• Tidak ada hasil yang ditemukan

717 Penggunaan beberapa metode stressing pada skreening benur... (Muliani) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "717 Penggunaan beberapa metode stressing pada skreening benur... (Muliani) ABSTRAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN BEBERAPA METODE

STRESSING

PADA SKREENING BENUR UDANG

WINDU (

Penaeus monodon

) DARI BEBERAPA PANTI PERBENIHAN DENGAN TEKNIK

POLYMERASE CHAIN REACTION

Muliani, Nurhidayah, dan Ahmadirrahman Fajrihanif

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: litkanta@indosat.net.id

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui metode stressing yang lebih efektif untuk menginduksi perkembangan WSSV pada benur yang berasal dari pantai perbenihan yang berbeda. Penelitian dilakukan di Laboratorium Basah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP). Benur yang digunakan berasal dari panti perbenihan skala komersil dan skala rumah tangga yang ada di Kabupaten Barru dan Takalar, Sulwesi Selatan. Wadah yang digunakan adalah kontainer plastik yang bervolume 40 L yang yang diisi dengan air laut sebanyak 30 L dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen. Perlakuan yang dicobakan adalah A) stressing suhu (10±2°C, 28°C, dan 40±2°C); B) stressing dengan salinitas (5, 28, dan 51 ppt); C) stressing dengan pH (5, 6, dan 7); D) stressing dengan oksigen (1 mg/L, 3 mg/L, dan 5 mg/L); E) stressing dengan formalin (100 mg/L, 200 mg/L, dan 300 mg/L). Jumlah benur yang digunakan 500 ekor untuk setiap wadah. Untuk pengecekan WSSV dengan PCR, dilakukan sampling secara berkala sesuai waktu perendaman yaitu 1 jam, 3 jam, dan 5 jam dengan mengambil contoh benur sebanyak 50-100 ekor/wadah. Data yang dihasilkan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benur dari panti perbenihan B lebih sensitif terhadap perlakuan suhu di banding dengan benur yang berasal dari panti perbenihan A dan C. Hasil uji stressing dengan salinitas menunjukkan hasil yang negatif WSSV kecuali pada benur dari panti perbenihan A yaitu pada salinitas 5 ppt, 28 ppt, dan 51 ppt pada perendaman 5 jam. Hasil uji stressing dengan penurunan pH menunjukkan bahwa benur yang berasal dari panti perbenihan B lebih sensitif dibanding benur dari panti perbenihan A dan C. Hampir semua perlakuan pada semua waktu perendaman menunjukkan hasil yang positif WSSV, kecuali pada pH 7 pada perendaman 1 jam. Hasil uji stressing dengan oksigen menunjukkan bahwa benur dari panti perbenihan B lebih sensitif terhadap penggunaan oksigen. Hal ini terlihat di mana semua perlakuan dan waktu perendaman menunjukkan hasil yang positif WSSV, demkian pula pada benur dari panti perbenihan A, menunjukkan hasil yang positif WSSV kecuali pada oksigen 5 mg/L pada perendaman 1 jam. Hasil uji stressing dengan formalin menunjukkan bahwa benur dari panti perbenihan B dan C lebih sensitif terhadap penggunaan formalin dibanding dengan benur dari panti perbenihan A. Hal ini terlihat di mana hampir semua konsentrasi menunjukkan hasil yang positif pada semua waktu perendaman, kecuali pada perenaman 1 jam pada konsentrasi 100 mg/L dan 200 mg/L. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa benur dari panti perbenihan B lebih sensitif terhadap metode stressing yang digunakan dibanding dengan benur dari panti perbenihan A dan C. Metode stressing yang terbaik dalam menginduksi perkembangan WSSV pada semua benur dari sumber yang berbeda adalah berturut-turut oksigen, suhu, formalin, pH, dan salinitas. Ada kecenderungan bahwa semakin lama waktu perendaman, maka semakin memicu perkembangan WSSV pada benur udang windu.

KATA KUNCI: stressing, skreening, pembenihan, udang windu, post larva, WSSV, PCR

PENDAHULUAN

White Spot Syndrome Virus (WSSVWhite SpotVirus) dilaporkan merebak sejak tahun 1992

(Escobedo-Bonilla et al., 2008) dan sampai dekade ini masih merupakan jenis virus yang paling banyak menginfeksi dan menyebabkan kematian pada udang (Hulten et al., 2000; Rajan et. al., 2000; Dhar et

al., 2001; Peng et al., 2001; Li et al., 2003; Vaseeharan et al., 2003; Kono et al., 2004; Maeda et. al.,

2004; Munn, 2004; Hossain et al., 2004; Sathish et al., 2004; Powell et al., 2006; Perez et al., 2005; Balasubramanian et al., 2006; 2008; Yoganandhan et al., 2006; Shekhar & Ravichandran, 2007; Sanchez-Martinezet al., 2007). Serangan WSSV dilaporkan menyebabkan kematian udang windu di tambak hingga 100% dalam waktu 2-7 hari (Lo et al., 1998). Munn (2004), melaporkan bahwa virus ini dapat

(2)

menyebabkan kematian 80% selama 2-3 hari pada yuwana dan 7-10 hari pada udang dewasa. Laporan lain menyatakan bahwa, WSSV dapat menyebabkan kematian udang hingga 100% dalam waktu 3-10 hari (Peinado-Guevara & Lopez-Meyer, 2006). Secara morfologi udang yang terserang WSSV terdapat bintik putih di seluruh karapaks (Chang et al., 1998; Hulten et al., 2000; Rodriguez et. al., 2003).

Di Indonesia, WSSV dijumpai telah menginfeksi udang windu pada semua umur dan semua siklus budidaya (Muliani et al., 2009). Infeksi WSSV pada induk udang windu di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 2003, yaitu induk udang windu yang telah memijah dengan tingkat prevalensi sebesar 16,67% dan berada pada taraf serangan dengan kategori ringan sampai sedang (Muliani et al., 2004). Hasil deteksi WSSV dengan teknik PCR pada induk udang windu yang berasal dari Kalimantan dan Gorontalo menunjukkan bahwa induk udang windu dari kedua daerah tersebut sudah terinfeksi WSSV dengan prevalensi tertinggi pada induk udang dari Gorontalo pada taraf serangan kategori ringan sampai sedang. Serangan WSSV pada budidaya udang windu sangat erat kaitannya dengan benur atau tokolan udang yang digunakan membawa WSSV atau tidak dan hal ini sangat erat kaitannya dengan induk yang memproduksi benur tersebut terinfeksi WSSV atau tidak. Menurut Peng et al. (2001), induk udang yang terinfeksi WSSV sebelum memijah, 75% nauplii yang dihasilkannya akan terinfeksi WSSV. Dengan demikian kualitas induk yang digunakan sangat mempengaruhi kualitas nauplii dan tentunya akan berlanjut ke larva (benur) yang diproduksi, dan akan berdampak pada keberhasilan budidaya udang di tambak.

Untuk mencegah penyebaran WSSV di tambak melalui penularan dari benur, maka program pemerintah mengenai benur berlabel harus segera diwujudkan. Untuk mendukung program tersebut,

screening benur sebelum ditebar di tambak harus dilakukan untuk memperkecil risiko kegagalan

panen. Screening dengan formalin dan deteksi WSSV dengan teknik PCR merupakan dua hal yang sering dilakukan sebelum benur ditebar di tambak, namun kedua hal tersebut tidak banyak membantu untuk mengurangi serangan WSSV, terbukti masih seringnya terjadi serangan WSSV di tambak pembesaran setelah udang berumur 1-1,5 bulan masa pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena

screening dengan formalin hanya untuk melihat vitalitas benur secara fisik. Sedangkan deteksi dengan

PCR untuk melihat adanya infeksi WSSV, masih sering ditemukan benur negatif WSSV yang pada dasarnya belum tentu negatif, kemungkinan intensitas virus masih sangat rendah sehingga tidak terdeteksi dan setelah ditebar di tambak, udang mengalami stres sehingga WSSV pada benur tersebut terinduksi dan intensitasnya meningkat dan pada akhirnya menyebabkan penyakit.

Dalam proses analisis dengan PCR, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menstimulasi agar WSSV dapat terdeteksi, seperti menambah siklus PCR, menambah reagen PCR, atau bahkan mengklone sekuen DNA target dalam plasmid (Natividad et al., 2006). Di Thailand beberapa peneliti telah melakukan perbandingan beberapa metode untuk mendeteksi keberadaan WSSV pada benur udang (Sritunyalucksana et al., 2006), hal ini dimaksudkan agar hasil deteksi PCR benar-benar akurat sehingga WSSV dapat terdeteksi secara dini guna mencegah terjadinya peledakan penyakit di tambak pembesaran. Namun demikian konsekuensinya adalah menambah biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan teknik menginduksi perkembangan WSSV pada benur sebelum dideteksi dengan PCR sehingga prevalensi dan intensitasnya meningkat dan dapat terdeteksi secara dini, guna mencegah peledakan WSSV pada saat budidaya.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui metode stressing yang lebih efektif untuk menginduksi perkembangan WSSV pada benur yang berasal dari pantai perbenihan yang bertbeda.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Laboratorum Basah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) dari bulan Maret 2011 sampai dengan November 2011. Benur yang digunakan berasal dari panti berbenihan A (panti perbenihan komersil 1 di Kabupaten Barru), B (panti perbenihan komersil 2 di Kabupaten Barru), dan C (panti perbenihan komersil yang ada di Kabupaten Takalar) Sulawesi Selatan. Sebelum dilakukan stressing terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel untuk deteksi WSSV sebagai data awal. Untuk sampel awal, benur dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah

(3)

berisi bahan pengawet berupa ethanol 70%. Selanjutnya dibawa ke laboratorium Bioteknologi BPPBAP untuk deteksi WSSV dengan PCR. Sedangkan benur yang akan di-stressing dibawa ke laboratorium basah BPPBAP dengan kantong plastik dalam keadaan hidup. Setelah sampai di laboratorium, benur ditampung dalam bak fiber yang bervolume 500 L yang diisi air laut salinitas 28 ppt selama 2-3 hari.

Perlakuan

Pada penelian ini dicobakan beberapa metode stressing yaitu; (A) stressing dengan penurunan dan peningkatan suhu; (B) stressing dengan penurunan dan peningkatan salinitas; (C) stressing dengan penurunan kadar pH; (D) stressing dengan penurunan kadar oksigen; dan (E) stressing dengan penggunaan formalin. Setiap metode stressing diulang 3 kali. Wadah yang digunakan untuk uji stressing adalah kontainer plastik volume 50 L yang diisi air laut sebanyak 30 L dan dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen. Setiap wadah diisi dengan air laut salinitas 28 ppt, kecuali pada perlakuan salinitas diisi air laut sesuai dengan tingkat salinitas yang dicobakan, dan ditebari dengan benur 500 ekor/wadah.

Uji stressing dengan penurunan dan peningkatan suhu secara drastis dicobakan suhu 10±2°C, suhu ruang (28°C), dan 40±2°C. Untuk mempertahankan suhu rendah sesuai dengan perklakuan, maka dilakukan penambahan batu es yang dibuat dalam botol air minum sehingga penambahan batu es tidak mempengaruhi salinitas maupun volume air dalam wadah penelitian, sedangkan untuk mempertahankan suhu tinggi sesuai perlakuan digunakan pemanas air (heater).

Pada perlakuan stressing salinitas dicobakan salinitas 5 ppt, 28 ppt, dan 51 ppt. Penurunan dan peningkatan salinitas dilakukan dengan mengencerkan air laut salinitas 30 ppt hingga menjadi 5 ppt dan 28 ppt, sedangkan untuk salinitas 51 ppt, dibuat dengan menambah garam dapur ke dalam air laut salinitas 30 ppt hingga mencapai salinitas 51 ppt. Air laut bersalinitas 51 ppt kemudian disaring dan diendapkan sebelum dimasukkan ke dalam wadah penelitian.

Perlakuan dengan stressing formalin, dicobakan konsentrasi 100 mg/L, 200 mg/L, dan 300 mg/L dan untuk stressing dengan pH dicobakan pH 5, 6, dan 7, sedangkan stressing oksigen dicobakan kadar oksigen 1 mg/L, 3 mg/L, dan 5 mg/L. Untuk membuat dan mempertahankan kadar oksigen yang dharapkan sesuai dengan perlakuan, maka ke dalam wadah penelitian dimasukkan ikan nila yang akan mengomsumsi oksigen dalam wadah penelitian.

Sampling dan Pengawetan Sampel

Pengecekan WSSV pada contoh benur sebanyak 50-100 ekor/wadah diambil secara berkala yaitu 1 jam, 3 jam, dan 5 jam setelah perlakuan tergantung kondisi benur. Jika benur sudah stres dan mengendap di dasar baskom, maka benur langsung dipanen semua. Contoh benur diawetkan dalam ethanol 70%, kemudian selanjutnya dilakukan ekstraksi DNA menggunakan buffer lisis dan dTAB-cTAB extraction manual untuk mendapatkan total DNA. Selanjutnya DNA WSSV diamplifikasi dengan teknik First dan Nested PCR menggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000TM WSSV Detection

and Prevention System) (Anonim, 2002), kemudian visualisasi DNA WSSV dilakukan dengan geldocumentation dan sekaligus dilakukan pengambilan foto (Suwanto et al., 2000, Anonim, 2002,

Sulandari & Zei, 2003).

Untuk mengetahui suhu, salinitas, pH, oksigen, dan konsentrasi formalin yang dapat memicu perkembangan WSSV, data dianalisis secara deskriptif. Hal ini disebabkan karena data hasil PCR untuk deteksi WSSV yang diperoleh hanyak data kualitif (positif atau negatif WSSV).

HASIL DAN BAHASAN

Hasil Uji Stressing Terhadap Benur dari Panti Perbenihan A

Hasil Uji stressing pada benur dari panti perbenihan A disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa sebelum dilakukan uji stressing benur udang windu yang diambil dari panti perbenihan A menunjukkan hasil yang negatif WSSV dan setelah diuji stressing beberapa perlakuan menunjukkan hasil yang positif. Pada Tabel 1 terlihat bahwa stressing dengan suhu 10°C pada perendaman 3 dan 5 jam menunjukkan hasil yang positif, stressing dengan suhu 28°C menunjukkan hasil yang negatif

(4)

pada semua waktu perendaman, sedangkan stressing dengan suhu 40°C pada perendaman 5 jam menunjukkan hasil yang positif WSSV dan pada perendaman 1 jam dan 3 jam menunjukkan hasil yang negatif WSSV. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih rendah WSSV lebih cepat terinduksi sehingga lebih mudah terdeteksi. Stressing dengan salinitas, terlihat bahwa pada semua tingkatan salinitas yang digunakan menunjukkan hasil yang positif WSSV pada perendaman 5 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama waktu perendaman makan semakin memicu perkembangan WSSV pada benur.

Pada penggunaan pH menunjukkan hasil yang positif WSSV pada pH 5 dengan waktu perendaman 3 jam dan 5 jam, pada pH 6 menunjukkan hasil yang positif pada waktu perendaman 5 jam, sedangkan pada pH 7 menunjukkan hasil negatif WSSV pada semua waktu perendaman. Stressing dengan oksigen menunjukkan bahwa oksigen 1 mg/L dan 3 mg/L positif WSSV pada semua waktu perendaman, sedangkan pada oksigen 5 mg/L hanya pada perendaman 3 jam dan 5 jam positif WSSV. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama waktu perendaman maka udang semakin stres dan virus bereplikasi lebih cepat sehingga dapat terdetksi. Stressing dengan formalin menunjukkan hasil positif pada semua perlakuan (100 mg/L, 200 mg/L, dan 300 mg/L) pada perendaman 1 jam dan negatif pada 3 jam dan 5 jam perendaman. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan formalin dapat menginduksi WSSV pada benur.

Tabel 1. Hasil uji stressing terhadap benur udang windu yang berasal dari panti perbenihan A

Perlakuan Perendaman Hasil analisis

PCR Perlakuan Perendaman

Hasil analisis PCR

Sebelum uji stres 0 jam Negatif pH 6 1 jam Negatif

3 jam Positif

5 jam

Suhu 10°C 1 jam Negatif pH 7 1 jam Negatif

3 jam Positif 3 jam Negatif

5 jam Positif 5 jam Negatif

Suhu 28°C 1 jam Negatif Oksigen 1 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Positif

Suhu 40°C 1 jam Negatif Oksigen 3 mg/L 1 jam Positif

3 jam Positif 3 jam Positif

5 jam 5 jam Positif

Salinitas 5 ppt 1 jam Negatif Oksigen 5 mg/L 1 jam Negatif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Positif 5 jam Positif

Salinitas 28 ppt 1 jam Negatif Formalin 100 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Negatif

5 jam Positif 5 jam Negatif

Salinitas 51 ppt 1 jam Negatif Formalin 200 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Negatif

5 jam Positif 5 jam Negatif

pH 5 1 jam Negatif Formalin 300 mg/L 1 jam Positif

3 jam Positif 3 jam Negatif

(5)

Hasil Uji Stressing Terhadap Benur dari Panti Perbenihan B

Hasil uji stressing terhadap benur dari perbenihan B disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa sebelum dilakukan uji stressing benur udang windu menunjukkan hasil yang negatif WSSV dan setelah diuji stressing beberapa perlakuan menunjukkan hasil yang positif. Stressing dengan suhu 10°C dan 28°C pada perendaman 1 jam, 3 jam, dan 5 jam menunjukkan hasil positif WSSV, uji

stressing dengan suhu 40°C positif WSSV pada perendaman 1 jam dan 5 jam, dan negatif WSSV pada

perendaman 3 jam. Uji stressing dengan salinitas menunjukkan hasil negatif WSSV pada semua tingkat salinitas dan waktu perendaman. Uji stressing benur udang windu pada pH 5 dan 6 dengan waktu perendaman 1 jam, 3 jam, dan 5 jam menunjukkan hasil positif WSSV, sedangkan pada pH 7 hanya perendaman 3 jam dan 5 jam yang menunjukkan hasil positif WSSV, dan perendaman 1 jam negatif WSSV.

Uji stressing dengan penurunan kadar oksigen terlihat konsentrasi 1 mg/L, 3 mg/L, dan 5 mg/L menunjukkan hasil positif WSSV pada semua waktu perendaman. Sedangkan uji stressing dengan formalin konsentrasi 100 mg/L, 200 mg/L, dan 300 mg/L dapat menjadi stressor bagi perkembangan WSSV pada benur. Hal ini dapat dilihat pada hasil PCR dengan waktu perendaman 1, 3 jam, dan 5 jam, semua positif WSSV dengan infeksi ringan sampai sedang.

Tabel 2. Hasil uji stresssing terhadap benur udang windu yang berasal dari perbenihan B

Perlakuan Perendaman Hasil analisis

PCR Perlakuan Perendaman

Hasil analisis PCR

Sebelum uji stres 0 jam Negatif pH 6 1 jam Positif

3 jam Positif

5 jam Positif

Suhu 10 oC 1 jam Positif pH 7 1 jam Negatif

3 jam Positif 3 jam Positif

5 jam Positif 5 jam Positif

Suhu 28 oC 1 jam Positif Oksigen 1 mg/L 1 jam Positif

3 jam Positif 3 jam Positif

5 jam Positif 5 jam Positif

Suhu 40 oC 1 jam Positif Oksigen 3 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Positif 5 jam Positif

Salinitas 5 ppt 1 jam Negatif Oksigen 5 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Positif

Salinitas 28 ppt 1 jam Negatif Formalin 100 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Positif

Salinitas 51 ppt 1 jam Negatif Formalin 200 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Negatif

pH 5 1 jam Positif Formalin 300 mg/L 1 jam Positif

3 jam Positif 3 jam Positif

(6)

Hasil Uji Stressing Terhadap Benur yang Berasal dari Panti Perbenihan C

Hasil uji stressing pada benur yang berasal dari panti perbenihan C disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa sebelum dilakukan stressing benur negatif WSSV dan setelah dilakukan stressing beberapa perlakuan menunjukkan hasil positif. Pada stressing dengan 10°C pada semua waktu perendaman menunjukkan hasil positif WSSV, sedangkan pada suhu 28°C dan suhu 40°C negatif pada semua waktu perendaman. Stressing salinitas dan pH pada semua perlakuan menunjukkan hasil negatif pada semua waktu perendaman, Sedangkan stressing dengan oksigen konsentrasi 1 mg/L menunjukkan hasil positif pada semua waktu perendaman sementara pada konsentrasi 3 mg/L postif WSSV nampak pada perendaman 5 jam dan negatif WSSV pada perendaman 1 jam dan 3 jam. Stressing dengan oksigen konsentrasi 5 mg/L menunjukkan hasil negatif pada semua waktu perendaman.

Stressing dengan formalin konsentrasi 100 mg/L menunjukkan hasil positif WSSV pada perendaman 3

jam dan 5 jam, pada konsentrasi 200 mg/L positif WSSV pada perendaman 3 jam sedangkan perendaman 1 jam dan 5 jam hasilnya negatif. Untuk konsentrasi 300 mg/L, hasil PCR menunjukkan positif WSSV pada semua waktu perendaman.

Tabel 3. Hasil uji stresssing terhadap benur udang windu yang berasal dari panti perbenihan C

Perlakuan Perendaman Hasil analisis

PCR Perlakuan Perendaman

Hasil analisis PCR

Sebelum uji stres 0 jam Negatif pH 6 1 jam Negatif

3 jam Negatif

5 jam Negatif

Suhu 10°C 1 jam Positif pH 7 1 jam Negatif

3 jam Positif 3 jam Negatif

5 jam Positif 5 jam Negatif

Suhu 28°C 1 jam Negatif Oksigen 1 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Positif

Suhu 40°C 1 jam Negatif Oksigen 3 mg/L 1 jam Negatif

3 jam Negatif 3 jam Negatif

5 jam Negatif 5 jam Positif

Salinitas 5 ppt 1 jam Negatif Oksigen 5 mg/L 1 jam Negatif

3 jam Negatif 3 jam Negatif

5 jam Negatif 5 jam Negatif

Salinitas 28 ppt 1 jam Negatif Formalin 100 mg/L 1 jam Negatif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Positif

Salinitas 51 ppt 1 jam Negatif Formalin 200 mg/L 1 jam Negatif

3 jam Negatif 3 jam Positif

5 jam Negatif 5 jam Positif

pH 5 1 jam Negatif Formalin 300 mg/L 1 jam Positif

3 jam Negatif 3 jam Positif

(7)

Stressing dengan Suhu

Hasil uji stressing dengan suhu yang berbeda terhadap benur dari sumber yang berbeda menunjukkan bahwa sensitivitas benur tidak sama. Benur dari panti perbenihan B lebih sensitif terhadap perlakuan suhu dibanding benur yang berasal dari panti perbenihan A dan C. Hal ini terlihat hampir semua tingkatan suhu dan waktu perendaman positif WSSV pada benur dari panti perbenihan B. Respons benur dari panti perbenihan A lebih tinggi dibanding benur dari panti perbenihan C. Namun demikian secara keseluruhan stressing dengan suhu sangat mempengaruhi perkembangan WSSV. Hal ini sesuai pendapat Du et al. (2008), bahwa kasus kematian udang di tambak akibat serangan WSSV seringkali terkait dengan suhu air.

Fluktuasi suhu yang terlalu ekstrim antara siang hari dan malam hari merupakan salah satu penyebab terjadinya kasus kematian udang di tambak. Jika fluktuasi suhu sangat tajam maka akan membuat udang menajadi stres dan mudah terserang penyakit, terutama WSSV. Menurut Tendecia et

al. (2010), fluktuasi suhu yang ekstrim dan suhu air yang rendah merupakan penyebab terjadi infeksi

WSSV, hal ini disebabkan karena pada suhu rendah, WSSV akan menggandakan diri lebih cepat. Selanjutnya dikatakan bahwa fluktuasi suhu pada tambak yang terserang WSSV lebih tinggi (9,5°C) dibanding fluktuasi suhu (4,75°C) pada tambak yang tidak terinfeksi WSSV. Selanjutnya dikatakan bahwa infeksi WSSV pda udang windu dapat ditekan pada suhu air yang tinggi, fluktuasi salinitas yang kecil, keberadaan bakteri vibrio yang koloninya kuning lebih tinggi daripada yang koloni hijau. Hal senada disampaikan oleh You et al. (2010) bahwa suhu yang lebih tinggi (31±0,5°C) sangat nyata mengurangi kematian udang yang terinfeksi WSSV dibanding suhu rendah (27±0,5°C) dan hal ini menunjukkan bahwa suhu yang tinggi menghambat replikasi virus WSSV dan sekaligus meningkatkan respons imun udang. Sedangkan Vidal et al. (2001) melaporkan bahwa ditemukan kematian 100% pada udang yang terserang WSSV yang dipindahkan dari 32°C ke 25,8±0,7°C.

Stressing dengan Salinitas

Hasil uji stressing dengan salinitas menunjukkan bahwa salinitas kurang mampu memicu perkembangan WSSV pada benur. Hal ini terlihat bahwa benur yang berasal dari panti perbenihan B dan C semua negatif WSSV. Namun demikian pada benur dari panti perbenihan A positif WSSV dengan taraf ringan pada salinitas 5 ppt, 28 ppt, dan 51 ppt pada perendaman 5 jam sedangkan perendaman 1 jam dan 3 jam negatif WSSV. Kondisi benur pada stressing dengan salinitas selama perendaman tidak ditemukan benur yang mengendap di dasar akuarium seperti pada perlakuan lainnya. Jika dikaitkan dengan kondisi di lapangan (tambak) merebaknya penyakit bintik putih yang disebabkan oleh WSSV setelah musim penghujan diduga penyebabnya (stressor) bukan karena penurunan salinitas oleh air hujan, melainkan karena goncangan suhu dan oksigen yang terjadi selama musim hujan. Tendencia et al. (2010) melaporkan bahwa fluktuasi salinitas yang terjadi di tambak bukanlah merupakan penyebab utama terjadinya serangan WSSV pada udang budidaya.

Stressing dengan pH

Hasil uji stressing dengan pH menunjukkan benur yang berasal dari panti perbenihan B lebih sensitif, hal ini terlihat hampir semua perlakuan pada semua waktu perendaman menunjukkan hasil positif WSSV, kecuali pada pH 7 pada perendaman 1 jam. Benur dari perbenihan A sedikit lebih respons terhadap penurunan pH dibanding dengan benur dari perbenihan C, di mana pada perbenihan A, hanya pada pH 5 dan 6 yang positif WSSV itupun pada perendaman 3 jam dan 5 jam. Sedangkan benur dari panti perbenihan C semua tidak ada yang positif WSSV. Hal ini diduga kadar pH yang digunakan masih tinggi, bahkan pH 7 merupakan pH normal bagi pertumbuhan udang. Oleh karena itu, untuk lebih memperjelas efek pH terhadap perkembangan WSSV pada benur diharapkan penelitian selanjutnya menggunakan kadar pH yang lebih rendah. Walaupun demikian dari hasil analisis PCR ada indikasi bahwa semakin rendah pH dan semakin lama waktu perendaman maka benur semakin stres sehingga WSSV semakin berkembang dalam tubuh benur.

Menurut Tendecia et al. (2010), bahwa fluktuasi suhu dan pH merupakan faktor yang sangat penting terhadap serangan WSSV. Hal ini sejalan yang dilaporkan oleh Lemonniera et al. (2004) bahwa pada pH air yang rendah (5,9) menyebabkan pertumbuhan udang windu menurun akibat

(8)

stres. Selanjutnya dikatakan bahwa penurunan pH air dari 7,0 menjadi 6,5 menyebabkan tekanan osmotik udang menurun secara nyata, tentunya berakibat pada vitalitas udang akan menurun sehingga udang akan lebih stres dan terserang penyakit (WSSV). Hal yang berbeda dilaporkan oleh Corsin et al. (2001) bahwa penyakit white spot biasanya timbul di saat pH air tinggi.

Stressing dengan Oksigen

Hasil uji stressing dengan oksigen menunjukkan bahwa benur yang berasal dari panti perbenihan B lebih sensitif terhadap penggunaan oksigen. Hal ini terlihat semua perlakuan dan waktu perendaman menunjukkan hasil yang positif WSSV, demikian pula benur dari panti perbenihan A, kecuali pada oksigen 5 mg/L pada perendaman 1 jam negatif WSSV. Sedangkan benur yang berasal dari panti perbenihan C positif WSSV pada perlakuan oksigen 1 mg/L pada semua perendaman, oksigen 3 mg/ L pada perendaman 5 jam dan selebihnya negatif WSSV. Hal seperti ini sering terjadi di tambak, di mana fluktuasi membuat udang menjadi stres dan lebih mudah terserang penyakit utamanya WSSV. Menurut Ivan (2005), oksigen terlarut di tambak budidaya udang sebaiknya lebih dari 3,5 mg/L.

Infeksi WSSV pada benur udang windu yang di-stressing dengan konsentrasi oksigen terutrama 1 mg/L dan 3 mg/L tergolong pada tingkat serangan sedang hingga berat, sedangkan pada konsentrasi 5 mg/L tingkat infeksi WSSV tergolong ringan. Hal ini menunjukkan bahwa kadar oksigen yang rendah membuat benur jadi stres yang akhirnya memicu perkembangan WSSV pada benur.

Stressing dengan Formalin

Hasil uji stressing dengan formalin menunjukkan benur dari panti perbenihan B dan C lebih sensitif terhadap penggunaan formalin dibanding dari panti perbenihan A. Hal ini terlihat hampir semua konsentrasi yang diuji positif pada semua waktu perendaman, kecuali perendaman 1 jam pada konsentrasi 100 mg/L dan 200 mg/L. Hal ini sejalan yang dilaporkan Muliani et al. (2011) bahwa penggunaan formalin sebagai bahan stressor dapat menginduksi perkembangan WSSV pada benur. Hasil penelitian Arimoto (1996) dalam Balasubramanian et al. (2006) yang mengatakan bahwa formalin tidak dapat menonaktifkan replikasi dari WSSV. Penggunaan formalin untuk screening benur sebelum ditebar di tambak selama ini dilakukan di panti berbenihan sebetulnya sudah tepat, namun masih perlu dilanjutkan dengan deteksi PCR terhadap benur yang telah di-screening dengan formalin untuk memastikan apakah benur tersebut benar-benar tidak terinfeksi WSSV.

KESIMPULAN DAN SARAN

 Benur yang berasal dari panti perbenihan B (panti perbenihan komersil di Kabupaten Barru) lebih

sensitif terhadap metode stressing yang digunakan dibanding dari panti perbenihan A (panti perbenihan komersil yang ada di Kabupaten Barru) dan C (panti perbenihan komersil yang ada di Kabupaten Takalar).

Metode stressing yang terbaik dalam menginduksi perkembangan WSSV pada semua benur dari

sumber yang berbeda adalah berturut-turut oksigen, suhu, formalin, pH, dan salinitas.

 Ada kecenderungan semakin lama waktu perendaman, maka semakin memicu perkembangan WSSV

pada benur udang windu.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang waktu perendaman terhadap semua metode stressing

yang digunakan sehingga diperoleh metode dan waktu yang lebih efektif untuk screening dalam rangka deteksi dini WSSV pada benur windu.

 Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang memicu perkembangan

WSSV pada benur windu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi yang penuh dedikasi dan tanggung jawab membantu terlaksananya penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh APBN T/A 2011.

(9)

DAFTAR ACUAN

Anonim. 2002. Instruction Manual. Detection and Prevention System for White Spot Syndrom Virus (WSSV). Taiwan, 18 pp.

Balasubramanian, G., Sudhakaran, R., Musthaq, S.S., Sarathi, M., & Hameed, A.S.S. 2006. Studies on the inactivation of white spot syndrome virus of shrimp by physical and chemical treatments, and seaweed extracts tested in marine freshwater animal models. Journal of Fish Diseases, 29: 569-572. Chang, P.S., Chen, L.J., & Wang, Y.C. 1998. The Effect of Ultraviolet Radiation Irradiation, Heat, pH, Ozone, Salinity and Chemical Desinfectant on the infektifity of White Spot Syndrome Virus Assosiated Baculovirus. Aquaculture, 166: 1-7.

Corsin, F., Turnbull, J.F., Hao, N.V., Mohan, C.V., Phi, T.T., Phuoc, L.H., Tinb, N.T.N., & Morgan, K.L. 2001. Risk factor assosiated with white spot syndrome virus infection in a Vietnamese rice-shrimp farming system. Dis. Aquat. Organ, 47: 1-12.

Dhar, A.K., Roux, M.M., & Klimpel K.R. 2001. Detection and Quantification of infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus and White spot Syndrome Virus in shrimp using Real-Time quantitative PCR and SYBR green chemistry. Journal of Clinical Microbiology, 39: 2,835-2,845. Du, H., Dai, W., Han, X., Li, W., Xu, Y., & Xu, Z. 2008. Effect of temperature on viral replication of

white spot syndrome virus in Procambarus clarkii. Aquaculture, 277: 149-151.

Escobedo-Bonilla, C.M., Alday-Sanz, V., Wille, M., Sorgeloos, P., Pensaert, M.B., & Nauwynck, H.J. 2008. A review on the morfology, molecular characterization, moephogenesis and pathogenesis of white spot syndrome virus. J. Of Fish Diseases, 31: 1-18.

Hossain, M.S., Otta, S.K., Chakraborty, A., Kumar, H.S., Karunasagar, I., & Karanusagar, I. 2004. Detection of WSSV in cultured shrimps, captured brooders, shrimp postlarvae and water samples in Bangladesh by PCR using different primers. Aquaculture, 237: 59-71.

Hulten, M.C.W.V., Goldbach, W., & Vlak, J.M. 2000. Three function diverged major structural proteins of white spot syndrome virus evolved by gene duplication. J. Gen. Virol., 81: 2,525-2,529.

Ivan, D.S. 2005. Biosekurity budidaya Litopenaeus vannamei dan informasi beberapa penyakit. CP Prima. Surabaya, 26 hlm.

Kono, T., Savan, R., & Itami, T. 2004. Detection of white spot syndrome virus in shrimp by loop-mediated isolthermal amplification. J. Virol. Methods, 115: 59-65.

Lemonniera, H., Bernardb, E., Boglioa, E., Goaranta, C., & Cochardb, J.C. 2004. Influence of sediment characteristics on shrimp physiology: pH as principal effect. Aquaculture, 240: 297-312.

Li, Q., Yang, F., Zhang, J., & Chen Y. 2003. Proteomic analysis of protein that bands specifically to the homologous repeat regions of white spot syndrome virus. Biol. Pharm. Bull., 26: 1,517-1,522. Lo, C.F., Chang, Y.S., Cheng, C.T., & Kou, G.H. 1998. PCR monitoring of cultured shrimp for White Spot

Syndrome Virus (WSSV) infection in Growth Ponds. In Flegel, T.W. (Ed.) Advances in shrimp

biotechnology. BIOTEC. The National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Thailand, p. 281-286.

Lu-Qing, P., Fang bo, Ling-Xu, J., & Jing, L. 2007. The effect of temperature on selected immune parameters of white shrimp, Litopenaeus vannamei. Journal of the World Aquaculture Society, 38(2): 326-332.

Maeda, M., Saitoh, H., Mizuki, E., Itami, T., & Ohba, M. 2004. Replication of white spot syndrome virus in ovarian primary cultures from the kuruma shrimp, Marsupenaeus japonicus. J. Virol. Methods, 116: 89-94.

Muliani, Parenrengi, A., Sulaeman, & Atmomarsono, M. 2004. Prevalensi, intesitas, dan transmisi

White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada budidaya udang windu Penaeus monodon. J. Pen. Perik. Indonesia, 10: 103-110.

Muliani, Tampangallo, B.R., & Atmomarsono, M. 2009. White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Lokal Indonesia. Dalam Djumanto, Dwiyitno, Hasanah, E., Heruwati, E.S., Irianto, H.E., Saksono, H., Yusuf, B.L., Basmal, J., Murniyati, Murwantoko, Probosunu, N., Peranginangin, R., Rustadi, & Ustadi (Eds) Prosiding Seminar Nasioanl Tahun VI. Universitas Gajah Mada.

(10)

skrining benur udang windu dengan teknik polymerase chain reaction (PCR). Dalam Taufiqurrahman, M., Winarno, A., Hardianto, D. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional KelautanVII. Universitas Hang Tua. Surabaya, hal. B2-63-B274.

Munn, C.B. 2004. Marine Microbiology. Ecology and applications. BIOS Scientific Publisher. London and New York, 282 pp.

Murdjani, Arifin, Z., Adiwidjaya, D., Komaruddin, U., Nur, A., Susanto, A., Taslihan, A., Ariawan, K., Mardjono, M., Sutikno, E., Supito, Latief, M. S., Cokarkin, C., & Proyoutomo, T.P. 2007. Penerapan

best management practices (BMP) pada budidaya udang windu (Penaeus monodon Fabricus) intensif.

Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara, 67 hlm.

Natividad, K.D.T., Migo, M.V.P., Albaladejo, J.D., Magbanua, J.P.V., Nomura, N., & Matsumura, M. 2006. Stimultaneous PCR detection of two shrimp viruses (WSSV and MBV) in postlarvae of Penaeus

monodon in the Philippines. Aquaculture, 257: 142-149.

Peinado-Guevara, L.I. & Lopez-Meyer, M. 2006. Detail monitoring of white spot syndrome virus (WSSV) in shrimp commercial ponds in Sinola, Mexico by nested PCR. Aquaculture, 251: 33-45.

Peng, S.E., Lo, C.F., Lin, S.C., Chen, L.L., Chang, Y.S., Liu, K.F., Su, M.S., & Kou, G.H. 2001. Performance of WSSV-infected and WSSV-negative Penaeus monodon postlarvae in culture ponds. Dis. Aquat.

Org., 46: 165-172.

Perez, F., Volckaert, A.M., & Calderon, J. 2005. Pathogenicity of white spot syndrome virus on postlarvae and juveniles of Penaeus (Litopenaeus) vannamei. Aquaculture, 250: 586-591.

Rajan, P.R., Ramasamy, P., Purushothaman, V., & Brennam, G.P. 2000. White spot baculovirus syndrome in Indian shrimp Penaeus monodon and P. Indicus. Aquaculture, 184: 31-44.

Rodriguez, J., Bayot, B., Amano, Y., Panchana, F., de Blas, I., Alday, V., & Calderon, J. 2003. White spot

syndrome virus infection in culture Penaeus vannamei (Boone) in Ecuador with emphasis on

histopathology and ultrastructure. J. Fish Dis., 26: 439-450.

Sanchez-Martinez, J.G., Aguirre-Guzman, G., & Mejia-Ruiz, H. 2007. White Spot Syndrome Virus in cultured shrimp: A review. Aquaculture, 38: 1,339-1,354.

Sathish, S. & Selvakumar, C. 2004. 18-kDa protein as a marker to detect WSSV infection in shrimp.

Aquaculture, 238: 39-50.

Shekhar, M.S. & Ravichandran. 2007. Comparison of white spot syndrome virus structural gene sequences from India with those at genBank. Aquaculture Research, 38: 321-324.

Sritunyalucksana, K., Srisala, J., McColl, Nielsen, L., & Flegel T.W. 2006. Comparison of PCR testing methods for white spot syndrome virus (WSSV) infection in penaeid shrimp. Aquaculture, 255:95-104. Sulandari, S. & Zein, M.S. 2003. Panduan praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian

Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 125 hlm.

Suwanto, A., Yogiara, Suryanto, D., Tan, I., & Puspitasari, E. 2000. Selected protocols. Training Course on Advances in Molecular Biology Techniques to Assess Microbial Diversity. Bogor, 28 pp. Tendencia, E.A., Bosma, R.H., & Verreth, J.A.J. 2010. WSSV risk factor related to water physico-chemical

properties and microflora in semi-intensive Penaeus monodon culture ponds in the Philippines.

Aquaculture, 302: 164-168.

Vaseeharan, B., Jayakumar, R., & Ramasamy, P. 2003 PCR-base detection of white spot syndrome virus in cultured and captured crustaceans in India. Lett. Appl. Microbiol., 37: 443-447.

Vidal, O.M., Granja, C.B., Aranguren, F., Brock, J.A., & Salazar, M. 2001. A profound effect of hypothermania on survival of Litopenaeus vannamei juveniles infected with White Spot Syndrome

Viurs. J. World. Aqua. Soc., 32: 364-372.

Yoganandhan, K., Musthaq, S.S., Sudhakaran, R., Balasubramanian, G., & Hameed, A.S.S. 2006. Temporal analysis of VP28 gene of Indian white spot syndrome virus (WSSV) isolate in different crustacean host. Aquaculture, 253:71-81.

You, X.X., Su, Y.Q., Mao, Y., Liu, M., Wang, J., Zhang, M., & Wu, C. 2010. Effect of high water temperature on mortality, ummun response and viral replication of WSSV-infected Marsupenaeus japonicus juveniles and adults. Aquaculture, 305: 133-137.

(11)

DISKUSI

1. Retna Pertanyaan:

Berapa populasi sebenarnya dengan sampel 50-100 Tanggapan:

Jumlah populasi= 5000 ekor (1 jam, 3 jam, 5 jam)

2. Santosa Pertanyaan:

Apakah ketika pengambilan sampel juga dilakukan sosialisasi CPIB Tanggapan:

Pada dasarnya penelitian ini hanya ingin mencari metode skrining yang tepat, jadi tidak melakukan sosialisasi.

(12)

Gambar

Tabel 1. Hasil uji stressing terhadap benur udang windu yang berasal dari panti perbenihan A
Tabel 2. Hasil uji stresssing terhadap benur udang windu yang berasal dari perbenihan B
Tabel 3. Hasil uji stresssing terhadap benur udang windu yang berasal dari panti perbenihan C

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Apakah model pembelajaran Self Regulation Learning lebih baik dari model konvensional terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VII Negri 4.. Percut Sei Tuan

dengan demikian akan bermakna: “Kecuali siapa yang melakukan kegiatan yang mengantarkannya kepada Allah sebagai tanda syukur kepada-Nya.” Jadi maksudnya adalah Nabi

Perhitungan beban gandar standar kumulatif menggunakan metode AASHTO 1993 dengan W 18 desain diperoleh hasil sebesar 8,97, yang berarti bahwa tebal pelat beton rencana dapat

Sadu wicara puniki anggen ngrereh data sane kapertama indik kawentenan nganggen sor singgih basa ritatkala mabebaosan ring pepruman olih kramaDesa Adat Ayunan, sane

Apabila plasenta atau ari$ari tumbuh pada segmen ba+ah rahim, pelebaran segmen ba+ah rahim dan pembukaan leher rahim tidak dapat diikuti !leh plasenta #ang

Penelitian ini yang bertujuan untuk membuat sebuah rangkaian proses manufaktur dan membuat sebuah prototipe mesin pengering yang dapat menjadi solusi permasalahan proses

Salah satu metode ASLT adalah model Arrhenius yang umum digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang kerusakannya banyak dipengaruhi oleh perubahan suhu,