• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ajaran Islam menjadikan ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ajaran Islam menjadikan ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Ajaran Islam menjadikan ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan membangun suatu sistem yang mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan mengintegrasikannya dalam ibadah, berarti memberi peranan penting pada keyakinan keimanan yang mengendalikan seseorang mukmin dalam hidupnya. Demikianlah fungsi sesungguhnya dari ibadah yang dikenal dengan nama zakat.1

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Zakat diwajibkan di Madinah pada bulam Syawal tahun kedua hijriyah. Pewajibannya terjadi setelah puasa Romadhan dan zakat fitrah. Tetapi zakat tidak diwajibkan atas para nabi. Pendapat terakhir ini yang disepakati para ulama karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang yang berdosa, sedangkan para nabi terbebas dari hal yang demikian. Lagi pula mereka mengemban titipan Allah, di samping itu mereka tidak memiliki harta dan tidak diwarisi.2

Seperti sudah kita ketahui, masalah zakat disebutkan dalam Al-Quran secara ringkas, bahkan lebih ringkas lagi seperti halnya sholat, maka secara khusus Al-Qur’an telah memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa

1 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial. Bandung: Mizan, 1994, hlm.233.

2 Wahbah Al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 89.

(2)

zakat itu diberikan. Tidak diperkenankan para penguasa memberikan zakat menurut kehendak mereka sendiri, karena dikuasi hawa nafsu atau karena adanya fanatik buta. Juga oleh mereka yang mempunyai ambisi besar yang tidak segan-segan meraih milik orang lain yang bukan haknya. Mereka tidak akan dibiarkan merebut hak orang yang benar-benar dalam kekurangan dan sangat membutuhkan. Pada masa Rasulullah SAW mereka yang serakah tidak dapat menahan air liur melihat harta sedekah, infaq dan zakat. Mereka mengharapkan mendapat percikan harta itu dari Rasulullah SAW, tetapi ternyata setelah mereka tidak diperhatikan oleh Rasulullah SAW mereka menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai Nabi. Kemudian turun ayat Al-Quran yang menjelaskan sifat - sifat mereka yang munafik dan serakah, dengan menunjukkan kepalsuan.3

Orang-orang yang berhak menerima zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT. Klasifikasinya pun telah jelas, hanya golongan fi sabilillah yang dianggap kurang jelas dan kurang tegas. Bukan karena lafalnya, tetapi karena pelaksanaannya pada zaman Rasulullah SAW, hanya digunakan sebatas untuk pemaknaan jihad dengan fisik ( perang ) ?. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah pelaksanan itu sebagai takhsis bagi ‘am-nya dan mutlaknya arti kata fi sabilillah.4

Sesungguhnya arti kalimat ini menurut bahasa aslinya sudah jelas. Sabil adalah thariq atau jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah SWT baik aqidah maupun perbuatan. Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk

3 Yusuf Qordowi, Hukum Zakat, Jakarta: Lentera Antar Nusa , 2002, hlm. 507. 4 Umar Hubais, Fatawa, Surabaya: Pustaka Progresif, t.th, hlm. 289.

(3)

bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunnah dan bermacam-macam kewajiban lainnya. Apabila kalimat ini bersifat mutlak, artinya hanya khusus untuk jihad.5

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah jilid III, beliau menjelaskan yang lebih penting mentasyarufkan fi sabilillah dimasa sekarang ini adalah menyiapkan penyebar-penyebar agama Islam dan mengirim mereka ke negeri-negeri non muslim yang diatur oleh organisasi-organisasi yang teratur dengan membekali dengan dana yang cukup. Sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang kafir dalam menyebarkan agama mereka, termasuk juga didalamnya membiayai sekolah-sekolah yang mengajarkan pengajaran pengetahuan-pengetahuan agama dan lainnya yang diperlukan untuk kepentingan masyarakat.6 Di dalam kitab Fiqh az - Zakat karya Yusuf Qardawi, beliau mengutip dari tafsir Ibn Atsir tentang kalimat sabilillah terbagi dua. Pertama, bahwa asal kata ini menurut bahasa adalah setiap amal perbuatan ikhlas yang dipergunakan untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, meliputi segala amal perbuatan shaleh, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat kemasyarakatan. Kedua, bahwa arti yang biasa difahami pada kata ini biasanya bersifat mutlak, adalah jihad, sehingga karena seringnya dipergunakan untuk itu seolah - olah hanya khusus untuk jihad.7 Dengan dapat diartikannya kata fi sabilillah pada dua arti itulah, yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat fuqaha dalam menentukan maksud sasaran ini. Akan tetapi perbedan pendapat dalam masalah lain yaitu, apakah

5 Yusuf Qardawi, Op. Cit, hlm. 610.

6 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997, hlm. 102. 7 Yusuf Qardawi, Loc. Cit.

(4)

sabilillah hanya diartikan dengan jihad ? Sebagaimana artinya yang segera dapat diambil ketika bersifat mutlak, atau lebih luas dari pemaknaan yang mutlak tadi yakni jihad. Sehingga mencakup arti menurut bahasa dan tidak terpaku pada batas-batas jihad saja dan bahkan tidak ada satu perbuatan baik pun. Kecuali masuk pada ruang lingkup kalimat tersebut.

Memang banyak pendapat dari para ulama tentang penafsiran arti fi sabilillah. Ada yang mengartikannya dengan makna sempit, sebagaimana yang

dipahami oleh para ulama Syafi’iyah dan Hambaliyyah, bahwa bagian fi sabilillah diberikan kepada orang miskin yang sedang memanggul senjata dan sedang melaksanakan tugas menjaga perbatasan negara saja. Jelasnya, hanya yang menyangkut kepentingan negara.8

Adapun yang memperluas arti fi sabilillah seperti Yusuf Qardawi, dengan alasan bahwa, jihad dalam Islam tidak hanya terbatas pada peperangan saja. Sebagaimana riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya dari Ibnu Mas’ud bahwa, Rasulullah SAW telah bersabda: “Tidak seorang Nabi pun setelah aku yang diutus oleh Allah SWT kepada suatu umat, kecuali pasti ada dari umat itu golongan yang membelanya. Sahabat yang mengikutinya sunnahnya dan mengikuti perintahnya, kemudian setelah itu datang pula para penggantinya, mereka mengatakan apa yang tidak dilakukannya, dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkannya. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka orang tersebut adalah orang yang beriman. Barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka orang tersebut adalah orang yang beriman dan barang

(5)

siapa yang berjihad melawan mereka dengan hartanya, maka orang tersebut adalah orang yang beriman dan tiada setelah itu dari keimanan seseorang walaupun sebesar biji sawi. Dan bersabda Rasulullah SAW: “ berjihadlah kamu sekalian melawan orang-orang musyrik, dengan hartamu, dari kamu dan lidah kamu”.9

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, jelaslah bahwa, pendapat yang masyhur dan dapat dijadikan pegangan madzab yang empat adalah fi sabilillah dengan artian perang dan jihad dalam pengertian perang mempergunakan sepasukan bala tentara atau dengan perkataan lain, sabilillah adalah perang Islam, seperti perangnya para sahabat di zaman Rasulullah SAW dan tabi’in yang bergerak dengan nama Allah, berada dalam bendera al-Qur'an, dengan tujuan untuk mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap sesama mahluk, menjadi hanya kepada Alloh SWT, serta mengeluarkan manusia dari kesempitan hidup kepada kelapangan dan dari aniaya kepada keadilan Islam.10

Lalu tergambar bahwa, perang yang semacam gambaran tersebut di atas tidak terdapat lagi di zaman sekarang.11 Dengan realita yang demikian, maka sudah selayaknya bila dikaji kembali tentang makna fi sabilillah, baik ditinjau dari segi bahasa maupun cakupannya. Sehingga maksud syara’ dapat tercapai sesuai perkembangan zaman dengan tetap menjaga kaidah-kaidah yang ada. Dari latar belakang di atas, setiap permasalahan yang kompleks membutuhkan kajian yang sangat teliti, karenanya penulis berkeinginan untuk lebih memperdalam

9 Yusuf Qardawi, Op. Cit, hlm. 634. 10 Ibid, hlm. 635.

(6)

pembahasan tersebut. Sehingga penulis mengambil judul, REDEFINISI TERHADAP ‘‘FI SABILILLAH’’ SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT RELEVANSINYA DENGAN MASA SEKARANG.

B. Permasalahan

Dalam memahami makna fi sabilillah, para ulama telah berbeda pendapat antara ulama yang satu dengan ulama yang lain. Ada yang mempersempit makna fi sabilillah, yakni jihad, dan ada yang memperluas makna fi sabilillah, yakni segala bentuk kebaikan yang dilaksanakan dalam rangka untuk memperoleh ridha Allah SWT.

Berdasarkan uraian di atas, maka cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah pengertian fi sabilillah?

2. Siapakah fi sabilillah pada masa sekarang? C. Tujuan Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini secara fungsional bertujuan sebagai berikut: 1. Mendapatkan gambaran tentang pengertian fi sabilillah sebagai asnaf zakat

berdasarkan keterangan dan petunjuk-petunjuk dalil yang valid. 2. Memberikan gambaran asnaf fi sabilillah di masa sekarang ini. D. Telaah Pustaka

Sesungguhnya pembahasan mengenai penafsiran sabililah ini di fakultas Syari’ah IAIN Walisongo belum ada, akan tetapi pembahasan secara umum sudah ada, itu pun hanya membahas Undang-Undangnya saja dan secara umum. Ada

(7)

juga pembahasan secara khusus yakni tentang pemberian zakat yang diberikan kepada masjid. Untuk mengetahui pembahahasan tentang redefinisi fi sabilillah sebagai mustahiq zakat, di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, sesuai penjelasan di atas penulis akan membuat kesimpulan-kesimpulan dari skripsi-skripsi tersebut. Pada dasarnya pembahasan skripsi tersebut lebih bersifat khusus dan tidak secara mutlak tentang arti fi sabilillah pada masa sekarang ini, yang pertama, skripsi yang berjudul “ Studi Analisis Terhadap Pendapat DR. Sahal Mahfudz Tentang Zakat al-Fitri Untuk Membangun Masjid” yang ditulis oleh Zaimatul Chasanah, NIM: 2199046. Adapun dalam skripsi ini hanya menjelaskan kebolehan memberi zakat kepentingan agama dan tidak untuk kemaslahatan umat ( dengan Methode Kontekstual / Madzhab Manhaji ). Kemudian pada skripsi yang kedua yang berjudul, ”Studi Analisis Terhadap Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pendayagunaan Zakat” yang ditulis oleh Elzam Baiti, NIM: 2196076, dalam skripsi ini hanya mengkritisi undang-undangnya saja secara umum dan tidak mengkritisi bagaimana pentasarufannya kepada mustahiq zakat, khususnya fi sabilillah pada masa sekarang.

E. Kerangka Teori

Al-asnaf ( jenis / kelompok ) penerima zakat yang ditetapkan langsung oleh Allah sebagaimana termaktub dalam ayat 60 surah At-Taubah merupakan daftar penerima zakat yang lengkap. Namun tidak mutlak bahwa semua jenis atau kelompok itu tetap ada sepanjang masa. Menurut imam Ibnu Sholah, asnaf sekarang yang ada hanya empat yaitu : fakir, miskin, ghorim, dan ibnu sabil. Tetapi menurut al-Qadhi Abu Hamid hanya ada dua yakni : fakir dan miskin.

(8)

Dalam hubungan ini, syaikh syarbini Al-khatib mengomentari bahwa adanya perbedaan itu semoga saja yang bersangkutan dengan keadaan pada zamannya masing – masing, namun pada zaman kita tidak ada asnaf yang tidak ada kecuali mukatabin. Tetapi terdapat pula dalam suatu hadis bahwa di penghujung zaman, orang akan berkeliling menawarkan zakatnya, namun ia tidak akan berjumpa dengan orang yang menerima zakat, yaitu ketika zaman dimana penerima zakat tidak terdapat lagi karena kesejahteraan yang sudah merata12.

Pengertian delapan asnaf tersebut dapat diperluas jangkauannya sesuai dengan tuntunan kemajuan ilmu pengetahuan, tekhnologi, perkembangan ekonomi dan sosial budaya, asalkan tidak menyimpang dari pada arti bahasa Al-quran dan jiwa serta cita – cita syara’13.

Yang masih sering di perdebatkan adalah tentang katagori masing – masing mustahiq, terutama untuk sabilillah. Jumhur ulama’ berpendapat, sabilillah adalah perang di jalan Allah. Bagian untuk sabilillah diberikan kepada para angkatan perang yang tidak mendapat gaji dari pemerintah. Tetapi menurut Imam Ahmad bin Hambal, bagian zakat untuk sabilillah bisa di tasyarrufkan ( digunakan ) untuk membangun madrasah, masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Agar zakat berdayaguna dan tepat dan tepat guna kita perlu mengambil pengertian “sabilillah “ dalam makna yang tidak membatasi pada pengertian

12 .K.H. Ali Yafie, Menggagas fiqih sosial dari soal Lingkungan Hidup, Asuransi

Hingga Ukhuwah, Bandung : Mizan,1995,hlm.235

(9)

perang saja. Kalau kita sepakat mengambil pengertian yang luas, maka segala hal yang berkaitan dengan maslahat umum termasuk katagori Sabilillah14.

Allah mewajibkan kepada orang – orang yang beriman ( mu’min ) berjihad fi sabilillah. Ada orang yang mengartikannya dengan perang, tetapi kalau kita pelajari dalam ilmu bahasa , kata – kata jihad itu adalah terambil dari kata “ jahada” yang artinya ialah “ giat”, ‘rajin”, bersungguh –sungguh” “jahada” adalah kata kerja buat masa yang telah lewat “yujahidu” kata kerja buat masa yang sedang berlangsung, “ mujahadah “ atau “jihad” adalah masdar atau infinitif, yaitu kata nama yang berasal dari kata kerja. Jadi jihad itu berarti kegiatan, kerajinan atau kesungguh-sungguhan. rajin, giat dan bersungguh-sungguh dalam apa saja yang di perintahkan Allah, dinamai dalam agama islam atau Al-qur’an “Jihad fi sabilillah”, termasuk juga di dalamnya berperang mempertahankan diri dari serangn musuh,atau membela agama Allah. Firman Allah dalam surat Al-haj 78 : berjihadlah dalam Allah dengan sebenar – benar jihad “. jadi dapat di samakan dengan arti berjuang dalam bahasa Indonesia : berjuang di medan perang berjuang menuntut ilmu, berjuang mencari rizki, dan lain-lain sebagainya15. F. Metodologi Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian melalui studi kepustakaan yang relevan dengan pokok pembahasan dalam skripsi ini. Agar skripsi ini memenuhi kriteria sebagai suatu karya ilmiah, berbobot dan dapat

14 . K.H MA Sahal Mahfudz , Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta : LKIS, 1994 hlm.149 15 Syaikh Abdul Hamid Al-khattib, Ketinggian Risalah Nabi Muhammad SAW, Jakarta ; Bulan Bintang , tth. Hlm. 631.

(10)

dipertanggungjawabkan validitasnya, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengunakan metode sebagai berikut:

1. Metode pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang sebaik – baiknya, kemudian di tempuhlan tehnik – tehnik tertentu yang diantara yang paling utama adalah research yakni mengumpulkan bahan dengan membaca buku – buku jurnal, dan bentuk – bentuk bahan lain atau yang lazim di sebut dengan penyelidikan kepustakaan / Library research adalah ; sebuah tehnik pengumpulan data melalui kepustakaan.16

2. Metode Pengolahan ( Analisis ) Data.

Dalam pengolahan data ini langkah – langkah yang akan di lakukan penulis adalah :

a. Metode Deskriptif

Metode deskriptif adalah suatu metode atau proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan membuat penggambaran secara sistematis, faktual dan akurat.17 Dalam hal ini penulis memandang fenomena - fenomena baik secara tekstual maupun kontekstual interpretasi fi sabilillah pada zaman dulu hingga sekarang, dengan berbagai pertimbangan ruang dan waktu atas kondisi yang ada.

16 . DR. Winarno Surachmad , Paper Skripsi Thesis Disertasi, Bandung : C.V Tarsito, 1971, hlm 60

17Prof. DR. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1993, hlm. 31.

(11)

b. Content Analysis

Content analysis yaitu data-data yang penulis kumpulkan adalah bersifat deskriptif dan data tekstual yang bersifat fenomenal, maka dalam mengelola data-data tersebut penulis mengunakan analisis isi, sebagaimana dikatakan Sumadi Suryabrata sebagai content analysis.18 Dengan metode ini penulis akan melakukan analisis data dan pengolahan secara ilmiah tentang fi sabilillah dalam bab IV.

c. Metode Komparatif

Metode komparatif yaitu usaha untuk mencari pemecahan masalah-masalah melalui analisis fakta-fakta yang berhubungan dengan situasi ( fenomena ) yang diselidiki dan dibandingkan satu faktor dengan faktor yang lain.19 Dalam hal ini penulis akan membandingkan pengertian atau pendapat yang ada tentang fi sabilillah, kemudian ditarik ke dalam suatu kesimpulan sesuai dengan pengetahuan atau seberapa banyak internalisasi penulis terhadap apa yang telah dikajinya. Dengan kata lain penulis akan mengkomparasikan pendapat para ulama atas pemaknaan fi sabilillah. F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi dalam beberapa bab, dengan harapan agar pembahasan dalam skripsi ini dapat tersusun dengan baik dan memenuhi harapan sebagai karya ilmiah. Untuk memudahkan pembaca dalam

18 Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Jakarta:Rajawali Perss, 1988, hlm. 94. 19 Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tersito, 1998, hlm. 94.

(12)

memahami gambaran secara menyeluruh dari rencana ini, maka penulis memberikan sistematika beserta penjelasan beserta garis besarnya.

Dalam rencana ini terdiri dari lima bab penjelasan, yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, sistematika penulisan rencana ini sebagai berikut :

Bab Pertama, merupakan Pendahuluan. Pada bab ini meliputi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi. Bab ini mempunyai arti penting pada penyajian skripsi, memberi gambaran secara langsung dan jelas tentang permasalahan yang penulis angkat.

Bab kedua, adalah Ketentuan Umum Zakat. Dalam bab kedua ini berisi dari pengertian zakat, dasar hukum zakat, hikmah zakat, dan mustahiq atau asnaf zakat. Bab ini merupakan landasan teori yang akan dijadikan acuan dalam pembahasan.

Bab ketiga, membahas tentang Fi Sabilillah Sebagai Mustahiq Zakat. Bab ini diawali dengan pengertian fi sabilillah, pendapat para ulama salaf, dan diakhiri dengan pendapat para ulama kontemporer tentang arti fi sabilillah.

Bab keempat, membahas tentang Redefinisi Fi Sabilillah Sebagai Mustahiq Zakat Relevansinya Dengan Masa Sekarang. Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni redefinisi fi sabilillah dilihat dari beberapa aspek, meliputi aspek yang disyariatkan, tinjuan dari aspek kemaslahatan umat, tinjauan dari aspek kebutuhan umat. Sub bab kedua memuat relevansi fi sabilillah pada masa sekarang. Meliputi, dalam konteks teologi islam, dalam konteks social dan politik, distribusi harta.

(13)

Bab kelima, berisikan Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan akhir dari keseluruhan bab dalam skripsi ini. Dalam bab ini dikemukakan dari seluruh kajian yang merupakan jawaban dari permasalahan. Juga dikemukakan tentang saran-saran dan penutup sebagai tindak lanjut dari uraian sekaligus rangkaian penutup.

Referensi

Dokumen terkait

adalah mahasiswa program pascasarjana aktif yang sudah dinyatakan lulus ujian proposal disertasi pada .………..…(tanggal/bulan/tahun) dan akan/masih sedang melakukan penelitian

Konstanta (a) sebesar 0,1077 menunjukkan besarnya pengaruh hubungan antara Komitmen Konsumen (X1), Kepercayaan Konsumen (X2) terhadap Loyalitas konsumen pengguna merek Pond’s

Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa persepsi kelompok tani terhadap peranan penyuluh pertanian dalam pengembangan Gabungan Kelompok Tani di Kabupaten Sukoharjo sudah

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah

1) Pengendalian organisasi, yang dapat dicapai bila ada pemisahan tugas dan tanggung jawab yang jelas antar bagian untuk pengotorisasian, penyimpanan, pelaksanaan,

Lintang (LS/LU) Bujur (BT) Rawat Inap Non Rawat Inap Wilayah Luas Desa Penduduk Jumlah.. NO PROVINSI

Hal ini menunjukkan responden yang hipertensi memiliki kadar MDA yang lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak hipertensi, dan diperoleh nilai p=0,200 (p>0,05)

Untuk memberikan gambaran miskonsepsi secara menyeluruh, maka berikut ini disajikan berturut-turut contoh soal dan jawaban siswa terhadap permasalahan Hukum III