yang digunakan dalam melakukan kegiatan produksi. Ada 3 kunci utama dalam konsep OEE ini yaitu availability, performance, dan
quality.
Scott dan Pisa (1998) mengungkapkan bahwa OEE adalah hal yang penting dan sering digunakan tetapi OEE tidaklah cukup. Perlu
adanya suatu pendekatan lagi untuk mengukur performansi dan produktivitas suatu sistem produksi. Muncul konsep OTE (Overall
Throughput Effectiveness) untuk mengukur
performansi dari sistem. Pada konsep OTE ini suatu sistem dipandang sebagai suatu kesatuan subsistem. Pada subsistem ini terdapat peralatan atau mesin yang digunakan dengan kombinasi yang unik yaitu seri, paralel, assembly, dan ekspansi. Selama Mei 2010 hingga April 2011 tercatat rata-rata terjadi waiting karena adanya perbaikan pada mesin sebesar 806,633 jam. Pada sistem produksi perusahaan terdapat lini produksi yang merupakan rangkaian seri (mulai dari reheating furnace hingga cooling bed) dan material yang dikerjakan harus dalam suhu yang tinggi sehingga ketika terjadi perbaikan pada mesin maka mesin lain harus mati (breakdown). Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Breakdown Mesin Mei 2010-April 2011
Tahun Bulan Lama Breakdown (Jam)
2011 April 60.500 Maret 64.500 Februari 42.350 Januari 51.283 2010 Desember 41.533 November 61.483 Oktober 71.300 September 36.850 Agustus 121.367 Juli 137.467 Juni 65.533 Mei 52.467 Total Breakdown 806.633
Kapasitas produksi rata-rata mencapai 800 ton/hari. maka dalam 1 jam perusahaan dapat menghasilkan sebanyak 800 ton/hari : 24 jam/hari sama dengan 33,33 ton/jam sehingga kerugian yang diderita oleh perusahaan akibat hilangnya kesempatan berproduksi yang dikarenakan permasalahan pada mesin adalah 806,633 jam x 33,33ton/jam
Penelitian ini berkaitan perancangan alat bantu pengukur performansi dari sistem yang merujuk pada konsep Overall Throughput
Effectiveness (OTE). Secara ilustrasi penelitian
= 26.887,767 ton. Jika harga plat baja adalah $450 per ton dan $1 = Rp. 9.000,00 maka kerugian perusahaan adalah 26.887,767 ton x $450 per ton x Rp. 9.000,00 = Rp. 108,895,455,000 dalam rentang waktu Mei 2010 hingga April 2011.
ini menggabungkan 2 macam penelitian seperti yang digambarkan pada gambar 2.
Gambar 2 Ilustrasi Posisi Penelitian Tugas Akhir
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan performansi perusahaan. Salah satunya adalah dengan menerapkan
preventive maintenance. Dari beberapa literatur
mengatakan bahwa total cost yang dihasilkan jika perawatan dilakukan setelah peralatan rusak akan lebih tinggi jika maintenance dilakukan secara preventif karena secara prinsip
maintenance yang dilakukan secara preventif
ini adalah mencegah terjadinya kerusakan sehingga peralatan dapat digunakan untuk produksi secara optimal.
2 Konsep Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Overall Throughput Effectiveness (OTE)
2.1 OEE (Overall Efectiveness Equipment) Menurut Nakajima (1988) OEE digunakan untuk mengukur produktivitas pada tingkat peralatan. Ada 3 hal utama yang tekandung dalam OEE yaitu meluputi efisiensi ketersediaan waktu (availability), efisiensi performansi, dan efisiensi kualitas. Secara matematis OEE dapat dirumuskan sebagai berikut :
OEE = Aeff x Peff x Qeff
(2) (3) (1) Dimana :
(4)
Aeff = Tingkat Ketersediaan Peralatan Peff = Tingakat Performansi Peralatan Qeff = Tingkat Kualitas Peralatan TU = Uptime Peralatan
Tt = Total waktu observasi
Tp = Waktu Produksi pada Peralatan
Ract = Kecepatan aktual proses dari peralatan Rth = Kecepatan proses secara teori dari
peralatan
Pg = Output baik yang dihasilkan Pa = Produk aktual yang dihasilkan
Menurut Hansen (2002) bahwa menggunakan OEE dan menerapkan disciplined
equipment performance reporting system akan
membantu sistem manufaktur untuk fokus pada parameter kritis untuk menuju kesuksesan. Pada gambar 2.1 adalah komponen komponen OEE bagaimana melakukan perhitungan menggunakan konsep OEE :
Gambar 3 Teori Overall Equipment Effectiveness (Sumber : Mutiah dan Huang,2006)
Pada gambar 3 menggambarkan komponen OEE. Dalam konsep OEE terdapat 3 komponen utama yaitu availability,
performance, dan quality.
2.2 OTE (Overall Throughput Effectiveness)
Menurut Scott dan Pisa (1998) menekankan bahwa ada keuntungan menggunakan OEE ini.Walaupun pengunaan OEE ini penting dan banyak digunakan, tetapi penggunaan OEE ini tidaklah cukup. Beberapa literatur mengatakan bahwa konsep OEE ini kurang cocok jika diterapkan pada level perusahaan. Menurut Muthiah dan Huang (2006) bahwa tujuan dari OTE adalah untuk mengukur performansi dari pabrik dan dapat digunakan untuk melakukan diagnosa terhadap permasalahan bottleneck dan mengidentifikasi
hidden capacity. Pabrik adalah sebuah sistem
yang terdiri dari subsistem-subsistem yang menyusunnya. Pabrik tidak dapat disamakan dengan sebuah peralatan dimana ketika ingin menghitung performansi dari peralatan tersebut dapat digunakan OEE.
Menurut Muthiah dan Huang (2006) bahwa OTE dikembangkan berdasarkan pemikiran untuk membandingkan produktivitas aktual dengan produktivitas maksimum yang dapat dicapai. Menurut Huang (2007) Jika OEE digunakan pada level peralatan atau mesin maka OTE dapat dijadikan alat untuk mengukur performansi subsistem. Secara sederhana OTE dapat dirumuskan seperti berikut:
(5) Menurut Huang (2002) ada 4 subsistem yang unik ketika berbicara dalam lingkup OTE. Subsistem ini mencerminkan proses yang terdapat pada sebuah pabrik. Berikut adalah gambar sub-sistem :
Gambar 4 Sub-sistem
(Sumber : Muthiah dan Huang, 2006) Berdasarkan subsistem tersebut maka untuk menghitung OTE dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Tabel 2 Rumus Matematis OTE untuk masing-masing sub-sistem
(Sumber : Muthiah dan Huang, 2006)
Subsystem OTE Seri (6) Paralel (7) Assembly (8) Expansion (9)
Pada saat perhitungan diasumsikan bahwa proses pada peralatan i dan untuk nproduk yang berbeda sehingga ketika ada produk yang sama masuk kedalam proses untuk beberapa kalinya maka dianggap sebagai produk yang berbeda. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang dilihat adalah untuk mengetahui performansi dari sistem dan peralatan. Rth(i) dan Qeff(i) adalah
theoritical processing rate dan quality efficiency
dari peralatan i ketika memproses produk j (j= 1,2,3,....,n).X(ij) adalah product mix percentage dari produk j pada peralatan i. Sehingga untuk Rth(i) dan Qeff(i) dapat dihitung dengan rumus matematis sebagai berikut :
Rth(i) = Σ n
j=1 (X(ij) x Rth(ij)) (10) Qeff(i) = Σ
n
j=1 (X(ij) x Qeff (ij) 2.1 Konsep Maintenance
) (11)
2.2.1 Model Keandalan Komponen dengan Beberapa Jenis Aktivitas Preventive
Maintenance
Maintenance adalah salah satu upaya
untuk menjaga ketersediaan peralatan/mesin.
Maintenance sangat berkaitan dengan reliability
dari peralatan / mesin. Dimana reliability ini adalah suatu probabilitas peralatan / mesin dapat digunakan menurut fungsi yang didefinisikan pada peralatan / mesin tersebut Márquez (2007). Secara umum untuk rumus matematis
reliability pada distribusi weibull 2 parameter
adalah sebagai berikut
(12)
R(t) : Reliability η : Scale parameter β : Shape parameter
Untuk mengambarkan efek dari perawatan terhadap sistem yang terdiri dari banyak komponen (multi-component) maka dibagi menjadi 3 macam kegiatan yang termasuk dalam kegiatan preventive
maintenance. Ketiga kegiatan tersebut meliputi mechanical service, repair, dan replacement
(Tsai et al, 2004). Penjelasan mengenai ketiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
• Maintenance Mechanical Service (1a). Kegiatan ini menekankan pada perawatan sistem pada kondisi pengoperasian normal. Beberapa aktivitas yang dilakukan antara lain adalah pelumasan, kalibrasi, dan pembersihan mesin
• Maintenance repair (1b). Kegiatan ini meliputi perbaikan terhadap komponen yang bermasalah dalam suatu mesin.
• Maintenance replacement (2P). Pada kegiatan ini adalah melakukan penggantian terhadap komponen yang telah rusak dengan komponen yang baru.
Ketika suatu komponen menerima perlakuan secara mekanik dalam rangka perawatan terhadap mesin maka untuk keandalan dari komponen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
(13) Keterangan :
R0,j : initial reliability komponen saat pada tahap ke-j
Rv,j : reliability degradation komponen saat pada tahap ke-j
Dimana untuk reliability degradation memiliki rumus matematis seperti pada persamaan.
(j-1)tp < t < jta (14) Sedangkan untuk initial reliability atau keandalan awal saat pada tahap ke-j dirumuskan dalam persamaan 2.15.
R0,j = Rfj-1 = R0,j-1.R(tp) (15)
Sedangkan ketika komponen mendapat perlakuan perawatan dalam kategori repair akan memiliki initial reliability (R0,j) yang berbeda dengan komponen yang mendapat perlakuan hanya mechanical service ataupun replacement.
R0,j = Rfj-1 + m2(R0 – Rfj-1) (16) Berdasarkan persamaan 13 dan 14 maka untuk
reliability dapat dituliskan pada persamaan 2.17.
(17) Untuk melakukan penjadwalan preventive
maintenance terdapat beberapa parameter yang
harus ditentukan yaitu faktor perbaikan (improvement factor) yang terdiri dari m1 dan m2. m1 dan m2
2.2.2 Maintenance Benefit dan Availability dan Maintenance Cost
juga dapat dapat dikatakan sebagai faktor ekstrinsik dan intrinsik.
(18) (19) Dalam aktivitas perawatan mesin memerlukan waktu untuk menyelesaikan aktivitas ini. Secara garis besar maintenance terbagi menjadi 2 macam yaitu corrective
maintenance dan preventive maintenance. Corrective maintenance memerlukan waktu
yang lebih lama jika dibandingkan dengan
preventive maintenance. Hal ini dikarenakan corrective maintenance baru dilakukan jika
komponen dalam suatu mesin sudah rusak. (20)
Pemilihan aktivitas perawatan ini berkaitan dengan reliability sesaat sebelum dilakukan perawatan dan berubahan keandalan setelah dilakukan aktivitas perawatan yang meliputi mechanical service (1a), repair (1b), maupun replacement (2P). Secara matematis
maintenance benefit dapat dirumuskan sesuai
dengan persamaan (2.23).
(21) Ketika telah mengetahui aktivitas perawatan yang dipilih maka dapat dilakukan estimasi terkait ketersediaan (availability) dari mesin.
(22) Ketika persamaan 2.24 dihubungkan dengan kondisi nyata di lapangan dan definisi dari availability maka persamaan availability akan menjadi sebagai berikut :
(23) Hal ini dikarenakan untuk maintenance yang telah direncanakan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan availability. Karena aktivitas
Kemudian untuk mengetahui availability dari beberapa mesin (multi mesin) yang terintegrasi menjadi satu rangkaian seri yang saling mempengaruhi adalah dengan mencari nilai minimum dari availability tiap mesin yang telah dijadwalkan.
Pada langkah akhir dari setiap tahap untuk menjadwalkan perawatan ini makan dilakukan perhitungan biaya perawatan. Biaya ini meliputi 2 komponen utam yaitu biaya
preventive maintenance (PM) dan biaya corrective maintenance (CM). Secara matematis
perhitungan dari biaya ini dapat diruskan pada persamaan(2.26). Sebagai berikut :
(24)
3 Pengumpulan Data dan Analisis Kondisi Eksisting
3.1 Pengukuran Performansi Sistem produksi Pada bagian ini dilakukan pengumpulan data dan pengolahan terkait pengukuran performansi sistem produksi. Data terkait cycle time didapatkan dari
value stream mapping yang menjadi standar bagi
perusahaan dalam mengolah produk. Kemudian dilakukan perhitungan untuk mencari theoretical
production rate untuk masing-masing jenis produk
yang dikerjakan.
Tabel 3 Theoretical Production Rate Plat Baja jenis
High strength dengan tebal > 25mm
Mesin Berat Max per Slab (kg) Tc (menit) Theoretical Production Rate (kg/jam) Cutting Slab 6131 16 22991 Reheating furnace 6131 12 30655 Rolling mill 6131 8 45983 Hot leveler 6131 4.8 76638
Tabel 4 Theoretical Production Rate Plat Baja jenis
High strength dengan tebal < 25mm
Mesin Berat per Slab (kg) Tc (menit) Theoretical Production Rate (kg/jam) Cutting Slab 4869 14 20867 Reheating furnace 4869 10 29214 Rolling mill 4869 7 41734 Hot leveler 4869 4.2 69557
Tabel 5 Theoretical Production Rate Plat Baja jenis
Mild steel dengan tebal > 25mm
Mesin Berat per Slab (kg) Tc (menit) Theoretical Production Rate (kg/jam) Cutting Slab 5984 14 25646 Reheating furnace 5984 10 35904 Rolling mill 5984 6 59840 Hot leveler 5984 3.6 99733
Tabel 6 Theoretical Production Rate Plat Baja jenis
Mild steel dengan tebal < 25mm
Mesin Berat per Slab (kg) Tc (menit) Theoretical Production Rate (kg/jam) Cutting Slab 4499 12 22495 Reheating furnace 4499 8 33743 Rolling mill 4499 5 53988 Hot leveler 4499 3 89980
Tabel 7 Theoretical Production Rate Plat Baja untuk mesin Descaller, Deviding Shear, dan Cooling bed
Mesin Berat per Slab atau plat (kg) Tc (menit) Theoretical Production Rate (kg/jam) Descaller 6131 1 367,860 Deviding shear 5181 1 310,860 Cooling bed 5181 5 62,172
Pada kondisi eksisting di perusahaan, komponen
availability dapat dijelaskan sebagai berikut:
Plant Shutdown
Kejadian pada perusahaan yang dapat dikatakan
plant shutdown adalah ketika terjadi pemadaman
listrik oleh PLN dan tidak adanya order plat baja yang diterima oleh perusahaan. Komponen
availability ini termasuk dalam downtime yang
terencana (planned downtime)
Scheduled Downtime
Kejadian yang termasuk scheduled downtime adalah ketika pengecekan rutin yang dilakukan terhadap mesin produksi dan penggantian komponen workroll pada mesin rolling mill. Komponen availability ini juga termasuk dalam
downtime yang terencana (planned downtime)
Failure Time
Kejadian yang termasuk dalam failure time adalah kerusakan pada komponen selain komponen
workroll pada mesin rolling mill. Komponen availability ini termasuk downtime yang tidak
terencana karena perusahaan tidak memperkirakan kapan komponen dalam suatu mesin akan rusak sehingga tergolong dalam unplanned downtime.
Setup dan Adjustment time
Setup dan adjustment time adalah waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan setup pada mesin sebelum memulai aktivitas produksi dan melakukan beberapa penyesuaian mesin untuk melakukan beberapa proses tertentu. Komponen
setup dan adjustment ini dimasukkan kedalam
kompoen equipment operation time.
Equipment Operation Time
Komponen ini berkaitan dengan waktu yang ditempuh oleh peralatan dalam melakukan proses produksi.
Pada faktor kualitas didahului dengan mengidentifikasi masalah kualitas dengan menggunakan Root Cause Analysis (RCA) sehingga didapatkan dimana letak kemungkinan cacat pada produk terjadi. Berikut adalah tabel hasil identifikasi RCA :
Tabel 8 Keterkaitan antara Jenis Cacat dengan Mesin Jenis Cacat pada Produk Kode Cacat Penjelasan Mesin yang Berpotensi Menyebabkan Cacat Short
Width SW Lebar plat kurang memenuhi spesifikasi Rolling mill
Under
Gage UG Plat yang diproduksi terlalu tipis Rolling mill
High
Gage HG Plat yang diproduksi terlalu tebal Rolling mill
Spongy
SPONG Y
Terdapat lubang kecil pada plat(seperti batu karang) bahan baku kurang bagus Chambe r CHAM BER
Plat berbentuk miring(bentuknya tidak
persegi empat) Rolling mill Run
Weavy RW
Terjadi banyak gelombang pada plat
(plat tidak rata) RM dan furnace
Deep Scale Pit
deep scale pit
Kerak yang tertanam dalam pada plat
(tertanam jauh di dalam plat) Descaller Flatness
FLATN
ES Ujung dari plat naik ke atas (tidak rata) Hot leveller Long
Split
LONG SPLIT
Pada plat terdapat garis yang memanjang
bahan baku kurang bagus
Scale SCALE
Kerak yang tertanam di dalam plat tetapi
tidak dalam Descaller Sliver
SLIVE R
Terdapat bagian pada plat yang terkelupas tapi panjang
bahan baku kurang bagus
Weavy
WAVE Y
Terdapat gelombang pada plat tetapi
tidak banyak Rolling Blister
BLISTE
R Ada bagian dari plat yang terkelupas
bisa dari bahan baku,Rolling
3.2 Pengolahan Data Bagian Maintenance 3.2.1 Identifikasi Komponen Kritis pada
Tiap Mesin
Setiap mesin tentu memiliki komponen-komponen yang dapat rusak setiap waktu karena kerusakan merupakan suatu probabilitas yang bersifat acak. Dalam melakukan identifikasi komponen kritis yang akan dijadikan objek amatan dapat dilakukan dengan membuat pareto chart untuk kerusakan tiap komponen pada tiap mesin yang rusak selama satu tahun (Mei 2010-April 2011). Dengan memasukkan frekuensi kerusakan tiap komponen pada tiap mesin kedalam pareto chart maka akan didapat komponen kritis mana saja yang menyebabkan mesin berhenti produksi. Langkah selanjutnya adalah menggunakan pareto chart untuk pemilihan komponen kritis yang akan dimasukkan ke dalam program untuk dilakukan mekanisme penjadwalan preventive
maintenance.
Tabel 9 Rekap Kerusakan Komponen Mesin
Reheating furnace (Mei 2010-April 2011)
Nama Komponen
Frekuensi Kerusakan dalam
satu Tahun Roll Table A1 furnace no 1 dari selatan 1 As penggerak gear box ekstraktor furnace 1
Roll Table furnace 5
RT furnace (dlm spray box) RT no 7 & 9 1 Motor Roll Table furnace 3
RT A2 furnace 1 Kopling motor RT A2 1 Kopling motor RT A1 1 Rubber klep 8 Valve DN 125 5 Piston no 1 descalling II 4 Safety valve DN 90 2 Pipa inlet 2 Akrilik (auto) 2
Baut safety valve DN 90 2
Oring seal fland valve DN 100 1
Work Roll 39
Backup Roll 9
As Pendek Feed Roll 6Q 11
As Pendek Feed Roll 7Q 11
Spray Mill 27
Screw Down 7
Hidraulic 7
WorkRoll Hot leveler 24
Roll Hot leveler 20
Z26 SD hotleveller 1
Support kopling bearing screw down hot leveler 1
Support WR hotleveller 1
Eksentrik gunting 40mm 7
Brik motor gunting 40mm 5
Pisau Gunting 40mm 3
Rantai cooling bed 18
Rantai eksentrik C,B 1
Exentrik cooling bed 1
Exentrik cooling bed 1
Setelah mengetahui frekuensi kerusakan komponen dari masing-masing mesin maka langkah selanjutnya adalah menggunakan pareto chart untuk menentukan komponen kritis yang akan dijadikan objek penjadwalan preventive
maintenance pada program akan dibuat.
Selanjutnya setelah melakukan pareto chart maka dilakukan fitting distribusi terhadap komponen kritis sehingga didapatkan parameter eta(η) dan beta(β) tiap komponen kritis.
Tabel 10 Parameter untuk Tiap Komponen Mesin Komponen Kritis Beta Eta Reheating
furnace
Roll Table furnace 1.8165 1817.3397 Motor Roll Table furnace 4.8691 1296.2479 Descaller Rubber klep 1.3328 1059.0636 Valve DN 125 4.6762 1741.4443 Piston no 1 descalling II 1.5313 1862.1267 Rolling mill Work Roll 2.1661 99.2863 Spray Mill 1.2126 112.8740 As Pendek Feed Roll 6Q 0.8779 545.9211 As Pendek Feed Roll 7Q 1.1413 472.0205 Backup Roll 1.3307 533.6012 Hot leveller WorkRoll Hot leveller 1.2815 182.0712 Roll Hot leveller 1.3276 343.2617
Tabel 11 Parameter untuk Tiap Komponen (lanjutan) Mesin Komponen Kritis Beta Eta Deviding
shear
Eksentrik gunting 40mm 7.2224 1192.3682 Brik motor gunting 40mm 7.5304 1693.5510 Cooling bed Rantai cooling bed 1.2131 308.5052
3.2.2 Identifikasi Waktu Maintenance Dalam sub bab ini akan menjelaskan mengenai waktu yang diperlukan dalam perawatan ketika terjadi komponen yang rusak. Waktu TTR ini dapat dijadikan parameter t2P
Tabel 12 Time to Repair (t
untuk waktu yang diperlukan ketika komponen rusak karena sebagian besar waktu ini penggantian ini adalah replacement. Karena pada kondisi eksisting kegiatan replacement ini terkait dengan proses penggantian komponen yang rusak dan harus diganti dengan komponen yang baru. 2P) Komponen Kritis Mesin Komponen Kritis TTR (menit) t 1a (menit) t 1b (menit) Reheating furnace Roll Table furnace 32.4 20 26 Motor Roll Table furnace 28.33 15 20 Descaller Rubber klep 87.25 30 50 Valve DN 125 32 15 25 Piston no 1 descalling II 19.25 10 15 Rolling mill Work Roll 171.175 60 120 Spray Mill 23.703 15 20 As Pendek Feed Roll 6Q 76.45 20 60 As Pendek Feed Roll 7Q 59.9 20 50 Backup Roll 595 60 500 Hot leveller WorkRoll Hot leveller 34.208 15 30
Roll Hot leveller 38.45 15 30
Deviding shear Eksentrik gunting 40mm 14.43 8 12 Brik motor gunting 40mm 16 8 12 Cooling bed Rantai cooling
bed 14.28
8 12
Berdasarkan wawancara dan diskusi dengan pihak perusahaan maka didapatkan standar waktu untuk aktivitas mechanical
service (t1a) dan repair (t1b) dapat dilihat pada
tabel di bawah ini. Dalam penelitian ini juga berkaitan dengan improvement factor m1 dan m2 dimana m1 merupakan faktor yang berhubungan dengan unsur ekstrinsik yang mempengaruhi aktivitas maintenance
mechanical service (1a) seperti aktivitas
pembersihan, lubrikasi, dan segala hal dari luar komponen yang dapat mempengaruhi kondisi
maintenance. Sedangkan m2 merupakan segala
hal yang berasal dari dalam komponen seperti yang menyebabkan kerusakan pada komponen. Kerusakan kecil yang tergolong pada faktor m2 ini antara lain vibrasi yang terlalu keras, penyumpatan, dan aus. Nilai m1 dan m2 ini diasumsikan ditentukan oleh ahli pada bidang
maintenance di perusahaan. Berdasarkan diskusi
dengan pihak perusahaan maka ditetapkan nilai m1 dan m2
3.2.3 Penentuan Komponen Biaya Maintenance
masing-masing adalah sama yaitu 0,8.
Biaya perawatan terencana ini bergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan. Pada bab 2 telah dijelaskan macam-macam aktivitas yang termasuk dalam preventive
maintenance yang dibahas di penelitian ini yaitu mechanical service (1a), repair(1b), dan replacement (2P). Untuk aktivitas 1a dan 1b
komponen utama dari biaya maintenance adalah biaya tenaga kerja dan biaya kehilangan kesempatan produksi. Biaya tenaga kerja adalah Rp1.115.000 per bulan. Diasumsikan pekerja bekerja 20 hari dalam 1 bulan dan 8 jam per hari. Sedangkan biaya kehilangan kesempatan produksi adalah Rp134.986.500 per jam.
Biaya Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja : 42 orang
UMR Surabaya : Rp 1.115.000,00 /bulan
Jam kerja pegawai : 160 jam/bulan
Biaya tenaga kerja (per jam) : 42 orang x Rp
1.115.000,00/160jam/bln = Rp 292.687,00
3.2.4 Umur Komponen
Biaya Kesempatan Produksi yang Hilang Kapasitas Produksi (per jam) : 33,33 ton
Harga Baja (US$/ton) : US$ 450
Kurs Rupiah terhadap US$ : Rp 9000,00
Biaya (per jam) : 33,33 x 450 x 9000
= Rp 134.986.500,00
Selain biaya tenaga kerja dan kesempatan produksi yang hilang, komponen biaya perawatan yang lainnya adalah hagra komponen. Biaya total PM juga ditentukan oleh lamanya waktu untuk tiap aktivitas maintenance dan waktu ketika komponen mengalami
breakdown.
Perancangan program pada penelitian ini mengakomodir umur komponen saat akan
melakukan penjadwalan preventive
maintenance. Kondisi di lantai produksi bahwa
setiap komponen memiliki umur yang berbeda-beda pada periode waktu tertentu (t) sehingga pada perancangan program ini membutuhkan input berupa data umur komponen saat akan melakukan penjadwalan perawatan. Hal ini menyebabkan rancangan program lebih merepresentasikan kondisi eksisting di lantai produksi. Umur komponen per 1 Mei 2011 tersaji pada tabel 13.
Tabel 13 Tabel Umur Komponen per 1 Mei 2011
Komponen Kritis Waktu Tempuh
(jam)
Roll Table furnace 132,417 Motor Roll Table furnace 2.263,250
Rubber klep 619,033
Valve DN 125 1.643,667
Piston no 1 descalling II 403,500
Work Roll 10,200
Spray Mill 30,567
As Pendek Feed Roll 6Q 174,95 As Pendek Feed Roll 7Q 152,033
Backup Roll 281,383
WorkRoll Hot Leveller 64,383
Roll Hot Leveller 64,383
Eksentrik gunting 40mm 64,383 Brik motor gunting 40mm 42,900
Rantai cooling bed 42,900
3.2.5 Penetapan Interval Preventive Maintenance
Pertimbangan utama penetapan interval PM ini adalah sistem produksi yang merupakan rangkaian seri dan jika salah satu mesin terjadi
breakdown maka mesin yang lain juga tidak
dapat memproses material. Berdasarkan hal ini maka penetapan interval PM adalah pada komponen yang memiliki rata-rata umur hidup (Mean Time To Failure) yang paling minimum sehingga untuk periode-periode PM selanjutnya merupakan kelipatan dari umur. Secara matematis rumus Mean Time To Failure (MTTF) dapat dituliskan sebagai berikut :
(25) Sebelumnya mencari mean pada distribusi weibull 2 parameter dapat menggunakan persamaan 4.7.
(26)
Jika menggunakan bantuan software Excel maka untuk mendapatkan nilai Γ(1+1/β) atau yang disebut complate gamma function dapat
mengunakan formula “=EXP(GAMMALN(1+1/β))”. Hal ini
mengingat nilai dari complate gamma function yang cukup susah dicari jika menghasilkan nilai yang berbentuk desimal. MTTF tiap komponen kritis adalah sebagai berikut :
Tabel 14 MTTF Komponen Kritis
Mesin Komponen Kritis Beta Eta MTTF (jam)
Reheating Furnace
Roll Table furnace 1,8165 1817,3397 1615,44 Motor Roll Table
furnace 4,8691 2196,2479 2013,43 Descaller Rubber klep 1,3328 1059,0636 973,42 Valve DN 125 4,6762 1741,4443 1592,74 Piston no 1 descalling II 1,5313 1862,1267 1676,99 Rolling Mill Work Roll 2,1661 99,2863 87,93 Spray Mill 1,2126 112,8740 105,89 As Pendek Feed Roll
6Q 0,8779 545,9211 582,51 As Pendek Feed Roll
7Q 1,1413 472,0205 450,23 Backup Roll 1,3307 533,6012 490,59 Hot leveller WorkRoll Hot Leveller 1,2815 182,0712 168,65 Roll Hot Leveller 1,3276 343,2617 315,73 Deviding
Shear
Eksentrik gunting
40mm 7,2224 1192,3682 1117,19 Brik motor gunting
40mm 7,5304 1693,5510 1590,13 Cooling
Bed Rantai cooling bed 1,2131 308,5052 289,40
Berdasarkan tabel 14 maka didapatkan nilai MTTF yang paling minimum adalah pada komponen Work Roll pada mesin Rolling Mill. MTTF untuk komponen Work Roll adalah 87,93 jam. Dilakukan pembulatan ke bawah untuk menghindari terjadinya breakdown sehingga ditetapkan interval PM untuk sistem produksi adalah 87 jam.
4 Perancangan dan Implementasi Program Aplikasi
4.1 Data Flow Diagram Program
Pada gambar 5 merupakan data flow
diagram untuk program yang dirancang dalam
Program aplikasi untuk mengukur performansi sistem produksi dan
penjadwalan PM
Proses 1 Input data dan klasifikasi
data dari Cutting Slab user
Data produksi Cooling Bed
Data Produksi Cutting Slab
Down Time Mesin Komponen Mesin OEE dan OTE Subsystem Penjadwalan PM dan Availability sistem Data produksi Cooling Bed Proses 2 Input data dan klasifikasi data produksi dari cooling
bed Cacat Produk pada tiap stasiun
Quaility Rate Proses 3 Input data Downtime
Mesin
Proses 4
Menghitung OEE dan OTE Down Time Mesin
Quantity Produk OEE dan OTE Subsystem
Proses 5
Input Komponen Mesin Komponen Mesin
Quality Produk
Downtime
Uptime
Actual Availability lini produksi
Quantity Produk Quality Produk
Proses 6
Penjadwalan PM
Penjadwalan PM Dan Availability Sistem
Sheet mainenance
Actual Availability lini produksi
Bottleneck Indicator Biaya Maintenance
Maintenance cost
Gambar 5 Data Flow Diagram Program Aplikasi
Berdasarkan data flow diagram diatas maka dapat diketahui bahwa output yang diharapkan dari rancangan program ini adalah untuk mengetahui actual availability lini produksi, OEE dan OTEsubsistem
4.2 Flow Chart Program
, bottleneck indicator, penjadwalan preventive maintenance, availability dan biaya maintenance.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa program ini terdiri dari 2 bagian yaitu bagian pertama untuk memonitor performansi sistem produksi dan bagian yang kedua digunakan untuk menjadwalkan PM untuk mesin-mesin yang ada pada lini produksi.
4.2.1 Flow Chart untuk Bagian Pengukuran Performansi Sistem Produksi dan Penjadwalan PM
Tahap-tahap yang harus dilalui untuk mendapatkan nilai OEE dan OTE ditampilkan pada gambar 6. Start Input data : • Cutting Slab • Cooling Bed • Trouble Mesin
Klasifikasi data pada cutting slab (tipe produk dan
kuantitas)
Klasifikasi data pada cooling bed (tipe produk,kuantitas, dan
kualitas)
Klasifikasi data untuk downtime yang terencana (planned downtime) dan
downtime yang tidak terencena (unplanned downtime)
Perhitungan Availability tiap mesin Perhitungan aspek
performansi tiap mesin
Perhitungan aspek kualitas tiap mesin
Finish Perhitungan OEE tiap mesin
Perhitungan OTE subsistem masing-masing mesin yang
sejenis
Perhitungan OTE dari sistem produksi
‘
Gambar 6 Flowchart untuk Bagian Pengukuran Performansi Sistem Produksi
Pada gambar 6 memberikan gambaran mengenai alur program dalam menghitung performansi dari sistem produksi. Input yang dibutuhkan pada bagian ini terdiri dari 3 macam yaitu data produksi pada cutting slab, cooling
bed, dan data breakdown pada mesin. Untuk
perhitungan yang dilakukan pada program ini adalah menggunakan konsep OEE dan OTE. Pertama yang dihitung adalah OEE untuk setiap mesin. Setelah nilai OEE ini didapat maka selanjutnya adalah menghitung efektifitas sistem produksi dengan menggunakan konsep OTE. 4.2.2 Flow Chart untuk Bagian Penjadwalan
Preventive Maintenance
Pada gambar 7 merupakan flowchart untuk melakukan penjadwalan PM untuk mesin yang telah dipilih pada bab sebelumnya.
Reliability Checking pada step(tahap) ke-j (mulai dari tahap
ke-1)
Perhitungan Maintenance Benefit (Bi,k) pada step ke-j (mulai dari
tahap ke-1) Ri,j < 0,8 ? 0,9 > Ri,j > 0,8 ? Max Bi,k = 1b ? PM action = 2P PM action = 1b PM action = 1a Perhitungan Availability dan perhitungan Cost Yes Yes Yes No No Tahap selanjutnya (j+1) j=10 ? Finish Yes No Input parameter dari
tiap komponen : • Β (beta) • η(eta) • Umur Komponen • t1a • t1b • t2P • Harga Komponen • Faktor Waktu Start No Action No
Max Bi,k = 1a ? Yes
No
Gambar 7 Flowchart untuk Penjadwalan
Maintenance
Pada flowchart di atas parameter untuk
reliability minimum dari bagian penjadawalan maintenance merupakan ketetapan yang telah
didefinisikan oleh user dari hasil wawancara dan diskusi oleh bagian maintenance. Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak perusahaan maka ditetapkan minimum
reliability untuk aktivitas replacement adalah
0,8. Artinya komponen yang memiliki
reliability < 0,8 maka komponen tersebut harus
diganti. Minimum reliability aktivitas repair dan mechanical service adalah 0,9.
5 Implementasi Rancangan Program pada Perusahaan
5.1 Pengukuran Performance Sistem Produksi
5.1.1 Tampilan Program
Pada bagian yang pertama ini adalah pengukuran performansi dari sistem produksi perusahaan mulai dari cutting slab hingga
cooling bed. Pada bagian ini merupakan bagian
untuk mengukur performansi sistem produksi dari perusahaan dengan melakukan penilaian kinerja masing-masing mesin. Pada gambar 8 berikut merupakan tampilan dari program.
Gambar 8 Interface Awal Program
Pada tampilan awal tersebut terdiri dari 2 bagian yaitu pengukuran performansi sistem produksi dan penjadwalan maintenance. Pada bagian pengukuran performansi perusahan terdapat 4 tombol yang akan menghubungkan dengan sheet yang lain yang akan meminta user untuk mengisi tiap sheet tersebut. Sedangkan pada bagian penjadwalan maintenance akan menghubungkan dengan sheet maintenance yang selanjutnya akan meminta user untuk mengisi userform terkait komponen yang akan dijadwalkan preventive maintenance. User Diarahkan untuk mengisi sheet Cutting slab 1-4, sheet Cooling Bed, Sheet Trouble Mesin, dan sheet OTE.
Gambar 9 Contoh Tampilan Input Data untuk
Cutting slab 1
Karena tidak adanya data yang merekam output dari masing-masing mesin mulai dari mesin cutting slab 1 hingga cutting
slab 4 maka diasumsikan setiap mesin
mengerjakan beban yang sama pada bulan April 2011 sehingga output jumlah raw material yang diproses untuk masing-masing mesin selama bulan April 2011 adalah sama.
Gambar 10 Input data Cooling bed
Gambar 11 Input Data Trouble Mesin
5.1.2 Output dari Bagian Pengukuran Performansi pada Program
Sebelum mendapatkan nilai OTE dari sistem produksi maka hal yang dilakukan pada saat awal menjalankan program adalah meng-input kan data dari mesin cutting slab 1-4,
cooling bed, dan downtime mesin. Berikut
adalah tampilan awal dari program ketika telah meng-inputkan data produksi mesin cutting
slab:
Gambar 12 Output Sheet Cutting Slab 1
Dari gambar tersebut didapatkan informasi terkait material yang dikerjakan oleh mesin cutting slab 1-4. Material yang telah
dikerjakan diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Seperti yang dapat dilihat bahwa mesin banyak mengerjakan produk jenis Mild steel. Selanjutnya adalah mengisi sheet cooling bed untuk mendapatkan jenis plat yang diproduksi dan tingkat kualitas dari mesin.
Gambar 13 Output Sheet Cooling Bed
Pada sheet ini user mendapatkan informasi terkait produk yang dikerjakan oleh mesin dan tingkat defect. Tingkat defect ini berdasarkan aturan potensi cacat yang disebabkan oleh mesin berdasarkan RCA yang telah dibuat.
Gambar 14 Output Sheet Trouble Mesin
Sedangkan untuk output dari sheet trouble mesin, user mendapatkan informasi terkait jam yang tersedia untuk melakukan aktivitas produksi. Gambar diatas didapatkan informasi bahwa mesin reheating furnace hingga deviding shear memiliki availability yang sama yaitu sebanyak 619,783 jam. Nilai ini sama karena mesin-mesin ini merupakan subsistem yang terangkai menjadi seri sehingga memiliki availability yang sama.
Output dari program ini terjadi dari 2 macam pada pengukuran performansi dari sistem produksi yaitu berupa tabel rekapan dari running program dan berupa grafik dan rekap nilai Overall Throughput Effectiveness (OTE) dari sistem produksi. Pada tabel di bawah ini
merupakan tampilan output dari bagian pengukuran performansi sistem.
Gambar 15 Output Program Pengukuran Performansi Sistem
Pada gambar 15 menyajikan beberapa informasi terkait pengukuran performansi sistem produksi dengan pendekatan OTE. Berdasarkan perhitungan diatas maka didapatkan nilai OTE lini produksi perusahaan adalah pada tingkat 0,518. Nilai ini merepresentasikan efektivitas dari sistem produksi.
5.2 Penjadwalan Preventive Maintenance 5.2.1 Proses Input Komponen
Pada bagian yang kedua ini adalah hal yang berkaitan dengan penjadwalan
maintenance. Pada awalnya user diarahkan
untuk memasukkan data komponen yang akan dilakukan penjadwalan maintenance. Data yang dimasukkan antara lain :
• Nama komponen • Beta
• Eta
• Umur komponen saat ini • t
• t1a • t1b
• Harga Komponen 2P
• Biaya Tenaga Kerja per jam • Kesempatan produksi per jam Kemudian user melakukan langkah ini secara berulang hingga komponen yang ingin dijadwalkan telah ter-input secara keseluruhan. Kemudian user diarahkan untuk menekan tombol “Add Component” pada bagian kanan
user form untuk menjalankan makro yang telah
diprogram. Makro yang diprogram pada tombol “Add Component” berisikan coding untuk menjalankan algoritma untuk preventive
maintenance. Jika seluruh proses input data
komponen telah selesai. Kemudian menekan tombol “Close” untuk keluar dari userform “Add Component”.
Untuk faktor waktu diisi dengan nilai 1,6 karena dengan menginputkan nilai ini maka akan menghasilkan nilai tb,m>ta,m. Dimana tb,m adalah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan.
Gambar 16 Userform Add Component
Gambar 17 Tampilan Sheet Maintenance
Tabel 15 Output Program utuk Maintenance Cost Maintenance Cost
PERIODE Cost CM Cost PM Total
1 Rp 1,152,684,049 Rp 779,752,642.53 Rp 1,932,436,692 2 Rp 622,942,084 Rp 458,548,690.07 Rp 1,081,490,774 3 Rp 855,551,886 Rp 909,489,829.53 Rp 1,765,041,715 4 Rp 720,727,503 Rp 593,879,877.07 Rp 1,314,607,380 5 Rp 823,197,068 Rp 909,659,829.53 Rp 1,732,856,897 6 Rp 692,920,295 Rp 593,827,877.07 Rp 1,286,748,172 7 Rp 788,361,215 Rp 909,489,829.53 Rp 1,697,851,044 8 Rp 730,777,922 Rp 594,907,877.07 Rp 1,325,685,799 Rp 4,611,535,888 Rp 5,749,556,452.39 Rp 10,361,092,341
Tabel 16 Output Jadwal Preventive
Maintenance
Pada tampilan akhir untuk bagian penjadwalan preventive maintenance terdapat 3 bagian yang nantinya dapat dilakukan analisis
yaitu rekap jadwal preventive maintenance,
availability, dan cost maintenance.
5.3 Analisis Hasil Pengukuran Performansi Sistem Produksi
5.3.1 Analisis Availability dari Mesin
Bottleneck indicator ini adalah
berhubungan dengan kecepatan produksi dari masing-masing mesin. Berdasarkan output dari program ini dapat diketahui stasiun yang menjadi bottleneck adalah rolling mill. Sehingga perusahaan dapat melakukan suatu perbaikan pada aspek ini mungkin dengan penambahan mesin atau memperbaiki proses yang ada di dalamnya.
Tabel 17 Rekap Pengukuran Performansi Sistem Produksi
Berdasarkan tabel 17 pada kolom
availability dapat disimpulkan bahwa avaibility
yang terendah dimiliki oleh mesin reheating
furnace, descaller, rolling mill, hot leveller, dan dividing shear. Masing-masing mesin ini
memiliki availability sebesar 0,8943 atau sebesar 89,43%. Kelima mesin ini memiliki
availability yang sama karena kelima mesin ini
bekerja secara terintegrasi sehingga jika salah satu mesin mengalami kerusakan maka mesin yang lain dari kelima mesin tersebut juga harus berhenti berproduksi. Hal ini mengakibatkan
availability kelima mesin ini menjadi sama.
Dalam cooling bed material dapat disimpan (WIP) sehingga tidak harus menunggu dari proses selanjutnya. Hal ini mengakibatkan
availability pada stasiun cooling bed ini pada
periode April 2011 sebesar 0.9961 atau sebesar 99,65%. Sedangkan pada mesin cutting slab 1-4 memiliki availability sebesar 0,9888 atau 98,88%. Nilai ini juga cukup tinggi mengingat pada stasiun ini jarang mengalami breakdown. Pada stasiun ini juga memiliki cycle time yang cukup lama sehingga mesin ini dituntut memiliki availability yang cukup tinggi.
Gambar 18 Grafik Availability dan OTE
Pada gambar diatas memberikan informasi kepada user terkait availability dari masing-masing mesin dan OTE dari subsistem. Kedua informasi ini merupakan faktor yang penting dalam menganalisis efektivitas performansi dari sistem produksi perusahaan. Seperti.
5.3.2 Analisis Bottleneck Indicator dan
Overall Throughput Effectiveness
Berdasarkan output program yang telah ditampilkan, ada beberapa informasi yang didapatkan terkait dengan permasalahan
bottleneck dan performansi sistem secara
keseluruhan. Berdasarkan bottleneck indicator mesin rolling mill adalah mesin yang memiliki nilai bottleneck indicator yang paling minimum dari subsistem yang lainnya. Maksud bottleneck
indicator ini bukan banyaknya WIP yang
menumpuk pada mesin ini untuk menunggu diproses.
Informasi lain yang didapatkan pada output program ini adalah performansi efektivitas produksi dari sistem ini berada pada tingkat 0,518020199 atau 51,8020199%. Nilai ini mencerminkan efektivitas dari sistem produksi secara keseluruhan. Saat ini perusahaan hanya berpedoman pada availability untuk meilai proses produksinya. Jika melihat alur perhitungan performansi dari sistem produksi, availability merupakan bagian yang dalam penelitian ini. Jika dibandingkan antara
availability maka OTE ini lebih representatif
dalam mencerminkan efektivitas dari sistem produksi secara keseluruhan.
5.4 Analisis Output Program untuk Penjadwalan Preventive Maintenance 5.4.1 Analisis Availability Hasil
Penjadwalan PM
Berdasarkan program maka dapat diketahui mekanisme penjadwalan PM dari komponen yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Tabel 18 Rekap Availability PM
Pada tabel di atas periode penjadwalan hanya sampai pada 696 jam. Hal ini disesuaikan dengan kondisi eksisting perusahaan dimana perusahaan memiliki sekitar 696 jam kerja efektif selama 1 bulan. Batas komponen tersebut baru dikenakan aktivitas maintenance adalah 0,9. Nilai ini adalah hasil diskusi dengan pihak perusahaan. Perusahaan perlu memperhatikan ketersediaan komponen tersebut. Jika dibandingkan dengan availability pada bulan April 2011 maka terjadi peningkatan availability pada perencanaan maintenance untuk periode selanjutnya.
Availability bulan April 2011 : 0,8943
Availability periode perencanaan : 0,9363
Peningkatan Availability : 0,0420 Berdasarkan karakteristik proses produksi tersebut maka nilai availability untuk mesin
reheating funace hingga deviding shear adalah
sama. Sedangkan availability untuk stasiun
cooling bed adalah 0,99849. Nilai 0,0420 atau
4,20% untuk peningkatan yang terjadi merupakan nilai yang cukup tinggi. Pada program terdapat 8 periode waktu penjadwalan dimana total waktu yang tersedia (net available
time) yang dapat digunakan untuk aktivitas
produksi adalah 696 jam. Nilai peningkatan ini memiliki arti sebagai berikut :
Net available time : 696 jam
Peningkatan availability : 4,20 %
Peningkatan availability : 4,20 % x 696 jam = 29,32 jam
Harga Baja /ton : $450 Kapasitas Produksi : 33 ton/jam
Keuntungan Produksi : 33 x 29,32 x 450 x Rp 9000 = Rp 3.945.925.368,00
Berdasarkan perhitungan di atas maka perusahaan mendapat waktu ekstra untuk melakukan kegiatan produksi sebanyak 29,32
jam. Nilai tersebut setara dengan keuntungan yang didapat perusahaan untuk dapat memproduksi plat lebih banyak sekitar Rp3.945.925.368,00 jika dikonversikan kedalam bentuk nominal uang.
6 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pada penelitian tugas akhir telah dilakukan perancangan alat bantu untuk mengukur performansi sistem produksi dan penjadwalan PM dalam bentuk program aplikasi. Berdasarkan output dari program untuk bagian pengukuran performansi sistem produksi OTE sistem produksi pada tingkat 0,518 (April 2011). Output untuk bagian penjadwalan PM menghasilkan nilai
availability dari sistem produksi (mesin reheating furnace - cooling bed) pada tingkat
0,9363.
2. Berdasarkan aplikasi program untuk bagian pertama yaitu pengukuran performansi sistem produksi maka didapatkan satasiun yang menyebabkan terjadinya bottleneck adalah pada mesin Rolling Mill. Mesin
Rolling Mill ini dikarenakan nilai bottleneck indicator yang paling minimum yaitu pada
tingkat 28.265,9411.
3. Perbaikan availability ini bisa didapatkan dengan melakukan preventive maintenance (PM). Setelah melakukan aplikasi program dengan menggunakan input umur komponen per 1 Mei 2011 maka didapatkan nilai
availability pada tingkat 0,9363. Jika
dibandingkan dengan availability pada bulan April 2011 maka terjadi peningkatan
availability sistem sebesar 0,042 atau sebesar
4,20%. Jika dikonversikan kedalam waktu dimana pada program menjalankan selama 696 jam periode waktu efektif maka hal ini sama dengan 29,32 jam. Nilai ini sama dengan kesempatan perusahaan untuk mendapatkan kesempatan produksi senilai Rp3.945.925.368,00.
Daftar Pustaka
Hansen, RC 2002, Overall Equipment Effectiveness
— A Powerful Production/Maintenance Tool for Increased Profits, Industrial Press,
New York.
Huang, SH & Muthiah, KMN, 2007, Overall
Throughput Effectiveness (OTE) Metric for Factory-level Performance Monitoring and Bottleneck Detection, International Journal of Production Research, Vol. 45, 4753–
4769.
Huang, SH, 2002. Manufacturing System Modeling
Productivity Improvement. Journal of
Manufacturing Systems, Vol.21/No.4.
Márquez, AC 2007. The Maintenance Management
framework : Models and Methods for Complex Systems Maintenance, Springer,
London.
Muthiah, KMN. 2003. Diagnostic Factory
Productivity Metrics. University of
Cincinnati.
Nakajima, S 1988,Introduction to Total Productive Maintenance (TPM), Productivity Press,
Cambridge, MA.
Pujawan, IN 2005, Supply Chain Management, Surabaya, PT Guna Widya.
Scott, D & Pisa, R 1998, Can overall factory
effectiveness prolong Moore’s law?, Solid
State Tech, 75–82
Tsai, YT, Wang, KS, & Tsai, LC 2004. A Study of
Availability-Centered Preventive Maintenance for Multi-component Systems,
Reliability Engineering and System Safety,