• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN SUBAK: PERMASALAHAN DAN UPAYA PEMECAHANNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN SUBAK: PERMASALAHAN DAN UPAYA PEMECAHANNYA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

MANAJEMEN SUBAK: PERMASALAHAN DAN UPAYA

PEMECAHANNYA

I Nyoman Norken

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Email:inorken@yahoo.co.uk

ABSTRAK

Subak adalah sistem irigasi di Bali yang telah ada sejak lama dan merupakan sistem irigasi tradisional yang bercorak sosio religius yang didasarkan atas filosopi Tri Hita Karana. Keberadaan subak di Bali diperkirakan sebelum abad ke IX dan sampai saat ini subak masih tetap menjaga tradisi pengaturan air serta berbagai aktivitas yang berkaitan dengan irigasi. Setelah melalui proses yang cukup lama, pada tahun 2012 UNESCO telah menetapkan subak sebagai Situs Warisan Dunia. Namun demikian berbagai permasalahan berkaitan dengan manajemen subak masih dihadapi hingga saat ini. Permasalahan tersebut meliputi: kelembagaan, koordinasi dan pembinaan subak dari pemerintah yang kurang optimal, regulasi external yang kurang mendukung, pengelolaan sumberdaya air yang telah mengalami pemenurunan, serta pengelolaan dalam pemeliharaan jaringan yang masih terbatas. Berbagai upaya masih perlu dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam upaya menjaga keberlanjutan subak. Upaya tersebut meliputi: perlu dikembalikan nama dan fungsi sedahan dan sedahan agung sebagai wadah koordinasi pengelola subak dari unsur pemerintah, dukungan pemerintah masih terus diperlukan dalam upaya meringankan beban finansial subak, fasilitasi kemitraan antara subak dengan stakeholders lain, alternatif komuditas diluar padi yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi, mencegah dan memperbaiki kerusakan kawasan hulu (kawasan hutan dan kawasan budidaya) serta mengendalikan pencemaran sumber daya air, pembentukan wadah koordinasi penelolaan sumber daya air baik ditingkat provinsi, kabupaten/kota maupun pada tingkat daerah aliran sungai, membangun sistem informasi subak yang ada di seluruh Bali, melakukan pembinaan lembaga subak secara berkelanjutan serta mendorong para akademisi untuk menjadikan subak sebagai tempat untuk melakukan aktivitas pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.

Kata kunci: subak, pengelolaan, permasalahan, upaya pelestarian.

1.

PENDAHULUAN

Subak adalah sistem irigasi di Bali yang telah ada sejak lama dan diwariskan secara turun temurun. Subak juga merupakan sistem irigasi tradisional yang bercorak sosio religius yang didasarkan atas filosopi Tri Hita Karana, yang bermakna untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam sekitarnya. Selain itu, dalam implementasinya, sistem subak dilandasi oleh jiwa dan semangat gotong royong yang tinggi dari pengelola dan para anggotanya (Suputra, 2008). Keberadaan subak di Bali diperkirakan sebelum abad ke IX dan hingga saat ini subak masih tetap menjaga keberlangsungan tradisi pengelolaan dan

(2)

2

pemanfaatan sumber air serta berbagai kegiatan berkaitan dengan irigasi. Sebagai sebuah warisan dan tradisi yang telah ada ribuan tahun, maka pada tanggal 29 Juni 2012 UNESCO telah menetapkan subak sebagai Situs Warisan Dunia, hal ini merupakan pencapaian Indonesia dan masyarakat Bali setelah mendaftarkan dan terus memperjuangkan subak sebagai warisan tangible dan intangible selama 12 tahun (Ukirsari, 2012). Selanjutnya The World Heritage Committee (2015) telah menguraikan tentang subak sebagai World Heritage Property Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy (Situs Warisan Dunia Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai sebuah manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana). Walaupun subak merupakan sistem irigasi tradisional yang sangat otonum, yang pada awal keberadaanya sangat mungkin dilakukan dengan pengelolaan yang sangat sederhana, namun seiring dengan perjalanan waktu, pengelolaan subak mengalami berbagai peningkatan dan perubahan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada jamannya. Saat ini, walaupun dijaman yang telah berada pada era yang ultra modern, yang ditandai dengan modernisasi diberbagai bidang, namun pengelolaan subak yang sarat dengan berbagai filosopi sosio religius masih dapat dipertahankan, walaupun berbagai permasalahan yang dihadapi hingga saat ini sehingga dalam upaya pelestariannya terasa cukup berat. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan pengelolaan subak dengan

berbagai permasalahannya dimasa kini, yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dan inspirasi dalam upaya melestarikan serta menjaga keberlanjutan subak sebagai warisan budaya dunia.

2.

SUBAK DAN PERKEMBANGAN SUBAK

Walaupun sistem subak di Bali telah ada sejak lama, namun definisi tentang subak secara resmi dijelaskan pada Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali, memberi batasan bahwa subak adalah: “masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulukala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain di dalam suatu daerah”. Selanjutnya pada Perda Provinsi Bali, Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak mendefinisikan bahwa: Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio agraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Sementara berbagai peneliti subak juga telah memberikan definisi subak dengan berbagai sudut pandang seperti: Geertz (1967) dalam Pitana (1993) memberi batasan bawha subak

(3)

3

adalah areal persawahan yang mendapatkan air adri satu sumber. Selanjutnya Sutawan dkk (1986) dalam Pitana (1993) mejelaskan bahwa subak adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan), serta mempunyai kebebasan di dalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun di dalam berhubungan dengan pihak luar. Sementara Grader (1979) dalam Griadhi, dkk (1993) menyatakan bahwa subak merupakan: kumpulan sawah-sawah dari saluran yang sama atau dari cabang yang sama dari suatu saluran, mendapat air dan merupakan pengairan. Selanjutnya juga dijelaskan juga pandangan Sutha (1978) bahwa persubakan adalah: organisasi kemasyarakatan yang disebut Seka Subak adalah suatu kesatuan sosial yang teratur di mana para anggotanya merasa terikat satu sama lain karena adanya kepentingan bersama dalam hubungannya dengan pengairan untuk persawahan, mempunyai pimpinan (pengurus) yang dapat bertindak ke dalam dan ke luar serta mempunyai harta baik material maupun immaterial. Dari uraian di atas pada dasarnya subak adalah satu organisasi kemasyarakatan yang bersifat tradisional religius yang otonum baik serta dibentuk untuk mengatur air dari sumbernya untuk mengairi satu daerah persawahan. Namun Purwita (1993) dan Griadhi dkk (1993) menyatakan bahwa organisasi subak juga dibentuk untuk mengatur organisasi pertanian bukan persawahan (perkebunan) yang dikenal dengan nama “subak abian” yang mengelola lahan perkebunan. Berkaitan dengan sejarah subak dan perkembangannya, Purwita (1993) menyatakan sangat sulit melacak awal keberadaan subak di Bali, namun diyakini bahwa subak telah ada sejak diperkirakan mulainya dikenal persawahan di Bali yaitu pada abad ke 9 (prasasti Sukawana A.I, tahun 882 M) yang telah menyebut kata “huma” yang berarti sawah, sementara pada prasasti Bebetin AI tahun 986 M yang menyebutkan “undagi pangarung” yang bearti tukang membuat terowongan air atau dalam bahasa Bali disebut

aungan, selanjutnya dalam prasasti Pandak Badung tahun 1071 dan Klungkung tahun 1072, terdapat tulisan “kasuwakan” yang dalam kasanah bahasa Bali dapat berubah menjadi “kasubakan” yang artinya organisai subak, atau suatu daerah irigasi. Berkaitan dengan pengelolaan subak, Purwita (1993) dalam Norken dkk (2010) menguraikan bahwa setelah Pulau Bali berada dibawah naungan Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 M, sistem pengelolaan pertanian mengalami perkembangan lagi, sejak saat itu di angkat seorang

Asedahan yang bertugas mengoganisasikan beberapa subak, yang juga disebut Pasedahan, sebutan asedahan dikemudian hari berubah sebutannya menjadi sedahan yang saat itu mendapat kepercayaan untuk mengurus pungutan upeti yang disebut suwinih atau tigasana

(4)

4

atau pajak untuk pertanian. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda posisi sedahan diperkuat dengan adanya sedahan ditingkat distrik (sekarang kecamatan) dan sedahan agung ditingkat regency (sekarang setingkat kabupaten). Jumlah subak dalam perkembangannya juga terus berubah, Purwita (1993) mencatat tahun 1971 ada 1193 subak, tahun 1991 sebanyak 1331 subak , sementara menurut Bali Membangun (2013) mencatat bahwa pada tahun 2009 ada sebanyak 1546 dan pada tahun 2013 terdapat 1599 subak. Ironisnya dalam dekade terakhir terjadi penurunan luas lahan subak akibat alih fungsi lahan dari lahas sawah ke non pertanian yang cukup signifikan yaitu seluas 1000 ha setiap tahun (Finlayson dan Paramita, 2013).

3.

MANAJEMEN SUBAK DAN PERMASALAHANNYA

1) Organisasi dan Kelembagaan

Setiap subak yang ada di Bali Subak pada umumnya juga mempunyai nama subak, organisasi dan struktur organisasi, walaupun struktur organisasinya kadang-kadang sangat sederhana tetapi cukup efektif dalam mengatur kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para petani anggota subak atau disebut kerama subak dan pengurus disebut prajuru

subak. Pitana (1993) menguraikan, untuk subak yang kecil hanya dipimpin oleh seorang ketua yang disebut kelihan subak atau pekaseh. Sedangkan untuk subak lebih besar maka

prajuru terdiri dari: Pekaseh (ketua), Petajuh (wakil ketua), Penyarikan atau juru tulis

(sekretaris), Patengen atau juru raksa (bendahara), Kasinoman atau juru arah (penyalur informasi) dan Saya (pembantu khusus berkaitan dengan kegiatan keagamaan). Untuk subak yang sangat besar atau beberapa subak yang bersumber dari satu bendung disebut

subak gede, dan dipimpin oleh pekaseh gede dan wakil pekaseh gede. Pada tahun 1980an mulai dibentuk organisasi subak yang mencakup satu daerah aliras sungai (DAS) disebut

Subak Agung dan dipimpin oleh Pekaseh Subak Agung. Subak juga dapat dibagi-bagi lagi dengan bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut tempek dan dipimpin oleh kelihan tempek, kelihan tempek berada dibawah pekaseh. Dimasa lalu pembinaan subak dilakukan oleh yang disebut Sedahan pada tingkat kecamatan yang juga merupakan petugas pemungut pajak, sedangkan ditingkat kabupaten pembinaan dilakukan oleh Sedahan Agung dan merupakan pembina tertinggi dari subak, biasanya langsung dijabat oleh Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten. Salah satu peran yang paling menonjol dari Sedahan dan Sedahan Agung adalah dalam mengatur pendistribusian air antar subak maupun antar bangunan pengambilan air/bendung, umumnya para anggota subak sangat mematuhi keputusan Sedahan dan Sedahan Agung dalam pengaturan air dan mereka sangat

(5)

5

berwibawa dan disegani oleh para anggota subak. Hingga saat ini organisasi subak masih berjalan cukup baik, namun sejak dicanangkannya Pemerintahan Otonomi Daerah di tingkat Kabupaten pada tahun 2000an, Sedahan maupun Sedahan Agung sebagai aparat pemerintah pembina subak tidak jelas fungsi dan keberadaanya, hal ini menyebabkan kebingungan para anggota subak untuk memperoleh bimbingan dan konsultasi berkaitan dengan berbagai masalah yang dihadapi subak (Norken, dkk, 2010), sedangkan pada Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak muncul Lembaga Majelis Pekaseh yang tugasnya jauh berbeda dengan sedahan maupun sedahan agung dan saat ini belum terbentuk. Sementara itu telah muncul berbagai forum organisasi subak yang merupakan wadah koordinasi antar subak di beberapa kabupaten di Bali seperti: Sabhantara Pekaseh di Kabupaten Tabanan, Forum Kerta Semaya Saba Subak (FKS3) di Kabupaten Jembrana, Pembinaan subak saat ini umumnya dilakukan oleh Dinas Kebudayaan di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga hal ini sangat menyulitkan bagi subak apabila mengalami permasalahan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air maupun berkaitan dengan masalah pertanian (Norken dkk, 2007),. Selain itu, belakangan ini terjadi penurunan minat para pemuda menggeluti sektor irigasi (subak lahan basah), hal ini berimpilkasi terhadap usia para petani para anggota subak umumnya sudah berusia di atas 40 tahunan bahkan sebagian besar di atas 50 tahun yang cenderung sudah memasuki usia yang kurang energik dan produktif sehingga dapat mengakibatkan turunnya produktifitas subak secara keseluruhan (Norken, dkk, 2012).

2) Regulasi

Regulasi atau peraturan yang mengatur subak secara internal disebut awig awig. Awig-awig adalah peraturan yang mengatur berbagai kegiatan, organisasi, hak dan kewajiban anggota para subak tersebut. Awig awig dapat diperluas dan ditambahkan dengan aturan tambahan, disebut pasuara (aturan tambahan). Pasuara biasanya dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi untuk memenuhi tuntutan para petani sebagai anggota subak. Sebagai aturan, awig awig terdiri dari Bab disebut Sarga dan Bagian disebut Palet, dan Pasal disebut Pawos. Cakupan Awig Awig dari Subak meliputi: nama dan tempat, prinsip-prinsip dasar, aturan keanggotaan, aturan aspek keagamaan, aturan aspek irigasi (persubakan), pengaturan denda, perubahan awig awig dan penutup.

Awig awig biasanya dijelaskan dan ditulis dalam bahasa dan huruf Bali, meskipun belakangan ada evolusi awig awig ditulis dalam huruf Bali dan huruf Latin dan disahkan oleh Unsur Pemerintah sebagai Pembina Subak di tingkat Pemerintah kabupaten/Kota.

(6)

6

Awig awig dapat ditambah dengan aturan tambahan yang disebut pasuara, sebagai tambahan aturan dalam menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Tidak semua awig awig subak dibuat secara tertulis dan disahkan oleh pihak berwenang, sebagian subak mencatat awig-awig secara sederhana atau bahkan tidak tertulis, namun demikian awig-awig subak sesalu dihormati dan diikuti oleh para anggota subak (Norken dkk, 2015). Selain awig-awig yang mengatur secara internal, pemerintah juga mengeluarkan peraturan berkaitan dengan subak berupa Peraturan Daerah (Perda), seperti: Peraturan Daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali yang kemudian diperbaharui melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak. Dalam Perda No.02/PD/DPRD/1972 di atur tentang: definisi subak, berbagai kewajiban subak dalam mengatur kedalam sedangkan sedahan mengatur pengaturan air, menyelesaikan perselisihan dan berkoordinasi dengan instansi lainya diwilayah kewenangannya (umumnya wilayah kecamatan), sementara sedahan agung berfungsi sama dengan sedahan dengan wilayah mencakup seluruh kabupaten yang menjadi kewenangannya, disamping itu juga berfungsi sebagai pengawas persubakan dan pasedahan diwilayahnya. Selain itu Perda tersebut mengatur kewajiban pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi membantu berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dhadapi oleh subak seperti: penyelesaian peselisihan, perluasan subak, pembiayaan, koordinasi dan lain sebagainya berkaitan dengan subak. Satu hal yang paling menonjol dalam Perda ini adalah dipertegasnya tugas dan fungsi sedahan dan sedahan agung sebagai pembina subak dari unsur pemerintah. Sementara dalam Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak, satu hal yang sangat prinsip adalah tidak munculnya nama sedahan dan sedahan agung sebagai aparat pemerintah dalam membina subak, sedangkan muncul lembaga baru yang diberi nama: Majelis Subak yang merupakan perkumpulan pekaseh, hal ini sangat jauh dari fungsi dan tugas sedahan maupun sedahan agung yang sudah mempunyai sejarah panjang dalam mengayomi keberadaan dan keberlangsungan subak di Bali.

Ditingkat nasional lembaga subak juga mendapat pengakuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) 20 tahun 2006 tentang Irigasi yang saat ini sudah tidak berlaku dan belum mempunyai pengganti, karena Undang undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air berserta turunannya telah dianulir sejak 18 Februari 2018 oleh Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia. Dalam PP tersebut mengatur juga yang namanya Komisi Irigasi yang berfungsi sebagai wadah koordinasi dan pembina petani pemakai air, yang lebih kurang

(7)

7

mempunyai fungsi sama dengan sedahan dan sedahan agung dalam subak. Sementara di tingkat internasional, UNESCO mengakui subak sebagai salah satu Situs Warisan dunia pada 29 Juni tahun 2012, dan telah ditindak lanjuti dengan terbitnya Keputusan Gubernur Bali Nomor 11/03-H/Hk/2014 Tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Warisan Dunia

Lansekap Budaya Provinsi Bali. Dengan demikian subak sudah bukan saja milik

masyarakat Bali, namun juga mendapat pengakuan luas baik secara nasional maupun internasional. Dengan ketidak jelasan sebagian regulai eksternal yang diharapkan untuk mendukung keberdadaan dan penguatan subak akan berpeluang justru terjadi sebaliknya justru akan dapat melemahkan upaya pelestarianya.

3) Pengelolaan Sumber Daya Air

Sumber air untuk irigasi subak umumnya bersumber dari aliran sungai atau mata air, dialirkan melalui pengambilan bebas ke saluran (telabah) atau terowongan (aungan). Sebagai sistem irigasi tradisional yang dibangun jauh sebelum sistem irigasi teknis dikenal, cara pembagian dan pendistribusian air digunakan cara-cara tradisional. Saat ini cara pembagian air sudah ditingkatkan dengan teknik konstruksi yang lebih modern dan dapat berfungsi lebih baik. Untuk pendistribusian air pada bagunan bagi (tembuku), sistem subak menggunakan perbandingan luas sawah yang diairi, dengan satuan yang dipakai disebut ayahan, yaitu satuan yang didasarkan atas jumlah pemakaian benih (wit). Satuan

ayahan artinya satu satuan tenaga kerja (orang) yang harus dikeluarkan bila para petani anggota subak mengadakan aktivitas, misalnya memperbaiki telabah, bangunan bagi atau aktivitas lain. Ayahan setara dengan satu ukuran benih (wit tenah), yang kira-kira sama dengan luas sawah yang memerlukan benih lebih kurang sebanyak 25 kg (0,3-0,5 Ha). Satu ayahan berhak atas air sebesar satu tektek atau satu kecoran. Tektek atau kecoran

adalah air yang mengalir lewat penampang berlebar kurang lebih empat jari tangan atau 8-10 cm, dengan kedalaman kurang lebih 1 cm. Satu tektek tidak selalu sama untuk subak

satu dengan subak lainnya. Kadang-kadang satu tektek dipakai panjang rentang ujung ibu jari dengan ujung jari manis atau (kilan) (Norken, 1993). Pembagian air pada sistem subak, yang ditekankan adalah keadilan dalam memperoleh air. Oleh karena itu satuan

tetek ini masih ditambah dengan kesepakatan para petani para anggota subak melalui musyawarah, dengan mempertimbangkan jauh dekatnya sawah yang diairi serta porositas tanah. Apabila air yang mengalir tidak cukup untuk mengairi seluruh areal sawah dalam satu subak, maka pemberian air dilakukan dengan cara pergiliran atau rotasi, yaitu subak dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut tempek (subak dibagi

(8)

8

menjadi 2 atau 3 bagian), selanjutnya diadakan pergiliran (rotasi) pemberian air pada masing-masing tempek. Pola rotasi biasanya diawasi oleh patelik atau pangliman (petugas yang ditunjuk untuk mengawasi pergiliran air). Selain dengan cara rotasi, pada sistem

subak juga dikenal pengaturan pemberian air dengan sistem nyorog atau juga disebut

nugel bungbung, yaitu dengan mengatur waktu tanam tidak bersamaan. Subak yang luas, atau beberapa subak yang sumber airnya berasal dari satu bendung (empelan) dibagi menjadi 3 blok/bagian (hulu, tengah dan hilir). Subak yang berada di bagian hulu mendapat air paling dahulu (disebut ngulu), subak yang berada dibagian tengah memperoleh air setelah bagian hulu selesai mengolah tanah (disebut maongin),

selanjutnya subak yang paling hilir memperoleh air setelah subak bagian tengah selesai mengolah tanah (disebut ngasep). Perbedaan pemberian air masing-masing bagian berkisar antara 2 sampai 4 minggu. Apabila subak hanya memanfaatkan air tirisan/air buangan sisa dari subak-subak yang ada dibagian hulunya, maka subak semacam ini dinamakan subak natak tiyis. Air tirisan yang sudah dipakai oleh subak kemudian ditampung atau disalurkan melalui saluran pembuangan (pengutangan). Saluran pembuangan subak ini oleh subak dibagian hilirnya dimanfaatkan sebagai saluran pembawa (telabah), kemudian dibangun bangunan bagi (tembuku) untuk mengalirkan pada subak natak tiyis tersebut. Dalam hal pengaturan pola tanam, umumnya sangat bergantung pada ketersediaan air yang tergantung dari musim, pada musim hujan dilakukan penanaman padi secara serempak pada saat musim hujan (kerta masa), sedangkan pada musim kemarau saat air berkurang dilakukan dengan mengatur jadwal penanaman (nyorog atau nugel bumbung) atau dengan sistem bergilir (gadon). Organisasi

subak mengatur jadwal dan pola tanam secara rinci, melalui limit waktu mulai menyemai benih padi (ngurit), limit waktu mulai menanam padi (nandur) sampai batas akhirnya, termasuk jenis padi yang boleh ditatam, padi berumur panjang/padi Bali (tebak/tebek taun) atau padi dengan umur pendek (tebak/tebek cicih). Pengaturan pola tanam ini dituangkan dalam awig-awig atau dengan kesepakatan (perarem) setelah dilakukan melalui rapat anggota (paruman) yang dilakukan sebelum penanaman padi dilakukan, apabila ini dilanggar maka petani bersangkutan akan dikenai sangsi berupa denda sesuai dengan yang diatur dalam awig-awig atau dalam perarem (Norken dkk, 2015). Dalam hal pengelolaan sumber daya air pada subak, pengaturan air dilakukan oleh para pengurus subak dalam wilayah subak atau antar wilayah subak melalui kesepakatan. Apabila terjadi ketidak sepakatan diantara pengurus subak atau antar wilayah subak, maka Sedahan dan

(9)

9

Sedahan Agung sebagai pembina subak mempunyai peranan yang sangat penting dalam koordinasi pengaturan dan pemanfaatan air antar subak (Norken dkk, 2010). Walaupun pengaturan air dalam sistem subak sudah dilakukan sebaik mungkin, masalah yang dihadapi saat ini adalah terjadinya penurunan kuantitas air saat musim kemarau, hal ini ditenggarai akibat dari kondisi rusaknya kawasan hulu (hutan) akibat adanya perusakkan yang sangat parah, akibatnya sering terjadi gagal panen. Disamping gagal panen juga akibat kelangkaan air juga sering diakibatkan oleh berbagai jenis hama tanaman padi seperti: hama tikus, wereng dan lain sebagainya. Hal ini bermuara pada berkurangnya pedapatan para petani yang sudah sangat sangat kecil akibat kepemilikan lahan sawah yang rata-rata tidak lebih dari 0.5 ha setiap petani (Norken dkk, 2012 dan Norken dkk, 2015). Belakangan ada inisiatif dari pemerintah untuk membantu para petani dibeberapa daerah dengan memberikan pompa air dalam upaya menggunakan air tanah sebagai sumber air irigasi bagi subak, namun biaya operasi dan pemeliharaan pompa dirasa sangat memberatkan bagi para petani.

4) Pengelolaan Bangunan dan Jaringan Irigasi

Walaupun subak merupakan sistem irigasi tradisional, namun jaringan dan bangunan air pada sistem subak tidak jauh berbeda dengan sistem irigasi teknis yang ada saat ini, menurut Sumarta, 1992, dalam Suputra (2008), jaringan pada sistem subak meliputi:

Empelan merupakan bangunan peninggi muka air (bendung), bungas (intake/bangunan pengambilan). Telabah (saluran) yang terdiri atas: telabah gede (saluran primer), telabah pemaron (saluran sekunder), telabah cerik (saluran tersier), talikunda (saluran kuarter),

pengutangan (saluran pembuangan), telabah dapat berupa aungan (terowongan) apabila saluran menembus perbukitan. Tembuku (bangunan bagi) terdiri dari: tembuku aya

(bangunan bagi primer), tembuku pemaron (bangunan bagi sekunder) dan tembuku cerik

(bangunan bagi tersier). Bangunan pelengkap terdiri dari: abangan (talang), pekiuh

(bangunan pelimpah samping), petaku (bangunan terjun), jengkuwung (gorong-gorong),

keluwung (urung-urung), titi (jembatan) dan telepus (syphon). Subak juga diengkapi dengan parahyangan (tempat ibadah) antara lain: pura bedugul/pura subak umumnya pada setiap subak, pura ulun empelan pada bangunan bendung (empelan) serta beberapa pura lain terkait dengan subak.

• Kondisi Jaringan dan Bangunan Air.

Kondisi jaringan subak saat ini sebagian masih dalam kondisi rusak, seperti diuraikan oleh Yuswari (2010), menyatakan bahwa banyaknya jaringan yang rusak dan tidak

(10)

10

berfungsi pada subak-subak di wilayah Daerah Irigasi Mambal menuntut perhatian pemerintah daerah yang lebih serius terhadap penyediaan pendanaan dalam kegiatan Operasi dan Pemeliharaan (OP) selain itu Norken dkk (2015) menambahkan kondisi jaringan irigasi yang rusak sebagian berupa saluran tanah/alam dan sebagian saluran terbuat pasangan batu kali yang sudah berumur lama. Sebagai contoh: Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bangli, I Made Soma menjelaskan pada tahun 2015 tercatat kerusakan saluran irigasi mencapai 38,243 km, namun upaya perbaikan tidak sepenuhnya bisa dilakukan akibat anggaran terbatas (suaradewata.com), kondisi ini juga hampir terjadi di seluruh Bali. Sebagian jaringan masih dalam kondisi rusak diakibatkan keterbatasan kemampuan pemerintah dan masyarakat petani dalam melakukan pemeliharaan.

• Pemeliharaan Jaringan dan Bangunan Irigasi.

Pemeliharaan jaringan dan bangunan irigasi dilakukan oleh pemerintah dan partisipasi masyarakat petani para anggota subak. Semasa berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 yang merupakan turunan dari Undang Undang 7 tahun 2004 tetntang Sumber Daya Air (telah dicabut pada Februari 2015), menjelaskan tentang wewenangan dan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan ketentuan: Daerah Irigasi dengan luas diatas 3000 ha menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, Daerah Irigasi antara 1000 ha – 3000 ha kewenangan Pemerintah Provinsi dan Daerah Irigasi lebih kecil dari 1000 ha sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota Selain itu jaringan primer dan sekunder merupakan tanggungjawab pemerintah sementara jaringan tersier sepenuhnya merupakan tanggung jawab para petani (Wahyudi, dkk, 2015). Berdasarkan pembagian kewenangan dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi subak tersebut, tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota cukup berat, karena luas daerah irigasi subak sebagian besar kurang dari 1000 ha, sementara kemampuan pemerintah kabupaten/kota untuk menyediakan biaya pemeliharaan sangat terbatas. Walaupun pemerintah telah melakukan tanggungjawab sesuai dengan kewenangannya, namun sebagian jaringan dan bangunan irigasi belum sepenuhnya mampu dipelihara dengan baik. Hingga saat ini kebanyakan saluran yang dalam kondisi rusak adalah pada tingkat tersier dimana para anggota subak melakukan pemeliharaan jaringan irigasi subak melalui gotong royong, mengeluarkan iuran serta usaha lain serperti pembutkan koperasi, pungutan pemelihara

(11)

11

itik untuk bisa melakukan kegiatan pemeliharaan seperlunya yang pada umumnya dengan kemampuan sangat terbatas (Norken dkk, 2012 dan Norken dkk, 2015).

4.

PEMECAHAN MASALAH DAN PELESTARIAN SUBAK

Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi oleh subak sebagai warisan budaya Bali yang sarat dengan nilai-nilai luhur, berbagai upaya sangat yang diperlukan agar subak dapat dilestarikan dan dapat berkelanjutan dimasa yang akan datang. Norken (2016) menguraikan bahwa upaya tersebut dapat dilakukan melalui:

1) Pengembalian dan peningkatan nama dan fungsi sedahan dan dan sedahan agung sebagai wadah koordinasi pengelola subak dari unsur pemerintah melalui peraturan daerah tingkat kabupaten/kota serta tingkat provinsi, serta didukung oleh peraturan dan perundangan di tingkat nasional. Peranan sedahan dan sedahan agung di atur dalam Perda 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali, yang merupakan pengatur dan pengawas serta penasehat dalam bidang irigasi/subak di Wilayah Kabupaten, namun dalam Perda 9 tahun 2012 tentang Subak istilah sedahan maupun sedahan agung tidak muncul, yang muncul adalah lembaga yang bernama Majelis Subak. Hal ini sangat tidak sesuai dengan makna serta semangat pelestarian subak, karena sedahan dan sedahan agung mempunya nilai historis yang sangat lama dan telah diakui oleh subak dalam pengelolaan irigasi termasuk dalam penyelesaian konflik. Di tingkat Nasional, perlu dilakukan pengaturan yang lebih komperehensif agar subak sebagai kearifan lokal yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia dapat terus didukung dan diperkuat keberdaannya sehingga dapat terus dilestarikan.

2) Dukungan pemerintah masih terus diperlukan dalam upaya meringankan beban finansial subak berupa subsidi sarana produksi, perbaikan jaringan dan bangunan irigasi yang rusak, serta pendampingan dalam usaha meningkatkan hasil panen. Hal ini disebabkan bahwa biaya untuk perbaikan jaringan saat ini masih didominasi bantuan pemerintah, namun tidak kontinyu setiap tahun, sedangkan iuran dari petani masih sangat kecil tetapi dapat disediakan secara rutin setiap tahun.

3) Pemberian insentif bagi subak dalam upaya menekan alih fungsi lahan seperti keringanan pajak, serta bantuan asuransi pertanian untuk mengurangi risiko gagal panen yang saat ini mulai diberikan agar diperluas keseluruh kabupaten/kota yang ada di Bali.

4) Mendorong pembentukan koperasi dan penguatan koperasi subak yang telah ada serta memfasilitasi kemitraan antara subak dengan stakeholders seperti: pariwisata, pengusaha dan laian lain untuk bersama-sama bekerjasama yang saling menguntungkan dalam

(12)

12

upaya memsejahterakan para petani, misalnya dengan meningkatkan harga jual komoditas hasil panen para petani.

5) Mendorong untuk menanam alternatif komuditas diluar padi yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi saat musim gadon (misal: gonda, melon dll) agar dapat mendorong gairah para petani untuk lebih menekuni sektor pertanian serta lebih menjanjikan.

6) Pemerintah agar lebih intensif dalam upaya mencegah dan memperbaiki kerusakan kawasan hulu (kawasan hutan dan kawasan budidaya) serta mengendalikan pencemaran sumber daya air dengan melibatkan berbagai stakeholders lain serta masyarakat untuk memperbaiki tata air (air permukaan dan air tanah) sebagai sumber air untuk irigasi dan untuk keperluan lain.

7) Pemerintah agar mendorong pembentukan wadah koordinasi penelolaan sumber daya air baik ditingkat provinsi, kabupaten/kota maupun pada tingkat daerah aliran sungai yang melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta serta stakeholders lainnya untuk bersama-sama meningkatkan pengelolaan sumber daya air serta mencegah konflik dalam pemanfaatan sumber daya air.

8) Pemerintah melakukan pendataan dan monitoring terhadap keberadaan dan aktivitas lembaga subak apabila diperlukan dapat dilakukan dengan membangun sistem informasi subak yang ada di seluruh Bali.

9) Pemerintah menyediakan fasilitasi dan mekanisme pembinaan lembaga subak dan lembaga adat yang lain secara terus menerus dalam upaya melestarikannya, sebagai potensi dan kearifan lokal yang menjadi unggulan masyarakat Bali.

10) Perguruan tinggi agar mendorong para akademisi untuk menjadikan subak sebagai tempat untuk melakukan aktivitas pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi, agar subak sebagai sistem irigasi tradisional mampu terus berkembang dan bersaing diera globalisasi ini.

5.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Dekan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai atas kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk ikut berpartisipasi sebagai pemakalah dalam Seminar Nasional dengan Tema “Pengelolaan Subak Berkelanjutan” dalam rangka Dies Natalis Universitas Ngurah Rai ke 37. Semoga dapat makalah ini dapat memenuhi harana serta dapat dijadikan inspirasi dalam upaya melestarikan subak di Bali yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia olen UNESCO. Moon maaf kalau ada hal-hal yang kurang berkenan.

(13)

13

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (1972) PerdaProvinsi Bali 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali. Anonim (2012) PerdaProvinsi Bali 9 tahun 2012 tentang Subak.

Anonim (2014) Data Bali Membangun 2013, Bappeda Provinsi Bali.

Anonim, (2015). World Heritage Property Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy, State Of Conservation Status, The World Heritage Committee, UNESCO.

Finlayson, R., dan Enggar Paramita (2013). Subak, Sistem Irigasi Khas Bali, Berada di Ambang Kehancuran (http://worldagroforestry.org/newsroom/press-releases/subak-sistem-irigasi-khas-bali-berada-di-ambang-kehancuran).

Griadi I K W, I N Sirtha, I M Suasthawa D (1993) Subak Dalam Perspektif Hukum, dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.

Norken N, (1993) Subak dan Pengembangan Sumber Daya Air di Bali dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar. Norken I.N., I.K.Suputra, and I.G.N.Kerta Arsana (2010), The History and Development of

Sedahanas A Coordinator Of Water Management for Subak in Bali, Paper pada International Conference, ICID, Yogyakarta, Indonesia.

Norken I.N., I.K.Suputra, dan I.G.N.Kerta Arsana (2012). Partisipasi Anggota Subak Dalam Pemeliharaan Jaringan Irigasi (Studi Kasus Pada Subak Pecelengan Pedukuan Di Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana), , Laporan Penelitian, Program Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Norken I.N., I.K.Suputra, dan I.G.N.Kerta Arsana (2015). Aktivitas Aspek Tradisional Religius Pada Irigasi Subak:Studi Kasus Pada Subak Piling, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Laporan Penelitian, Program Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Norken I.N., I.K.Suputra, and I.G.N.Kerta Arsana, (2015), Water Resources Management of Subak Irrigation System in Bali, Jurnal Applied Mechanics and Materials Vol 776 pp 139-144, Trans Tech Publications, Switzerland.

Norken I.N., I.K.Suputra, and I.G.N.Kerta Arsana, (2016), Tantangan dalam Melestarikan Sistem Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia di Bali, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional INACID di Denpasar.

Pitana, I Gde (1993) Subak, Sistem Irigasi Tradisional Bali (Sebuah Deskripsi Umum), dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.

Purwita I B P (1993) Kajian Sejarah Subak di Bali, dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.

Suputra, I Ketut (2008). Efektivitas Pengelolaan Sumber Air Untuk Kebutuhan Air Irigasi Subak di Kota Denpasar, (Tesis), Program Pascasarjana Universitas Udayana.Denpasar. Sushila, Jelantik (1987). Ciri-Ciri Khas Dari Subak Sistem Irigasi di Bali, Sub Dinas

Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Denpasar.

Sutika, I Ketut (2014). Kekhawatiran Lenyapnya Sistem Subak Di Bali

(http://www.antarabali.com/berita/49575/kekhawatiran-lenyapnya-sistem-subak-di-bali). Ukirsari, Manggalani (2012). Plakat UNESCO, Pengakuan Subak sebagai Warisan Dunia

2012 (http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/plakat-unesco-pengakuan-subak-sebagai-warisan-dunia-2012).

Wahyudhi, I Made Ari, I N. Norken, dan I Ketut Suputra. (2015). Partisipasi Stakeholders Dalam Operasi Dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Pada Daerah Irigasi Unda Di Kabupaten Klungkung , Jurnal Spektran Vol. 3, No. 2, Juli 2015 (pp. 37-46).

(14)

14

Yuswari, Made Nunuk (2010). Partisipasi Masyarakat Petani (Subak) Terhadap Operasi Dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Pada Daerah Irigasi Mambal Di Kabupaten Badung, (Tesis), Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

http://suaradewata.com/read/2015/06/07/1647/Jaringan-Irigasi-di-Bangli-Banyak-Rusak.html (diakses pada tanggal 21 Mei 2016).

Referensi

Dokumen terkait

Analisis terhadap keefektivan dari Perangkat Pembelajaran Matematika berbasis konstruktivisme diperoleh hasil dari aktivitas, respon, hasil belajar siswa,

Kesimpulannya bahan ajar ini layak dan rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan bahan ajar matematika berbasis Contextual Teaching and Learning berbantuan Pop

Karya utama kegiatan pengabdian berupa pengenalan teknologi pengawetan pakan hijauan asal limbah jagung telah dilakukan berdasarkan permasalahan yang terjadi pada masyarakat di

Tim Independen Presiden Tak Disenangi yang Berkepentingan Tim independen yang dibentuk Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi

Jika sampai saat ini jaringan telepon bergerak, jaringan telepon tetap dan jaringan internet berjalan dengan arsitekturnya masing-masing, ke depan ketiganya akan disatukan

Jadi Fhit (1,813) < F tabel (3,99), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi pengaruh yang signifikan antara metode pembelajaran dan

Peneliti memberikan saran kepada guru kelas khususnya dan pemerhati pendidikan pada umunya hal- hal sebagai berikut (1) Guru diharapkan menerapkan variasi model

Pertumbuhan tanaman jagung yang lebih baik pada varietas,,{hibrid4 disebabkan oleh faktor genotip (genetik) dari varietas yang diuji' Kedua varietas hibrida tersebut