4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Beurawang terletak di bagian selatan Pulau Weh, berada di wilayah administratif Kota Sabang, Provinsi Aceh. Secara geografis, Desa Beurawang terletak pada posisi 5° 47' 12.32" LU dan 95° 20' 22.25" BT, dan Kota Sabang terletak pada koordinat 05° 46’ 28” – 05° 54’ 28 LU dan 95° 13’ 02” - 95° 22’ 36” BT (Gambar 3). Di sebelah utara dan timur, Pulau Weh berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Benggala, dan di sebelah barat dibatasi oleh Samudera Hindia (BAPPEDA 2010).
4.2 Profil Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh 4.2.1 Nelayan ikan hias laut di Pulau Weh
Kegiatan perikanan ikan hias laut di Desa Beurawang telah dimulai sejak tahun 1997. Nelayan ikan hias laut di Pulau Weh seluruhnya berasal dari Desa Beurawang, yang merupakan salah satu desa di bagian selatan P. Weh. Pada tahun 2010 terdapat 22 orang nelayan aktif yang menangkap ikan hias laut. Para nelayan tersebut bekerja dalam beberapa kelompok kecil, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 8 kelompok nelayan yang rata-rata terdiri atas 2 hingga 3 orang. Terdapat 2 orang nelayan yang tidak berkelompok dan bekerja sendiri tanpa menggunakan kapal. Saat ini terdapat dua orang pengepul yang membeli ikan hias dari nelayan tersebut dan berdomisili di Kota Banda Aceh. Diantara nelayan dan pengepul terdapat keterikatan tertentu dimana masing-masing pengepul telah memiliki kelompok nelayan tertentu yang mensuplai ikan. Meskipun begitu kondisi ini tidak terlalu mengikat, dimana masing-masing kelompok nelayan dapat menjual kepada pengepul mana saja pada kondisi tertentu, misalnya saat harus memenuhi kekurangan permintaan dari pembeli.
Antara nelayan dan pengepul juga terdapat pola hubungan patron klien, akan tetapi sangat lemah. Pengepul biasanya hanya membantu meminjamkan biaya operasi penangkapan ikan (jika nelayan tidak memiliki modal) yang nantinya dibayar dengan memotong hasil penjualan. Biaya pengiriman dari Desa Beurawang ke Banda Aceh ditanggung oleh pengepul. Segala modal dan biaya
operasional untuk perahu, alat tangkap, dan bahan bakar minyak (BBM) berasal dari nelayan sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 16 orang nelayan, sebanyak 14 diantaranya (87,5%) menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan hias merupakan sumber mata pencaharian utama, dan sisanya sebagai mata pencaharian sampingan. Sumber mata pencaharian lain adalah pegawai kelurahan, berkebun, dan berjualan (warung).
4.2.2 Keragaan unit penangkapan
Alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di Desa Beurawang untuk menangkap ikan hias laut adalah jaring penghalang berbahan dasar PA (Poly Amide) multifilamen. Jaring yang digunakan memiliki berbagai jenis ukuran, dengan tinggi berkisar 1 hingga 1,5 meter, panjang 2 hingga 2,5 meter, dan mesh size 1,75 inci. Pelampung yang digunakan berbahan dasar plastik yang dipasang dengan jarak antara lebih kurang 20 cm. Pemberat jaring menggunakan pemberat berbahan timah dengan jarak antara pemasangan lebih kurang 5 cm. Komposisi daya apung dan daya penenggelaman dari pelampung dan pemberat diatur sedemikian rupa sehingga jaring dapat tenggelam ke dasar perairan dan terentang sempurna secara vertikal (Gambar 6).
Sebagai alat bantu penangkapan, nelayan ikan hias menggunakan sebuah serok (scoop net) untuk menangkap ikan. Bagian rangka serok terbuat dari besi dengan diameter 3 mm (1/8 inci), dan bagian jaring terbuat dari jaring Mercedes (knotless) dengan ukuran mesh 1 cm. Serok memiliki diameter 20 cm, dan pada bagian pegangan serok terbuat dari kayu (Gambar 7).
Jaring penghalang berfungsi untuk menjebak ikan yang akan ditangkap, dengan cara dilingkarkan sedemikian rupa membentuk kira-kira setengah lingkaran. Setelah ikan terperangkap di dalam jaring penghalang, kemudian ikan diambil dengan menggunakan serok (Gambar 8).
Alat bantu penangkapan lainnya yang digunakan adalah keranjang tampungan, digunakan untuk menyimpan ikan sementara segera setelah ikan ditangkap. Keranjang tampungan yang digunakan oleh nelayan Desa Beurawang merupakan modifikasi dari penutup nasi berbahan plastik yang dipasangi karet
ban sebagai pelampung pada bagian bibirnya, dengan diameter keranjang lebih kurang 56 cm (Gambar 9).
Ukuran kapal yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan hias laut rata-rata berukuran panjang 4-6,5 meter, dengan kapasitas sekitar 2-3 ton. Secara keseluruhan terdapat 8 buah kapal dengan perincian sebagai berikut: (a) 3 kapal kayu menggunakan mesin tempel 40 PK; (b) 1 kapal fiber menggunakan mesin tempel 25 PK; (c) 3 kapal kayu menggunakan mesin diesel (dong feng/tep-tep); dan (d) 1 buah kapal kayu tanpa mesin (Gambar 10). Perahu dimiliki oleh beberapa orang yang dinamakan pawang, satu orang pawang memiliki 1 hingga 2 buah perahu. Sebagian besar pencari ikan hias tidak memiliki perahu.
Setelah ditangkap, ikan disimpan di tempat penyimpanan sementara selama beberapa waktu sebelum ikan dikemas dan dikirim. Lama waktu penyimpanan sementara berkisar antara 1 hingga 3 hari, bergantung kepada jumlah ikan yang akan dikirim dan jumlah unit penangkapan yang beroperasi. Fasilitas penyimpanan ikan sementara terbuat dari bahan plastik yang diletakan di dasar laut di dekat pantai (Gambar 11).
Gambar 6 Konstruksi dan dimensi jaring penghalang yang digunakan oleh
Gambar 7 Serok sebagai alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan ikan hias di P. Weh.
Gambar 8 Pengoperasian jaring penghalang dan serok dalam proses penangkapan ikan hias di P. Weh.
(a) (b)
Gambar 9 Keranjang tampungan ikan: (a) tampak bawah; (b) tampak atas.
Gambar 10 Dua jenis kapal (kayu dan fiber) yang digunakan nelayan ikan hias di P. Weh.
Gambar 11 Tempat penampungan sementara yang digunakan nelayan.
4.2.3 Upaya penangkapan
Kegiatan penangkapan ikan pada umumnya dimulai pada pagi hari sekitar pukul 7.00-9.00 WIB dan berakhir pada pukul 12.00-14.00 WIB. Lama waktu trip berkisar antara 2,5 sampai 6,5 jam bergantung pada jarak tempuh ke lokasi penangkapan dan target jumlah ikan yang ditangkap. Dari hasil penelitian didapatkan waktu trip rata-rata selama 4 jam. Nelayan pada umumnya melakukan penangkapan dengan menyelam tanpa alat bantu pernafasan (kompresor), dimana dilakukan pada kedalaman antara 2 hingga 7 meter. Terdapat satu unit kapal yang memiliki peralatan kompresor meskipun hanya digunakan pada saat-saat tertentu.
4.2.4 Lokasi penangkapan
Berdasarkan catatan hasil tangkapan dan wawancara dengan nelayan ikan hias di Desa Beurawang, teridentifikasi sebanyak 14 lokasi penangkapan yang tersebar di perairan Pulau Weh (Gambar 12).
4.2.5 Jenis-jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai Desember 2010, tercatat sebanyak 19 spesies ikan karang yang dimanfaatkan oleh nelayan ikan hias di Desa Beurawang, Pulau Weh. Jenis-jenis ikan karang yang
dimanfaatkan oleh nelayan ikan hias di P. Weh dan total hasil tangkapannya disajikan pada Tabel 6.
Gambar 12 Lokasi penangkapan ikan hias di Pulau Weh.
Tabel 6 Daftar jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di Pulau Weh
No Nama Lokal Nama Spesies Total (ind.)
1 Botana Biru Acanthurus leucosternon 20466
2 Botana Kasur Acanthurus lineatus 36
3 Botana Coklat Biasa Acanthurus nigrofuscus 53
4 Botana Kapsul Acanthurus tennenti 12
5 Giro Pasir Ekor Kuning Amphiprion clarkii 217
6 Keling Totol Asli Anampses meleagrides 53
7 Enjiel Asli Apolemichthys trimaculatus 27
8 Abu Doreng Centropyge eibli 38
9 Kepe Andaman Chaetodon andamanensis 3
10 Kepe Auriga Chaetodon auriga 13
11 Kepe Meyeri Chaetodon meyeri 144
12 Kepe Monyong Asli Forcipiger flavissimus 2
13 Kepe Kuning Genicanthus melanospilos 13
14 Pinguin Coklat Gomphosus varius 14
15 Kepe Belanda Hemitaurichthys zoster 302
16 Botana Naso Naso lituratus 556
17 Botana Lettersix Paracanthurus hepatus 2549
18 Enjiel Batman Pomacanthus imperator 47
19 Morish Zanclus cornutus 30
4.3 Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh
Dari data hasil survei kelimpahan ikan karang di 20 stasiun pengamatan teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang, dimana 77 diantaranya merupakan spesies yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut. Rata-rata kelimpahan ikan karang di 20 lokasi pengamatan berkisar antara 7.173 ind.ha-1 (Lhong Angin 1) hingga 87.003 ind.ha-1 (Ujung Kareung) (Gambar 13).
Berdasarkan daerah pengelolaan, rata-rata kelimpahan ikan karang terendah berada di daerah pemanfaatan yaitu sebesar 13.115 ind.ha-1 dan kelimpahan tertinggi di wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pesisir Timur P. Weh yaitu sebesar 29.277 ind.ha-1 (Gambar 14). Tingginya rata-rata kelimpahan yang signifikan di wilayah KKLD menunjukkan adanya pengelolaan yang efektif di wilayah KKLD di P. Weh.
Gambar 13 Rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1) ikan karang di 20 stasiun pengamatan, dikelompokan berdasarkan daerah pengelolaan.
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 Ba Kop ra B eu raw an g Ga pa n g Ja bo i Lh o ng An g in 1 Lh o ng An g in 2 Lh o ng An g in 3 Pu la u Kl ah Ba te e Meu ren o n Ca n yo n Lh ok We ng R ubi ah Ch an n el Ru b iah Se a Ga rd en U jung Se ur a w an An oi Hi ta m Be n te n g Re ut eu k Sum u r Ti g a U jung Ka re un g Uj u ng Se u ke Daerah Pemanfaatan TWAL Iboih KKLD K e li m p ah an Rat a‐ ra ta ( ind.h a ‐1) Lokasi Pengamatan Sensus Visual Ikan Karang dan Daerah Pengelolaan
Gambar 14 Perbedaan rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1) ikan karang berdasarkan daerah pengelolaan di P. Weh.
Dari 77 spesies ikan hias laut yang teridentifikasi di daerah pemanfaatan, kelimpahan terendah adalah 40 ind.ha-1 ditemukan pada beberapa spesies diantaranya botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel doreng (Pygoplites diacanthus), sedangkan kelimpahan tertinggi adalah adalah ikan jae-jae (Cromis viridis), sebesar 2300 ind.ha-1. Sebaran kelimpahan dari 77 spesies ikan hias laut di daerah pemanfaatan memiliki rata-rata 236 ind.ha-1 dengan nilai tengah 100 ind.ha-1 (Q1=60, Q3=208), menujukan bahwa sebaran memusat di sebelah kiri atau miring ke kanan.
Nilai dugaan kelimpahan spesies ikan hias laut dikelompokkan berdasarkan daerah pengelolaan yang ada di P. Weh. yaitu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pesisir Timur, Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Iboih, dan daerah pemanfaatan. Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut disajikan pada Lampiran 2.
4.4 Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh
Pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut di P. Weh didasarkan atas hasil pendugaan nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) yang dilakukan
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 Daerah Pemanfaatan TWAL Iboih KKLD K e li m pa ha n Ra ta ‐ra ta (i nd. h a ‐1) Daerah Pengelolaan
menggunakan kedua pendekatan Schaefer dan Fox. Mengacu kepada Wiadnya et al. (2005), kuota tangkapan ditetapkan sebesar 80% dari nilai dugaan MSY.
Pendugaan kuota tangkapan lestari hanya dilakukan pada daerah pemanfaatan dimana tidak terdapat aturan yang melarang kegiatan penangkapan dengan menggunakan jaring. Hal ini dilakukan untuk memberikan nilai dugaan yang dapat diaplikasikan jika aturan di daerah perlindungan yang ada di P. Weh ditegakkan dengan efektif.
Nilai dugaan MSY dan kuota tangkapan disajikan dalam jumlah ikan yang boleh ditangkap dalam satu tahun. Hasil perhitungan pendugaan MSY dan kuota tangkapan per tahun disajikan pada Tabel 7 (model Schaefer) dan Tabel 8 (model Fox). Pendugaan kuota tangkapan lestari dilakukan pada seluruh spesies ikan yang ditangkap oleh nelayan P. Weh, kecuali pada ikan kepe kuning (Genicanthus melanospilos) karena tidak tersedianya data kelimpahan dari survei sensus visual. Hal ini disebabkan karena ikan tersebut memiliki habitat di perairan yang lebih dalam sehingga tidak ditemukan saat dilakukan survei sensus visual yang hanya dilakukan pada kedalaman 2 dan 7 meter. Berdasarkan data NOAA NESDIS COASTWATCH, didapatkan rata-rata suhu perairan di P. Weh pada tahun 2009 adalah 29,8oC.
Hasil perhitungan didapatkan bahwa hasil pendugaan MSY menggunakan model Schaefer memiliki angka rata-rata yang lebih tinggi dari model Fox. Berdasarkan pola hubungan linier antara jumlah stok (S) dan nilai MSY, model Schaefer menghasilkan persamaan linier y = 0,886x – 8651 dengan nilai R² = 99,2%, y = 0,652x – 6248 dengan nilai R² = 99,2%, dimana y adalah MSY dan x adalah jumlah stok.
Kedua persamaan linier tersebut menujukkan bahwa dengan menggunakan model Schaefer, nilai MSY didapatkan sebesar 0,886 (88,6%) dari stok alaminya, sedangkan berdasarkan model Fox didapatkan sebesar 0,652 (65,2%) (Gambar 13 dan 14). Hal ini menujukkan bahwa hasil pendugaan MSY dengan menggunakan model Fox menghasilkan nilai yang lebih konservatif. Berdasarkan alasan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) maka analisis selanjutnya didasarkan atas hasil pendugaan model Fox.
Tabel 7 Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Schaefer)
Nama Lokal Spe sie s Ke las Ukuran
(cm)
Linf
(cm) T (
o
C) M D (ind.ha-1) Jumlah Stok
(ind) Jumlah Ditangkap (ind) MSY Schae fe r (ind) Kuota/tahun (ind) Kuota/bulan (ind) 5-10 56,1 29,8 0,81 180 43834 6956 19590 15672 1306 10-15 56,1 29,8 0,81 136 33233 13510 17907 14325 1194 15-20 56,1 29,8 0,81 227 55198 0 22240 17792 1483 0-5 39,7 29,8 1,03 100 24352 0 12577 10061 838 10-15 39,7 29,8 1,03 120 29222 36 15101 12081 1007 15-20 39,7 29,8 1,03 220 53574 0 27669 22135 1845 5-10 18,0 29,8 1,82 367 89291 11 81378 65102 5425 10-15 18,0 29,8 1,82 112 27274 42 24867 19893 1658
Botana Kapsul Acanthurus tennenti 10-15 32,5 29,8 1,19 40 9741 12 5811 4648 387
0-5 15,9 29,8 1,99 186 45225 60 45070 36056 3005
5-10 15,9 29,8 1,99 240 58445 157 58265 46611 3884
Keling Totol Asli Anampses meleagrides 5-10 23,2 29,8 1,52 200 48704 53 37006 29604 2467
Enjiel Asli Apolemichthys trimaculatus 10-15 27,3 29,8 1,35 50 12176 27 8235 6588 549
0-5 15,9 29,8 1,99 200 48704 0 48521 38816 3235
5-10 15,9 29,8 1,99 264 64262 38 64031 51224 4269
Kepe Andaman Chaetodon andamanensis 15-20 15,9 29,8 1,99 80 19482 3 19409 15527 1294
Kepe Auriga Chaetodon auriga 10-15 17,4 29,8 1,87 40 9741 13 9099 7279 607
0-5 21,2 29,8 1,62 100 24352 2 19734 15786 1316 5-10 21,2 29,8 1,62 100 24352 142 19769 15814 1318 10-15 21,2 29,8 1,62 56 13637 0 11051 8840 737 5-10 23,2 29,8 1,52 200 48704 2 36993 29594 2466 10-15 23,2 29,8 1,52 56 13637 0 10358 8286 691 0-5 31,5 29,8 1,22 122 29764 0 18150 14519 1210 5-10 31,5 29,8 1,22 100 24352 14 14853 11882 990 0-5 19,0 29,8 1,75 1550 377456 94 330919 264735 22061 5-10 19,0 29,8 1,75 1911 465394 208 408038 326430 27203 10-15 19,0 29,8 1,75 156 37881 0 33208 26566 2214 15-20 42,3 29,8 0,99 60 14611 386 7308 5846 487 20-25 42,3 29,8 0,99 51 12524 8 6182 4945 412
Botana Lettersix Paracanthurus hepatus 15-20 32,5 29,8 1,19 40 9741 1465 6199 4959 413
10-15 46,9 29,8 0,92 40 9741 0 4463 3570 298
15-20 46,9 29,8 0,92 40 9741 47 4475 3580 298
5-10 24,2 29,8 1,47 100 24352 30 17952 14361 1197
10-15 24,2 29,8 1,47 67 16365 0 12059 9646 804
Botana Biru Acanthurus leucosternon
Botana Kasur Acanthurus lineatus
Botana Coklat Biasa Acanthurus nigrofuscus
Giro Pasir Ekor Kuning Amphiprion clark ii
Abu Doreng Centropyge eibli
Kepe Meyeri Chaetodon meyeri
Kepe Monyong Asli Forcipiger flavissimus
Pinguin Coklat Gomphosus varius
Kepe Belanda Hemitaurichthys zoster
Botana Naso Naso lituratus
Enjiel Batman Pomacanthus imperator
Morish Zanclus cornutus
Tabel 8 Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Fox)
Nama Lokal Spe sie s Ke las Ukuran
(cm)
Linf
(cm) T (
o
C) M D (ind.ha-1) Jumlah Stok (ind) Jumlah Ditangkap (ind) MSY Fox (ind)Kuota/tahun
(ind) Kuota/bulan (ind) 5-10 56,1 29,8 0,81 180 43834 6956 15823 12658 1055 10-15 56,1 29,8 0,81 136 33233 13510 16316 13052 1088 15-20 56,1 29,8 0,81 227 55198 0 16363 13090 1091 0-5 39,7 29,8 1,03 100 24352 0 9254 7402 617 10-15 39,7 29,8 1,03 120 29222 36 11118 8894 741 15-20 39,7 29,8 1,03 220 53574 0 20358 16286 1357 5-10 18,0 29,8 1,82 367 89291 11 59876 47901 3992 10-15 18,0 29,8 1,82 112 27274 42 18304 14642 1220
Botana Kapsul Acanthurus tennenti 10-15 32,5 29,8 1,19 40 9741 12 4278 3422 285
0-5 15,9 29,8 1,99 186 45225 60 33172 26537 2211
5-10 15,9 29,8 1,99 240 58445 157 42898 34318 2860
Keling Totol Asli Anampses meleagrides 5-10 23,2 29,8 1,52 200 48704 53 27237 21789 1816
Enjiel Asli Apolemichthys trimaculatus 10-15 27,3 29,8 1,35 50 12176 27 6064 4851 404
0-5 15,9 29,8 1,99 200 48704 0 35700 28559 2380
5-10 15,9 29,8 1,99 264 64262 38 47118 37694 3141
Kepe Andaman Chaetodon andamanensis 15-20 15,9 29,8 1,99 80 19482 3 14281 11424 952
Kepe Auriga Chaetodon auriga 10-15 17,4 29,8 1,87 40 9741 13 6697 5357 446
0-5 21,2 29,8 1,62 100 24352 2 14520 11615 968 5-10 21,2 29,8 1,62 100 24352 142 14571 11656 971 10-15 21,2 29,8 1,62 56 13637 0 8131 6504 542 5-10 23,2 29,8 1,52 200 48704 2 27218 21774 1815 10-15 23,2 29,8 1,52 56 13637 0 7621 6096 508 0-5 31,5 29,8 1,22 122 29764 0 13354 10683 890 5-10 31,5 29,8 1,22 100 24352 14 10931 8744 729 0-5 19,0 29,8 1,75 1550 377456 94 243494 194795 16233 5-10 19,0 29,8 1,75 1911 465394 208 300256 240204 20017 10-15 19,0 29,8 1,75 156 37881 0 24433 19546 1629 15-20 42,3 29,8 0,99 60 14611 386 5449 4359 363 20-25 42,3 29,8 0,99 51 12524 8 4550 3640 303
Botana Lettersix Paracanthurus hepatus 15-20 32,5 29,8 1,19 40 9741 1465 4848 3878 323
10-15 46,9 29,8 0,92 40 9741 0 3284 2627 219
15-20 46,9 29,8 0,92 40 9741 47 3301 2641 220
5-10 24,2 29,8 1,47 100 24352 30 13214 10570 881
10-15 24,2 29,8 1,47 67 16365 0 8872 7097 591
Botana Biru Acanthurus leucosternon
Botana Kasur Acanthurus lineatus
Botana Coklat Biasa Acanthurus nigrofuscus
Giro Pasir Ekor Kuning Amphiprion clark ii
Abu Doreng Centropyge eibli
Kepe Meyeri Chaetodon meyeri
Kepe Monyong Asli Forcipiger flavissimus
Pinguin Coklat Gomphosus varius
Kepe Belanda Hemitaurichthys zoster
Botana Naso Naso lituratus
Enjiel Batman Pomacanthus imperator
Morish Zanclus cornutus
Gambar 15 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan model Schaefer.
Gambar 16 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan model Fox.
4.5 Analisis Upaya Penangkapan 4.5.1 Tingkat pemanfaatan
Tiga spesies ikan yang paling banyak ditangkap, botana biru (Acanthurus leucosternon) mencapai tingkat pemanfaatan yang melebihi kuota tangkapan tahunannya yaitu mencapai 103,5%, pada kelas ukuran 10-15 cm, botana lettersix (Paracanthurus hepatus) sebesar 37,8%, dan botana naso (Naso lituratus) sebesar
y = 0.886x ‐ 8651. R² = 0.992 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 0 200000 400000 600000 800000 1000000 MS Y (i nd.) Jumlah stok (ind.) y = 0.652x ‐ 6248. R² = 0.992 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 0 200000 400000 600000 800000 1000000 MS Y (i nd.) Jumlah stok (ind.)
8,9% (Tabel 9, Gambar 17). Sementara itu tingkat pemanfaatan untuk 15 spesies ikan hias lainnya masih berada dibawah 2% dari kuota tangkap tahunannya. Berdasarkan komposisi spesies, A. leucosternon mendominasi sebesar 83% dari seluruh hasil tangkapan. Sedangkan P. hepatus mendominasi sebesar 10%, dan Naso lituratus sebesar 2%.
Berdasarkan komposisi jenjang rantai makanan (trophic level), jenis ikan yang ditangkap didominasi oleh jenis herbivora sebesar 86% dan planktivora sebesar 11%. Jenis ikan lainnya yang teridentifikasi adalah karnivora, omnivora, koralivora, dan bentik invertivora. dengan persentase yang sangat rendah. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan spesies dan jenjang rantai makanan disajikan pada Gambar 18 dan 19.
Tabel 9 Tingkat pemanfaatan terhadap kuota tangkapan tahunan model Fox
Nama Lokal Spe s ie s Ke las Ukuran (cm) Jumlah Ditangkap (ind) Kuota/tahun (ind) % 5-10 6956 12658 55,0 10-15 13510 13052 103,5 15-20 0 13090 0 0-5 0 7402 0 10-15 36 8894 0,4 15-20 0 16286 0 5-10 11 47901 0 10-15 42 14642 0,3
Botana Kapsul Acanthurus tennenti 10-15 12 3422 0,3
0-5 60 26537 0,2
5-10 157 34318 0,5
Keling Totol Asli Anampses meleagrides 5-10 53 21789 0,2 Einjel Asli Apolemichthys trimaculatus 10-15 27 4851 0,6
0-5 0 28559 0
5-10 38 37694 0,1
Kepe Andaman Chaetodon andamanensis 15-20 3 11424 0
Kepe Auriga Chaetodon auriga 10-15 13 5357 0,2
0-5 2 11615 0 5-10 142 11656 1,2 10-15 0 6504 0 5-10 2 21774 0 10-15 0 6096 0 0-5 0 10683 0 5-10 14 8744 0,2 0-5 94 194795 0 5-10 208 240204 0,1 10-15 0 19546 0 15-20 386 4359 8,9 20-25 8 3640 0,2
Botana Lettersix Paracanthurus hepatus 15-20 1465 3878 37,8
10-15 0 2627 0
15-20 47 2641 1,8
5-10 30 10570 0,3
10-15 0 7097 0
Botana Biru Acanthurus leucosternon
Botana Kasur Acanthurus lineatus
Botana Coklat Biasa Acanthurus nigrofuscus
Giro Pasir Ekor Kuning Amphiprion clark ii
Abu Doreng Centropyge eibli
Kepe Meyeri Chaetodon meyeri
Kepe Monyong Asli Forcipiger flavissimus
Pinguin Coklat Gomphosus varius
Kepe Belanda Hemitaurichthys zoster
Botana Naso Naso lituratus
Einjel Batman Pomacanthus imperator
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 5‐10 cm 10‐15 cm 15‐20 cm 20‐25 cm 15‐20 cm A. leucosternon N. lituratus P. hepatus
Ju m la h Ik an Total tangkapan Kuota/tahun
Gambar 17 Perbandingan total tangkapan dan kuota tangkapan (model Fox) pada 3 spesies utama yang dimanfaatkan.
Acanthurus leucosternon 83% Paracanthurus hepatus 10% Naso lituratus 2% Hemitaurichthys zoster 1% Amphiprion clarkii 1% Chaetodon meyeri 1% Lainnya 2%
Gambar 18 Komposisi spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan (jumlah data = 24609). Herbivora 86% Planktivora 11% Omnivora 1% Bentik invertivora 1% Koralivora 1%
Gambar 19 Komposisi jenjang rantai makanan (trophic level) ikan hias yang ditangkap (jumlah data = 24609).
4.5.2 Nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias
Perhitungan nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias didasarkan atas 5 komponen utama yaitu: (i) rata-rata jumlah trip dalam satu tahun; (ii) depresiasi alat tangkap, perahu, dan mesin; (iii) biaya perawatan setiap bulan; (iv) biaya operasional rata-rata setiap trip; (v) serta hasil tangkapan rata-rata setiap trip. Unit penangkapan ikan hias di P. Weh dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu unit penangkapan dengan kapal kayu, kapal fiber, dan tanpa kapal. Selain faktor jenis kapal, ketiga kelompok unit penangkapan tersebut tetap menggunakan alat tangkap dan alat bantu penangkapan yang sama.
Rata-rata jumlah trip dalam satu tahun didapatkan melalui data trip yang tercatat pada buku catatan (log book) upaya penangkapan. Berdasarkan data log book upaya penangkapan, didapatkan rata-rata jumlah hari trip dalam satu tahun untuk masing-masing unit penangkapan adalah sebanyak 56 trip.
Perhitungan nilai depresiasi alat-alat dalam unit penangkapan didasarkan atas harga perahu, mesin dan alat tangkap serta umurnya. Nilai depresiasi didapatkan dengan membagi harga alat dengan umurnya dalam satuan bulan, sehingga didapatkan nilai depresiasi alat penangkapan dalam satuan bulan. Informasi-informasi mengenai umur alat serta biaya-biaya operasional dan perawatan masing-masing alat tangkap didapatkan melalui wawancara.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekonomi didapatkan bahwa unit penangkapan dengan menggunakan kapal kayu lebih menguntungkan karena menghasilkan keuntungan bersih maksimal dan rata-rata per tahun yang lebih tinggi dibandingkan kedua jenis unit penangkapan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan hasil tangkapan, biaya investasi kapal, dan biaya operasi. Kapal kayu memiliki besaran biaya investasi kapal dan operasional yang lebih rendah dibandingkan unit penangkapan dengan kapal fiber sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya, unit penangkapan dengan kapal kayu dan fiber memiliki rata-rata hasil tangkapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan unit penangkapan tanpa kapal (perorangan) sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Nilai ekonomi masing-masing jenis unit penangkapan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias
No Variabe l Kapal Kayu Kapal Fibe r Tanpa Kapal
1 Total trip per tahun 56 56 56
2 Depresiasi total (Rp/tahun) 3.986.666 4.086.666 260.666
3 Biaya perawatan (Rp/tahun) 2.100.000 2.100.000 600.000
4 Biaya operasional (Rp/tahun) 8.120.000 9.333.352 1.120.000
5 Hasil tangkapan rata-rata (Rp/tahun) 27.741.000 27.741.000 15.459.808 6 Keuntungan bersih minimal (Rp/tahun) 9.089.333 7.775.981 9.779.333 7 Keuntungan bersih maksimal (Rp/tahun) 70.409.333 69.095.981 15.827.333 8 Keuntungan bersih rata-rata (Rp/tahun) 13.534.333 12.220.981 13.479.141
4.6 Optimasi Pemanfaatan Ikan Hias Laut
Analisis optimasi pemanfaatan ikan hias laut bertujuan untuk menentukan komposisi jumlah dan jenis ikan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Model optimasi dibangun menggunakan pendekatan Linear Programming (LP). Analisis LP dilakukan dengan menetapkan beberapa fungsi kendala dan asumsi. Fungsi-fungsi kendala yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) kuota tangkapan tahunan dari masing-masing spesies ikan, 2) total tangkapan masing-masing spesies selama 1 tahun,
Selanjutnya, asumsi-asumsi yang digunakan untuk membangun model LP adalah:
1) permintaan ikan terjadi setiap minggu dan masing-masing unit penangkapan mampu melakukan upaya penangkapan sebanyak 2 kali per minggu. Mengacu kepada Yulianto (2010), total minggu melaut maksimum alat tangkap di P. Weh adalah 45,6 minggu. Berdasarkan hal tersebut maka total maksimum hari efektif melaut untuk masing-masing unit penangkapan diasumsikan sebanyak 91 trip dalam satu tahun,
2) model dibangun berdasarkan 18 spesies yang dimanfaatkan oleh nelayan ikan hias di P. Weh (jenis Genicanthus melanospilos tidak diikutsertakan karena nilai dugaan kuota tangkap per tahun tidak tersedia),
3) total tangkapan masing-masing spesies ikan selama tahun 2010 digunakan sebagai batas minimal jumlah ikan yang harus ditangkap dengan asumsi
bahwa data tersebut merupakan tingkat permintaan minimum yang harus dipenuhi.
Hasil analisis optimasi menggunakan model Linear Programming menghasilkan beberapa spesies yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya untuk mendapatkan hasil yang optimum, yaitu botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator). Hasil analisis optimasi terhadap 18 jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil analisis optimasi terhadap jenis ikan yang dimanfaatkan
No Nama Lokal Spe sie s Kode
Tingkat pe manfaatan 2010 (ind) Has il Optimasi (ind) Slack / Surplus (ind)
1 Botana Biru Acanthurus leucosternon X1 20466 20466 0
2 Botana Kasur Acanthurus lineatus X2 36 36 0
3 Botana Coklat Biasa Acanthurus nigrofuscus X3 53 53 0
4 Botana Kapsul Acanthurus tennenti X4 12 1946 1934
5 Giro Pasir Ekor Kuning Amphiprion clark ii X5 217 217 0
6 Keling Totol Asli Anampses meleagrides X6 53 53 0
7 Enjiel Asli Apolemichthys trimaculatus X7 27 27 0
8 Abu Doreng Centropyge eibli X8 38 38 0
9 Kepe Andaman Chaetodon andamanensis X9 3 3 0
10 Kepe Auriga Chaetodon auriga X10 13 13 0
11 Kepe Meyeri Chaetodon meyeri X11 144 144 0
12 Kepe Monyong Asli Forcipiger flavissimus X12 2 2 0
13 Pinguin Coklat Gomphosus varius X13 14 14 0
14 Kepe Belanda Hemitaurichthys zoster X14 302 302 0
15 Botana Naso Naso lituratus X15 556 556 0
16 Botana Le tte rsix Paracanthurus hepatus X16 2549 3878 1329 17 Enjie l Batman Pomacanthus imperator X17 47 7895 7848
18 Morish Zanclus cornutus X18 30 30 0
4.7 Potensi Ekonomi Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh
Sumberdaya perikanan ikan hias laut di P. Weh masih sangat tinggi dan berpotensi untuk terus dikembangkan. Berdasarkan hasil survei sensus visual teridentifikasi sebanyak 77 spesies ikan hias laut di P. Weh, dan 19 diantaranya telah dimanfaatkan. Pendugaan potensi ekonomi sumberdaya ikan hias laut untuk 58 jenis yang belum dimanfaatkan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1) data dugaan rata-rata kelimpahan di daerah pemanfaatan (Lampiran 2) dikalikan dengan luasan daerah terumbu karang di daerah penangkapan (243,52 ha) sehingga menghasilkan jumlah potensi (stok) ikan dalam satu tahun;
2) selanjutnya nilai MSY dari masing-masing spesies diduga berdasarkan persamaan linier antara jumlah stok dan MSY berdasarkan model Fox yaitu y = 0,652x – 6248 (Gambar 14), dimana y adalah MSY dan x adalah jumlah stok;
3) mengacu kepada Wiadnya et al. (2006), total allowable catch atau kuota tangkap per tahun ditetapkan sebesar 80% dari nilai dugaan MSY;
4) selanjutnya nilai kuota tangkap per tahun dikalikan dengan harga rata-rata dari masing-masing jenis ikan untuk mengetahui nilai ekonominya.
Berdasarkan hasil perhitungan maka didapatkan potensi ekonomi dari sumberdaya ikan hias laut di P. Weh sebesar Rp 5.666.038.701 per tahun. Nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh berdasarkan pola pemanfaatan tahun 2010 adalah sebesar Rp 222.310.500, sedangkan berdasarkan hasil optimasi menggunakan model LP didapatkan potensi ekonomi mencapai Rp 479.654.500 atau meningkat sebesar 215,8%. Ilustrasi hasil perhitungan ekonomi disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Perbandingan nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh tahun 2010 dan berdasarkan hasil optimasi
No Nama Lokal Spe sie s
Harga Rata2 (Rp) Pe ndapatan Tahun 2010 (Rp) Pe ndapatan s e te lah optimasi (Rp)
1 Botana Biru Acanthurus leucosternon 6.667 136.440.000 136.440.000 2 Botana Kasur Acanthurus lineatus 4.000 144.000 144.000 3 Botana Coklat Biasa Acanthurus nigrofuscus 2.500 132.500 132.500 4 Botana Kapsul Acanthurus tennenti 11.000 132.000 21.406.000 5 Giro Pasir Ekor Kuning Amphiprion clark ii 3.000 651.000 651.000 6 Keling Totol Asli Anampses meleagrides 10.000 530.000 530.000 7 Enjiel Asli Apolemichthys trimaculatus 7.000 189.000 189.000
8 Abu Doreng Centropyge eibli 3.000 114.000 114.000
9 Kepe Andaman Chaetodon andamanensis 4.000 12.000 12.000
10 Kepe Auriga Chaetodon auriga 4.000 52.000 52.000
11 Kepe Meyeri Chaetodon meyeri 4.000 576.000 576.000
12 Kepe Monyong Asli Forcipiger flavissimus 2.500 5.000 5.000
13 Pinguin Coklat Gomphosus varius 4.000 56.000 56.000
14 Kepe Belanda Hemitaurichthys zoster 3,000 906.000 906.000
15 Botana Naso Naso lituratus 8.500 4.726.000 4.726.000
16 Botana Lettersix Paracanthurus hepatus 30.000 76.470.000 116.340.000 17 Enjiel Batman Pomacanthus imperator 25.000 1.175.000 197.375.000
18 Morish Zanclus cornutus 4.000 120.000 120.000
4.8 Biaya Penanganan (Handling)
Biaya penanganan terdiri dari dua jenis, yaitu biaya investasi pengadaan fasilitas penanganan yang memadai serta biaya proses penanganan. Model fasilitas penanganan yang digunakan dalam analisis mengacu kepada standar yang diterapkan oleh kelompok-kelompok nelayan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Ukuran kapasitas fasilitas penanganan dan besaran biaya proses-proses penanganan didasarkan atas kapasitas produksi optimum berdasarkan hasil analisis optimasi. Komponen-komponen biaya investasi fasilitas penanganan dan prosesnya disajikan pada Tabel 13 dan 14.
Tabel 13 Komponen biaya investasi fasilitas penangaan
No Je nis Unit Jumlah Harga (Rp) Total (Rp)
1 Akuarium kaca (80 x 40 x 40 cm) Buah 20 100.000 2.000.000
2 Rak kayu 2 tingkat Set 2 1.500.000 3.000.000
3 Pompa Celup Gingga Set 10 350.000 3.500.000
4 Pemipaan (Paralon, Knee, lem, dll) Paket 2 1.000.000 2.000.000
5 Styrofoam Buah 20 20.000 400.000
6 Bak Semen Set 8 1.000.000 8.000.000
7 Tabung Oksigen Set 2 1.000.000 2.000.000
8 Selang tabung oksigen Set 2 350.000 700.000
9 Keranjang tampungan sementara Paket 80 lusin 55.000 4.400.000
Total 26.000.000
Tabel 14 Komponen biaya proses penanganan
No Je nis Unit Jumlah Harga (Rp) Total (Rp)
1 Biaya listrik Bulanan 11 50.000 550.000
2 Plastik Paket 1 775.000 775.000
3 Karet Paket 1 50.000 50.000
4 Isi oksigen Paket 12 100.000 1.200.000
5 Biaya Pengiriman Frekuensi 97 100.000 9.700.000
Total 12.275.000
4.9 Analisis Finansial
Menurut Kadariah et al. (1999), analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha, melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi. Analisis usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Analisis kriteria investasi bertujuan untuk mengukur kelayakan suatu
investasi. Analisis kriteria investasi terdiri atas dua komponen yaitu arus masuk (inflow) yang mewakili komponen penerimaan dan arus keluar (outflow) yang mewakili komponen biaya yang digunakan dalam suatu usaha. Arus masuk berasal dari penerimaan penjualan output dan nilai sisa yang diperoleh dari nilai barang yang tidak habis digunakan setelah umur teknisnya habis (Gray et al. 2005).
Parameter analisis usaha yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan usaha, analisis rasio pendapatan dan biaya (revenue-cost ratio), analisis titik impas (break even point), dan analisis rentabilitas (return on onvestement). Parameter analisis kelayakan investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C).
Dalam penelitian ini, analisis finansial dilakukan pada dua skenario, yaitu pada tingkat dan pola pemanfaatan tahun 2010 serta pada tingkat pemanfaatan optimum. Analisis finansial ditujukan untuk mengetahui kelayakan kegiatan usaha dan investasi pemanfaatan ikan hias laut jika menerapkan sistem penanganan yang memenuhi standar. Analisis kriteria investasi dilakukan pada rentang waktu usaha selama 10 tahun. Hasil perhitungan analisis finansial disajikan pada Tabel 15.
4.9.1 Analisis usaha
Analisis usaha merupakan analisis jangka pendek yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha dalam waktu satu tahun. Instrumen yang digunakan sebagai analisis usaha kegiatan perikanan ikan hias laut di P. Weh adalah sebagai berikut :
(1) Analisis pendapatan usaha
Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya untuk upaya penangkapan, penanganan, dan pengiriman. Total penerimaan diperoleh dari jumlah ikan yang dijual dikaitkan dengan harga satuannya. Pada tahun 2010, total penerimaan usaha yang diperoleh yaitu sebesar Rp 241.079.500
dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 87.498.437, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 153.581.063. Pada skenario optimum, total penerimaan usaha yang diperoleh pada tingkat pemanfaatan optimum yaitu sebesar Rp 480.168.500 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 126.706.906, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 353.461.593 (Tabel 15). Nilai total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi total biaya.
(2) Analisis revenue-cost ratio (R/C)
Analisis revenue-cost ratio (R/C) dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Djamin 1984). Analisis R/C menghitung perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Semakin besar R/C maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Nilai R/C yang diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 2,8 atau lebih besar dari 1, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan atau keuntungan sebesar Rp 2,8. Nilai R/C yang diperoleh pada skenario optimum adalah sebesar 3,8 atau lebih besar dari 1, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,8 (Tabel 15).
(3) Analisis titik impas (BEP)
Titik impas atau break event point (BEP) adalah suatu keadaan dimana jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Analisis BEP digunakan untuk mengetahui sampai batas mana usaha penangkapan ikan hias masih memperoleh keuntungan jika kelompok nelayan membangun fasilitas penanganan yang memadai. BEP volume pada usaha perikanan ikan hias laut pada tahun 2010 dicapai pada Rp 31.185.256, artinya usaha ini akan mulai menghasilkan keuntungan pada apabila berada pada titik yang lebih besar dari Rp 31.185.256. Pada skenario optimum, BEP didapatkan sebesar Rp 29.118.495, artinya usaha ini akan mulai menghasilkan keuntungan apabila berada pada titik yang lebih besar dari Rp 29.118.495 (Tabel 15).
(4) Rentabilitas (ROI)
Rentabilitas atau return on investment (ROI) adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Berdasarkan hasil analisis pada tingkat
pemanfaatan tahun 2010 didapatkan nilai ROI sebesar 87,2%, dan pada skenario optimum didapatkan nilai ROI sebesar 200,8% (Tabel 15). Artinya bahwa investasi di bidang usaha perikanan ikan hias laut di P. Weh sangat layak dikembangkan pada kedua skenario, karena memiliki nilai ROI > 25%.
4.9.2 Analisis kriteria investasi
Untuk memutuskan layak atau tidaknya investasi di bidang perikanan ikan hias laut dilakukan dengan menghitung nilai NPV, IRR, dan Net B/C. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam menyusun perhitungan kriteria investasi perikanan ikan hias laut diantaranya adalah:
1) Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan, dengan umur kegunaan ditentukan selama 10 tahun.
2) Harga yang digunakan baik untuk biaya maupun penerimaan mengalami peningkatan sebesar 5% setiap tahun selama umur investasi.
3) Nilai-nilai investasi yang digunakan dalam analisis berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tahun 2010.
4) Kapal kayu dipilih sebagai dasar analisis karena berdasarkan analisis ekonomi upaya penangkapan kapal kayu memiliki nilai yang paling tinggi.
5) Discount factor ditetapkan sebesar 14% per tahun yang mengacu kepada tingkat suku bunga pinjaman usaha program Kredit Usaha Rakyat Bank BRI (Juni 2011).
6) Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini dikarenakan kapal, mesin dan alat tangkap merupakan barang yang sudah terpakai.
7) Kebutuhan bahan bakar dan oli solar meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis semakin tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah.
Dari hasil analisis didapatkan nilai NPV pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 sebesar Rp 654.416.008 yang menunjukan nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi 10 tahun. Nilai IRR didapatkan sebesar 0,39, artinya investasi mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 39% per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama
umur proyek 10 tahun. Nilai Net B/C didapatkan sebesar 3,39, artinya bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,39 selama umur investasi 10 tahun dengan asumsi suku bunga pinjaman sebesar 14%.
Pada skenario optimum, nilai NPV didapatkan sebesar Rp 1.825.664.314 yang menunjukan nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi 10 tahun. Nilai IRR didapatkan sebesar 0,88, artinya investasi mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 88% per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur proyek 10 tahun. Nilai Net B/C didapatkan sebesar 6,85, artinya bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 6,85 selama umur investasi 10 tahun dengan asumsi suku bunga pinjaman sebesar 14%. Dari hasil perhitungan pada kedua skenario dapat disimpulkan bahwa usaha perikanan ikan hias laut di P. Weh sangat layak untuk dikembangkan.
Tabel 15 Perbandingan hasil analisis finansial pengembangan usaha ikan hias laut di P. Weh pada skenario pemanfaatan tahun 2010 dan pemanfaatan optimum
No Kriteria Usaha Tingkat pemanfaatan
tahun 2010 Tingkat pemanfaatan optimum 1 Total Penerimaan (Rp) 241.079.500 480.168.500 2 Total Biaya (Rp) 87.498.437 126.706.906 3 Investasi (Rp) 176.040.000 176.040.000 4 Keuntungan (Rp) 153.581.063 353.461.593 5 R/C 2,8 3,8 6 BEP volume (Rp) 31.185.256 29.118.495 7 ROI 87,2% 200,8% 8 NPV 645.416.008 1.828.866.052 9 IRR 0,39 0,88 10 Net B/C 3,39 6,85 4.10 Analisis Pemasaran
4.10.1 Pelaku pemasaran dan jalur pemasaran
Pemasaran produk ikan hias laut yang berasal dari P. Weh dilakukan melalui beberapa pelaku pemasaran dan jalur pemasaran (Gambar 20), yaitu:
1) Nelayan ikan hias
Total populasi nelayan ikan hias pada saat penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 adalah sebanyak 22 orang, dimana seluruhnya berdomisili di Desa Beurawang, P. Weh. Total keuntungan bersih yang didapatkan nelayan selama tahun 2010 dari produk ikan hias laut adalah Rp 153.581.063, dengan pendapatan bersih rata-rata per nelayan per tahun adalah Rp 6.980.957.
2) Pengepul
Umumnya pelaku pemasaran ini merupakan tipe yang sangat aktif mencari pasokan ikan hias. Pengepul berkedudukan di Kota Banda Aceh, dengan pola permintaan ikan hias mengikuti pesanan dari pelaku pemasaran tingkat berikutnya (eksportir). Pengepul memiliki fasilitas penampungan dan penanganan ikan hias yang lebih memadai dibandingkan nelayan, mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pihak eksportir. Dalam memenuhi permintaan pihak eksportir, pengepul sering melakukan pengiriman melebihi pesanan untuk mengantisipasi ditolak akibat kematian ataupun cacat. Di Banda Aceh teridentifikasi sebanyak dua orang pengepul yang menampung ikan hias laut dari nelayan di P. Weh. Pihak pengepul di Banda Aceh melakukan pemasaran ikan hiasnya ke eksportir utama yang berkedudukan di Medan, Sumatra Utara. Selain itu salah satu pengepul juga mengirimkan ikan hiasnya ke eksportir yang berkedudukan di Bali dan baru berjalan sejak awal 2011. Belum ada informasi pasti mengenai jalur pemasaran dari pengepul untuk permintaan pasar lokal secara langsung maupun ke eksportir di daerah lain.
3) Eksportir
Eksportir yang menampung produk ikan hias laut dari P. Weh teridentifikasi berkedudukan di Medan dan Bali. Tidak ada informasi pasti mengenai jalur pemasaran maupun volume ekspor ikan hias laut yang dilakukan oleh para eksportir tersebut, akan tetapi diketahui bahwa Singapura merupakan salah satu negara tujuan ekspor atau tujuan transit dari eksportir di Medan.
Gambar 20 Skema jalur pemasaran ikan hias laut dari P. Weh (garis putus-putus menunjukkan pola umum yang mungkin terjadi).
4.10.2 Analisis marjin pemasaran
Dari sebanyak 77 spesies ikan hias laut yang teridentifikasi di P. Weh, sebanyak 65 spesies diantaranya didapatkan informasi mengenai harga jual di masing-masing pelaku pemasaran. Besaran marjin harga ikan hias bervariasi untuk masing-masing spesies. Marjin harga jual pengepul ke eksportir terhadap harga beli dari nelayan berkisar antara Rp 100 hingga Rp 50.000, dengan rata-rata marjin sebesar Rp 3.922 (32,2% dari harga beli). Marjin harga jual ekspor terhadap harga beli eksportir dari pengepul berkisar antara Rp 1.092 hingga Rp 151.425, dengan rata-rata marjin sebesar Rp 18.413 (258,3% dari harga beli). Informasi mengenai harga jual ikan hias dari nelayan hingga eksportir disajikan pada Lampiran 6.
4.11 Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh
Analisis strategi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan berbagai strategi perusahaan. Analisis
NELAYAN PENGUMPUL 1 PENGUMPUL 2 EKSPORTIR DI MEDAN EKSPORTIR DI BALI NEGARA TUJUAN EKSPOR EKSPORTIR LAIN / RETAILER DOMESTIK EKSPORTIR LAIN / RETAILER DOMESTIK
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti 2002). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (internal factor evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (external factor evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi pengembangan (Marimin, 2004).
4.11.1 Unsur-unsur strategi SWOT 1) Kekuatan (Strength):
S1: Ketersediaan tenaga kerja lokal
Dari sebanyak 28.987 jiwa penduduk Pulau Weh, terdapat sebanyak 1.420 jiwa yang berprofesi sebagai nelayan (BPS, 2005). Lebih jauh, terbatasnya kesediaan lapangan pekerjaan di Pulau Weh memberikan peluang bagi penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, khususnya perikanan ikan hias laut. S2: Etos Kerja Perikanan
Dari 18 kelurahan di Pulau Weh, 16 diantaranya terletak di kawasan pesisir, dengan demikian ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir di P. Weh relatif tinggi. Sumberdaya pesisir yang melimpah merupakan modal yang besar dalam pengembangan perikanan ikan hias laut, karena masyarakat telah terbiasa dengan kegiatan di laut.
S3: Adanya fasilitas kegiatan usaha
Nelayan-nelayan ikan hias di Pulau Weh telah memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk melakukan kegiatan pemanfaatan ikan karang hias seperti alat tangkap jaring, kapal, fasilitas penampungan sementara serta penanganan, meskipun dengan kondisi yang masih terbatas.
S4: Adanya kelompok nelayan ikan hias yang terkoordinasi
Nelayan-nelayan ikan hias di Pulau Weh yang ada saat ini telah membentuk suatu kelompok nelayan. Adanya kelompok nelayan ini memudahkan dalam koordinasi dalam hal kegiatan penangkapan untuk memenuhi permintaan pasar.
S5: Kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap pelestarian sumberdaya terumbu karang
Masyarakat pesisir di Pulau Weh memiliki tingkat kesadaran yang relatif tinggi dalam menjaga kelestarian sumberdaya terumbu karang yang ada di wilayah mereka. Hal ini dibuktikan dengan tetap berfungsinya lembaga adat Panglima Laut yang salah satunya berfungsi sebagai lembaga pengelola untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya pesisir secara bijaksana. Adanya hal tersebut mendorong pengembangan kegiatan perikanan ikan hias laut yang bertanggungjawab dengan menerapkan praktek-praktek pemanfaatan yang ramah lingkungan.
S6: Adanya suatu rumusan model pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut yang optimum di Pulau Weh
Berdasarkan hasil analisis optimasi menggunakan pemrograman linier teridentifikasi sebanyak 3 spesies ikan yang pemanfaatannya harus ditingkatkan yaitu botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator) untuk mencapai keuntungan yang optimum (Tabel 8).
2) Kelemahan (Weakness):
W1: Terbatasnya sarana penanganan hasil tangkapan ikan hias
Sarana penanganan hasil tangkapan ikan hias laut yang dimiliki nelayan masih sangat terbatas, baik dari sarana penampungan sementara hingga sarana pengemasan (packing). Untuk memenuhi semua kebutuhan sarana tersebut, nelayan ikan hias perlu melakukan tambahan investasi yang biayanya relatif cukup tinggi.
W2: Kurangnya pengetahuan penanganan yang baik
Aktivitas pemanfaatan ikan hias di P. Weh masih mengalami beberapa kendala, terutama dalam hal proses-proses penanganan sejak ikan ditangkap hingga proses pengiriman ikan kepada pembeli. Selain adanya keterbatasan kapasitas penampungan, keterbatasan pengetahuan mengenai cara penanganan ikan hias mengakibatkan masih relatif tingginya tingkat kematian ikan (Novaglio & Muttaqin, 2007)
W3: Kurangnya sarana informasi pasar
Nelayan ikan hias laut di P. Weh belum memiliki informasi pasar nasional dan internasional yang cukup memadai sebagai acuan untuk memasarkan hasil
tangkapannya. Selama ini nelayan hanya menjual hasil tangkapannya ke pengepul yang berada di Banda Aceh, sehingga peluang pemasaran masih terbatas. Selanjutnya, masih terbatasnya informasi mengenai jenis-jenis lain yang potensial untuk dimanfaatkan mengakibatkan nelayan sulit untuk melakukan diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan.
W4: Kurangnya kemampuan dalam menentukan harga
Hingga saat ini nelayan mengalami kesulitan dalam bernegosiasi harga dengan pihak pembeli. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang masih relatif kecil. Jika hal ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan menyulitkan keberlanjutan kegiatan perikanan ikan hias laut di P. Weh. Hal ini terkait juga dengan masih terbatasnya informasi mengenai harga pasar.
3) Peluang (Opportunity):
O1: Potensi pasar yang masih terbuka
Kegemaran akan ikan hias di hampir semua belahan dunia dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Dirjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP, Sumpeno Putro mengatakan volume ekspor ikan hias pada 2001 sebesar US$14,6 juta dan pada 2004 sudah meningkat menjadi US$15,7 juta. Sedangkan nilai transaksi perdagangan ikan hias di pasar dunia sekitar US$500 juta (Abdullah, 2005). Hal ini menunjukan kecenderungan peningkatan permintaan terhadap ikan hias di dunia. Labih jauh, ketertarikan masyarakat Indonesia untuk memiliki akuarium ikan hias air laut diharapakan akan terus meningkat seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap teknologi akuarium air laut.
O2: Sumberdaya ikan karang yang melimpah dan keragaman yang tinggi
Pesisir Pulau Weh didominasi oleh ekosistem terumbu karang, dimana kondisinya relatif masih sangat baik. Pulau Weh sebagai bagian dari Sumatera yang memiliki keragaman terumbu karang yang sangat tinggi diantara kawasan lainnya di bagian barat Indonesia, dimana fauna laut, ikan karang, dan campuran spesies unik dari Samudera Pasifik dan Hindia (Brown 2007). Dari hasil penelitian ditemukan sebanyak 77 spesies potensial sebagai ikan hias laut di P. Weh dengan potensi ekonomi lebih kurang 5,6 milyar rupiah per tahun.
O3: Adanya peluang dukungan modal investasi dari luar
Pengembangan perikanan ikan hias di Pulau Weh mempunyai faktor peluang yang cukup besar, yaitu adanya minat pengusaha dalam menginvestasikan modalnya dalam usaha perikanan ikan hias laut. Berdasarkan informasi dari Yayasan Alam Indonesia Lestari, terdapat beberapa eksportir ikan hias yang berminat untuk berinvestasi dan membantu pengembangan kegiatan ikan hias di P. Weh (Rekshodiharjo G 24 November 2010, komunikasi pribadi). O4: Dukungan program pemerintah pusat
Saat ini pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan memiliki visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015. Visi tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Per. 06/MEN/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010-2014 (www.kkp.go.id). Visi ini dilaksanakan melalui empat pilar utama yaitu melalui penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM), pengelolaan berkelanjutan, peningkatan produktivitas dan daya saing, serta perluasan akses pasar domestik dan internasional. Adanya visi pemerintah ini ikut menjadi pendorong bagi pengembangan kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh. O5: Dukungan lembaga non pemerintah bagi kegiatan perikanan ikan hias yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Saat ini beberapa lembaga non-pemerintah memiliki program pendampingan kepada nelayan-nelayan ikan hias laut yang bertujuan untuk memberikan arahan dalam pemanfaatan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. Lembaga non-pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap isu pemanfaatan ikan hias laut diantaranya adalah Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) dan Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI). Salah satu program LINI adalah memberikan pelatihan kepada nelayan-nelayan ikan hias laut tentang tata cara penangkapan dan penanganan yang benar. Lebih jauh, lembaga Wildlife Conservation Society (WCS) bekerjasama dengan nelayan ikan hias di Pulau Weh untuk melakukan kajian strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
4) Ancaman (Threat):
T1: Belum adanya dukungan dari pemerintah daerah dan kelompok masyarakat lainnya
Penangkapan ikan hias laut di Pulau Weh masih merupakan isu sensitif bagi kalangan tertentu, termasuk nelayan. Pemanfaatan ikan hias laut masih identik dengan cara-cara penangkapan yang merusak seperti penggunaan sianida. Hal ini diakibatkan belum terjalinnya komunikasi yang baik antara kelompok-kelompok masyarakat sehingga kegiatan ini masih dianggap kegiatan yang mengancam kelestarian sumberdaya. Selanjutnya, adanya fenomena ini mengakibatkan pemerintah daerah enggan untuk ikut mengembangkan kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh.
T2: Masih adanya peraturan daerah yang menghambat
Upaya mengembangkan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh masih terkendala dengan adanya peraturan pemerintah yang membatasinya. Dalam Qanun nomor 6 tahun 1997 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan Perairan pantai Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Sabang, terdapat butir yang menyatakan pelarangan pemanfaatan ikan hias laut di beberapa wilayah di Pulau Weh. Adanya Qanun tersebut juga mengakibatkan pemerintah daerah enggan untuk ikut mengembangkan kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh.
T3: Persaingan dengan daerah lain
Ancaman lain dalam pemasaran ikan hias laut di Pulau Weh adalah adanya produk dari daerah lain di Aceh di daerah Kabupaten Aceh Besar. Hingga saat ini belum ada informasi spesifik mengenai produksi dari daerah tersebut, termasuk jenis ikan yang dijual, volume, harga, dan daerah pemasarannya. Keberadaan pesaing dari daerah Aceh Besar ini tentunya akan menjadi ancaman bagi pengembangan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh.
T4: Keterbatasan pemanfaatan daerah penangkapan
Ancaman dari aspek pengelolaan kawasan adalah adanya keterbatasan pemanfaatan daerah penangkapan yang disebabkan oleh adanya daerah-daerah pengelolaan pesisir di Pulau Weh. Daerah tersebut adalah wilayah KKLD pesisir timur Pulau Weh yang meliputi 2 kelurahan yaitu Ie Meulee dan Anoi Itam, serta wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) di kelurahan Iboih. Kegiatan
penangkapan ikan hias laut dilarang dilakukan di daerah-daerah tersebut karena adanya larangan penggunaan jaring, yang juga merupakan alat yang digunakan untuk menangkap ikan hias laut di Pulau Weh
T5: Ancaman perubahan iklim
Terjadinya peningkatan suhu rata-rata air laut yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklim dapat mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang. Pada bulan April hingga Mei 2010, terjadi fenomena pemutihan karang (coral bleaching) di perairan utara Aceh yang mengakibatkan 67% karang mengalami pemutihan, dimana 37% diantaranya mengalami kematian (Muttaqin et al. 2011). Hasil dari beberapa penelitian telah memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi pemutihan karang dan mengancam kelangsungan hidup jangka panjang dari terumbu karang (Donner et al. 2005). Karena terumbu karang merupakan habitat utama ikan hias laut, perubahan iklim yang mengancam ekosistem terumbu karang juga akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan hias laut di alam.
4.11.2 Analisis SWOT strategi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh
Strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh dianalisa dengan menggunakan analisis SWOT. Matriks faktor-faktor strategi internal dan eksternal disajikan pada Tabel 16 dan 17.
Dari hasil pembobotan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh diperoleh hasil bahwa faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibanding faktor eksternal (peluang dan ancaman), terhadap pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh, dengan rasio sebesar 3,10 : 2,90.
Berdasarkan selisih nilai Peluang-Ancaman dan Kekuatan-Kelemahan yang disajikan pada diagram analisis SWOT (Gambar 20) teridentifikasi bahwa strategi yang harus dilakukan bagi pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh berada pada kuadran II (agresif). Hal tersebut menunjukkan bahwa strategi pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh harus mengoptimalkan kekuatan internal yang ada untuk merebut peluang-peluang yang ada.
Tabel 16 Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)
Faktor-faktor
Strategi Internal Bobot Rating Skor
1 2 3 4
Kekuatan:
S1: Ketersediaan tenaga kerja lokal S2: Etos kerja perikanan
S3: Adanya fasilitas kegiatan usaha S4: Adanya kelompok nelayan S5: Kesadaran masyarakat tinggi
S6: Adanya rumusan strategi pemanfaatan optimum 0,15 0,10 0,15 0,10 0,05 0,15 2 2 3 3 4 4 0,30 0,20 0,45 0,30 0,20 0,60 1,95 Kelemahan:
W1: Sarana penanganan yang terbatas W2: Kurangnya pengetahuan penanganan W3: Kurangnya sarana informasi pasar
W4: Kurangnya kemampuan menentukan harga
0,05 0,05 0,20 0,05 2 2 4 3 0,10 0,10 0,80 0,15 1,15
Selisih (Kekuatan – Kelemahan) 0,80
Total Faktor Internal 3,10
Tabel 17 Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS)
Faktor-faktor
Strategi Eksternal Bobot Rating Skor
1 2 3 4
Peluang:
O1: Potensi pasar yang masih terbuka O2: Sumberdaya ikan karang melimpah O3: Peluang dukungan modal investasi O4: Dukungan program pemerintah pusat O5: Dukungan lembaga non-pemerintah
0,20 0,25 0,10 0,05 0,05 3 4 3 2 1 0,60 1,00 0,30 0,10 0,05 2,05 Ancaman:
T1: Belum adanya dukungan pemda, masyarakat T2: Perda yang menghambat
T3: Persaingan dengan daerah lain T4: Keterbatasan daerah pemanfaatan T5: Ancaman perubahan iklim
0,05 0,05 0,10 0,10 0.05 2 2 2 3 3 0,10 0,10 0,20 0,30 0,15 0,85
Selisih (Peluang – Ancaman) 1,20
Gambar 21 Diagram arahan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT.
Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS di atas, maka dengan menggunakan model matriks TOWS diperoleh strategi-strategi yang dikelompokkan ke dalam 4 kategori (Tabel 18) (Rangkuti 2004), yaitu:
1) Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang;
2) Strategi W-O, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada;
3) Strategi S-T, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal;
4) Strategi W-T, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.
Berdasarkan hasil analisis matrik TOWS (Tabel 18) teridentifikasi sebanyak 9 strategi yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh. Untuk menentukan urutan prioritas dari kesembilan strategi maka strategi-strategi tersebut diurutkan menurut peringkat berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 19.
‐2 ‐1 0 1 2 ‐2 ‐1 0 1 2 KONSERVATIF Strategi berbenah AGRESIF
DEFENSIF Strategi diversifikasiKOMPETITIF
I II III IV Peluang Ancaman Ke le m ah an Kekua ta n
Tabel 18 Matriks TOWS strategi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh
MATRIK TOWS
KEKUATAN (S)
S1: ketersediaan tenaga kerja S2: etos kerja perikanan S3: adanya fasilitas kegiatan usaha
S4: adanya kelompok nelayan S5: kesadaran masyarakat tinggi S6: adanya rumusan strategi pemanfaatan optimum
KELEMAHAN (W)
W1: sarana yang terbatas W2: kurangnya pengetahuan penanganan
W3: kurangnya sarana informasi pasar
W4: kurangnya kemampuan menentukan harga
W5: belum adanya strategi usaha
PELUANG (O)
O1: potensi pasar terbuka O2: sumberdaya ikan karang melimpah
O3: peluang investasi dari masyarakat
O4: dukungan program pemerintah pusat
O5:dukungan lembaga non-pemerintah
STRATEGI S-O
1) Diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan
(S1,S2,S6,O1,O2,O4) 2) Pengembangan usaha dengan
memanfaatkan dukungan investasi dari pihak luar (S1,O1,O2,O3,O5)
STRATEGI W-O
1) Perbaikan sarana penanganan (W1,O3)
2) Pelatihan cara penanganan yang lebih baik (W2,O5) 3) Pengembangan akses
terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli potensial lainnya
(W3,O1,O2,O4,O5)
ANCAMAN (T)
T1: belum adanya dukungan pemda, masyarakat
T2: perda yang menghambat T3: persaingan dengan daerah lain
T4: keterbatasan daerah pemanfaatan
T5: ancaman perubahan iklim
STRATEGI S-T
1) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia (S1, S3, S4,S6,T4,T5) 2) Peningkatan kualitas ikan
yang dijual (S3,T3) 3) Sosialisasi kegiatan
pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh yang ramah
lingkungan kepada stakeholder lain (S5,T1,T2,T4)
STRATEGI W-T
1) Melakukan penganganan ikan yang lebih hati-hati dengan mengoptimalkan sarana yang ada (W1,W2,T3)
Strategi-strategi pemanfaatan perikanan ikan hias laut di P. Weh berdasarkan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut:
1) Diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan
Strategi ini berada pada kelompok strategi S-O, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mencapai peluang-peluang yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh ketersediaan tenaga kerja, etos kerja perikanan, serta adanya rumusan strategi pemanfaatan optimum yang dihasilkan dari penelitian ini. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini didukung oleh adanya faktor
potensi pasar yang masih terbuka, sumberdaya ikan karang yang melimpah, serta dukungan program pemerintah pusat.
2) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia
Strategi ini berada pada kelompok S-T, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman-ancaman yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh ketersediaan tenaga kerja, adanya fasilitas kegiatan usaha, adanya kelompok nelayan, serta adanya rumusan model pemanfaatan optimum. Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah keterbatasan daerah pemanfaatan dan ancaman perubahan iklim.
3) Pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari
pihak luar
Strategi ini berada pada kelompok strategi S-O, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mencapai peluang-peluang yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh ketersediaan tenaga kerja. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini didukung oleh adanya faktor potensi pasar yang masih terbuka, sumberdaya ikan karang melimpah, peluang investasi dari pihak luar, serta dukungan lembaga non-pemerintah. Investasi perlu diarahkan untuk mendukung pengambangan sarana penanganan dan peluang pembeli baru. 4) Pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli
potensial lainnya
Strategi ini berada pada kelompok W-O, yang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang tersedia. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat mengatasi masalah kurangnya sarana informasi pasar. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini dapat memanfaatkan peluang potensi pasar yang masih terbuka, sumberdaya ikan karang melimpah, dukungan program pemerintah pusat, serta dukungan lembaga non-pemerintah.
5) Peningkatan kualitas ikan yang dijual
Strategi ini berada pada kelompok S-T, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi
ancaman-ancaman yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh adanya fasilitas kegiatan usaha. Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah adanya persaingan dengan daerah lain.
6) Melakukan penanganan ikan yang lebih hati-hati dengan mengoptimalkan
sarana yang ada
Strategi ini berada pada kelompok W-T, yang diarahkan pada pengurangan kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat dilakukan untuk mengatasi masalah terbatasnya kualitas sarana penanganan dan pengetahuan penanganan. Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah adanya persaingan dengan daerah lain.
7) Perbaikan sarana penanganan
Strategi ini berada pada kelompok W-O, dimana bertujuan untuk memperbaiki kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang tersedia. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat dilakukan untuk mengatasi masalah masih terbatasnya kualitas sarana penanganan. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini dapat diterapkan dengan memanfaatkan peluang investasi dari masyarakat maupun pihak lain. 8) Sosialisasi kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh yang ramah
lingkungan kepada stakeholder lain
Strategi ini berada pada kelompok S-T, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman-ancaman yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh kesadaran masyarakat (khususnya nelayan) yang tinggi dalam menjaga kelestarian sumberdaya terumbu karang. . Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah belum adanya dukungan pemerintah daerah dan masyarakat, serta adannya peraturan daerah yang menghambat.
9) Pelatihan cara penanganan ikan hias yang lebih baik
Strategi ini berada pada kelompok W-O, dimana bertujuan untuk memperbaiki kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang tersedia. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya pengetahuan penanganan. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini dapat diterapkan dengan memanfaatkan dukungan dari lembaga non-pemerintah.
Tabel 19 Penentuan strategi prioritas pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh
UNSUR SWOT KETERKAITAN SKOR PERINGKAT
Strategi 1 Diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan (S1,S2,S6,O1,O2,O4) 2,25 1 Strategi 2 Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia (S1,S3,S4,S6,T4,T5) 2,00 2
Strategi 3 Pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari pihak luar
(S1,O1,O2,O3,O5) 1,85 3
Strategi 4 Pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli potensial lainnya
(W3,O1,O2,O4,O5) 1,50 4
Startegi 5 Peningkatan kualitas ikan yang dijual
(S3,T3) 0,90 5
Strategi 6 Melakukan
penganganan ikan yang lebih hati-hati dengan mengoptimalkan sarana yang ada
(W1,W2,T3) 0,70 6
Startegi 7 Perbaikan sarana penanganan
(W1,O3) 0,60 7
Strategi 8 Sosialisasi kegiatan pemanfaatan ikan hias laut yang ramah lingkungan kepada stakeholder lain
(S5,T1,T2,T4) 0,45 8
Strategi 9 Pelatihan cara
penanganan yang lebih baik