• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI ABDUKTIF-DEDUKTIF PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN SISWA SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI ABDUKTIF-DEDUKTIF PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN SISWA SMA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI ABDUKTIF-DEDUKTIF PADA PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN

PENALARAN SISWA SMA

Ali Shodikin

aliandr4@gmail.com

Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa menggunakan strategi abduktif-deduktif. Penelitian yang dilakukan merupakan eksperimental dengan desain pretes-postes dan kelompok kontrol tidak acak (nonrandomized control group, pretest-posttest design) pada siswa kelas XI di salah satu SMA di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Analisis data penelitian dilakukan secara kuantitatif-kualitatif berdasarkan kategori kemampuan awal matematis (KAM) maupun keseluruhan. Selain peningkatan kemampuan, dianalisis pula interaksi antara pembelajaran dan KAM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori.Secara lebih rinci dari kategori KAM, hanya pada kategori sedang yang menunjukkan peningkatan yang lebih baik. Sedangkan pada kategori KAM tinggi dan rendah memiliki peningkatan kemampuan penalaran yang sama. Interaksi antara pembelajaran dan KAM untuk meningkatkan kemampuan penalaran juga menunjukkan hubungan yang signifikan. Guru diharapkan mendorong siswa untuk melakukan abduksi dan deduksi dalam pembelajaran matematika.

Kata kunci: strategi abduktif-deduktif, peningkatan, penalaran ABSTRACT

The experimental study aims at improving mathematical reasoning ability by adopting abductive-deductive strategy, and applies a pretest-posttest design and nonrandomized control group in the eleventh grade of a senior high school in Pati, Central Java. Data were analyzed on a quantitative-qualitative basis on the categories of early mathematical ability (KAM) and overall. The findings show that mathematical reasoning ability improved among the students with abductive-deductive strategy better than those who received the expository learning. Middle category indicated better improvement, while other categories achieved the same level of improvement. KAM and reasenong ability have a significant relation. This study recommends teachers to introduce abductive and deductive learning to their students in mathematics class.

(2)

Pendahuluan

Kemampuan penalaran matematis merupakan kemampuan literasi yang perlu dimiliki siswa melalui pembelajaran matematika. Hal ini menyusul hasil buruk dari hasil survei lembaga internasional PISA dan TIMMS yang diperoleh Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir (TIMMS, 2011; Balitbang, 2011).Berdasarkan hasil ujicoba soal kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis yang dilakukan Shodikin (2014) di salah satu SMA di Kota Bandung juga menunjukkan bahwa rata-rata skor yang diperoleh siswa baru mencapai 36%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa terutama kemampuan penalaran masih rendah. Hasil dokumentasi nilai siswa kelas XI yang dilakukan oleh peneliti di salah satu SMA di Kabupaten Pati juga menunjukkan hasil belajar yang masih rendah, yakni hanya mencapai 48%. Hasil studi yang dilakukan oleh Rahayu (2013) juga menyatakan hasil yang sama dan menambahkan alasan rendahnya hasil belajar disebabkan di antaranya karena kurangnya penalaran matematis.

Kemampuan penalaran merupakan karakteristik utama matematika yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan mempelajari dan mengembangkan matematika atau menyelesaikan masalah matematika (Ansjar & Sembiring, 2000). Bahkan, implementasi pembelajaran yang menekankan kehadiran penalaran juga telah direkomendasikan oleh NCTM (2000: 262) dengan menyatakan bahwa penalaran merupakan bagian dari kegiatan belajar-mengajar matematika. Hal ini diperkuat pula berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sabri dalam Kusnandi, (2008a: 2) yang menyatakan bahwa konsep pembuktian matematika di perguruan tinggi sangat lemah dan menyarankan agar kurikulum SMA hendaknya mempersiapkan siswa lebih baik lagi dalam pembuktian matematika. Secara spesifik pembuktian matematika di SMA termasuk ke dalam kemampuan penalaran matematis. Oleh

karena itu, sudah sepantasnya kemampuan penalaran matematis siswa SMA perlu mendapat perhatian agar lebih ditingkatkan.

Analisis penyelesaian masalah mate-matika, seperti yang dilaporkan Wahyudin (1999) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kegagalan menguasai matematika dengan baik, disebabkan di antaranya karena siswa kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah. Demikian juga kesimpulan Kennedy dalam Hudoyo (1990) dalam penelitiannya tentang penalaran di Amerika Serikat serta pernyataan Ansjar & Sembiring (2000) yang menyatakan bahwa kemampuan penalaran sangat diperlukan siswa untuk menyelesaikan suatu masalah matematika. Bahkan sering kali kemampuan penalaran ini masih sering diabaikan (Nizar, 2007: 74).Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika kemampuan penalaran matematis perlu diperhatikan agar siswa dapat menyelesaikan suatu masalah matematika.

Laporan hasil studi Henningsen & Stein (1997), Mullis, dkk (2000), Suryadi (2005), dan Murni (2013) mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya belum terfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa lebih dominan menyelesaikan soal dari buku teks dan kurang memperoleh masalah nonrutin yang dapat melatih kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Dengan demikian perlu adanya upaya untuk mengembangkan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pengembangan ke-mampuan berpikir tingkat tinggi.Ke mam puan penalaran merupakan bagian kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (high order mathematical thinking) (Sumarmo, 2013).

Berdasarkan analisis pendahuluan terhadap kemampuan penalaran dipandang perlu untuk mengembangkan suatu pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman konsep esensial itu. Sebagai kerangka umum dalam menghadapi masalah matematika adalah kemampuan

(3)

mengidentifikasi fakta-fakta yang diberikan (data) dan merumuskan fakta yang ditanyakan dalam masalah itu (target akhir). Dalam menentukan target akhir berdasarkan data yang diberikan, diperlukan kemampuan mengelaborasi dengan menerapkan konsep esensial yang relevan terhadap data yang diberikan untuk memperoleh target antara sebelum menemukan jawaban dari target akhir. Tidak sedikit masalah dalam matematika dapat lebih mudah diselesaikan dengan menambahkan kemampuan dalam merumuskan suatu kondisi (target antara) sehingga berdasarkan suatu konsep esensial yang relevan tiba pada target akhir yang ditanyakan.

Kerangka umum seperti yang diuraikan di atas telah dikembangkan pada penelitian Kusnandi (2008a) tentang pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (PSAD). Abduktif sendiri merupakan kemampuan berpikir matematik (penalaran) yang tidak dapat secara utuh menjawab permasalahan tapi proses menawarkan alasan sebagai dasar untuk tindakan tertentu (Aliseda, 2007). Kerangka umum ini pada mulanya dikembangkan untuk menumbuhkembangkan

kemampuan membuktikan pada mahasiswa pemula yang belajar pembuktian. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru yang belajar dengan PSAD memiliki kemampuan membuktian yang lebih baik daripada mahasiswa yang belajar secara ekspositori. Kerangka kerja PSAD ini telah dikaji secara teoretis oleh Kusnandi (2008b) pada masalah pembuktian yang lebih abstrak dalam mata kuliah bidang kajian analisis real dan aljabar abstrak. Penerapan PSAD juga telah dikaji oleh Sun, et al. (2005) pada permasalahan kemampuan penalaran (reasoning) dan pemecahan masalah (problem solving). Kemungkinan penerapan kerangka kerja PSAD ini pada masalah yang cakupannya lebih luas (literasi matematika) untuk siswa di sekolah menengah juga telah dikaji secara teoritis (Shodikin, 2013).

Berdasarkan pengertian tentang pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (PSAD), dalam penelitian ini dikembangkan sintak pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (PSAD) yang lebih operasional sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1 berikut. Orientasi terhadap masalah Mengorganisasi untuk belajar Menggeneralisasi temuan-temuan Pembahasan strategi masalah yang lebih

banyak Menganalisis dan mengevaluasi proses Proses Kunci Pr oses D ed uk tif Pr oses A bd uk tif Gambar 1

(4)

Tahapan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif di atas secara lebih detail ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1

Sintak Pembelajaran Matematika dengan Strategi Abduktif-Deduktif

Fase Perilaku Guru

Fase 1 Orientasi terhadap

masalah • Guru membahas tujuan pembelajaran• Guru mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting • Guru memotivasi siswa untuk terlibat langsung dalam kegiatan

pembelajaran

• Guru memberikan apersepsi

Fase 2 Mengorganisasi untuk

belajar • Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar dan informasi yang terkait dengan permasalahannya

Fase 3 Menganalisis dan

mengevaluasi proses • Guru mengarahkan siswa untuk dapat menemukan sendiri solusi dari informasi yang telah dimiliki oleh siswa

• Guru mendorong siswa untuk melakukan transactive reasoning seperti mengkritik, menjelaskan, mengklarifikasi, menjastifikasi dan mengelaborasi suatu gagasan yang diajukan,

baik yang diinisiasi oleh siswa maupun guru

• Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan

bahan-bahan untuk presentasi dan diskusi

• Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap

proses investigasinya dan proses-proses lainnya yang digunakan dalam menyelesaikan masalah

Fase 4 Menggeneralisasi temuan-temuan yang diperoleh

• Guru membantu menggeneralisasi temuan-temuan yang

diperoleh Fase 5 Pembahasan strategi

masalah yang lebih banyak

• Guru membantu siswa dalam menemukan strategi terhadap

masalah-masalah yang lebih banyak

• Guru memberikan latihan dan evaluasi Untuk aktif di dalam diskusi transaktif,

kemampuan awal matematika (KAM) siswa memegang peranan yang sangat penting, ketika suatu gagasan yang muncul dapat berkembang secara bertahap sehingga membangun suatu konsep matematika yang komprehensif dari informasi yang diperoleh. Adapun KAM siswa dikategorikan ke dalam tiga kategori yakni tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokan ini digunakan untuk melihat pengaruh bersama antara pembelajaran yang dilakukan dengan kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan penalaran. Selain itu pula, dapat diperoleh

lebih detail pengaruh pembelajaran dalam tiap kategori kemampuan awal matematis.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dijabarkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: (1) menelaah perbedaan peningkatan kemampuan penalaran mate-matis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif terhadap pembelajaran ekspositori ditinjau secara keseluruhan maupun berdasar kategori KAM (tinggi, sedang, rendah); dan (2) menelaah pengaruh interaksi antara pembelajaran (dengan strategi abduktif-deduktif dan ekspositori) dan KAM terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis.

(5)

Metode

Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan desain pretes-postes dan kelompok kontrol tidak acak (nonrandomized control group, pretest-posttest design). Dengan desain ini, subyek mula-mula dilakukan pretes, lalu diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif dan selanjutnya dilakukan postes untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa pada materi suku banyak. Kemudian, hasil pretes dan postes dianalisis untuk memperoleh nilai gain ternormalisasi <g> sebagai peningkatan kemampuan penalaran matematis. Metode ini dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin melihat dampak penerapan

pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa. Secara bagan, desain penelitian yang digunakan disajikan pada Gambar 2.

Penelitian dilakukan di salah satu SMA di Kabupaten Pati Tahun Pelajaran 2013/2014. Alasan pemilihan populasi penelitian di SMA ini, karena SMA tersebut termasuk salah satu sekolah level sedang. Tidak dipilihnya sekolah dengan klasifikasi tinggi karena cenderung hasilnya baik walaupun tanpa perlakuan pembelajaran. Demikian pula tidak dipilihnya dari sekolah dengan klasifikasi rendah, kecenderungan hasilnya rendah walaupun tanpa perlakuan pembelajaran yang dilakukan (Darhim, 2004: 64). Sampel dalam

Kelas Eksperimen OX1O

Pretes Perlakuan Postes Kelas Kontrol OX O

Pretes Ekspositori Postes Gambar 2 Desain Penelitian Uji coba instrumen Analisis instrumen Penyusunan instrumen

& validasi ahli Studi Pendahuluan

Dokumentasi nilai siswa kelas XI SMA A Pemilihan kelas

(eksperimen & kontrol) Pretes &angket sikap

matematis siswa Proses Belajar Mengajar

Wawancara siswa Analisis data Penyusunan & Diseminasi hasil

Postes &angket sikap matematis siswa

Gambar 3

(6)

penelitian ini dipilih dua kelas yang memiliki kemampuan awal sama dari delapan kelas XI secara purposive sampling. Masing-masing berjumlah 34 siswa. Alasan pemilihan sampel di kelas XI karena materi yang diperkirakan cocok dengan model pembelajaran terutama materi suku banyak. Pemilihan materi suku banyak karena banyaknya aturan-aturan dalam materi tersebut yang sangat diperlukan pada model pembelajaran yang diterapkan.

Penelitian dilaksanakan sebanyak tujuh kali pertemuan. Lima pertemuan digunakan untuk menyampaikan materi, pertemuan pertama dan terakhir digunakan untuk pretes-postes. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

Metode penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data meliputi metode tes, dokumentasi, angket dan wawancara. Sedangkan instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari lima macam instrumen, yakni bahan ajar, instrumen tes kemampuan penalaran matematis, lembar pengamatan kinerja guru, lembar penilaian aktivitas siswa, dan instrumen wawancara yang telah divalidasi oleh ahli.

Hasil dan Pembahasan

Analisis data yang dilakukan pertama adalah kemampuan awal matematis. Kemampuan awal matematis digunakan untuk mengetahui keadaan awal kelas sampel yang memiliki kemampuan sama, sekaligus untuk mengelompokkan siswa dalam analisis data berdasarkan kategoritinggi,

sedang dan rendah. Data kemampuan awal matematis diambil dari rata-rata nilai dua ulangan sebelumnya, UTS dan UAS siswa tersebut. Bobot masing-masing nilai tersebut berturut-turut 20%, 30% dan 50%. Setelah terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, diperoleh bahwa kedua kelas sampel tersebut berdistribusi normal dan homogen sehingga untuk pengujian hipotesis digunakan uji t. Berdasarkan hasil uji t, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara kedua kelas. Hal ini yang digunakan sebagai dasar asumsi bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki kemampuan awal matematis yang sama.

Selanjutnya pengelompokan siswa berdasarkan kategori KAM sebagaimana disampaikan menurut Saragih (2011) yang didasarkan pada rataan () dan simpangan baku (s), yakni:

KAM + s : siswa level KAM tinggi - s KAM < + s: siswa level KAM sedang KAM - s : siswa level KAM rendah.

Penentuan rataan () dan simpangan baku (s) yang digunakan diperoleh dari gabungan data semua sampel penelitian, bukan rataan () dan simpangan baku (s) tiap masing-masing kelas. Hal ini dilakukan supaya diperoleh patokan yang sama dalam penentuan kriteria. Berdasarkan kriteria di atas diperoleh komposisi pengelompokan KAM baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol dengan = 47.96 dan s = 13.64 yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2

Komposisi Anggota Sampel

KAM Eksperimen KontrolKelas Jumlah

Tinggi 7 4 11

Sedang 21 24 45

Rendah 6 6 12

(7)

Pemilihan sampel penelitian berdasarkan kemampuan awal matematisnya dan kategori KAM. Analisis kemampuan awal penalaran matematis antara kelas yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif dan kelas yang memperoleh pembelajaran ekspositori tidak memiliki perbedaan kemampuan awal penalaran matematis, baik ditinjau dari keseluruhan maupun berdasarkan kategori KAM (tinggi, sedang, rendah). Lebih jauh dicermati, rata-rata skor pretes kedua kelas sampel penelitian sebagai indikator kemampuan awal penalaran terlihat masih sangat jauh dari skor ideal 40, yakni 1.74 dan 2.65. Berdasarkan temuan penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua kelas sampel penelitian memang belum mendapatkan materi suku banyak sebagai materi yang diajarkan dalam penelitian ini dan perlu ditingkatkan kemampuannya.

Dalam penelitian ini secara spesifik indikator kemampuan penalaran matematis difokuskan pada empat keterampilan yakni (1) menarik simpulan secara logis; (2) memperkirakan jawaban dan proses solusi; (3) menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik

analogi, dan generalisasi; (4) serta menyusun pembuktian langsung.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis diperoleh nilai rata-rata berdasarkan kelas penelitian (eksperimen dan kontrol) dan KAM (tinggi, sedang, rendah). Untuk lebih jelasnya disajikan pada diagram batang berikut.

Tabel 3

Deskripsi Statistik Data Kemampuan PenalaranMatematis Siswa Berdasarkan Kemampuan Awal Matematis

Jenis

Kemampuan KAM Data Stat.

Kelas Penelitian

Eksperimen Kontrol pretes postes <g> pretes postes <g>

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kemampuan Penalaran Tinggi 2.86 30.00 0.73 6.25 30.00 0.71 s 2.67 5.63 0.16 6.29 5.48 0.13 n 7 7 7 4 4 4 Sedang 1.33 25.81 0.63 2.29 15.88 0.37 s 1.42 6.00 0.16 3.25 7.30 0.17 n 21 21 21 24 24 24 Rendah 1.83 13.67 0.31 1.67 12.83 0.29 s 1.33 10.38 0.26 0.82 6.56 0.16 n 6 6 6 6 6 6 Keseluruhan 1.74 24.53 0.60 2.65 17.00 0.39 s 1.78 8.53 0.22 3.59 8.42 0.20 n 34 34 34 34 34 34

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bah-wa sisbah-wa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) menunjukkan rata-rata pe-ningkatan kemampuan penalaran matematis yang lebih besar daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori (kelas kontrol).Ditinjau dari kategori KAM (tinggi, sedang, rendah), semakin tinggi tingkat KAM siswa semakin besar pula rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematisnya.Selain itu, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif menunjukkan peningkatannya lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori, baik pada kategori KAM tinggi, sedang maupun rendah.

(8)

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan nilai sig. (1 tailed) < 0,05, sehingga Ho ditolak. Ini berarti rata-rata peningkatan kemampuan penalaran mate-matis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran ekspositori (kelas kontrol). Dilihat lebih rinci berdasarkan kategori KAM, hanya pada KAM kategori sedang yang menunjukkan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) juga lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori (kelas kontrol). Sedangkan pada kategori KAM Gambar 4

Diagram Batang Skor NGain Kemampuan Penalaran

0.73 0.71 0.63 0.37 0.31 0.29 0.6 0.39 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 Eksperimen Kontrol

Tinggi Sedang Rendah Keseluruhan

Gambar 4

Diagram Batang Skor NGain Kemampuan Penalaran Namun demikian, untuk menunjukkan

peningkatan kemampuan penalaran mana yang lebih baik, perlu dilakukan uji perbedaan rata-rata.Sebelum melakukan uji perbedaan rata-rata, dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian kedua kelompok data untuk menentukan uji statistik yang sesuai.Digunakan uji-t untuk kelompok data yang berdistribusi normal dan homogen. Sedangkan untuk kelompok data yang berdistribusi tidak normal digunakan uji Mann-Whitney U (uji non-parametrik). Kriteria yang digunakan dalam uji ini adalah jika diperoleh nilai sig. (1 tailed) > α (α = 0,05), maka Ho diterima. Hasil uji perbedaan rata-rata ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 4

Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Berdasarkan Kemampuan Awal Matematis (KAM)

KAM Perbandingan

Rata-rata (E:K) t Mann-Whitney U (2 tailed)Sig. (1 tailed)Sig. Ho

Tinggi 0.73 : 0.71 - 13 0.850 0.425 Terima

Sedang 0.63 : 0.37 5.366 - 0.000 0.000 Tolak

Rendah 0.31 : 0.29 0.162 - 0.874 0.437 Terima

Keseluruhan 0.60 : 0.39 - 283,5 0.000 0.000 Tolak

Ho: Rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan pada kelas kontrol.

(9)

kategori KAM tinggi, kesamaan hasil yang diperoleh dalam peningkatan kemampuan penalarannya karena pada siswa dengan KAM baik cenderung memiliki motivasi besar dan kemampuan menerima pelajaran yang sudah baik pula, sehingga meskipun dengan pembelajaran yang kurang mendukung sekalipun tetap bisa memperoleh hasil yang baik. Sedangkan pada siswa dengan kategori KAM rendah, kesamaan hasil yang diperoleh dalam peningkatan kemampuan penalaran pada pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif dan pembelajaran ekspositori dimungkinkan karena pada siswa dengan KAM rendah cenderung memiliki motivasi dan kemampuan menerima pelajaran yang kurang, sehingga meskipun dengan pembelajaran yang mendukung sekalipun tetap memperoleh hasil yang kurang. Dengan kata lain pada KAM tinggi dan rendah, tinggi dan rendahnya peningkatan kemampuan penalaran tidak dikarenakan pembelajaran yang dilakukan.

Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa dipengaruhi oleh pembelajaran dan KAM. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis lanjutan untuk mengetahui interaksi pembelajaran dan KAM tersebut berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis. Pengujian hipotesis tersebut menggunakan uji anava dua jalur (two way anova).Ringkasan hasil uji interaksi tersebut disajikan pada Tabel 5 berikut.

tinggi dan rendah, rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori (kelas kontrol).

Temuan tes tersebut didukung pula oleh hasil pengamatan aktivitas siswa.Rata-rata persentase aktivitas siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih unggul meskipun selisihnya juga relatif kecil (0,2%). Hasil pengamatan tersebut memperlihatkan kecenderungan bahwa kemampuan maupun peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih baik dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori, tidak muncul secara tiba-tiba pada saat dilakukan tes.

Analisis yang lebih rinci dilihat berdasarkan kriteria KAM, hanya pada kriteria KAM sedang yang menunjukkan bahwa kedua pendekatan pembelajaran ini memiliki kemampuan penalaran yang berbeda signifikan, sedangkan pada kriteria KAM tinggi dan rendah tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Demikian pula diperoleh hasil yang sama dari analisis peningkatan kemampuan penalaran pada kategori KAM sedang, peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori. Sedangkan pada kategori KAM tinggi dan rendah, peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori.

Hal ini menunjukkan bahwa pembelajar-an dengpembelajar-an strategi abduktif-deduktif telah memfasilitasi dengan baik siswa dengan kategori KAM sedang sehingga mampu meningkatkan kemampuan penalaran mate-matisnya. Sedangkan pada siswa dengan

Berdasarkan tabel hasil uji interaksi di atas, diperoleh nilai sig. > 0,05 untuk faktor pembelajaran (kelas), sehingga Ho diterima. Sedangkan pada faktor KAM diperoleh nilai sig. < 0,05 sehingga Ho ditolak. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis didukung oleh faktor KAM. Selanjutnya diperoleh pula nilai sig. < 0,05 untuk Kelas * KAM, sehingga Ho ditolak. Kesimpulannya terdapat perbedaan yang signifikan faktor interaksi pembelajaran dengan KAM terhadap peningkatan

(10)

Tabel 5

Hasil Uji Interaksi antara Pembelajaran dan KAM terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

Source Type III Sum of Squares df SquareMean F Sig. Ho

Kelas .118 1 .118 3.932 .052 Terima

KAM .950 2 .475 15.797 .000 Tolak

Kelas * KAM .222 2 0.111 3.686 .031 Tolak

R Squared = .492 (Adjust-ed R Squar(Adjust-ed = .451) Ho: tidak terdapat

perbe-daan signifikan terhadap

peningkatan kemampuan penalaran

Berdasarkan gambar 5 terlihat grafik pe-ningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) selalu berada di atas grafik peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori (kelas kontrol). Namun pada kategori KAM kemampuan penalaran matematis siswa. Dengan kata lain peningkatan kemampuan penalaran matematis disebabkan oleh interaksi antara pembelajaran dan KAM.

Gambar 5

Grafik Interaksi antara Pembelajaran dan KAM terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

Interaksi antara pembelajaran (kelas) dan KAM juga dapat dilihat dari grafik interaksi berikut.

tinggi dan rendah terlihat bahwa kedua grafik terkesan saling mendekati dan menuju titik yang sama, sehingga dapat diartikan pada kategori KAM tinggi dan rendah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran

(11)

kemampuan penalaran matematika yang ditingkatkan. Dalam proses pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif difasilitasi pada fase menggeneralisasi temuan-temuan yang diperoleh. Kegiatan guru dalam membantu siswa menggeneralisasi temuan yang diperoleh dalam pembelajaran, telah membiasakan siswa untuk mampu menarik kesimpulan dari suatu pernyataan secara logis. Rasionalisasi yang dibangun untuk menggeneralisasi temuan juga membantu siswa dalam menyusun pembuktian secara langsung.Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky dalam John & Thornton, (1993) yang menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap, yakni tahap berkolaborasi dengan orang lain dan tahap individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan yang dikembangkan yakni saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan pihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat yang berkembang.

Indikator menyusun pembuktian secara langsung selanjutnya dikuatkan pada fase pembahasan strategi masalah yang lebih banyak, pada fase ini ditampilkan beberapa masalah lain yang memperkaya kemampuan penalaran siswa diantaranya soal yang menyangkut pembuktian secara langsung. Setidaknya pembahasan masalah yang lebih banyak akan lebih mengarahkan pada tiga tingkatan berpikir matematik yakni reproduksi, koneksi dan analisis (Shafer & Foster, 1997). Penelitian Csapo (1997) juga menunjukkan bahwa adanya interaksi yang tinggi antara kemampuan (induktif) dengan pengetahuan terapan.

Dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori, dimungkinkan pula diperoleh soal juga yang menyangkut pembuktian secara langsung sehingga ada kemungkinan kesempatan dalam kemampuan membuktikan memiliki kemampuan yang sama. Namun beda halnya dalam kemampuan menarik kesimpulan secara logis, karena materi ekspositori (kelas kontrol). Sedangkan pada

kategori KAM sedang terlihat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif (kelas eksperimen) jauh lebih besar dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori (kelas kontrol). Karena peningkatan tidak berlaku untuk semua kategori KAM (tinggi, sedang, rendah), adanya peningkatan kemampuan penalaran matematis tidak hanya disebabkan oleh salah satu faktor saja melainkan oleh interaksi antara pembelajaran dan KAM. Artinya dalam pembelajaran kemampuan awal matematis (KAM) harus diperhatikan.

Kaitannya dengan interaksi, menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan KAM terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa. Selanjutnya selisih peningkatan kemampuan penalaran matematis antar KAM tinggi-sedang-rendah pada pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif berbeda secara signifikan dibandingkan pada pembelajaran ekspositori. Berarti terdapat interaksi antar pasangan KAM, baik tinggi dengan sedang, tinggi dengan rendah maupun sedang dengan rendah terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa. Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif telah mampu menunjukkan peningkatan kemampuan penalaran matematis lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori.

Berbagai alasan dapat ditemukan untuk memperkuat hasil analisis tersebut. Uraian mengenai beberapa hal yang tampaknya dapat mempengaruhi peningkatan kemam-puan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori disajikan sebagai berikut.

Kemampuan menarik kesimpulan secara logis yang merupakan indikator dalam

(12)

disam paikan oleh guru, kesempatan siswa dalam mengembangkan kemampuan menarik kesimpulan semakin sedikit dan tidak terasah. Fase menganalisis dan mengevaluasi proses pada pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif, dimana tahapannya guru mengarahkan siswa untuk dapat menemukan sendiri solusi dari informasi yang telah dimiliki oleh siswa. Guru mendorong siswa untuk melakukan transactive reasoning seperti mengkritik, menjelaskan, mengklarifikasi, menjastifikasi dan mengelaborasi suatu gagasan yang diajukan, baik yang diinisiasi oleh siswa maupun guru. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan bahan-bahan untuk presentasi dan diskusi. Kesempatan menjelaskan gagasan ini menjadi salah satu faktor pendukung peningkatan kemampuan penalaran siswa (Baig & Halai, 2006).

Dalam tahapan ini, guru juga membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap proses investigasinya dan proses-proses lainnya yang digunakan dalam menyelesaikan masalah, memberikan pembiasaan bagi siswa dalam kemampuan memperkirakan jawaban dan proses solusi serta menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi. Dengan proses investigasi terhadap obyek-obyek, perbandingan sistemik dan analisis terhadap keserupaan atau ketidakserupaan (pola) akan meningkatkan kemampuan penalaran siswa Christon & Papageorgion(2006). Dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori di setiap fasenya dimana guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah atau anak didik membaca bahan yang telah disiapkan dari buku teks atau bahan ajar tertentu tidak mengembangkan kemampuan memperkirakan jawaban dan proses solusi serta menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi.

Melihat kelebihan dari pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif

diban-ding kan pembelajaran ekspositori dalam memfasilitasi berkembangnya kemampuan penalaran siswa sebagaimana diungkapkan di atas menguatkan bahwa kemampuan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih baik dibandingkan pembe-lajaran ekspositori dalam peningkatan kemampuan penalaran siswa.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori secara keseluruhan.Dilihat lebih rinci berdasar kategori KAM, hanya pada kategori KAM sedang yang menunjukkan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang lebih baik.Sedangkan pada kategori KAM tinggi dan rendah, kedua pembelajaran tidak menunjukkan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang berbeda secara signifikan.Interaksi antara pembelajaran (dengan strategi abduktif-deduktif dan ekspositori) dan KAM terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis juga menunjukkan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan simpulan di atas, dalam pembelajaran matematika kemampuan awal matematis (KAM) siswa perlu diper-timbangkan. Peneliti merekomendasikan kepada guru untuk menggunakan pembel-ajaran dengan strategi abduktif-deduktif untuk materi-materi dengan karakteristik abduktif-deduktif untuk meningkatkan kemampuan matematis khususnya kemampuan penalaran. Perlu dilakukan penelitan lebih lanjut untuk pengembangan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif pada materi lain yang sesuai dengan karakteristik abduktif-deduktif seperti program linier, logaritma, dan trigonometri. Perlu juga penerapannya diperluas pada tingkatan sekolah seperti SMK

(13)

dan SMP. Perluasan kajian dan penelitian untuk peningkatan kemampuan matematis lain dengan menggunakan pembelajaran dengan strategi abduktif-deduktif juga bisa dilakukan. Sebagai pembanding perlu dilakukan penelitian pula tentang perbandingan dengan strategi induktif, deduktif, induktif-deduktif atau perluasan lainnya.

Daftar rujukan

Aliseda, A. (2007). Abductive Reasoning: Challenges Ahead. Theoria, 60, 261-270. Ansjar, M. & Sembiring.(2000). Hakikat

Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Matematika di Perguruan Tinggi. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional.

Baig, S. & Halai, A. (2006).Learning Mathematical Rules with Reasoning. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 2, 15-39. Balitbang.(2011). Laporan Hasil TIMMS

2011. Jakarta: Kemendikbud.

Chiston, C. & Papageorgiau, E. (2006).A Framework of Mathematics Inductive Reasoning.Journal Learning and Instruction. Cyprus, Elsevier, 17.

Csapo, B. (1997). The Development of Inductive Reasoning: Cross-Sectional Assessment in an Educational Contect. International Journal of Behavioral Development. 20 (4), 609-626.

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar Matematika Sekolah Dasar.Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Henningsen, M., & Stein, M.K. (1997). Mathematical Tasks and Student Cognition: Classroom-Based Factors That Support and Inhibit High-Level Mathematical Thinking and Reasoning. Journal for Research in Mathematics Education, 28, 524-549.

Hudojo, H. (1990). Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. John, G.A., & Thornton, C.A. (1993).

Vygotsky Revisited: Nurturing Young Children’s Undersanding of Number. Focus on Learning Problems in Mathematics, 15, 18-28.

Kusnandi (2008a). Pembelajaran Matematika dengan Strategi Abduktif-Deduktif untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Membuktikan pada Mahasiswa.Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Kusnandi (2008b). Kerangka Kerja Teoritis Pembuktian Matematika untuk Mahasiswa S1. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Internal UPI.

Mullis, I., Martin, M.O., Ruddock, G.J., O’Sullivan, C.Y., & Preuschoff, C. (2000). TIMMS 1999: International Mathematics Report. Boston: The International Study Boston College.

Murni, A. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Representasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Metakognitif Berbasis Softskill.Disertasi.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

National Council of Teacher of Mathematics (NCTM).(2000). Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM. Nizar, A. (2007). Kontribusi Matematika

dalam Membangun Daya Nalar dan Komunikasi Siswa.Jurnal Pendidikan Inovatif. 2 (2), 74-80.

Rahayu, S.H. (2013). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis dalam Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Penguatan E-Learning Berbasis Aplikasi Moodle.Tesis.Bandung: Universitas Pendidikan.

Saragih, S. (2011).Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik dan Kelompok Kecil untuk Meningkatkan Kemampuan Keruangan, Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika Kelas VIII.Disertasi.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

(14)

Shafer, M.C. & Foster, S. (1997). The Changing Face of Assessment.Principled Practice in Mathematics and Sciene, 1(2), 1-7.

Shodikin, A. (2013). Abductive-Deductive Strategy: How To Apply It In Improving Student Mathematics Literacy In Junior High School?.International Seminar on Mathematics, Science, and Computer Science Education.Bandung. 19 Oktober 2013.

Shodikin, A. (2014). Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Abduktif-Deduktif terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran, Problem Solving dan Disposisi Matematis Siswa SMA.Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumarmo, U. (2013). Kumpulan Makalah: Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sun, Z., Finnie, G. & Weber, K. (2005). Abductive Case Based Reasoning. International Journal of Intelligent Systems.20(9), 957-983.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP.Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

TIMMS.(2011). Overview TIMSS and PIRLS 2011 Achievement.Lynch School of Education, Boston College: TIMSS and PIRLS.

Wahyudin.(1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. Bandung: IKIP Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Reference Model MF classifier Traffic meter Marker Traffic conditioner Ingress router Core router Core router Egress router..

Demikian Pengumuman Penyedia ini dibuat untuk dapat dipergunakan.

• Cth: Alamat pelajar dalam Fail Pelajar ditukar tanpa kemaskini Alamat dalam Fail Yuran - rujukan fail yang berbeza menghasilkan maklumat yang berbeza.. Kawalan Data Yang

Pejabat Pengadaan Kegiatan Peningkatan Pengawasan Suaka Perikanan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Tahun Anggaran 2014, telah melaksanakan Proses Evaluasi Penawaran

1) Kenyataannya masyarakat di kawasan lereng Merapi telah mengetahui dampak yang akan mereka terima dengan bermukim di kawasan sekitar Gunung Merapi. Akan tetapi hal itu

Dalam rangka meningkatkan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif, kegiatan sosialisasi misalnya dapat digunakan untuk menjelaskan peraturan-peraturan baru

[r]

Pelaksanaan lima tahunan pembangunan hortikultura yang diamanahkan kepada Direktorat Jenderal Hortikultura dari tahun 2010-2014 telah memberikan beberapa manfaat dan dampak positif,