• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Peranakan Ongole (PO) Bahan Pakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Sapi Peranakan Ongole (PO) Bahan Pakan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Peranakan Ongole (PO)

Sapi PO merupakan hasil pemuliaan melalui sistim persilangan dengan grading up sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO) lewat setengah abad silam. Sapi PO di beberapa daerah dipelihara dengan tujuan ganda, yaitu disamping sebagai sapi potong penghasil daging, juga untuk sapi kerja; hanya di daerah lahan kering dimana tidak ada persawahan, sapi PO dipelihara sebagai sapi potong penghasil daging (Astuti, 2003). Sapi PO memiliki ciri-ciri kulit berwarna putih, mempunyai perawakan yang besar, bergumba pada pundaknya dan mempunyai gelambir yang menjulur sepanjang garis bawah leher, dada sampai ke pusar (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1990).

Keunggulan sapi PO yaitu memiliki daya adaptasi terhadap iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan caplak, disamping itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Astuti, 2003). Secara genetik, sapi PO tidak peka terhadap perubahan temperatur udara lingkungan dikarenakan sapi PO mempunyai kulit lebih tipis dibandingkan sapi dari daerah subtropis, sehingga sapi PO mempunyai kelenjar keringat per luasan kulit yang lebih banyak (Santi, 2008).

Bobot sapi PO saat lahir dapat mencapai 25,4-27 kg. Saat dewasa sapi PO dapat mencapai bobot 201-420 kg dengan rata-rata pertambahan bobot badan harian sebesar 0,62 kg/h (Astuti, 2003). Hasil penelitian Prasetyono (2008) menunjukkan bahwa sapi PO dapat mencapai pertambahan bobot badan 0,85 kg/hari apabila diberi suplemen protein pada ransum berbasis jerami padi dan dedak padi.

Bahan Pakan

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman et al., 1998). Penyusunan ransum ternak harus memperhatikan beberapa aspek penting seperti kebutuhan ternak, ekonomis, aplicable (mudah diterapkan atau terpakai), dan batas penggunaan pakan (Ruswendi, 2011).

Pakan sapi dapat dibedakan menjadi konsentrat dan hijauan. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak pada bahan keringnya, sedangkan pakan penguat atau konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan

(2)

4 dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993). Pakan merupakan salah satu sendi penting proses perbaikan populasi dan produktivitas ternak, dan pemanfaatan limbah pertanian secara optimal sebagai bahan pakan adalah pilihan strategis dan bijak. Faktor pembatas pemanfaatan limbah pertanian (jerami padi) sebagai bahan pakan adalah rendahnya kandungan nutrien esensial seperti protein, energi, mineral dan vitamin, serta dominasi karbohidrat struktural/serat pakan yang berdampak pada kecernaannya yang rendah. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperbaiki kualitas ransum berbasis jerami padi (Syahrir, 2009).

Jerami Padi (Oryza sativa Linn)

Jerami padi merupakan bagian tanaman yang telah dipanen butir-butirnya bersama atau tidak dengan tangkainya dikurangi akar dan bagian akar yang tertinggal. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat potensial sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia dan ketersediaannya meningkat seiring dengan meningkatnya produksi padi. Rata-rata produktivitas bahan kering (BK) jerami padi sawah adalah 3,86 ton/ha. Penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak rumainansia telah umum dilakukan di daerah tropik dan subtropik, terutama pada musim kemarau. Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak di Indonesia berkisar antara 31-39% dan sebagian besar dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk (36-62%) serta sisanya antara 7-16% digunakan untuk keperluan industri (Sukria dan Krisnan, 2009).

Ketersediaan jerami padi meningkat seiring dengan meningkatnya produksi padi, dengan rasio padi dengan produk ikutan jerami padi sebesar 1:1-1:5 (Sukria dan Krisnan, 2009). Berdasarkan data statistik Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang (2009), luas panen padi sawah di Kabupaten Rembang pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 37.346 hektar dengan produksi padi sebanyak 203.545 ton sehingga dapat diduga bahwa produk ikutan jerami padi dari produksi padi tersebut sebanyak 203.545 - 1.017.725 ton.

Menurut Drake et al. (2002), tantangan dalam penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak adalah kurangnya palatabilitas, memiliki nilai kecernaan yang rendah sebagai akibat dari rendahnya protein, dan tingginya kandungan serat dan

(3)

5 silika. Kadar protein pada jerami padi sangat rendah yaitu sekitar 2-7% BK, menurut Sutardi (1980), kadar PK jerami padi adalah 4,21% BK. Kadar protein pakan berbasis jerami padi yang rendah harus dilengkapi atau diperbaiki dengan suplementasi protein sehingga dapat memenuhi kebutuhan sapi atau ternak.

Kecernaan yang rendah sangat dipengaruhi oleh kandungan silika sebanyak 8-14% pada jerami padi. Silika merupakan zat yang tidak dicerna dan dapat mengurangi kecernaan makanan (Drake et al., 2002). Menurut Van Soest (2006), silika dan lignin merupakan faktor pembatas pada jerami padi. Oleh karena itu, efek suplementasi untuk ransum berbasis jerami padi akan lebih baik jika dikombinasikan dengan treatment atau perlakuan pendahuluan terhadap jerami padi sehingga nilai kecernaan jerami padi dapat meningkat.

Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

Daun ubi kayu adalah bagian dari tanaman ubi kayu yang merupakan tanaman yang penting di daerah tropis. Hampir 10-40% tanaman ubi kayu terdiri atas daun. Di Indonesia ubi kayu merupakan tanaman pokok dengan urutan ketiga setelah padi dan jagung. Ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan makanan, industri tekstil, pakan ternak, farmasi, dan lain sebagainya yang jumlahnya selama ini terus meningkat. Daun ubi kayu sangat potensial sebagai pakan ternak (Sukria dan Krisnan, 2009).

Daun ubi kayu merupakan sumber protein, kandungan PK daun ubi kayu 24,2% (Sutardi, 1980). Protein daun ubi kayu kekurangan asam amino yang mengandung sulfur, yaitu metionin dan sistein. Vitamin A yang terkandung dalam daun ubi kayu terdapat dalam bentuk pro-vitamin A atau karoten. Pro-vitamin A oleh ternak akan dirubah menjadi vitamin A (Sukria dan Krisnan, 2009).

Daun ubi kayu mengandung senyawa beracun yang dapat menyebabkan kematian bila mengkonsumsinya yaitu asam sianida. Dalam keadaan alami asam sianida bersatu dengan glukosida akan membentuk sianogenik glukosida. Jenis sianogenik glukosida yang bersifat racun pada daun ubi kayu disebut dengan linamarin dan lataustralin (Palupi et al., 2007). Jika jaringan sel rusak maka enzim linamarase akan meluruskan hubungan tersebut, sehingga HCN terbebas. Tinggi rendahnya kadar HCN pada daun ubi kayu merupakan faktor pembatas dalam memanfaatkan daun ubi kayu sebagai pakan ternak (Sukria dan Krisnan, 2009).

(4)

6 Menurut Resmiadi (1984), kandungan HCN dalam daun ubi kayu dapat dihilangkan atau dikurangi dengan perlakuan pengeringan atau pemanasan.

Lamtoro (Leucaena leucocephala L.)

Tanaman lamtoro merupakan tanaman semak, tetapi dapat termasuk ke dalam golongan pohon tinggi. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 18 m, dan memiliki daun bersirip dua dengan 4-9 pasang sirip. Tanaman ini dapat digunakan sebagai sumber makanan. Di Thailand, pucuk daun tanaman lamtoro digunakan sebagai makanan yang dikonsumsi manusia. Lamtoro juga banyak digunakan sebagai hijauan makanan ternak, peneduh dan pagar hidup (Cook et al., 2005a).

Kandungan nutrien lamtoro terdiri dari abu 7,24%, PK 20,76%, serat kasar (SK) 18,47%, lemak kasar (LK) 3,02%, Beta-N 37,76%, Ca 0,35%, dan P 0,35% (Suharlina, 2006). Menurut Cook et al. (2005a), kecernaan daun lamtoro sebesar 55-70%. Lamtoro mengandung zat antinutrisi berupa tanin dan mimosin yang menjadi faktor pembatas dalam penggunaan sebagai pakan ternak ruminansia.

Hasil penelitian Aboenawan et al. (1981) menunjukkan bahwa kadar mimosin pada daun lamtoro tergantung pada varietasnya. Kandungan mimosin dan tanin dalam jumlah yang tinggi akan menimbulkan rasa pahit pada daun lamtoro sehingga palatabilitasnya akan berkurang. Selain itu, pemberian lamtoro pada kadar 80 dan 100% berturut-turut selama 90 hari dapat menyebabkan kerontokan bulu dan kekurusan pada domba. Cara mengurangi zat racun (mimosin) dapat dilakukan dengan detoksifikasi secara fisik maupun kimia. Menurut Widiyastuti (2001), detoksifikasi tepung daun lamtoro dengan cara pemanasan kering pada suhu 70 oC selama 12 jam yang ditambahkan pada ransum dasar ayam broiler, berpengaruh terhadap konversi pakan, pertumbuhan, pigmentasi kulit dan shank, serta xantofil serum. Cook et al. (2005a) menambahkan dari hasil laporan di Queensland, Australia, bahwa ternak sapi yang diberi makan campuran daun lamtoro dan rumput buffel (Cenchrus ciliaris) dapat menambah bobot badan 1,26 kg/ekor/hari.

Turi (Sesbania grandiflora L.)

Tanaman turi digunakan sebagai pakan ternak di seluruh Indonesia, terutama di musim kering sebagai pakan sapi dan kambing. Pohon turi biasanya ditanam di pematang sawah, dan di sekitar pekarangan atau kebun sebagai penyumbang nitrogen. Turi tumbuh baik di tempat yang memiliki sedikit naungan. Tanaman ini

(5)

7 tumbuh cukup cepat, sehingga dapat digunakan sebagai pupuk hijau. Bagian daun, buah polong dan bunga digunakan sebagai sumber makanan di Asia Tenggara. Bagian kayu dapat digunakan sebagai kayu bakar, namun kurang baik dan tidak tahan lama bila digunakan sebagai kayu bangunan. Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung dan sebagai penyangga bagi tanaman merambat (Cook et al., 2005b). Kandungan nutrien jenis legum ini terdiri dari abu 7,6%, PK 20,99%, SK 21,71%, LK 1,33%, Beta-N 28,57%, Ca 1,27%, dan P 0,31% (Suharlina, 2006). Pemberian pada sapi umumnya 1,8 kg segar/hari. Batasan penggunaannya dikarenakan adanya kandungan antinutrisi berupa saponin.

Saponin adalah suatu glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin. Jumlah dan jenis gula-gula yang terdapat dalam saponin bervariasi, antara lain glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa dan asam galakturonat serta glukoronat. Sapogenin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin triterpenik dan steroidik (Palupi et al., 2007). Saponin diketahui dapat mengurangi palatabilitas ransum karena rasanya yang pahit, namun demikian apabila diberikan dengan konsentrasi yang benar pemberian saponin untuk ternak ruminansia berpotensi untuk memperbaiki pertumbuhan ternak ruminansia (Suharti et al.,2009) .

Daun turi kering (melalui pengolahan) dapat diharapkan sebagai sumber protein-bypass untuk meningkatkan suplai protein pascarumen (usus halus). Proses pengeringan pada daun turi dapat menurunkan degradasi dalam rumen, mempengaruhi karakteristik degradasi dan selanjutnya diharapkan meningkatkan komponen protein yang lolos degradasi, sehingga lebih banyak protein yang tersedia dalam usus halus (Rusdi et al., 2010).

Suplementasi

Suplementasi nutrien pakan perlu dilakukan dalam ransum yang memiliki kandungan nutrien yang rendah. Hal tersebut dilakukan untuk memperbaiki keseimbangan nutrien baik energi, protein, vitamin, dan mineral, mengurangi defisiensi protein by-pass, meningkatkan efisiensi pencernaan pakan dalam ternak lambung ternak ruminansia, meningkatkan produksi dan perbaikan kinerja reproduksi, dan memperbaiki nilai gizi pakan (BATAN, 2005). Pemberian pakan yang memiliki kandungan nutrien yang rendah seperti jerami padi pada ternak tanpa

(6)

8 suplementasi atau perlakuan lainnya dapat menyebabkan kekurusan yang hebat dan mengakibatkan kematian (Satoto, 1983).

Suplementasi dapat memperbaiki kualitas jerami padi. Pemberian daun lamtoro pada ransum berbasis jerami padi dapat memperbaiki kualitas jerami padi sehingga meningkatkan konsumsi ransum tersebut (Satoto, 1983). Menurut Prasetyono (2008), suplementasi protein dalam ransum berbasis jerami dapat melengkapi kebutuhan nutrien pakan yang dibutuhkan oleh ternak sapi potong, sehingga performa produksi sapi potong meningkat.

Rendahnya kandungan nutrien jerami padi juga dapat diperbaiki dengan Suplemen Kaya Nutrien (SKN). SKN dapat disusun dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah ditemukan di daerah sekitar peternakan di daerah Kabupaten Rembang yang memiliki kandungan nutrien yang sangat lengkap sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas ransum berbasis jerami padi. suplemen kaya nutrien yang dikembangkan di Kabupaten Rembang mempunyai susunan bahan yang berbeda dari SKN yang digunakan oleh Wahyuni (2008) dan Sulistyo (2008). Hasil penelitian Wahyuni (2008) dan Sulistyo (2008), menunjukkan bahwa penggunaan 10% SKN dalam ransum dapat meningkatkan konsentrasi VFA, konsentrasi NH3, persentase degradabilitas bahan kering (DBK), persentase degradabilitas bahan organik (DBO), dan biomasa mikroba. Peningkatan tersebut merupakan tanda bahwa SKN dapat meningkatkan kualitas ransum sehingga dapat dicerna dalam tubuh ternak. Hal yang sama juga diharapkan terjadi pada saat SKN dalam penelitian ini diberikan kepada sapi PO betina yang mengkonsumsi jerami padi sebagai pakan utamanya.

Konsumsi Pakan

Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan produksi. Kemampuan sapi mengkonsumsi pakan sangat terbatas. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada ruminansia yaitu faktor makanan yang diberikan, faktor hewan dan faktor lingkungan.

Faktor makanan antara lain yaitu bentuk, komposisi nutrien, rasa dan tekstur. Sifat pakan seperti bulky/amba juga dapat mempengaruhi konsumsi. Menurut Toharmat et al. (2006), bahwa pakan yang mempunyai serat kasar tinggi seperti jerami padi memiliki sifat amba; sifat amba ini akan menimbulkan sensasi rasa

(7)

9 kenyang yang lebih cepat pada ternak ruminansia, sehingga ternak akan mengurangi konsumsi pakan jenis ini. Semakin meningkatnya nilai nutrisi suatu ransum akan meningkatkan konsumsi sampai mencapai koefisien cerna sekitar 70%. Faktor hewan antara lain yaitu bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen; sedangkan faktor lingkungan antara lain yaitu suhu dan kelembaban udara (Parakkasi, 1999). McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan juga mempengaruhi konsumsi ransum. Kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat akan meningkatkan konsumsi ransum.

Kecernaan Pakan

Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami ransum dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan ransum menjadi butir-butir atau partikel kecil (Sutardi, 1980). Kecernaan BO merupakan faktor penting yang menentukan kualitas ransum. Kecernaan ransum didefinisikan sebagai bagian ransum yang tidak diekskresikan di dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan. Kecernaan zat makanan tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, kondisi hewan, dan faktor pemberian makanan dan kecernaan dinyatakan dengan dasar BK (McDonald et al., 2002).

Ternak ruminansia merupakan jenis ternak yang memiliki keunggulan dalam mencerna ransum, terutama hijauan. Menurut Parakasi (1999), kecernaan dan konsumsi memiliki tiga kemungkinan hubungan, yaitu 1) tidak berhubungan, hal ini dapat terjadi jika terdapat zat beracun dalan pakan sehingga dapat mengurangi palatabilitas, 2) berhubungan positif, jadi semakin tinggi konsumsi maka semakin tinggi pula kecernaannya, 3) berhubungan negatif, terjadi bila diberikan pakan yang berkualitas tinggi sehingga meningkatkan konsumsi, akan tetapi kecernaannya menurun akibat percepatan gerak laju makanan. Putra (1999) menambahkan bahwa kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak ruminansia ditentukan oleh kandungan SK pakan (faktor eksternal) dan aktivitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Ruminansia mempunyai mikroba rumen yang dapat memanfaatkan ransum berserat kasar tinggi dan rendah protein menjadi ransum yang bernilai gizi tinggi. Kemampuan mikroba tersebut berbeda-beda tiap jenis ruminansia (Afriyanti, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian pada level tiga tersebut akan diperoleh sejumlah angka indeks konsistensi yang banyaknya sama dengan unsur-unsur dalam level dua. Langkah selanjutnya adalah

Penerapan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran merupakan hal yang wajar dan harus dilaksanakan oleh setiap Dosen dalam kegiatan belajar. Untuk dapat

Maka dari itu penulis menganalisis untuk membuat layout yang benar serta menentukan elemen dengan unsur cyberpunk yang tepat, penulis menganalisis tiga scene yaitu lorong,

PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO DINAS KESEHATAN.. PUSKESMAS GRUJUGAN

Lebih lanjut, pola yang muncul pada suku Sunda dapat diinterpretasikan serupa dengan karakteristik konsumen produk mewah di Asia yang utamanya menentukan keputusan

Rumah menjadi tempat bagi keluarga untuk hidup dan mengembangkan karunia Allah dalam diri mereka.. Rumah juga menjadi tempat berelasi dengan lingkungan masyarakat sekitar, dengan

Pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian layanan dari organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya pemenuhan kebutuhan

Selain perancangan sistem value chain, simu- lasi terhadap biaya yang muncul pada proses pengangkutan sampah elektronik dan keun- tungan yang diperoleh dalam proses daur ulang