• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSETERUAN DUA KUTUB PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA KONTEMPORER: JARIANGAN ISLAM LIBERAL DAN MEDIA DAKWAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSETERUAN DUA KUTUB PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA KONTEMPORER: JARIANGAN ISLAM LIBERAL DAN MEDIA DAKWAH"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

DAN MEDIA DAKWAH

Akh Muzzaki

acana Islam liberal yang menguat oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) di tengah langgam gerakan reformasi Indonesia menimbulkan beragam respon, baik yang pro maupun kontra, dari kalangan internal Muslim Indonesia sendiri. Bagi yang pro, pemikiran-pemikiran Islam liberal JIL dianggap berenergi besar bagi pemahaman baru terhadap Islam untuk bisa berdialog dengan tuntutan dan tantangan modernitas, sedangkan bagi yang kontra, justru dianggap sebagai bahaya yang bisa mengancam integritas keislaman masyarakat yang selama ini sudah terbina dengan baik. Di antara mereka yang kontra tersebut adalah majalah bulanan yang dikelola oleh dan berafiliasi kepada organisasi DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), Media Dakwah (selanjutnya disebut dengan MD).

Dalam sejarahnya, MD tercatat sebagai salah satu institusi yang terlibat dalam pertentangan kuat dengan ide-ide mereka yang dikenal sebagai pemikir pembaru Islam, seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Munawir Sjadzali dan seterusnya. Dalam konteks pertentangan MD dan JIL, poin yang menarik adalah bahwa figur-figur pemikir pembaru Islam periode sebelumnya beserta gagasan-gagasannya yang ditentang oleh MD ternyata menjadi inspirator (inspiring figures) bagi pemikiran Islam liberal JIL. Dengan demikian, tampak bahwa pertentangan antara MD dan JIL secara intelektual-historis menemukan presedennya dari perseteruan sebelumnya antara media tersebut dengan kelompok pemikir pembaru Islam.

Tulisan ini berupaya untuk menganalisis perseteruan antara MD dan JIL dalam konteks pemikiran Islam Indonesia kontemporer. Upaya ini dilakukan dengan menganalisis laporan-laporan atau tulisan-tulisan yang

(2)

diturunkan keduanya dalam berbagai edisi terbitan masing-masing. Model analisis seperti ini sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Howard M. Federspiel terhadap majalah Al-Muslimun,i William R. Liddleii dan Ade Armandoiii terhadap majalah Media Dakwah itu sendiri, serta Robert W. Hefner terhadap beberapa media seperti Ummat, Media Dakwah, Republika, Tempo, Kompas, dan Ulumul Qur’an.iv Tulisan ini berargumentasi bahwa perseteruan antara JIL dan MD tidak sekadar replika atau repetisi dari perseteruan serupa sebelumnya antara kelompok pemikir pembaru Islam dan MD, tetapi juga pemajuan (advancement).

Mengingat realitas bahwa MD memberikan reaksi dan respon secara langsung dan spesifik terhadap JIL dan berbagai pemikirannya, sementara JIL merespon pemikiran MD secara sebaliknya, tidak langsung dan spesifik namun masih tetap dengan isu-isu besar, pembahasan tulisan ini dihadirkan untuk menginvestigasi perseteruan yang terjadi di antara penyokong dan penentang liberalisme Islam tersebut dengan titik tekan pada kelompok yang disebut terakhir. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mendiskusikan, pada tataran analisis tertentu, respon MD terhadap pemikiran-pemikiran Islam liberal JIL melalui berbagai medianya.

Membaca Perseteruan dari Respon MD terhadap JIL

MD mulai secara aktif merespon fenomena JIL sejak Februari 2002, dan masih berlangsung secara berkesinambungan hingga tulisan ini dirampungkan. Secara khusus, MD mengawali responnya terhadap wacana Islam liberal yang diusung oleh JIL dan para kontributornya dengan menurunkan laporan khususnya tentang Islam liberal dan JIL serta misi dasarnya dalam edisi “Militan Bukan Berarti Teroris”.v Laporan khusus tersebut disusuli oleh MD pada edisi berikutnya, “32 Tahun Gerakan Liberalisme Islam: Nurcholish vs Ibnu Taimiyah”,vi dengan laporan yang panjang mengenai Islam liberal di Indonesia dan aktivitas JIL, yang dikemas dalam laporan utama. Pada sejumlah edisi berikutnya, MD juga masih menurunkan laporan tentang Islam liberal dan JIL dalam beragam rubrik di

(3)

antaranya “surat pembaca”, “wawasan”, “laporan daerah”, “nasional”, dan “Islamika”.

Dari berbagai laporan yang diturunkan untuk merespon Islam liberal dan JIL di atas, MD tampak menemukan “lawan tandingnya” berupa institusi JIL untuk dijadikan sebagai titik sasaran kritisisme dan resistensinya terhadap segala bentuk pemikiran Islam liberal atau liberalisasi pemikiran Islam yang selama ini ada dan berkembang di Indonesia.vii Institusionalisasi pemikiran Islam liberal di Indonesia ke dalam wadah JIL ini semakin mempermudah MD untuk melayangkan pemikiran kontranya terhadap Islam liberal, tanpa mengesampingkan perujukan terhadap pemikiran Islam liberal sebelumnya. Dengan demikian, jika pemikiran liberal dalam Islam Indonesia yang selama ini tidak terwadahi dalam institusi tertentu dengan atribut yang bisa menunjukkan identitas yang jelas dan konkret sebagai Islam liberal, maka penggunaan identitas JIL sebagai institusionalisasi pemikiran-pemikiran Islam liberal dimaksud memberikan jalan kemudahan bagi MD untuk menegaskan resistensinya secara terorganisir.

Secara mendasar, pemikiran JIL dinilai oleh MD sebagai serius dan mengkhawatirkan.viii Penilaian yang demikian, bahkan, tampak berakibat bahwa MD dalam merespon pemikiran-pemikiran Islam liberal JIL cenderung kurang memberi porsi argumentasi yang cukup proporsional terhadap substansi pemikiran yang digagas oleh kelompok Islam liberal itu. Tidak jarang pula, bahkan, respon MD dimaksud hanya menunjuk kepada hal-hal yang periferal, daripada yang sentral, dari substansi pemikiran yang digagas oleh JIL. Sebagai ganti dari penyapaan terhadap yang sentral dari substansi pemikiran JIL, MD tampak cenderung melakukan penggambaran atau pencitraan yang negatif terhadap JIL.

Meski penggambaran yang dikenakan oleh MD kepada JIL tidak jauh berbeda dengan pencitraan yang diberikan kepada sejumlah pemikir Muslim sebelumnya yang mengidealisasikan pembaruan pemikiran Islam Indonesia dan yang memiliki karakter berbeda dengan MD,ix depiksi terhadap JIL memiliki tingkat stigmatisasi yang bisa menunjukkan adanya pertentangan

(4)

yang tajam dan keras di antara keduanya. Akibatnya, kesan keras dan kasar yang selama ini dilekatkan kepada MDx menjadi semakin menemukan bentuk pembenarannya, dan hal itu semakin memperpanjang jalannya perseteruan antara kedua pihak.

Adapun pencitraan oleh MD terhadap JIL, paling tidak, dapat diklasifikasikan kepada beberapa nuktah berikut: JIL logika iblis, JIL bagian dari teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam, JIL aliran sesat dan agen perusak akidah Islam, JIL penyebar fitnah dan kepanjangan tangan Orientalis dan sekularis Barat, serta JIL anti dialog dan pengecut. Dari sejumlah pencitraan ini, tidak ada satu pun yang memberikan gambaran dengan implikasinya yang positif terhadap JIL; tidak ada poin positif yang tersisa dalam pandangan MD terhadap kelompok Islam liberal tersebut. Dengan berbagai pencitraan tersebut, pesan yang tampak ingin disampaikan oleh MD adalah bahwa JIL tidak mengusung nilai-nilai yang positif bagi Islam dan masyarakat Muslim Indonesia.

Terkait dengan nuktah pencitraan yang disebut pertama, melalui dua artikel yang diterbitkan secara bersamaan dalam satu edisi --“Islam Liberal: Menafsirkan Agama dengan Hermenetika Barat-Islam” dan “JIL dan Logika Iblis”-- MD mengilustrasikan logika atau model pemikiran yang digunakan oleh JIL sebagai logika iblis.xi Model pemikiran yang dicoba dimaksimalkan oleh JIL melalui berbagai gagasannya disebut sebagai logika iblis karena kerangka berpikir JIL tersebut dipandang oleh MD dalam artikel yang disebut pertamaxii tersebut sebagai logika musytabihat, sebuah logika yang dinilai hanya dimiliki oleh iblis. Logika seperti ini disebut juga sebagai mudzabdzab, dengan pengertian status yang tidak jelas, muslim tidak, kafir pun juga tidak.xiii Meski secara diplomatis tidak ingin menyatakan kesamaan secara persis antara logika JIL dengan iblis, MD melalui artikel yang disebut kedua tadi tetap menganggap tidak adanya perbedaan mendasar antara pola pemikiran yang dikembangkan JIL dengan iblis.xiv Klaim terhadap JIL sebagai logika iblis oleh MD melalui dua artikel tersebut tampak tidak disertai dengan argumentasi yang substansial mengenai mengapa JIL disamakan dengan

(5)

logika iblis kecuali hanya klaim semata. Akibatnya, diskusi oleh MD dalam hal ini tidak memberikan input akademik yang signifikan kecuali klaim semata dimaksud.

Identifikasi dan penegasan logika JIL serupa dengan logika iblis di atas tampak dilakukan juga oleh MD terhadap kasus perbedaan mendasar yang dimiliki oleh kelompok Islam liberal dan media tersebut dalam mendekati tekstualitas Islam. Islam liberal melihat teks al-Qur’an dan Hadits lebih dari sisi ide moral universal (maqashid al-syari’ah) yang dikembangkan daripada dari sisi bunyi harfiyahnya, sehingga jika konteks sosio-historis yang dihadapi oleh masyarakat tertentu tidak serupa dengan konteks saat diturunkannya teks tersebut, proses interpretasi ulang terhadap makna teks dengan beragam penghampiran yang menuntut maksimalisasi rasio sangat dimungkinkan untuk dilakukan.xv Interpretasi ulang nash al-Qur’an dan Hadits oleh JIL dengan mengunggulkan rasionalitas dimaksud dianggap oleh MD melalui salah satu artikel “wawasan”nya, serta pengutipan pemikiran kontributor aktifnya, Hartono Ahmad Jaiz, dalam salah satu laporannya, sebagai penentangan dan penolakan terhadap nash itu sendiri, dan oleh karena itu dianggap pula serupa dengan logika iblis yang menggunakan qiyas saat menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Adam.xvi Dengan menarik konteks pemikiran JIL ke dalam logika iblis, MD melalui artikel “wawasan” tersebut mengilustrasikan bagaimana iblis menolak perintah (teks) Allah, sebagaimana JIL melakukan interpretasi ulang terhadap nash al-Qur’an dan Hadits.

Akibat dorongan hawa nafsunya Jawaban Iblis merupakan jawaban yang menggunakan logika berfikir secara keliru. Tampak sekali bahwa dengan jawaban tersebut, Iblis telah membangkang perintah Allah Swt. Iblislah yang pertama kali menggunakan logika Qiyas (perbandingan) untuk menolak Nash dari Allah Swt. Dia merasa lebih baik dari Adam, sebab

(6)

menurut hawa nafsunya api itu lebih baik daripada tanah. Dengan kesombongannya itulah, kemudian Allah SWT memvonis Iblis sebagai penghuni Neraka untuk selama-lamanya. Alhasil, Nenek moyang para penentang Nash yang ditetapkan Allah SWT. dalam kitab sucinya itu adalah Iblis la’natullah ‘alaihi.”xvii

Sebutan logika iblis terhadap JIL tersebut di atas diiringi oleh MD dengan sebutan “berlandasan keropos”. Selain sebutan logika iblis dikenakan terhadap kasus pengedepanan rasionalitas dalam pemikiran JIL, sebutan “berlandasan keropos” juga dilakukan oleh MD terhadap kasus gagasan pluralisme dan prinsip kebebasan pribadi yang dikembangkan kelompok Islam liberal tersebut dalam berbagai gagasannya. Media cetak Islam ini menganggap bahwa pola pemikiran JIL yang mengembangkan gagasan pluralisme menunjukkan keroposnya paradigma keilmuan kelompok tersebut, baik ditinjau dari segi keilmuan umum maupun keilmuan keislaman, karena pemikiran mereka dianggap bukan saja bertentangan dengan persoalan yang masih diperdebatkan (furu’iyah), akan tetapi juga yang prinsipil (usuliyah) dalam Islam.xviii

Sehubungan dengan sebutan berlandasan keropos di atas, MD juga menganggap dasar pemikiran yang digunakan JIL untuk penegasannya mengenai prinsip kebebasan pribadi selain keropos juga membahayakan.xix Seperti diketahui dari kerangka ide dasarnya, JIL mengembangkan prinsip kebebasan pribadi yang memungkinkan pemahaman bahwa setiap Muslim mempunyai akses dan hak yang sama terhadap penafsiran Islam karena agama ini tidak mengenal adanya struktur kependetaan.xx Pemikiran yang liberal demikian ini ditentang oleh MD dengan penegasan bahwa tidak setiap Muslim berhak melakukan penafsiran terhadap Islam, melainkan hanya beberapa orang yang sudah sampai kepada derajat kepemilikan kapasitas dan keahlian tertentu tentang tafsir Islam yang bisa melakukannya. Dasar

(7)

normatif yang dipakai oleh MD sebagai basis argumentasinya adalah al-Qur’an 16:43 dan dua Hadits Nabi.xxi

Pencitraan sebagai logika iblis seperti di atas tetap dikenakan oleh MD kepada JIL dalam kasus argumentasi yang digunakan oleh kelompok Islam liberal tersebut dalam mendukung gagasan sekularisasinya, yang detailnya akan dijelaskan di bawah. Pemikiran JIL tentang sekularisasi dimaksud disebut oleh MD dengan istilah “talbis iblis (tipuan licik iblis)” karena dianggap mencampuradukkan yang ma`ruf dan yang munkar, dalam pengertian kebajikan Islam sebagai ma’ruf dan kemaksiyatan yang ditimbulkan oleh sistem negara sekular sebagai munkar. Sebagai konsekuensinya, para pelaku pemikiran itu dinamai pula oleh MD dengan kelompok orang munafik. Sebagai antisipasinya, MD menyeru dan mewajibkan kepada masyarakat Islam untuk menghentikan gerakan pemikiran JIL dengan cara membawa mereka ke pengadilan agar mereka sendiri dan masyarakat secara umum, meminjam istilah MD, segera “terselamatkan” dari “kebablasan” berpikir yang terus berlangsung.xxii

Pencitraan MD terhadap JIL sebagai logika iblis di atas merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah diberikan oleh media tersebut kepada kelompok pemikir Islam Indonesia sebelumnya, termasuk pemikir pembaru seperti Cak Nur dan lain-lain. Terhadap kelompok pemikir pembaru Islam sebelumnya, MD, sebagaimana diteliti oleh Ade Armando, hanya memberikan cap negatif yang mengaitkannya dengan agenda politik Barat dan Yahudi, penghancuran Islam dari dalam, penyebaran kesesatan, serta anti dialog. Klaim sebagai logika iblis tidak tampak dilakukan dan diberikan oleh MD terhadap mereka meskipun tingkat kontranya media Islam tersebut terhadap mereka tidak kalah tingginya dengan hal yang sama yang dilakukan terhadap JIL.xxiii Dengan demikian, logika iblis termasuk frase yang menjadi kosa kata baru dalam kamus perbendaharaan pemikiran MD untuk dilekatkan kepada JIL.

Selain mencitrakan sebagai logika iblis seperti di atas, MD juga menggambarkan JIL sebagai bagian dari teror, bahaya dan ancaman

(8)

terhadap Islam. Penggambaran ini dilakukan oleh MD terhadap kasus penggunaan label “Islam” sebagai bagian simbolik untuk menegaskan kehadiran dan identitas kelompok JIL dalam keterkaitannya dengan masyarakat Islam Indonesia. Kehadiran JIL di dalam kehidupan Islam Indonesia dianggap oleh MD lebih sebagai bagian dari teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam, daripada sebaliknya, sebagai potensi bagi perkembangan Islam itu sendiri ke arah yang lebih baik.xxiv Dalam salah satu artikel di rubrik “wawasan”, MD menyebut bahwa alih-alih sebagai potensi yang bisa diharapkan bagi kebaikan Islam Indonesia, keberadaan JIL justru merupakan ancaman bagi umat Islam di tanah air karena JIL dianggap melakukan pembusukan Islam dari dalam. Klaim pembusukan ini dikenakan MD karena JIL masih menggunakan label “Islam” dalam berbagai gerakan liberalismenya meskipun kelompok ini, dalam pandangan MD, tidak hanya memberikan kemungkinan terhadap terjadinya pengaburan pemahaman Islam yang sebenarnya, tetapi juga membuat umat Islam ragu-ragu terhadap keyakinan keagamaannya yang dipegang selama ini.xxv Dus, kehadiran JIL dengan berbagai gagasan liberalismenya dalam Islam telah dipersepsi oleh MD sebagai merugikan dan mengancam keberadaan Islam itu sendiri.

Klaim sebagai teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam seperti di atas juga dikenakan oleh MD terhadap kasus misi dan tujuan kehadiran Islam liberal JIL di wilayah publik Islam Indonesia. Misi dan tujuan dihadirkannya JIL untuk mencegah pandangan keagamaan yang militan dan pro-kekerasan menguasai wacana publik Indonesia dianggap oleh MD sebagai bagian dari teror dan permusuhan yang dilakukan kepada Islam Indonesia. Seperti diketahui, Luthfi Assyaukanie, tokoh JIL, menegaskan bahwa kehadiran Islam liberal JIL dimaksudkan sebagai bentuk "protes dan perlawanan" terhadap dominasi Islam ortodoks baik yang wajahnya fundamentalis maupun konservatif, dan sekaligus upaya untuk mencegah Islam militan dari penguasaan wilayah publik.xxvi Misi dan tujuan Islam liberal JIL seperti ini dianggap oleh MD sebagai bagian dari gerakan pengacauan atau teror terhadap Islam dalam wilayah opini publik. Alasan MD adalah

(9)

bahwa apa yang dimisikan oleh Islam liberal JIL tersebut tidak mengandung kejelasan makna secara terminologis, dan sulit untuk dimintakan pertanggungjawabannya secara akademis.xxvii

Tujuan dan misi dihadirkannya JIL seperti yang disampaikan Luthfi di atas lebih jauh dimaknai secara berbeda oleh MD. Maksud keberadaan JIL untuk mencegah kelompok Islam militan dengan berbagai variannya dari penguasaan wilayah publik tersebut dinilai oleh MD, melalui laporan khususnya, sebagai upaya untuk membunuh perkembangan Islam militan, Islam ekstrem, atau Islam fundamentalis.xxviii Dengan penilaian atau anggapan seperti ini, MD mempersamakan maksud kehadiran JIL yang dipahami media tersebut dengan apa yang dipahami olehnya dari pemikiran Cak Nur yang dilontarkan pada 21 Oktober 1992 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.xxix Kedua pihak (JIL dan Cak Nur) dianggap oleh MD sama-sama melakukan upaya untuk tujuan “menumpas” Islam fundamentalis.xxx Dengan demikian, kehadiran JIL dianggap oleh MD tidak membawa kebaikan bagi Islam dan umatnya, melainkan menebar ancaman yang serius, sebagaimana sebelumnya diklaim pernah dilakukan juga oleh Cak Nur.

Pandangan yang sama terhadap JIL sebagai teror, ancaman, dan pengelabuhan masyarakat dilakukan juga oleh MD dalam responnya terhadap kasus penggunaan slogan “Menuju Islam Yang Membebaskan” oleh JIL.xxxi Slogan tersebut dianggap oleh MD sebagai sebuah bentuk teror, ancaman dan pengelabuhan terhadap masyarakat mengenai keberadaan kelompok liberal tersebut, yang tampaknya Islami di permukaan namun sebenarnya adalah sebaliknya.xxxii Slogan yang dimaksudkan oleh JIL sebagai “Islam yang menekankan “kebebasan pribadi” sesuai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang “kebebasan manusia” dan “pembebasan” struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas”xxxiii tersebut dipahami oleh MD sebagai membebaskan diri JIL sendiri semaunya dengan tidak memberikan kebebasan kepada orang lain, serta membebaskan orang-orang Kristen untuk melakukan gerakan kristenisasi secara licik di

(10)

Indonesia.xxxiv Pemahaman terhadap slogan JIL ini, seraya menarik isu kristenisasi ke dalamnya, menyebabkan MD lebih mempersepsi kehadiran JIL sebagai teror, bahaya dan ancaman bagi Islam di Indonesia daripada sebagai potensi kebaikan.

Lebih jauh, dalam perjumpaannya dengan kelompok Islam lainnya, slogan JIL di atas juga dipahami oleh MD secara tidak menguntungkan bagi JIL. Dalam pandangan MD, slogan tersebut seakan memberikan kesan bahwa Islam yang selainnya dianggap oleh JIL sebagai Islam yang membelenggu.xxxv Kesan yang ditanamkan oleh MD, sebagaimana bisa dikonsekuensikan oleh slogan dimaksud, inilah yang mengantarkan media tersebut untuk sampai kepada anggapan bahwa JIL adalah teror, bahaya dan ancaman bagi Islam, termasuk juga pengelabuhan bagi masyarakat. Oleh karena itu, MD mengapresiasi secara positif kemunculan sebuah situs internet dan sebuah kelompok tandingan, yang keduanya melakukan gerakan kontra terhadap kelompok Islam liberal JIL. Situs tersebut, menurut MD, hadir dengan slogan “Islam Yang Membebaskan Dari Sistem Kufur” untuk menandingi “Menuju Islam Yang Membebaskan”nya JIL, sedangkan kelompok tandingan dimaksud dengan nama Komunitas Lingkaran Ilmu (KLI) untuk menandingi kelompok Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) yang menjadi basis dari JIL.xxxvi

Pandangan MD terhadap JIL sebagai teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam di atas semakin diperburuk oleh “sikap permusuhan” JIL terhadap kelompok Islam fundamentalis atau militan yang, secara intelektual, tidak dilakukan sendirian, melainkan dengan membentuk sindikasi Islam liberal. Sindikasi tersebut melibatkan sejumlah figur dari institusi-institusi Islam yang relatif sudah mapan. Intitusi-institusi tersebut, menurut MD, meliputi Yayasan Paramadina, Kelompok Utan Kayu, Lakpesdam NU, LKiS, dan IAIN. Pelibatan model sindikasi yang demikian ini disebut oleh MD sebagai model gerakan double helix (jaringan berputar).xxxvii Model sindikasi oleh JIL seperti ini semakin mempertajam pertentangan MD terhadap JIL, di

(11)

antaranya karena beberapa institusi yang dilibatkan telah mendapatkan catatan buruk oleh MD.

Lakpesdam NU, Yayasan Paramadina dan IAIN adalah sejumlah institusi Islam yang telah diberi catatan negatif oleh MD. Jika Lakpesdam NU diklaim sebagai “penyalur kesesatan Islam liberal”,xxxviii dan Yayasan Paramadina dinilai identik dengan Cak Nur yang dalam pandangan MD telah turut mengembangkan Islam liberal, IAIN dianggap berkontribusi besar terhadap meluasnya liberalisme dalam pemikiran Islam di Indonesia melalui pemikiran rasionalisnya Harun Nasution, yang kemudian menjadi model pemikiran Islam IAIN,xxxix serta kebijakan IAIN bersama Departemen Agama yang mengirimkan dosen dan alumninya untuk melakukan studi di institusi pascasarjana Barat.xl Kebijakan pengiriman dosen dan alumni seperti ini, seperti dijelaskan Hefner dan diakui sendiri oleh MD, ditentang keras, apalagi setelah terbukti figur luarannya seperti Harun Nasution dan Nurcholish Madjid telah mengembangkan pemikiran-pemikiran liberalnya di Indonesia.xli Dengan melibatkan beberapa figur dan atau institusi seperti tersebut, MD semakin menemukan justifikasinya bagi penentangannya terhadap JIL.

Pandangan MD terhadap JIL sebagai teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam di atas bisa disebut merupakan sofistikasi dari pencitraan sebelumnya yang dilakukan media tersebut terhadap mereka yang dikenal sebagai pemikir pembaru Islam Indonesia terdahulu, semisal Cak Nur. Meski gagasan-gagasan keagamaan para pemikir pembaru Islam terdahulu sama-sama memicu kontroversi yang besar seperti halnya JIL, klaim terutama sebagai teror terhadap Islam tidak tampak dikenakan oleh MD kepada mereka. Seperti dicatat Ade Armando, beberapa bukti gagasan kontroversial para pemikir pembaru seperti Cak Nur digambarkan oleh MD sebatas sebagai membingungkan dan meresahkan umat, serta dianggap mendukung upaya penempatan kelompok Islam pada posisi yang periferal dalam kehidupan kebangsaan serta membuat kelompok Islam terdidik menjadi ragu terhadap keyakinan keagamaannya.xlii Jadi, klaim sebagai teror terhadap

(12)

Islam dimaksud tidak tampak dimunculkan oleh MD terhadap kelompok pemikir pembaru Islam, termasuk Cak Nur.

Meski indikasi sebagai bahaya dan ancaman terhadap Islam sudah mulai ditampakkan, MD tidak secara verbal dan vulgar menyebut gagasan Cak Nur dan para pemikir pembaru lainnya sebagai teror terhadap Islam dan kaum Muslimin. Dengan demikian, penggambaran terhadap JIL, terutama, sebagai teror terhadap Islam adalah bentuk penyangatan (intensification) dari penggambaran sebelumnya terhadap para pemikir pembaru Islam terdahulu. Bentuk penyangatan oleh MD ini bisa jadi dipicu oleh penggunaan label JIL sebagai identitas diri kelompok Islam liberal tersebut, sementara para pemikir pembaru Islam, seperti Cak Nur, tidak menggunakan label tertentu dalam gerakannya kecuali pembaruan semata.

Disamping menyebut JIL sebagai logika iblis serta bagian dari teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam seperti di atas, MD juga menggambarkan kelompok Islam liberal tersebut sebagai aliran sesat dan agen perusak akidah Islam. Bila dirunut ke belakang, cap sesat dan perusak akidah Islam seperti ini termasuk sesuatu yang mudah dikenakan oleh MD terhadap kelompok Muslim lain yang berbeda pandangan keagamaan secara mendasar. Beberapa individu dan institusi, seperti AS Panji Gumilang beserta Pesantren Al-Zaitun-nya di Indramayu, Jawa Barat,xliii Lia Aminuddin dengan Salamullah-nya, Darul Arqam, Baha’i, LDII, dan Ahmadiyah di Yogyakartaxliv pernah mengalami pengenaan cap sesat, dan bahkan menyesatkan, oleh MD. Tuduhan serupa juga diberikan oleh MD kepada JIL dan para kontributornya. Bahwa JIL merupakan aliran sesat dan pemurtadan adalah salah satu tema yang diusung oleh MD dalam sejumlah laporannnya.xlv Bahkan, JIL dan para kontributornya dianggap MD tidak lain kecuali “mengacak-acak Islam untuk kepentingan” sendiri dengan tingkat pengabdian kepada syetan dan berhala manusia yang sudah mencapai titik puncaknya.xlvi

Adapun parameter pengenaan cap kesesatan dan perusakan akidah Islam terhadap JIL yang dilakukan oleh MD tersebut adalah bila

(13)

pemikiran-pemikiran kelompok Islam liberal ini dinilai kontroversial dengan menunjukkan perbedaan secara mendasar dengan praktik Nabi atau dengan keyakinan keagamaan yang dipahaminya atau yang dipahami oleh kebanyakan masyarakat Muslim. Salah satu contoh kasus pemikiran JIL yang dinilai kontroversial serta kemudian dicap sesat dan merusak akidah Islam adalah tentang waktu pelaksanaan ibadah haji yang digagas oleh salah satu kontributor kelompok Islam liberal tersebut, Masdar F. Mas’udi. Seperti diketahui, menurut pemikir ini, waktu yang menjadi keabsahan pelaksanaan ibadah haji tidak terbatas pada tanggal 9-13 Zulhijjah semata, tetapi membentang dalam tiga bulan: Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah.xlvii

Merespon pemikiran kontributor JIL mengenai waktu pelaksanaan haji tersebut, dalam salah satu rubrik “tanya-jawab” yang secara khusus membahas gagasan dimaksud, MD pada akhir pembahasannya mengaitkan pemikiran Masdar F. Mas’udi tersebut dengan identifikasi kesesatan JIL. Menurut MD, dalam beribadah, umat Islam cukup mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan satu-satunya panutan yang bisa diikuti, termasuk dalam hal waktu pelaksanaan haji yang ditentukan pada bulan Zulhijjah. Adapun apa yang digagas oleh Masdar tersebut tidak merupakan apa yang dipraktikkan oleh Nabi sehingga tidak perlu diikuti, dan bahkan dianggap MD berbahaya bagi Islam.xlviii Seraya menunjuk kepada Hadits Nabi “Khudzu ‘anni manasikakum (Ambillah dariku tata cara ibadah hajimu)”, MD menegaskan bahwa pemikiran Masdar F. Mas’udi itu, meski terkesan logis, aneh karena ibadah haji itu sudah memiliki ketentuannya dari ayat al-Qur’an, Hadits dan praktik Nabi SAW.xlix Identifikasi kesesatan dan perusakan akidah dikenakan dalam hal ini karena pemikiran bahwa waktu pelaksanaan haji merentang dalam sejumlah bulan dinilai sebagai pemikiran yang tidak menjadi apa yang dipikirkan dan diyakini oleh kebanyakan masyarakat Muslim, termasuk bukan merupakan praktik Nabi, meskipun pemikiran itu dinilai logis. Atas dasar itu, orang yang membuat cara atau model baru dalam berhaji, yang sejatinya tidak dicontohkan oleh

(14)

praktik Nabi, dinilai oleh MD sama dengan membuat syari’at baru, dan karena itu dianggap sesat serta tidak boleh diikuti.l

Contoh kasus lain yang dicap sesat dan merusak akidah Islam adalah pemikiran JIL mengenai pluralisme agama. Terhadap gagasan pluralisme agama ini, MD menegaskan bahwa pemikiran yang diusung JIL tersebut, secara substansial, bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti diketahui, JIL, yang dalam kerangka wawasan dasarnya menganggap urusan beragama dan tidak beragama sebagai hak perorangan yang tidak menerima adanya perlakukan prosekusi atas dasar kepercayaan yang dianutnya,li ditimpali oleh para aktivisnya dengan pemikiran pluralisme agama yang menilai semua agama sama dan sederajat. Ulil, sebagai misal, menegaskan bahwa semua agama sama, dan Islam bukan agama yang paling benar, sehingga tidak ada eksklusivisme agama.

Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar Gereja. Baru pada tahun 1965 Masehi, Gereja Katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1.423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik. Kalau semua agama dikatakan sama, benarkah orang akan mudah pindah agama? Kenapa harus pindah jika semua agama sama saja. Yang menyebabkan orang itu pindah agama justru karena pandangan eksklusif ada agama yang paling benar.lii

Gagasan tentang kesatuan semua agama tersebut didasarkan oleh Ulil pada pemahamannya terhadap doktrin penting yang sangat ditekankan dalam akidah Islam, yakni kesadaran terhadap kontinuitas dalam dua hal:

(15)

kontinuitas wahyu dan kontinuitas kenabian. Sebagai salah satu agama Ibrahimiyah (Abrahamic religions), Islam, menurut Ulil, sadar atas prinsip kontinuitas tersebut sehingga kehadirannya tidak pernah mengklaim membawa sesuatu yang baru, kecuali menegaskan kembali dan menyempurnakan apa yang dibawa oleh para nabi sebelumnya.liii Dus, atas prinsip ini, kesatuan agama tampak dipandang oleh Ulil sebagai sebuah realitas keagamaan yang juga disemangati oleh Islam.

Selain Ulil yang berkeyakinan seperti di atas, Budhi Munawar-Rachman, kontributor JIL, juga berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama mempunyai Tuhan yang satu dan sama, namun yang membedakan di antara mereka adalah syariat atau tata cara ibadah semata. Oleh karena itu, yang mendesak dilakukan saat ini, dalam pandangan Budhi Munawar-Rachman, bukan terkait dengan persoalan teologis, akan tetapi pemaknaan agama untuk kehidupan.liv Ide kesatuan Tuhan oleh Budhi Munawar-Rahman ini mengilustrasikan bahwa sebenarnya tidak ada persoalan teologis yang tersisa dalam hubungan agama-agama karena pada dasarnya Tuhan yang dituju oleh agama-agama itu adalah satu. Perbedaan tata cara ibadah yang ada di tingkat penganut agama, dengan demikian, tampak ditempatkan oleh kontributor JIL tersebut sebagai sesuatu yang tidak semestinya menegasikan dan mengorbankan prinsip kesatuan Tuhan di antara agama-agama itu.

Pemikiran pluralisme agama JIL, seperti dipresentasikan oleh Ulil dan Budhi Munawar-Rachman di atas, secara substansial, dianggap oleh MD telah keluar dari dan bertentangan dengan keyakinan Islam itu sendiri. Hal ini karena Islam diyakini oleh MD sudah jelas membedakan dirinya dari lainnya sesuai dengan syari’at Islam yang berupa nash qath’i dari al-Qur’an dan Sunnah,lv dan oleh karena itu pluralisme agama yang menyamakan semua agama itu dianggap oleh MD sama dengan mengingkari nash al-Qur’an dan Sunnah tersebut.lvi Lebih lanjut, MD dalam salah satu laporan utamanya tentang JIL, dengan mengutip pernyataan kontributor aktifnya, Hartono Ahmad Jaiz, menyebut pemikiran pluralisme agama JIL seperti dimaksud sebagai paham yang jelas-jelas sesat karena menyamakan agama nonIslam,

(16)

yang disebut oleh yang bersangkutan sebagai agama syetan, dengan agama Islam sebagai agama Allah.lvii Paham JIL seperti ini dianggap oleh MD sebagai paham yang ingin mengacaukan dan melemahkan akidah dan syari’at Islam,lviii dan para aktivis JIL yang memberlakukan paham ini dihukumi sebagai murtad.lix

Selain dianggap bertentangan secara substansial dengan keyakinan Islam dan sekaligus mengacaukannya, gagasan pluralisme agama yang diusung JIL di atas dicurigai MD memiliki maksud tertentu dibalik penyebarannya, yakni sebagai pemikiran titipan yang merugikan kepentingan Islam. Gagasan pluralisme agama itu dinilai oleh MD, lewat salah satu surat pembacanya, hanya untuk memperkuat kepentingan umat minoritas dan mengorbankan akidah Islam.lx MD tampak mempersepsi bahwa gagasan pemersamaan semua agama tidak lain justru akan memberikan keuntungan kepada agama selain Islam karena jumlah penganutnya yang minoritas, dan pada saat yang sama merugikan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dengan gagasan semua agama sama itu, agama selain Islam akan diuntungkan sebab peluang untuk terjadinya konversi agama penganut Islam ke agama selainnya tampaknya diyakini oleh MD menjadi lebih terbuka daripada sebaliknya. Kecenderungan yang demikian inilah yang tampak dianggap MD merugikan Islam.

Anggapan negatif MD terhadap gagasan pluralisme agama sebagai faktor pendorong terjadinya konversi secara lebih mudah seperti di atas dicarikan pembenarannya oleh media tersebut dari kasus nikah beda agama, dalam pengertian wanita muslimah dikawini oleh lelaki non-muslim, sebagaimana yang digagas oleh JIL. Dalam kasus ini, seperti diketahui, JIL pernah menurunkan sebuah hasil wawancaranya dengan Zainun Kamal, dosen IAIN dan Universitas Paramadina Jakarta, yang disebarluaskan melalui sindikasi Islam liberalnya, baik media cetak maupun dengar serta internet, yang menegaskan bahwa perkawinan seperti ini sebetulnya tidak ada pelarangannya secara tekstual dari al-Qur’an. Adapun pelarangan yang dilakukan oleh mayoritas ulama’, termasuk di Indonesia, merupakan hasil

(17)

ijtihad mereka semata, bukan berdasarkan teks eksplisit al-Qur’an. Karena tidak ada teks yang secara tegas melarang, Zainun Kamal menegaskan perlunya ditinjau kembali ijtihad yang berlaku untuk pelarangan pernikahan seperti itu.lxi

Pemikiran kontributor JIL tentang ketiadaan larangan nikah beda agama secara tekstual dari Islam di atas diklaim oleh MD sebagai penyebab terjadinya sejumlah perkawinan beda agama antara wanita muslimah dan lelaki Nasrani di daerah Batusangkar, Sumatera Barat. Menurut klaim MD, wawancara oleh JIL tersebut telah berakibat secara mengejutkan pada hilangnya sejumlah wanita muslimah di daerah tersebut dari keluarga Muslim karena wawancara JIL itu dianggap sebagai penyebab mereka akhirnya bersedia dinikahi oleh lelaki Nasrani. Oleh karena itu, MD menurunkan sebuah laporan dengan menentang pemikiran kontributor JIL dimaksud dan menyebutnya sebagai tidak akurat dalam argumentasinya. Pernyataan JIL bahwa pelarangan terhadap kawin beda agama, dalam pengertian di atas, tidak berlandaskan teks verbal al-Qur’an dibantah oleh MD dengan menyebutkan penegasan al-Qur’an atau Hadits yang mengenai hal itu, di antaranya al-Qur’an 60:10.lxii Selain itu, pendapat tersebut ditentang oleh MD karena diklaim telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemurtadan terhadap wanita muslimah.lxiii Dalam kerangka ini, MD menurunkan sebuah surat pembaca dari wakil ketua KISDI, A. Cholil Ridwan, yang menyeru kepada wanita muslimah yang sudah terlanjur kawin dengan lelaki nonmuslim untuk segera meninjau kembali perkawinannya; jika suami ternyata tetap memeluk agam nonIslam, isteri harus membatalkan perkawinan itu.lxiv

Bila dirunut dari argumentasi yang diturunkan oleh MD dalam penyebutannya terhadap JIL sebagai aliran sesat dan agen perusak akidah Islam melalui upaya perbandingan dengan argumentasi media tersebut atas pencitraannya terhadap kelompok pemikir pembaru Islam sebelumnya, tersembul dua makna penting. Pertama, MD mengindikasikan adanya pemerkosaan terhadap ayat yang dilakukan baik oleh kelompok pemikir

(18)

pembaru terdahulu maupun kelompok JIL dalam upaya masing-masing yang, dianggap oleh media tersebut, ingin menghancurkan Islam dari dalam. Hanya saja, terhadap kelompok pemikir pembaru Islam terdahulu, seperti Cak Nur dan seterusnya, MD, dengan mengutip pernyataan Daud Rasyid, menyebut mereka telah “memanipulasi makna-makna ayat, menyalahpahami hadits-hadits Nabi dan mengotori kata-kata ulama’,”lxv sedangkan terhadap JIL, media tersebut menyebutnya sebatas tidak akurat dalam mendasarkan argumentasinya.

Kedua, MD menyebut secara berbeda penyebaran kesesatan dan perusakan akidah Islam oleh para pemikir pembaru terdahulu dan JIL. Bila para pemikir pembaru terdahulu dinilai oleh MD menyebarkan kesesatan dan perusakan akidah Islam dengan model pengemasan ilmiah yang seolah-olah memiliki tingkat kesahihan argumentasi yang kuat,lxvi JIL tidak disebut oleh MD melakukan pengemasan serupa, sebagaimana yang dilakukan oleh para pemikir Islam terdahulu. Pada tahap ini, dengan demikian, penyebutan MD sebagai penyebar kesesatan dan perusak akidah Islam terhadap JIL dilakukan dengan gradasi pencitraan negatif yang lebih lemah dibanding terhadap para pemikir pembaru Islam terdahulu.

Sementara itu, MD juga mencitrakan JIL sebagai penyebar fitnah dan kepanjangan tangan Orientalis dan sekularis Barat. Pencitraan ini terutama terkait dengan dua kasus utama: pertama, penolakan JIL terhadap gagasan formalisasi syari’at Islam, dan kedua, idealisasi kelompok Islam liberal tersebut terhadap gagasan separasi agama dari politik atau negara. Dalam kaitannya dengan kasus penolakan JIL terhadap gagasan formalisasi syari’at Islam, MD menentang argumentasi penolakan kelompok Islam liberal tersebut seraya berupaya melakukan antisipasi dengan seruan memerangi JIL secara kuat. Adapun beberapa alasan penolakan JIL terhadap diterapkannya syari’at Islam di Indonesia, yang kemudian ditolak oleh MD tersebut, dijelaskan oleh beberapa elemen kelompok Islam liberal tersebut. Seperti yang menjadi bagian dari pemikiran JIL tentang pemihakan pada yang minoritas dan tertindas, yang mengidealisasikan tercapainya keadilan,

(19)

termasuk keadilan gender, beberapa kontributor atau aktivis JIL menolak gagasan penerapan syari’at Islam di Indonesia karena dianggap akan merugikan kepentingan kelompok tertentu dalam memperoleh hak-haknya.

Sementara Ulil menganggap penerapan syari’at Islam pada level negara akan mempersempit cara pandang Islam sehingga gerak Islam menjadi terjebak pada urusan-urusan seperti pengenaan jilbab, larangan minuman keras, dan larangan perzinaan,lxvii Muslim Abdurrahman, kontributor JIL, menegaskan bahwa diterapkannya syari’at Islam di Indonesia akan menimbulkan dampak yang tidak positif terhadap sejumlah kelompok, mula-mula kaum perempuan, dan kemudian diikuti oleh kelompok minoritas nonmuslim dan orang-orang miskin.lxviii Penerapan syari’at, menurut Muslim Abdurrahman, akan berdampak negatif bagi perempuan karena banyaknya regulasi Islam yang membatasi gerak perempuan, dan bagi kelompok minoritas nonmuslim karena akan menjadi warga negara kelas dua, serta bagi orang-orang miskin karena kejelasan bukti pelanggaran syari’ah, seperti mencuri ayam dan seterusnya, yang mereka lakukan, sementara tindakan korupsi orang kaya atau pejabat tidak jelas benar buktinya.lxix

Selain Ulil dan Muslim Abdurrahman, elemen lain JIL, Masdar F. Mas’udi, juga menegaskan penolakan yang sama terhadap formalisasi syari’at Islam dengan penekanan pada akibat yang ditimbulkan oleh formalisasi itu terhadap kualitas keberagamaan masyarakat. Menurut Masdar F. Mas’udi, formalisasi syari’at Islam di tingkat negara diyakini akan menyebabkan terjadinya bahaya hipokrisi di kalangan masyarakat Muslim, karena ketaatan beragama mereka akan bergantung dan bergerak di bawah campur tangan dan paksaan negara yang dimungkinkan oleh legalisasi syari’at Islam itu melalui institusi yang bisa disebut dengan “polisi syari’at”. Karena tidak berangkat dari kesadaran dan keikhlasan, seperti yang diidealisasikan oleh Islam, ketaatan keberagamaan mereka akan cenderung bersifat semu.lxx Jadi, dalam perspektif Masdar F. Mas’udi, formalisasi syari’at Islam justru akan berdampak buruk bagi kualitas keberagamaan

(20)

masyarakat Muslim Indonesia akibat adanya intervensi negara terhadap keberagamaan mereka.

Pemikiran JIL yang tidak menghendaki syari’at Islam diterapkan di tingkat negara di atas ditolak oleh MD, baik dengan argumentasi perspektif sejarah Indonesia maupun interpretasi teks ayat. Pemikiran penolakan JIL beserta argumentasinya terhadap gagasan penerapan syari’at Islam di Indonesia dianggap oleh MD sebagai sikap atau respon pemikiran yang tidak fair karena telah menghakimi sesuatu yang belum ada dan terbukti di Indonesia.lxxi Tudingan sebagai tidak fair ini keluar dari MD karena sejarah Indonesia modern sebagai sebuah negara bangsa belum pernah mengalami diterapkannya syari’at Islam yang dipeluk secara mayoritas oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, kekhawatiran-kekhawatiran yang dilontarkan JIL jika gagasan penerapan syari’at Islam diterapkan di Indonesia dinilai oleh MD bahkan sebagai hal yang mengada-ada, sementara pandangan MD sendiri, didasarkan pada ayat al-Qur’an,lxxii menegaskan bahwa ketentuan Allah SWT diturunkan bukan untuk mencelakakan manusia, melainkan untuk kebaikan.lxxiii Penegasan MD ini menunjukkan bahwa klaim-klaim kekhawatiran terhadap diterapkannya syari’at Islam sebagai merugikan dinilai oleh media tersebut mestinya tidak perlu keluar dari JIL jika kelompok Islam liberal tersebut mendasarkan diri pada penjelasan tekstual ayat, sebagaimana paling tidak yang dipahami oleh media tersebut dari teks ayat di atas, bahwa syari’at Islam itu sendiri diturunkan untuk kebaikan manusia.

Penolakan yang dilakukan oleh JIL dan para kontributornya terhadap penerapan syari’at Islam di atas mengantarkan MD sampai pada suatu titik penilaian bahwa pemikiran JIL tersebut merupakan penyebaran tuduhan dan fitnah terhadap Islam. Pemikiran Masdar F. Mas’udi yang menolak penerapan syari’at Islam seperti di atas, sebagai misal, dinilai oleh MD sebagai bentuk penyebaran tuduhan dan fitnah dalam rangkaiannya yang panjang, tidak hanya terhadap Islam sebagai agama, tetapi juga pengalaman pemerintahan Nabi Muhammad SAW, para khalifah serta pemerintahan Islam kapan pun yang menerapkan syari’at Islam. Bahkan, Masdar F.

(21)

Mas’udi, beserta para pemikir anti formalisasi syari’at Islam JIL lainnya, dianggap oleh MD lebih rela jika masyarakat berada dalam keadaan maksiyat, seperti melacur, daripada menerapkan aturan Allah lewat kekuasaan.lxxiv

Sementara itu, terhadap soal penolakan Masdar terhadap institusi polisi syari’at yang diimplikasikan oleh formalisasi syari’at Islam, MD menentangnya seraya memberikan analogi dengan salah satu bentuk kehidupan nyata bahwa WC-WC umum saja dinilai memiliki penjaga agar orang tidak sembarangan menggunakannya, apalagi syari’at Islam yang merupakan hukum murni dari Allah SWT.

Sebanarnya, kembali lagi, yang berbahaya itu adalah pikiran mereka. Pikiran yang sangat anti syari’at. Padahal, mereka kalau mau menengok sebentar ke kehidupan nyata, yang namanya WC-WC umum saja ada penjaganya. Agar mereka tidak sembarangan dalam menggunakan itu WC. Kalau yang namanya WC umum saja ada penjaganya, ada pengaturannya, kenapa syari’at Islam yang merupakan hukum murni dari Sang Maha Pencipta tidak boleh dilaksanakan secara teratur, dimenej secara kepemimpinan yang profesional?lxxv

Karena itu, pemikiran yang menolak syari’at Islam justru dalam pandangan MD sangat lebih berbahaya dibanding yang sependapat, karena pemikiran semacam ini akan berujung pada penolakan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syari’at.lxxvi

Merespon gagasan dan gerakan kelompok JIL yang tidak menghendaki penegakan hukum atau syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW di atas, MD, seraya merujuk kepada kisah Umar bin Khattab yang, digambarkan oleh media tersebut, membunuh salah seorang Muslim yang merasa kurang puas dalam suatu kasus dengan keputusan

(22)

Nabi, tampak memberikan konsekuensi dan menghukumi para aktivis Islam liberal ini sebagai tidak beriman dan, bahkan dalam pandangan wahyu Allah, menurut media tersebut, tidak salah untuk dibunuh.lxxvii Untuk menghadapi apa yang disebut oleh MD dengan gerakan pemurtadan oleh JIL tersebut, Hartono Ahmad Jaiz, kontributor aktif MD, menegaskan, seperti dikutip dalam “laporan daerah” MD, bahwa JIL wajib diperangi secara ramai-ramai sebab dikhawatirkan akan merusak akidah umat Islam dengan menyeret mereka bersama generasi penerusnya menjadi murtad.lxxviii Penilaian wajib menolak gagasan JIL tersebut diberikan penegasan ulang oleh MD pada bagian akhir “laporan daerah” dimaksud: “Untuk itu, ide kufur dari sekularisme itu kita wajib mengcounter dan menolaknya.”lxxix Dengan demikian, gagasan penolakan JIL terhadap diterapkannya syari’at Islam di tingkat negara tampak menjadi sebuah persoalan serius yang oleh MD dianggap sama dengan pengingkaran terhadap syari’at itu sendiri, sehingga hukum pemurtadan dengan segala konsekuensinya diberlakukan oleh media tersebut untuknya.

Ide penolakan terhadap formalisasi syari’at Islam di atas, sementara itu, disertai oleh JIL dengan ide sekularisasi atau separasi Islam dari negara. Gagasan sekularisasi ini menjadi kasus kedua dari pemikiran JIL yang disebut oleh MD sebagai penyebar fitnah dan kepanjangan tangan dari para Orientalis dan sekularis Barat. Pemisahan Islam dan negara ini disampaikan salah satunya oleh Ulil, koordinator JIL, dengan argumentasinya bahwa pengandaian terhadap pemisahan antara Islam sebagai wilayah privat dan negara sebagai wilayah publik harus dilakukan untuk menghindari timbulnya kekacauan akibat campur aduknya antara keduanya, meski diakui juga oleh Ulil bahwa antara yang privat dan yang publik memang terkadang jumbuh dan tidak terpisah secara tegas. Keharusan pemisahan itu diibaratkan oleh Ulil dengan uang pribadi dan uang kantor yang tidak bisa dicampur ke dalam satu catatan pembukuan rekening.

Duit Anda dengan duit kantor Anda jelas tidak bisa dibukukan dalam satu rekening. Anda boleh

(23)

menjadi NU, Muhammadiyah, abangan, penganut kebatinan, Kristen, Budha, Hindu, penganut klenik, pengamal debus, pengikut spiritualisme, penikmat candu, dan segala macam. Itu semua adalah rekening pribadi. Tapi harap rekening pribadi itu jangan dicampur dengan rekening publik, nanti bisa berabe urusan kita.lxxx

Dalam kerangka gagasan sekularisasi ini, negara sekular bisa diterima oleh Ulil sebagai sebuah institusi negara yang mampu menawarkan keunggulan daripada negara yang diidealisasikan oleh kelompok Islam fundamentalis. Menurut Ulil, dalam beberapa prinsip seperti demokrasi, emansipasi wanita, dan kebebasan berpikir, negara sekular lebih unggul karena dinilai bisa mewadahi segala apa yang disebutnya dengan “energi kesalehan” dan “energi kemaksiyatan” secara bersamaan.lxxxi Kemampuan negara sekuler mengusung beberapa prinsip fundamental dan sekaligus mengakomodasi dua potensi secara simultan tersebut, dengan demikian, dalam pandangan Ulil menjadi poin lebih yang tidak dimiliki oleh idealisasi negara Islam.

Terhadap pemikiran JIL, seperti yang dikemukan oleh Ulil, tentang isu negara sekular ini, MD menolaknya dengan menegaskan keberlawanan gagasan tersebut dengan prinsip Islam. Selain menganggap JIL tidak menghendaki diterapkannya syariat Islam dalam kepemerintahan akibat usaha pemisahan agama dari politik dan negara,lxxxii MD juga mengibaratkan substansi gagasan Ulil dan atau JIL tersebut dengan preferensi Islam liberal terhadap figur orang yang saleh tapi fasiq daripada saleh dan jujur. Untuk itu, dalam pandangan MD, pemikiran Ulil dan atau JIL ini melanggar salah satu yang dianggap sebagai prinsip Islam—amr bi ma’ruf wa nahy `an al-munkar, dengan cara melegalkan keburukan sederajat dengan kebajikan.

Pikiran Mas Ulil itu apabila diujudkan dalam sosok orang, maka yang lebih dia unggulkan adalah orang yang saleh tapi fasiq (banyak maksiat,

(24)

korupsi dan sebagainya) daripada orang yang saleh dan jujur. Pada dasarnya ini telah menabrak langsung satu sarana penting dalam Islam yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Dia telah berusaha melegalkan (meresmikan) kemunkaran (keburukan) disejajarkan dengan yang ma’ruf (baik).lxxxiii

Penyebutan Ulil terhadap apa yang ia istilahkan dengan “energi kesalehan” dan “energi kemaksiyatan” ke dalam penampungan sebuah sistem negara sekular, dan anggapannya atas kelebihan sistem sekular dari lainnya, di atas tampak diidentikkan oleh MD dengan pencampuradukan kebaikan dengan keburukan. Sesuai dengan puritanisme dan atau konservatisme yang menjadi karakter pemikirannya, MD sudah barang tentu menolak pemikiran yang dianggap longgar terhadap penegasan antara wilayah kebaikan dan keburukan. Apalagi, tugas utama pemimpin, menurut MD, adalah melindungi keutuhan agama dan memberantas kesesatan.lxxxiv

Seraya menolak secara tegas, MD mengaitkan gagasan JIL mengenai separasi agama dari negara, atau yang dikenal dengan isu negara sekuler, di atas dengan pemikiran serupa yang sebelumnya digagas oleh para Orientalis. Pemikiran sekular model JIL seperti tersebut dianggap oleh MD pada dasarnya tidak jauh berbeda dari apa yang dikerjakan oleh para Orientalis. MD menyebut beberapa nama Orientalis yang pemikirannya dianggap banyak disentuh oleh JIL, di antaranya seperti Snouck Hurgronje, Ter Haar, van Voolen dan lain-lain. Snouck Hurgronje yang dengan Teori Resptie-nya menganggap hukum Islam baru bisa berlaku bila telah diakui masyarakat sebagai hukum adat, sebagai misal, dinilai oleh MD, meminjam istilah Hazairin -- dosen Universitas Indonesia, sebagai “teori iblis”.lxxxv Pendek kata, anggapan kedekatan JIL dengan pemikiran para Orientalis ini, menurut MD, tampak dari bukti bahwa dalam kaitannya dengan ide penerapan syari’at Islam, seperti yang didiskusikan di atas, JIL sebagaimana

(25)

para Orientalis berupaya mengganjal syari’at Islam dengan menempatkannya di bawah ketentuan hukum adat.lxxxvi

Oleh karena itu, penolakan JIL terhadap penerapan syari’at Islam dengan tetap mengidealisasikan paham separasi agama dari politik dan negara di atas dianggap oleh MD sebagai bagian atau kepanjangan tangan dari agenda politik Barat. Bahkan dalam sebuah laporan utamanya, Barat yang dimaksudkan oleh MD di sini lebih diperjelas lagi dengan Amerika Serikat, seperti tampak pada kutipan berikut: “Beberapa wartawan Muslim menjelaskan bahwa Islam Liberal ini kaitannya erat dengan pemerintah Amerika.”lxxxvii Selain itu, identifikasi JIL dengan agenda Barat tampak dari penegasan MD yang merujuk kepada pernyataan kontributor aktifnya, Adian Husaini, yang menegaskan secara jelas bahwa pemikiran dan gerakan mereka yang menolak syari’at Islam dan menghendaki pemisahan agama dan negara ini merupakan kepanjangan dari kepentingan Barat: “Agenda penolakan syari’at Islam ini, menurut Adian, adalah merupakan agenda Barat.”lxxxviii

Lebih jauh, MD, seraya tetap merujuk kepada pernyataan Adian Husaini, menganggap pihak Barat berperan terhadap penguatan ide separasi agama dari negara karena penerapan syari’at Islam dianggap olehnya bisa mengancam kepentingan politik global, termasuk mengganggu kepentingan kelompok negara-negara Barat. Oleh karena itu, Barat dipandang selalu mengupayakan tidak diterapkannya syari’at Islam di suatu negara. Kasus Sudan yang mencoba, tetapi gagal, menerapkan syari’at Islam pada 8 September 1983 di bawah kepemimpinan Ja’far Muhammad Numeiri, menurut Adian Husaini, adalah salah satu contoh konkret dari ketidaksenangan Barat terhadap diterapkannya syari’at Islam menjadi konstitusi negara.

….Gara-gara menerapkan hukum Islam dalam negara itu (minuman keras senilai 11 juta dolar US ditumpahkan di sungai nil, 30 ribu tawanan aktivis-aktivis Islam dibebaskan, klab malam

(26)

dilarang dll), Sudan akhirnya diboikot ekonominya oleh AS. Tekanan AS itu, akhirnya memaksa Numeiri pada tahun 1985 dengan menangkap aktivis Ikhwanul Muslimin, termasuk Hasan Turabi. Tahun 1985 itu, Wapres George Bush ke Khartoum dan mengajukan empat syarat bagi cairnya bantuan AS: pertama, dicabutnya hukum kriminalitas Islam (huduud). Kedua, pemecatan para aktivis Islam dari pemerintahan. Ketiga, menghentikan hubungan dengan Libia dan Keempat, menerima pembaruan ekonomi seperti yang diminta oleh IMF. Numeiri akhirnya diganti oleh Shadiq al Mahdi…..lxxxix

Penilaian bahwa JIL merupakan pengusung atau kepanjangan tangan dari ide-ide Orientalis dan sekularis Barat seperti di atas mendorong MD untuk menegaskan perlawanannya terhadap kelompok Islam liberal JIL. MD telah menegaskan dan menempatkan kelompok Islam liberal JIL ke dalam posisi, bersama-sama dengan Barat, yang harus dilawan. Ketika membahas logika JIL, misalnya, MD, melalui salah satu artikel “wawasan”nya, menegaskan bahwa Barat melalui jerat pemikiran dan budayanya telah berhasil menanamkan pengaruh yang kuat dan besar terhadap sejumlah intelektual Muslim, seperti tampak pada gerakan aktivis dan kontributor JIL, melalui gagasan sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan teologi inklusif. Selain para pemikir Muslim tersebut dianggap sebagai juru bicara dan agen Barat di dunia Islam, beberapa gagasan yang dimaksud di atas dinilai oleh MD sebagai tidak lebih dari hasil penjiplakan total cara berpikir filsafat radikal Barat.xc Identifikasi JIL dengan Barat inilah yang mendorong MD menganggap pemikiran JIL berbahayaxci sehingga dinilai patut mendapat perlawanan yang tegas dan keras.

(27)

Penegasan bahwa JIL kepanjangan agen Orientalis dan sekularis Barat di atas diiringi oleh MD dengan penilaian bahwa JIL merupakan perpanjangan dari gagasan sekularis pemikir Islam Indonesia sebelumnya. Oleh salah satu artikel dalam rubrik “wawasan” MD,xcii diakui bahwa pemikiran yang ditawarkan oleh JIL tentang sekularisasi merupakan kelanjutan, atau paling tidak penyebaran terhadap ide-ide sekularistik Cak Nur yang telah lebih dulu dilemparkan ke tengah masyarakat semenjak awal tahun 1970-an. Ide sekularistik Cak Nur itu terumuskan dalam statement-nya “Islam Yes, Partai Islam No.xciii Memang, bisa dipahami bahwa ide sekularisasi Cak Nur diusung kembali oleh JIL, seperti anggapan MD, karena relevansinya untuk konteks kehidupan masyarakat Muslim saat ini masih tetap dirasakan adanya. Seperti ditegaskan Cak Nur sendiri menjelang pemilihan presiden 1998, pernyataannya “Islam Yes, Partai Islam No” pada awal 70-an masih memiliki relevansinya untuk konteks kekikinian politik nasional. Hal ini, menurutnya, karena Islam seharusnya diletakkan pada skala nasional, bukan hanya dalam politik, dengan argumentasi bahwa sebuah bangsa membutuhkan sebuah fondasi moral-etik yang luas. Sebagai misal, katanya, di Amerika Serikat landasan moral dan etikanya adalah White, Anglos Saxon, Christian, sedangkan mereka menyalurkan aspirasi politiknya kepada dua partai: Republik dan Demokrat.xciv Penilaian mengenai masih relevannya ide separasi agama dari politik dan negara dalam konteks kekinian inilah tampaknya yang mendorong JIL untuk mengusungnya kembali ke dalam gerakannya.

Adapun argumentasi yang disampaikan oleh MD untuk menolak gagasan sekularisasi JIL tampak tidak mengalami perubahan yang signifikan dari argumentasi penolakannya terhadap gagasan serupa oleh para pemikir pembaru Islam terdahulu. Seperti tampak pada penelitian Ade Armando, MD menganggap kelompok pemikir pembaru Islam, seperti Cak Nur dan seterusnya, sebagai agen kepentingan ekonomi politik Barat, dengan argumentasi utama yang menyebut adanya keterkaitan gerakan pembaruan Islam dengan sebuah strategi global untuk meleburkan Indonesia ke dalam

(28)

hegemoni kepentingan ekonomi politik Barat. Sebagaimana terhadap JIL seperti diuraikan di atas, MD, digambarkan oleh Ade Armando, menyebut gerakan pemikiran yang dilakukan oleh para pemikir pembaru Islam tersebut memiliki tugas utama untuk memperlemah kesadaran keberagamaan masyarakat Islam Indonesia dan meminggirkan posisi politik mereka. Gerakan pemikir pembaruan beserta tugas utamanya itu, dalam pandangan MD --seperti dijelaskan Ade Armando, dilakukan dengan mentransformasikan secara revolusioner tatanan keagamaan yang telah berakar di masyarakat ke dalam hubungannya dengan kepentingan Barat.xcv

Untuk kepentingan strategi global di atas, Cak Nur sebagai salah satu pemikir pembaru Islam saat itu digambarkan oleh MD, seperti juga dikutip Ade Armando, “menginginkan agama sebatas kepasrahan belaka, tanpa syari‘ah.“xcvi Oleh karena itu, seperti terhadap JIL --sebagaimana dijelaskan di atas, MD juga menyebut Cak Nur dan para pemikir pembaru Islam lainnya sebagai penghancur Islam dari dalam.xcvii Hal yang sama lainnya dari argumentasi MD adalah penyejajaran pemikiran JIL dan para pemikir pembaru Islam terdahulu dengan pemikiran para Orientalis. Sebagaimana JIL yang diidentikkan dengan pemikir Orientalis seperti Snouck Hurgronje dan lain-lain --seperti diterangkan di atas, Cak Nur dan para pemikir pembaru Islam terdahulu disejajarkan pula dengan seorang Snouck Hurgronje.xcviii

Namun demikian, yang membedakan dari argumentasi pencitraan terhadap JIL dan para pemikir pembaru Islam terdahulu adalah soal penyejajaran pemikiran kedua kelompok tersebut dengan gerakan Zionisme internasional. Bila terhadap kelompok para pemikir pembaru Islam terdahulu MD, seperti diteliti oleh Ade Armando, secara vulgar melakukan penyejajaran itu,xcix terhadap JIL hal itu tidak ditampakkan secara jelas oleh media tersebut. Perbedaan penampakan di sini bisa jadi karena momen munculnya JIL dan kelompok pemikir pembaru Islam sudah berbeda. Kondisi politik Islam di Indonesia masa JIL sudah tidak lagi terpinggirkan, sebagaimana masa para pemikir pembaru, sehingga penampakan penyejajaran tersebut

(29)

tampak dianggap tidak banyak menemukan relevansinya jika dikenakan secara ekspresif pada JIL. Atas dasar pertimbangan ini, MD tampak menganggap tidak signifikan, sekaligus tidak perlu, penampakan penyejajaran JIL dengan gerakan Zionisme internasional dimaksud.

Terlepas dari berbagai pemikirannya yang menyembulkan perdebatan tajam, JIL pada tataran berikutnya dicitrakan oleh MD sebagai anti dialog. Bahkan, salah satu laporan utama MD tentang JIL diberi judul besar “Islam Liberal Menolak Dialog Terbuka”.c Dalam laporan utama itu, MD menegaskan bahwa praktik JIL ternyata tidak sesuai dengan jargon yang selama ini didengungkan agar umat Islam bersikap terbuka dan mengedepankan proses dialog. Bukti yang disampaikan MD adalah ketidakhadiran pihak JIL pada kegiatan dialog terbuka di suatu tempat di Jakarta yang diadakan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), padahal undangan khusus untuk berdialog di forum tersebut sudah disampaikan kepada pihak JIL.ci Ketidakhadiran JIL pada forum dialog tersebut disayangkan oleh pembaca MD bahwa hal itu tidak semestinya terjadi.cii Meski JIL sendiri sudah mengirim surat kepada pihak penyelenggara dan menyatakan kesediannya jika dialog dilakukan secara tertutup,ciii ketidakhadirannya pada acara dialog terbuka tersebut tidak urung disimpulkan oleh MD bahwa JIL anti dialog.

Anggapan bahwa JIL selalu menghindar dari dialog dengan pihak lain tersebut selanjutnya mendorong MD untuk menyebut kelompok JIL sebagai pengecut. Sebutan pengecut ini diberikan oleh MD karena JIL dianggap hanya berani untuk melakukan diskusi dan dialog dengan orang-orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang sama dengan agendanya serta dengan orang-orang yang landasan berpikirnya masih bisa dipengaruhi olehnya. JIL dianggap MD selalu menghindar untuk melakukan dialog baik dengan orang-orang yang berlainan cara berpikir agamanya, seperti Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini, maupun di hadapan umum secara terbuka. Kesan selalu menghindar ini dilekatkan oleh MD karena JIL dianggap takut dan gentar untuk berhadapan dengan pihak-pihak yang

(30)

berbeda pemikiran dengannya maupun dengan masyarakat umum tersebut.civ

Argumentasi yang disampaikan MD untuk mencitrakan JIL sebagai anti dialog di atas tampak bersifat repetitif semata dari pencitraan yang sama yang dilakukan oleh media tersebut terhadap kelompok pemikir pembaru Islam terdahulu. Kalau JIL dinilai anti dialog karena dianggap menghindari dialog terbuka, kelompok pemikir pembaru sebelumnya semisal Cak Nur – seperti dijelaskan Ade Armando-- juga dinilai oleh MD dengan hal yang sama dan dengan argumentasi yang serupa. Argumentasi itu di antaranya adalah bahwa Cak Nur tidak pernah bersedia menanggapi permintaan dialog HM Rasjidi untuk mendiskusikan gagasan-gagasannya. Bahkan, selain digambarkan tidak memberi ruang dan kesempatan yang cukup kepada peserta diskusi di Paramadina yang dikelolanya untuk mendialogkan gagasan-gagasannya, Cak Nur juga dinilai oleh MD, seraya merujuk kepada pendapat Ridwan Saidi, sebagai menggeser substansi setiap pernyataan orang lain terhadap gagasan Cak Nur dan menggantinya menjadi persoalan personal orang dimaksud.cv Jadi, dari sisi model argumentasi yang diterapkan untuk pencitraan anti dialog di atas, repetisi adalah kata yang tepat digunakan untuk menggambarkan pencitraan MD terhadap JIL dan kelompok pemikir pembaru Islam terdahulu.

Berbagai respon beserta pencitraan di dalamnya yang dilakukan oleh MD terhadap JIL beserta para kontributornya di atas menemukan hasilnya, pada tataran tertentu, dalam mempengaruhi persepsi pembaca media tersebut terhadap JIL beserta para kontributornya. Persepsi pembaca yang semula positif terhadap figur intelektual tertentu bisa berubah menjadi negatif setelah yang bersangkutan membaca laporan MD tentang figur tersebut yang menjadi bagian dari JIL atau sekedar kontributornya. Sebagai contoh, Herman Siregar, salah seorang pembaca MD yang merupakan staf pengajar di salah satu pendidikan formal Islam di Bukittinggi, menegaskan pendapatnya dalam rubrik “surat pembaca” pada suatu edisi media tersebut bahwa kekaguman terhadap pemikiran Cak Nur dan kawan-kawan yang

(31)

semula ada pada dirinya hilang begitu saja setelah mengikuti ulasan MD tentang JIL pada dua edisi berurutan, Februari dan Maret 2002.cvi Surat pembaca lain ditulis oleh seorang Buldan Taufiq Fatah dari salah satu pesantren Sukabumi, Jawa Barat, dengan penegasan bahwa JIL mengingkari ketentuan atau aturan Allah SWT, dan diri yang bersangkutan menaruh rasa hormat dan apresiasi positif terhadap MD, yang dianggap telah berani melakukan perlawanan terhadap JIL dengan berbagai bantahan pemikiran secara tajam terhadap pemikiran pengingkaran kelompok Islam liberal tersebut atas aturan Allah SWT.cvii Dua pernyataan pembaca tersebut mengilustrasikan bahwa penyuaraan MD tentang JIL telah berhasil menanamkan pengaruhnya terhadap perubahan persepsi dan atau pemikiran pembacanya terhadap kelompok Islam liberal tersebut.

Penutup

Posisi JIL dan MD pada hakikatnya merupakan representasi atau bentuk miniatur dari gambar besar dua kecenderungan pola interpretasi pemikiran dan keberagamaan di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang sangat plural. Pembahasan akhir ini tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa pola interpretasi pemikiran dan keberagamaan Muslim Indonesia hanya memiliki dua pola tersebut, yakni liberalisme dan anti-liberalisme Islam, karena disadari bahwa pola keberagamaan Muslim di negara ini dalam kenyataannya memang sangat plural. JIL menggambarkan pola Islam Indonesia yang mencoba mempraktikkan pemikiran liberalisme untuk memaknai Islam di dalam konteks modernisasi kehidupan masyarakat Indonesia, sedangkan MD justru mengilustrasikan usaha yang melanjutkan pola pemikiran konservatisme atau anti-liberalisme Islam dalam kehidupan Muslim Indonesia dengan maksud agar pemikiran dan praktik Islam tidak mengalami pencemaran dari pemikiran atau ideologi lain, seperti sekularisme dan liberalisme yang di antaranya berkembang di Barat.

Gagasan yang diusung oleh JIL dianggap oleh MD bukan sesuatu yang baru, melainkan gagasan yang sebelumnya sudah pernah

(32)

dikembangkan oleh para pemikir Islam terdahulu. Meskipun begitu, gagasan-gagasan JIL tetap dinilai oleh MD sebagai mengkhawatirkan. Penilaian sebagai mengkhawatirkan ini selanjutnya tampak mendorong MD untuk melakukan sejumlah penggambaran yang cenderung negatif terhadap JIL dan sekaligus tidak menguntungkan keberadaan kelompok Islam liberal tersebut di tengah masyarakat Islam Indonesia. Sejumlah penggambaran terhadap JIL oleh MD yang cenderung negatif dimaksud tampak melapangkan munculnya sebuah pemahaman di kalangan pemerhati wacana Islam Indonesia bahwa antara kedua kutub pemikiran ini terdapat perseteruan yang cukup tinggi. Perseteruan itu tampak kerap menghiasi dialektika antara kedua kutub pemikiran Islam tersebut.

Perdebatan yang terjadi antara JIL dan MD seperti di atas menunjukkan daya tarik tertentu sebagai indikasi dari adanya perseteruan dua kutub pemikiran Islam Indonesia yang memiliki perbedaan mendasar. Hanya saja, yang cukup disayangkan adalah perdebatan itu tidak selalu berada pada tataran intelektual, akan tetapi tidak jarang menyeret salah satu pihak untuk keluar darinya dan menggantinya dengan perseteruan pada tataran kepentingan politik. Melihat secara dekat sejumlah respon MD terhadap JIL, tampak bahwa bergesernya perdebatan dari level intelektual ke level kepentingan politik seperti dimaksud cukup mengemuka. Akibatnya, stigmatisasi politis atau pengenaan cap negatif terhadap JIL kerap mewarnai berbagai laporan MD sehingga perdebatan cenderung tidak lagi produktif secara substansial bagi dinamika pemikiran Islam Indonesia.

Kalau pada awal tahun 1993 Ade Armando menyebut adanya “propaganda anti-Nurcholish” oleh MD dalam laporan media tersebut dalam mereaksi pemikiran pembaruan Islam Cak Nur sejak Desember 1992,cviii kini dengan berbagai pencitraan MD terhadap JIL seperti dijelaskan di muka, penegasan serupa bisa juga dikenakan, yakni adanya “propaganda anti-Islam liberal dan JIL” oleh MD. Sebagaimana terhadap Cak Nur dan para pemikir pembaru Islam lainnya yang kepada mereka ditanamkan kesan kebencian dan alasan atas kebencian itu,cix propaganda serupa tampak

(33)

dilakukan oleh MD terhadap JIL untuk membangun citra buruk terhadap kelompok Islam liberal tersebut dengan sekaligus mengkerangkai bangunan citra buruk itu dalam sebuah bingkai argumentasi tertentu yang menjadi justifikasinya.

Dari bingkai argumentasi yang mengiringi perseteruan JIL dan MD di atas, tampak bahwa perseteruan yang terjadi antara JIL dan MD dalam konteks pemikiran Islam Indonesia kontemporer tidak hanya sebatas pengulangan semata dari perseteruan serupa sebelumnya antara kelompok pemikir pembaru Islam dan MD. Perseteruan yang disebut pertama juga merupakan suatu pemajuan/peningkatan (advancement) dari perseteruan yang disebut terakhir. Munculnya proses advancement tersebut sangat mungkin terjadi akibat konteks sosial politik, dengan berbagai konsekuensinya, masa perseteruan JIL dan MD yang berbeda dengan atau berubah dari hal yang sama masa perseteruan pemikir pembaru Islam dan MD.

Catatan

i

Mengenai informasi detailnya lihat Howard M. Federspiel, “The Political and Social Language of Indonesian Muslims: The Case of Al-Muslimun,” Indonesia, no. 38 (October 1984), 55-73.

ii

Lebih lanjut lihat William R. Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia,” in Mark R. Woodward (ed.), Toward A New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996), 323-356. Tulisan Liddle ini sebelumnya pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia di jurnal Ulumul Qur’an. Lihat Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru,” Ulumul Qur’an, no. 3, vol. IV (Tahun 1993), 53-65.

iii

Lihat Ade Armando, “Citra Kaum Pembaru Islam dalam Propaganda Media Dakwah,” Ulumul Qur’an, no. 3, vol. IV (Tahun 1993), 66-76.

iv

Lihat Robert W. Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesian Muslims,” Indonesia, no. 64 (October 1997), 77-103.

v

Media Dakwah, no. 332 (Februari 2002). vi

(34)

vii

Dalam pandangan Khamami Zada, MD menganggap Islam liberal dan kelompok JIL sebagai lawan yang jelas untuk ditentang. Hal tersebut, menurutnya, terlihat jelas dari respon media tersebut terhadap berbagai pemikiran Islam liberal dan JIL yang didiseminasikan atau dipublikasikan di berbagai media, baik cetak, dengar maupun internet. Lihat Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), 97.

viii

Lihat di antaranya “Bahaya Islam Liberal (1),” Media Dakwah, no. 331 (Januari 2002), 33-8.; “Landasan Keropos Islam Liberal Membahayakan,” Media Dakwah, no. 332 (Februari 2002); Abduh Zulfidar Akaha, “JIL, Potensi No! Ancaman Yes! (Tanggapan atas Tulisan “JIL, Potensi atau Ancaman?”),” Media Dakwah, no. 340 (Oktober 2002), 28-30.

ix

Bandingkan dengan pencitraan MD terhadap Cak Nur, seperti dalam tulisan Armando, “Citra Kaum Pembaru Islam.”

x

Hefner, “Print Islam,” 89-90; idem., Civil Islam, Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2000),112.

xi

Lebih lanjut lihat Syamsul Bahri Isma’iel, “Islam Liberal: Menafsirkan Agama dengan Hermeneutika Barat,” Media Dakwah, no. 334 (April 2002), 25; Ceceng Rucita, “JIL dan Logika Iblis,” Media Dakwah, no. 336 (Juni 2002), 16-8.

xii

Isma’iel, “Islam Liberal: Menafsirkan Agama,” 25. xiii

Isma’iel, “Islam Liberal: Menafsirkan Agama,” 25; idem., “Statuta Hukum Nikah Lintas Agama: Belajar dari Kasus ke Kasus Serupa,” Media Dakwah, no. 341 (Nopember 2002), 30.

xiv

Rucita, “JIL dan Logika Iblis,” 17. xv

Lihat Ahmad Sahal, “Umar bin Khattab dan Islam Liberal,” Tempo, no. 5/XXXI (7 April 2002), 49. Tulisan Sahal ini kemudian diterbitkan ulang sebagai bagian dari bab buku terbitan JIL tentang Islam liberal Indonesia. Lihat Luthfi Assyaukanie (ed.), Wajah Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan Kayu, 2002), 4-8.

xvi

Lihat artikel “wawasan” oleh Rucita, “JIL dan Logika Iblis,” 17; juga laporan berjudul “Tokoh JIL Disuruh Tobat,” Media Dakwah, no. 342 (Desember 2002), 7. xvii

Rucita, “JIL dan Logika Iblis,” 17. Kasus pengedepanan rasionalitas dalam pemikiran JIL di atas diberikan gambaran negatif lebih lanjut oleh MD. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa JIL tidak hanya dicap oleh MD sama dengan logika iblis, tetapi juga serupa dengan logika Bani Israil, sebuah komunitas keagamaan yang digambarkan di dalam al-Qur’an (2:65) sebagai kelompok yang cukup banyak melakukan rasionalisasi terhadap ketentuan-ketentuan atau perintah-perintah Allah SWT sehingga kemudian dikutuk menjadi kera. Seperti tampak dalam salah satu surat pembaca yang dimuat di salah satu edisinya, MD mengidentifikasi pemikiran JIL dengan logika Bani Israil, seraya menegaskan bahwa pemikiran JIL yang menjunjung tinggi rasionalitas dalam memahami kententuan agama sulit dibedakan dengan logika Bani Israil yang selalu melakukan akal-akalan terhadap ketentuan Allah. Lihat surat Buldan Taufiq Fatah kepada MD, “Masih Soal JIL,” Media Dakwah, no. 337 (Juli 2002), 3. Dus, pola pengedepanan JIL terhadap rasio telah menjadi benih perseteruan MD terhadap kelompok Islam liberal tersebut dengan cap logika iblis yang dikenakan media tersebut kepada kelompok dimaksud.

(35)

xviii

Lihat “Mahasiswa IAIN Jakarta Agar Bertaubat,” Media Dakwah, no. 336 (Juni 2002), 11.

xix

“Landasan Keropos Islam Liberal.” xx

Lihat wacana “prinsip kebebasan pribadi” pemikiran JIL tersebut dalam: “Tentang Jaringan Islam Liberal,” Jaringan Islam Liberal Online: http://www.islamlib.com/REDAKSI/tentang.html (Diakses 21 December 2002). xxi

Al-Qur’an 16:43 dimaksud adalah: “… Fa Is’alu ahl al-dzikr in kuntum la ta`lamun (…Maka bertanyalah kepada ahl al-dzikr (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui).” Adapun dua Hadits Nabi di atas adalah: pertama, Hadits yang menegaskan pentingnya penyandaran kepada orang yang ahli dibidangnya: “Idza Wussida al-amr ila ghairi ahlihi fa intadlir al-sa’ah (Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya)”, dan kedua, Hadits yang menjelaskan etika Nabi ketika ditanya Jibril tentang kategorisasi Islam, Iman dan Ihsan: “Ma al-mas’ul `anha bi a`lam min al-sa’il (Tidaklah orang yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya)”. Lihat “Landasan Keropos Islam Liberal,” 18.

xxii

“Landasan Keropos Islam Liberal,” 20; “Kewajiban Menerapkan Syari’at Islam, Membincang Kontroversi Islam Liberal,” Media Dakwah, no. 336 (Juni 2002), 35. xxiii

Lihat Armando, “Citra Kaum Pembaru Islam.” xxiv

Bahkan untuk kepentingan pencitraan ini, MD mendaftar sejumlah poin pemikiran para aktivis dan kontributor JIL serta mengomentarinya. Lihat “Ucapan-Ucapan Destruktif Para Tokoh Liberal dan Pendukungnya,” Media Dakwah, no. 332 (Februari 2002), 15-6; “Landasan Keropos Islam Liberal,” 19-20; “Bahaya Islam Liberal (1),” 37-8; “Bahaya Islam Liberal (3): (Lanjutan Edisi Februari 2002M),” Media Dakwah, no. 333 (Maret 2002), 33-8; “Kewajiban Menerapkan Syari’at Islam,” 34-9.

xxv

Lihat Akaha, “JIL, Potensi No! Ancaman Yes!,” 30. xxvi

Dikutip dalam: “Penayangan Maya Islam Liberal,” Majalah PANTAU Online, Tahun II Nomor 021 - Januari 2002: http://www.pantau.or.id/txt/21/03.html (Diakses 10 Desember 2002).

xxvii

“Islam Liberal dan Misinya,” Media Dakwah, no. 332 (Februari 2002), 14. xxviii

“Islam Liberal dan Misinya,” 14. xxix

Isi pidato pemikiran Cak Nur di TIM yang dijadikan data pendukung MD tersebut dikutip oleh media tersebut di antaranya sebagaimana poin berikut: “…..Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih berbahaya daripada yang pertama … Sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman kepada kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak kurang gawatnya.” Lihat “Islam Liberal dan Misinya,” 14.

xxx

“Islam Liberal dan Misinya,” 14. xxxi

Penting untuk dicatat bahwa slogan “Menuju Islam Yang Membebaskan” tersebut merupakan slogan yang digunakan oleh JIL, seperti tampak pada website-nya, sejak pertama kali kelompok penyokong liberalisme Islam tersebut dideklarasikan. Namun, slogan JIL tersebut tampak berubah sejak minggu ketiga

Referensi

Dokumen terkait

yang diukur dengan frekuensi perdagangan saham Setelah peristiwa stock split yang membuat harga saham menjadi lebih rendah, ternyata perusahaan yang mengalami kenaikan

Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti dalam menerapkan strategi City Branding di Kota Surakarta terdapat beberapa subdranding yang diusung. Sub-brand

Dengan begitu dalam tugas akhir ini akan dijelaskan tentang risiko yang terjadi dalam sistem reaktor beserta tingkat keamanan dari reaktor tersebut.. 1.2

Menurut para ulama, makna kedua hadits ini bukan berarti semua perkara yang baru adalah urusan agama tergolong bid‟ah, karena mungkin ada perkara baru dalam

Kamu pasti tahu bahwa setiap organisasi mem- punyai anggota, karena organisasi dibentuk oleh anggota-anggotanya. Anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang

(Make sure to notice He uses Scripture. You could ask ‘Why do you think He used God’s Word to respond to temptation?”) What are some things that we can learn about temptation

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat rahmat serta kehendak-Nya sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ PENGARUH RASIO LIKUIDITAS, KUALITAS ASET,

Dalam studi pendahuluan pada 28 Desember 2008 tentang faktor- faktor yang mempengaruhi alasan pasien dalam pemilihan pelayanan terhadap 10 pasien yang periksa di Instalasi