• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIPRAH WAHYU SUBIYANTORO DALAM PENGEMBANGAN TEKNIK PEMBUATAN MOTIF BATIK PAMEKASAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KIPRAH WAHYU SUBIYANTORO DALAM PENGEMBANGAN TEKNIK PEMBUATAN MOTIF BATIK PAMEKASAN."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN MOTIF BATIK PAMEKASAN

Satria Wicaksana

1

, Asy Syams Elya Ahmad

2

1

Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya

email: satria.wicaksana17@gmail.com

2

Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya

email: asyahmad@unesa.ac.id

Abstrak

Kebutuhan pasar terhadap batik Pamekasan yang kian dinamis menuntut perajin untuk menciptakan motif-motif baru. Kreativitas dan eksplorasi visual diperlukan perajin dalam membuat desain motif. Mayoritas perajin batik di Pamekasan bersandar pada pewarisan tradisi membatik yang berbasis keluarga dan terpaku pada kebiasaan dan pola visual yang sudah ada. Fokus penelitian ini adalah menggali kiprah Wahyu Subiyantoro dalam mengembangkan teknik pembuatan motif batik melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh Disperindag Pamekasan tahun 2017. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini meliputi: (1) Metode pembuatan motif batik yang diajarkan oleh Wahyu Subiyantoro; (2) Perkembangan desain batik yang dihasilkan perajin batik setelah mengikuti pelatihan; (3) Dampak eksternal dan internal terhadap perkembangan batik Pamekasan. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi keterlibatan langsung. Proses penelitian dalam artikel ini dilakukan pada kurun waktu 2017. Secara spesifik lokasi penelitian terfokus pada lokasi pelatihan yaitu di Kantor Disperindag Pamekasan, serta saat proses monitoring dan evaluasi dilakukan di Dusun Toket, Dusun Podhek, dan Pasar 17 Agustus Pamekasan sebagai representasi dari pusat industri kecil dan menengah. Metode yang diajarkan oleh Wahyu Subiyantoro antara lain menjiplak (outlining), repetisi, pencerminan (mirorring), dan struktur Grid. Motif-motif baru yang dihasilkan menunjukkan konsep kontemporer namun tetap berdasar pada kearifan lokal. Peningkatan keragaman dan visualisasi desain motif batik yang sesuai dengan kaidah estetis dan mampu menarik pasar baik lokal maupun internasional.

Kata Kunci: Batik Pamekasan, Motif Batik, Wahyu Subiyantoro, Desain Batik, Batik Kontemporer

Abstract

The market demand for batik Pamekasan is increasing the dynamic crafters to create a newer motif. Creativity and visual exploration is a necessary craftsman design motif. The majority of batik artisans in Pamekasan learned on the inheritance of the tradition of batik-based families and glued on the habits and visual patterns that already exist. The focus of this research is to explore the carriage Wahyu Subiyantoro in developing the technique of making batik through training programs organized by the Department of Industry and commerce Pamekasan in 2017. The problem discussed in this research includes: (1) the Method of making batik motif taught by Wahyu Subiyantoro; (2) the buildout of the design of the batik produced batik artisans after training; (3) the Impact of external and internal to the development of batik Pamekasan. Research using qualitative methods with data collection techniques through observation, direct involvement. The process of the research in this article was due during the period 2017. For site-specific research focused on the location of the training in the Office of Department Industry and commerce Pamekasan, as well as during the process of monitoring and evaluation conducted in the Toket Hamlet, Podhek Hamlet, and the Market August 17, Pamekasan as a representation of a small and medium industry. The methods taught by Wahyu Subiyantoro, among others outlining, repetitions, mirroring, and the structure of the Grid. The new motifs were produced to show the concept of contemporary but still based on local wisdom. An increase to the diversity and visualization of motif batik design by following the rules aesthetic pleasing and being able to attract the market locally and internationally.

(2)

PENDAHULUAN

Pulau Madura menurut data BPS tahun 2019 terletak di sebelah utara pulau jawa dan memiliki ±3,9 juta penduduk yang terbagi dalam 4 wilayah yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Madura tidak hanya identik dengan karapan sapi, petis dan juga garamnya. Madura juga memiliki teknik keterampilan membatik yang diajarkan secara turun temurun. Batik Madura diidentikkan memiliki karakter warna yang kuat dan mencolok. Pembangunan Jembatan Suramadu pada tahun 2009 yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura memudahkan perajin batik dalam mengenalkan produknya melalui pameran serta bekerjasama dengan UKM yang ada di Kota Surabaya. Serta memenuhi kebutuhan pasar setelah UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia dengan istilah “Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi” (Masterpieces of The Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 2 Oktober 2009. Pemerintah Provinsi Jawa Timur mewajibkan batik sebagai seragam yang digunakan dalam instansi baik negeri maupun swasta. Hal ini berimbas juga pada meningkatnya permintaan pasar terhadap kain batik Madura.

Sesuai dengan SK Penetapan Badan Standardisasi Nasional nomor SNI 0239:2014 dijelaskan bahwa batik adalah kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat lilin batik berupa canting tulis dan atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang memiliki makna. Jenis batik ada tiga yaitu : batik tulis, batik cap, batik kombinasi (tulis dan cap), diantara ketiga jenis batik tersebut batik tulis lebih memiliki nilai eksklusif dikarenakan pembuatanya membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih memiliki nilai seni.

Kekuatan batik terletak pada motif yang menarik yang berkaitan dengan tempat motif tersebut berkembang. Goresan canting dan gerak tangan pembatik juga melibatkan pikiran dan hatinya (Sastrodiwirjo, 2012: 48). Menurut Vanderhoop (1949) motif batik terbagi menjadi 2 macam yaitu geometris dan non geometris. Motif geometris memiliki presisi gambar dan kerapian yang terukur. Sedangkan motif non geometris

lebih bebas seperti gambar hewan, tumbuhan yang menginterpretasi kehidupan yang “semi” (tumbuh). Rouffaer dan Juynboll (1914) membagi pola non geometris menjadi beberapa macam, diantaranya: (1) Pola yang terdiri dari kuncup, daun dan bunga; (2) Pola yang terdiri dari kuncup, daun dan bunga yang dikombinasikan dengan motif hewan; (3) Pola yang terdiri dari kombinasi hewan dan tumbuhan serta ditambah dengan motif sayap (Lar).

Kabupaten Pamekasan dicanangkan sebagai Kabupaten Batik pertama di Indonesia oleh Gubernur Jawa Timur Dr. Soekarwo pada tanggal 24 Juni 2009. Djoemena (1986) menyatakan di Madura ada dua pusat perbatikan yakni yang pertama di Bangkalan (Tanjung Bumi) dan yang kedua di Sampang dan Pamekasan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Pamekasan tahun 2015 industri batik Pamekasan berkembang di sebelas kecamatan. Anshori dan Kusrianto (2011) mengatakan bahwa perajin batik Pamekasan berskala industri rumahan telah berkembang hingga jumlahnya mencapai 6000 orang.

Sastrodiwirjo (2012) dalam Anshori dan Kusrianto (2011) memaparkan bahwa batik Pamekasan dibedakan menjadi 2 jenis motif yaitu tradisional dan kontemporer. Beberapa nama motif batik Pamekasan yang terkenal antara lain fajar menyingsing, serat kayu, mok ramok, sekoh, bulu ajem, per keper, kar pote, sekarjagad, tumpal po’ónan, dan lain-lain. Motif batik Pamekasan umumnya mengeksplorasi flora, dan fauna spesifik seperti kupu-kupu, burung, dan ayam. Karakter isen-isen khas batik Pamekasan antara lain mata keteran, okel, tongcentong, beras tumpah, cecek pitu, cecek telu, rang kerang, beng geddhung. Sentra perbatikan di Pamekasan antara lain Klampar, Toket, Podhek, Kowel, Candi Burung, Larangan Gadung, Galis, Larangan Slampar, Toronan, Gladak Anyar, Nylabu Daja, dan lain-lain.

Banyaknya jumlah industri batik di Pamekasan tidak diiringi dengan perkembangan keragaman motif. Pasar menjadi jenuh karena stagnasi motif yang ada. Motif yang dibuat nampak homogen dan mengulang-ulang motif tradisi yang sudah ada. Selain itu kebanyakan batik Pamekasan dibuat dengan format kain panjang dan sarung dengan motif yang tidak

(3)

terpola atau terstruktur untuk busana, sehingga menimbulkan kendala saat akan digunakan dalam membuat pola busana seperti kemeja karena motif yang dibuat kurang presisi.

Saat ini, perkembangan dan kebutuhan batik semakin beragam. Khalayak masa kini jenuh mengenakan batik dengan motif tradisional karena dianggap terlalu tua. Kebutuhan batik kreasi baru mengikuti perubahan kebudayaan. Seperti yang diungkapkan bahwa kebudayaan adalah sebuah produk manusia yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu (Endraswara, 2006: 24). Penciptaan motif-motif baru merupakan upaya agar seni lebih hidup, alamiah, berfaedah, dan menjadi sebuah realitas kehidupan dalam seantero spektrum masyarakat.

Nurcahyanti dan Affanti (2018) dalam Bastomi (2012) menjelaskan bahwa pengembangan desain motif batik masa kini dengan basis kekuatan kearifan lokal bisa disebut sebagai batik kontemporer. Desain batik yang dikembangkan dengan konsep kontemporer mendobrak batasan-batasan (pakem). Kebaruan kreasi muncul melalui serangkaian tahap perancangan dengan tujuan memenuhi selera masyarakat, penikmat, dan konsumen. Produk yang dihasilkan melibatkan serangkaian pertimbangan, proses, kebutuhan, tren, selera, dan material yang digunakan. Unsur kreasi baru dalam batik kontemporer bervariasi dengan sifat imitatif, ekspresif, figuratif, bahkan abstrak.

Perkembangan batik kontemporer dimulai sejak 1967 dan mendapat sambutan masyarakat pada 1970. Beberapa jenis dalam batik modern ini antara lain (1) gaya abstrak minimalis, (2) gaya gabungan, (3) gaya lukisan, (4) gaya khusus cerita lama, bergantung seniman yang mengembangkan (Susanto, 1980: 15). Batik kontemporer dapat meningkatkan minat khalayak masa kini untuk kebutuhan fashion sehari-hari (Kompas, 2 Juli 2017).

Persaingan pasar batik Pamekasan yang cukup ketat dan tidak sehat menyebabkan banyak pembatik gulung tikar. Mereka fokus mengejar pelanggan dengan memberikan harga produknya di bawah harga pasaran tanpa mempertimbangkan prosentase keuntungan sehingga tidak bisa memproduksi lagi produk dengan jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar saat permintaan sedang tinggi.

Di sisi lain fenomena “jor-joran” harga murah juga lambat laun berimbas pada surutnya peminatan batik Pamekasan kualitas premium.

Sutopo (2013) mengatakan bahwa industri batik di Pamekasan membentuk struktur sosial atau hierarki dalam industri batik yaitu lapisan atas (buyer/pengusaha besar), lapisan menengah (pengusaha industri kecil rumahan), lapisan bawah (buruh batik). Hierarki ini mengisyaratkan relasi yang tidak seimbang. Terjadi relasi dominasi-subordinasi antar aktor sosial sehingga menciptakan kekuasaan dan kesenjangan sosial. Permasalahan yang diuraikan oleh Sutopo ini turut memberikan dampak pada lemahnya daya kreatif perajin kecil dan buruh batik.

Kebutuhan pasar yang kian dinamis menuntut perajin untuk menciptakan motif-motif baru. Kreativitas dan eksplorasi visual diperlukan perajin dalam membuat desain motif. Mayoritas perajin batik di Pamekasan bersandar pada pewarisan tradisi membatik yang berbasis keluarga dan terpaku pada kebiasaan dan pola visual yang sudah ada.

Adapun motif yang dipasarkan merupakan hasil duplikasi atau turunan motif dari produk batik kualitas premium ataupun motif yang sedang populer di pasaran. Tidak ada variasi desain yang dikembangkan oleh para perajin. Perajin batik di Pamekasan berkembang secara otodidak dan natural, mereka memiliki keahlian khusus dalam pewarnaan dan juga ahli dalam menduplikasi motif. Pada dasarnya pembatik di Pamekasan memiliki daya kreatif yang bisa lebih diberdayakan.

Berangkat dari latar belakang dan permasalahan di atas, pada tahun 2017 Disperindag Kabupaten Pamekasan menggaet desainer dan kolektor batik Wahyu Subiyantoro untuk mengadakan pelatihan pembuatan motif batik dengan peserta 200 orang perajin batik. Wahyu Subiyantoro dipercaya untuk memberikan pelatihan karena sejak tahun 2005 dia sudah begitu mengakrabi para perajin di sana selaku seorang kolektor batik. Pada perkembangannya, Wahyu yang memiliki latar belakang pendidikan arsitektur, bisnis, dan fashion, terbentuk relasi sinergis dengan para perajin untuk mengembangkan batik Pamekasan. Secara kekeluargaan dan non formal, dia banyak

(4)

memberikan masukan terkait motif dan pemasaran.

Fokus penelitian ini adalah menggali kiprah Wahyu Subiyantoro dalam mengembangkan teknik pembuatan motif batik melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh Disperindag Pamekasan tahun 2017. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini meliputi: (1) Metode pembuatan motif batik yang diajarkan oleh Wahyu Subiyantoro; (2) Perkembangan desain batik yang dihasilkan perajin batik setelah mengikuti pelatihan; (3) Dampak eksternal dan internal terhadap perkembangan batik Pamekasan.

Melalui pelatihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kreativitas perajin batik dalam pembuatan motif baru. Pasca pelatihan diadakan pendampingan serta evaluasi kepada perajin sehingga perbendaharaan motif batik Pamekasan menjadi lebih beragam dan meningkatkan kemampuan membuat desain motif serta mendorong hadirnya konsumen baru maupun kolektor batik untuk kembali membeli produk mereka karena adanya variasi motif baru di setiap produk yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi keterlibatan langsung. Peneliti berada dalam tingkat keterlibatan tertentu dalam hubungannya dengan pelaku yang diteliti saat program pelatihan. Proses penelitian dalam artikel ini dilakukan pada kurun waktu 2017. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan alat bantu perekam handphone dan catatan lapangan. Informan dalam penelitian diperoleh secara purposive, peneliti menggunakan jaringan sosial yang telah dibangun sebelumnya. Secara spesifik lokasi penelitian terfokus pada lokasi pelatihan yaitu di Kantor Disperindag Pamekasan, serta saat proses monitoring dan evaluasi dilakukan di Dusun Toket, Dusun Podhek, dan Pasar 17 Agustus Pamekasan sebagai representasi dari pusat industri kecil dan menengah.

Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam

penelitian ini adalah informan atau narasumber yakni Wahyu Subiyantoro, para perajin peserta pelatihan, pakar batik, dan pejabat dinas terkait. Sumber data sekunder berupa dokumentasi foto hasil pelatihan, produk batik, buku dan jurnal, serta referensi yang relevan. Data yang telah terkumpul diuji keabsahannya menggunakan teknik triangulasi data. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif analitik.

Sampel purposive yang digunakan dalam analisis di artikel penelitian ini diantaranya tujuh orang perwakilan perajin batik yang telah mengikuti pelatihan yaitu (1) Marjennatul A’la, (2) Muhammad Mahdlun RJ, (3) Hadi, (4) Rahmad Hidayat, (5) Rahman Hakim, (6) Abd. Basid, (7) Khairul Bariyah.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini tersaji pada bagan berikut:

Bagan 1. Kerangka Pemikiran KERANGKA TEORETIK

a. Penelitian Sebelumnya

Penelitian Yosi Wulandari, Mahasiswi FIP, Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2017 dengan judul “Upaya Pengembangan Pengrajin Batik Di Desa Wisata Batik Gulurejo Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo”. Penelitian tersebut membahas cara pengembangan motif batik menggunakan pola yang dijiplak untuk memudahkan pembuatan dalam kain namun tidak meningkatkan kreativitas perajin. Pelatihan dari Disperindag setempat kurang efektif karena waktu pelatihan yang singkat. Masih ada peserta pelatihan yang belum terbiasa dalam proses mencanting. Untuk meningkatkan kualitas peserta harus melalui tiga tahap yaitu pelatihan (training), pendidikan (education), dan

(5)

pengembangan (development). Peneliti melihat ada tahapan yang sama dengan pola pengembangan tiga tahap yang dilakukan oleh Wahyu Subiyantoro sehingga materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh perajin karena dibimbing mulai awal hingga evaluasi.

Penelitian Desy Nurcahyanti dan Tiwi Bina Affanti, Dosen Universitas Negeri Solo, yang dimuat pada Jurnal Sosioteknologi volume 17, no 3, Desember 2018 dengan judul “Pengembangan Desain Batik Kontemporer Berbasis Daerah Dan Kearifan Lokal” halaman 397 – 398. Pembahasan yang dikutip dari penelitian ini tentang animo masyarakat yang besar mengenai kebaruan desain batik. Masyarakat jenuh dengan motif lama atau klasik. Sebelumnya desain dipengaruhi oleh masyarakat dan tren. Saat ini konsumen dapat diarahkan untuk menyukai produk yang dipasarkan secara gencar. Begitu pula desain batik kontemporer. Desain kontemporer yang dimaksud dalam penelitian tersebut lebih mengarah pada pengembangan motif daerah masing masing. Bedanya motif kontemporer yang dibuat Wahyu tidak hanya membatasi motif daerah tertentu. Dalam hal ini peneliti mengambil sampel Batik Signature Series karya Wahyu Subiyantoro yang dikenal hingga Brisbane Club Australia dan mendapat apresiasi yang baik dari anggota club dan masyarakat setempat.

b. Teori Fungsi

Papanek (1984) dalam Hendriyana (2018) memaparkan teori fungsi sebagai berikut: (1) Need. Karya desain merupakan jawaban dari sebuah kebutuhan. Desainer harus memiliki kepekaan yang tajam untuk memilah apa yang menjadi kebutuhan konsumen dan kemungkinannya untuk menjadi tren di masanya; (2) Association. Kemampuan mengabstraksi gagasan ke dalam bentuk yang tangible; (3) Telesis. Pemahaman fungsi yang mengubah desain dari sesuatu yang sifatnya personal menjadi produk dalam dimensi sosial budaya; (4) Method. Desain sangat dipengaruhi oleh penguasaan alat, pemahaman material, dan proses pembuatan hingga menghasilkan produk yang berkualitas; (5) Aesthetics. Desain harus dapat memadukan kaidah estetis, unsur dan

prinsip desain dalam perwujudannya; (6) Use. Fungsi praktis dari sebuah karya desain. Seorang desainer harus mempertimbangkan user dan objek dari kegunaan desain tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wahyu Subiyantoro lahir pada tanggal 10 Februari 1973. Beliau menempuh pendidikan formal di Universitas Kristen Petra jurusan arsitektur pada tahun 1992 – 1997 , Program Magister Manajemen di Prasetya Mulya Bussiness School tahun 2001 – 2003 dan pendidikan non formal pada LPTB Susan Budiharjo dalam bidang fashion di tahun 2015 – 2016.

Wahyu Subiyantoro memulai kariernya sebagai Regional Merchandise Officer PT Panamas ( Sales Division PT. HM Sampoerna, Tbk ) di Bandung tahun 2001 – 2002. Selanjutnya Regional Sales Analyst Officer PT Panamas ( Sales Division PT. HM Sampoerna, Tbk ) di Jakarta tahun 2002 – 2005. Area Sales Manager for Madura Region PT HM Sampoerna Tbk. tahun 2005 – 2011 yang menjadi awal mula beliau menjadi kolektor batik Pamekasan dan mengenal perajin batik disana. Kembali ke Surabaya pada 2011 – 2012 sebagai National Key Account Manager PT HM Sampoerna Tbk. dan menjadi Konsultan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pamekasan sejak 2016 - sekarang.

Gambar 1 . Foto diri Wahyu Subiyantoro (Sumber: Facebook Wahyu Subiyantoro).

Tahun 2008 awalnya Wahyu Subiyantoro menjadi kolektor batik Pamekasan, beliau intens berdiskusi dengan Rusdy Bawazier dan Rizki untuk mengembangkan batik Pamekasan. Tahun

(6)

2012 Wahyu mendirikan The Pasongsongan Premium dan menjadi desainer batik karena selaras dengan pekerjaan sebelumnya yaitu bidang Creative Design. Batik menjadi produk potensial yang bisa dikembangkan, merujuk pada data BPS tahun 2015 yang menempatkan batik sebagai industri terbesar kedua di Pamekasan setelah kerajinan anyaman bambu. The Pasongsongan Premium awal mulanya membeli produk terbaik di pasar 17 Agustus untuk di rebranding dan dijual kembali sehingga semakin dikenal oleh para perajin serta dapat memetakan potensi dan karakter masing masing perajin.

Batik Pamekasan memiliki 2 segmen pasar, yakni segmen batik tulis dengan harga yang terjangkau dan dijual secara komersial di pasar 17 Agustus dan segmen batik halusan yang dikoleksi oleh para kolektor karena harga yang tinggi dengan kualitas kain dan motif yang sangat baik misalnya batik dari dusun Podhek. Jumlah desainer batik di Pamekasan terbatas sehingga mengalami fase motif yang stagnan dan homogen. Perajin juga memiliki pekerjaan sambilan selain membatik, pada musim tembakau mereka akan beramai ramai membuat anyaman sebagai tempat penyimpanan tembakau untuk diangkut ke daerah-daerah dan juga bertani karena memprioritaskan pendapatan yang bisa didapatkan dengan lebih cepat dan lebih banyak daripada membatik. Peluang batik Pamekasan cukup besar. Menurut Lintu Tulistyantoro kemampuan perajin Pamekasan dalam mengaplikasikan teknik dan motif yang baru dipelajari sangat cepat diterima. Namun kurang dimanfaatkan dengan baik. Diperlukan pelatihan dan pendampingan secara khusus bagi perajin dalam pengembangan dan pembuatan motif yang lebih bervariasi. Pemkab Pamekasan khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan bekerja sama dengan Desainer Wahyu Subiyantoro untuk melakukan pelatihan teknik pembuatan motif agar meningkatkan potensi kreatif perajin batik Pamekasan.

Wahyu menggunakan pendekatan scientific dan riset dalam pembuatan sebuah motif karena latar belakang pendidikan formalnya adalah arsitektur yang kental dengan eksakta (ilmu pasti). Wahyu terbiasa merencanakan dari awal semua komponen desain termasuk komposisi desain berdasar luasan kain.

Pada bulan Mei 2017, Disperindag mengadakan pelatihan teknik pembuatan motif dalam desain batik kepada 200 perajin se-Kabupaten Pamekasan. Pelatihan tersebut dilakukan selama 1 hari. Materi pelatihan tersebut diantaranya komposisi motif, lapis dimensi dalam desain, tren motif batik terbaru dan fungsi batik yang sering digunakan dalam masyarakat termasuk pembuatan pola baju untuk laki-laki dan perempuan. Kendala dalam pelatihan ini, perajin tidak bisa membuat motif karena sudah terbiasa mengikuti motif yang sudah ada dan membuat motif tanpa membuat pola terlebih dahulu.

Gambar 2. Suasana pelatihan (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Teknik awal yang diajarkan dalam pelatihan ini adalah menjiplak atau meniru desain yang sudah disiapkan oleh narasumber. Motif yang diberikan tidak harus motif khas Pamekasan agar kreativitas perajin lebih terbuka. Setelah itu diberikan kesempatan untuk mengembangkan desain dari pola utama diantaranya motif biota laut serta menambahkan isen-isen yang linear pada motif batik yang dibuat.

Gambar 3. Menjiplak Motif (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

(7)

Gambar 4 . Motif yang sudah dijiplak (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Setelah para peserta diasah kemampuan menggambar bentuk melalui metode menjiplak, selanjutnya peserta diajarkan teknik repetisi atau pengulangan bentuk. Teknik ini dibuat dengan mempertimbangkan komposisi bentuk motif. Teknik ini termasuk yang disukai oleh perajin dalam menciptakan motif baru, karena mereka cukup membuat satu bentuk gambar (motif utama) yang kemudian bisa disalin berulang pada kain dengan mengubah posisi/arah gambarnya saja.

  Gambar 5 . Pola pengulangan motif

(Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Gambar 6 . Contoh hasil repetisi motif (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Gambar 7 . Motif Lobster yang akan direpetisi (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Gambar 8 . Menyalin desain pada kain. (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Saat pelatihan, motif yang sudah dibuat dikerjakan secara berkelompok (dua orang) agar lebih cepat dalam pengerjaan dan saling mengoreksi satu sama lain untuk meminimalisasi kemungkinan salah gambar atau salah pola. Pembuatan isen-isen, perajin mempertimbangkan konsep yang sesuai dengan motif utama. Penggunaan garis bantu yang dibentuk menjadi sebuah grid atau pola jaring akan memudahkan dalam proses memberikan isen-isen. Garis bantu menjadi struktur yang membuat keteraturan pada

(8)

desain. Grid bisa berupa garis yang dibuat secara vertikal dan horizontal dan membentuk persegi maupun garis yang dibuat secara diagonal.

Gambar 9 . Contoh Grid dan hasilnya (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Teknik berikutnya yang diajarkan adalah pencerminan (mirroring), teknik ini menitik beratkan tentang keseimbangan motif antara kanan-kiri, atau atas-bawah. Perajin menjiplak gambar contoh dengan posisi sebaliknya di atas kertas lain, kemudian disalin di atas kain. Pencerminan menghasilkan desain motif lebih presisi dan simetris.

Gambar 10. Pola mirroring (pencerminan). (Sumber: koleksi Tedjo Darmanto, ITB).

Gambar 11. Pola yang digambar pada kain. (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Pada penutupan kegiatan pelatihan membuat motif, perajin harus sudah menyelesaikan desain di atas kain untuk selanjutnya dibawa pulang dan dicanting serta diberi pewarnaan sesuai dengan tema awal. Satu bulan setelah pelatihan, narasumber dan tim dari Disperindag Pamekasan melakukan kunjungan ke desa perajin yang berpartisipasi guna melakukan evaluasi karya.

Gambar 12. Evaluasi hasil pelatihan (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro)

Karya yang telah dievaluasi bersama menjadi bahan masukan dalam pembuatan motif selanjutnya. Perajin memiliki pengetahuan baru untuk mengembangkan motif sehingga tidak lagi monoton. Selain itu proses monitoring dan evaluasi karya membawa dampak meningkatnya daya tarik konsumen terbukti dari hasil produk batik motif baru laku terjual lebih dahulu sebelum evaluasi dilaksanakan.

Gambar 13. Hasil Pewarnaan. (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).

Tidak semua perajin menyelesaikan batik yang dibuat dengan beberapa alasan seperti kesibukan kegiatan di ladang, kegiatan di kampung, kegiatan hari besar dan lain sebagainya. Materi pelatihan secara umum tersampaikan dengan baik, dan bisa diadaptasi sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing perajin. Pendampingan dan diskusi secara non formal terus dilakukan di luar kegiatan pelatihan. Perajin sering berkonsultasi secara langsung maupun via aplikasi whatsapp untuk meminta masukan terhadap motif baru yang dibuat. Berikut ini beberapa sampel karya perajin yang mengikuti pelatihan:

(9)

a. Karya Marjennatul A’la

Marjennatul A’la memiliki usaha batik Barokah Ramadhani dengan alamat Dusun Toket, Desa Congkak, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. Beliau mengatakan bahwa pembuatan motif baru adalah sebuah tantangan dan harus bisa terselesaikan. Materi pelatihan yang disampaikan dapat diterima dengan mudah. Tidak hanya membuat jarik (kain panjang) namun juga diberikan teknik pembuatan motif batik untuk pola baju. Setelah diberi contoh awal langsung diterapkan pada kain sesuai dengan pola baju yang dibuat. Marjennatul A’la mengaku setelah mengikuti pelatihan pembuatan motif, omset dari usahanya meningkat dari 30 persen menjadi 60 persen.

Gambar 14. Produk sebelum pelatihan. (Sumber: Koleksi Marjennatul A’la)

Gambar 15. Karya sesudah pelatihan teknik repetisi. (Sumber: Koleksi Marjennatul A’la) b. Karya Muhammad Mahdlun RJ

Mahdlun adalah pemilik usaha Mahdlun Batik Bedhug Pamekasan dari Dusun Timur Gunung, Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan. Mahdlun pernah mengalami fase motif yang dibuat diulang-ulang tanpa variasi baruvsehingga jumlah pembeli menurun. Solusi yang dicoba untuk mengatasi hal tersebut adalah melihat referensi dari internet dan menggabungkan motifnya untuk membuat kreasi baru. Saat pelatihan, Mahdlun tertarik mempelajari tentang motif kontemporer dan gaya skandinavian. Motif tersebut lebih rumit dalam pembuatannya, namun memiliki nilai jual yang jauh lebih tinggi. Permintaan pasar terhadap motif baru yang diciptakan Mahdlun meningkat pesat. Motif baru kreasinya masuk nominasi sepuluh besar pada lomba desain batik tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 2018.

Gambar 16. Produk sebelum pelatihan. (Sumber: koleksi Mahdlun Batik Bedhug Pamekasan)

(10)

Gambar 17. Karya sesudah pelatihan teknik mirroring. (Sumber: koleksi Mahdlun Batik Bedhug Pamekasan) c. Karya Hadi

Hadi merupakan perajin dari Dusun Podhek, Desa Rang Perang Daya, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan dengan nama usaha Hadi Motif. Hadi membuat variasi motif dengan melihat referensi dari buku dan berdiskusi dengan perajin lain. Saat pelatihan di tahun 2017 Hadi fokus mempelajari tentang penempatan pola motif batik sehingga variasi motif baru yang dibuat lebih menarik dan terkonsep dengan baik. Peningkatan omset penjualan batik mencapai 40 persen. Lomba yang diikuti setelah pendampingan adalah Lomba Desain Batik Jawa Timur tahun 2017 sebagai Juara 1 dan Lomba Selendang Adiwastra Nusantara tahun 2018.

Gambar 18. Produk sebelum pelatihan. (Sumber: koleksi Hadi)

Gambar 19. Karya sesudah pelatihan teknik grid (latar belakang motif utama) dan mirroring.

(Sumber: koleksi Hadi) d. Karya Rahmad Hidayat

Rahmad Hidayat memiliki usaha Rose Batik dari Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan. Rahmad sering kesulitan mencari motif baru dan membuat reborn atau pembaruan dari motif batik lawasan dan memodifikasi warna batik. Rahmad lebih fokus mempelajari pola batik untuk baju, rok, dan batik yang digunakan sebagai hiasan interior seperti taplak meja dan hiasan dinding. Presisi dalam pembuatan motif dipelajari dari teknik melipat kain. Peningkatan omset setelah pelatihan berkisar antara 10 – 25 persen. Namun pengerjaan batik menjadi lebih lama karena motif kontemporer yang dibuat lebih rumit dan detail. Ia mengikuti lomba desain batik tingkat Kabupaten Pamekasan tahun 2018 dan terpilih sebagai juara harapan 2.

(11)

Gambar 20. Produk sebelum pelatihan. (Sumber: koleksi Rahmad Hidayat)

Gambar 21. Karya sesudah pelatihan teknik repetisi. (Sumber: koleksi Rahmad Hidayat) e. Karya Rohman Hakim

Rohman Hakim bersama Rahmad Hidayat mengembangkan UD Rose batik. Dalam pembuatan motif belum ada kendala. Pelatihan yang diikuti berfokus pada pembuatan motif yang sedang diminati pasar seperti pengembangan isen sekar jagad, mata keteran dan lain sebagainya. Omset yang didapatkan kisaran 25 sampai 35 persen. Memberanikan diri mengikuti lomba desain batik tingkat provinsi tahun 2016 dan

2017 dan lolos sebagai 5 besar. Tahun 2019 lomba desain batik tingkat Kabupaten Pamekasan kategori Pelajar / Mahasiswa sebagai juara 1.

Gambar 22. Produk sebelum pelatihan. (Sumber: koleksi Rohman Hakim)

Gambar 23. Karya sesudah pelatihan teknik mirorring. (Sumber: koleksi Rohman Hakim)

(12)

g. Karya Abd. Basid

Abd Basid perajin dari Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. pemilik usaha MH Batik di pasar 17 Agustus. Harga mempengaruhi kualitas batik yang dibuat. Materi pelatihan fokus pada pembuatan motif baru dan pewarnaan. Setelah pelatihan terdapat peningkatan jumlah pesanan dan pujian dari konsumen terhadap kualitas batik dan motif yang dihasilkan.

Gambar 24. Karya setelah pelatihan kombinasi teknik grid, mirorring, dan repetisi. (Sumber: koleksi Abd Basid). h. Karya Khairul Bariyah

Khairul Bariyah adalah pengrajin batik dari Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan. Memiliki kendala dalam pembuatan motif yang masih kaku. Berusaha mencari alternatif motif dari daerah luar Pamekasan. Khairul mengikuti pendampingan peningkatan kualitas desain batik tahun 2017. Mempelajari motif batik geometris dan kontemporer. Mengalami penigkatan omset sebanyak 60 persen setelah mengikuti pelatihan. Namun memerlukan waktu yang lebih lama dengan jenis canting yang berbeda dalam pembuatan motif baru tersebut. Mengikuti lomba desain motif batik pada tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Dekranasda Jatim sebagai Juara Harapan 1 kategori umum.

Gambar 25. Produk sebelum pelatihan. (Sumber: koleksi Ririn Fadli)

Gambar 26. Karya setelah pelatihan teknik repetisi. (Sumber: koleksi Ririn Fadli)

i. Project Monarch Altjeringa

Tahun 2018 Wahyu Subiyantoro mengajukan beasiswa “International Bussines Readiness A Course for Fashion and Textile Sector” dari Australia Award. Wahyu berperan sebagai bagian dari komunitas pembatik Pamekasan. Proposal yang diajukan mengetengahkan reinterpretasi Wahyu terhadap batik Pamekasan. Wahyu berkesempatan mengikuti pelatihan pada tanggal 9-15 April 2018 di Queensland University of Technology Australia. Materi yang diperoleh selama pelatihan antara lain workshop pembuatan pakaian bagi pria dan wanita, diskusi tentang jaringan usaha dan bisnis pakaian, pembuatan produk massal untuk ekspor dan

(13)

impor, workshop desain dengan siswa dan pengajar di QUT, dan kunjungan ke industri pakaian serta galeri seni di Queensland, Australia. Target dari pelatihan ini adalah memberikan kontribusi bagi pengembangan sektor desain busana di Indonesia, sehingga ada target produk yang harus dibuat setelah pelatihan dari Australia.

Gambar 27. Busana “Monarch Altjeringa” post

program evaluation Australia Grant Scheme 2018.

(Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro)

Inspirasi penciptaan motif dalam project ini merupakan reinterpretasi berdasarkan sejarah dengan mengadopsi karakteristik langgam khas periode gerakan Art and Craft Movement di Inggris pada akhir abad ke-19. Gerakan ini didasari adanya revolusi industri di Inggris yang membuat produk pabrikan berkembang dengan pesat, namun tidak melihat dampak yang ditimbulkan pada perajin di masa itu. William Morris salah satu penggagas gerakan ini menyatakan produk komersil yang dihasilkan industri memiliki kualitas dibawah standar. Pabrik mendegradasi kehidupan manusia dengan cara kerja industri yang keras dan repetitif. Hasil perlawanan mereka terhadap industri adalah karya desain yang hanya bisa dikerjakan dengan kerajinan tangan. Karya Monarch Altjeringa ini

merupakan kolaborasi antara Wahyu dengan perajin batik Pamekasan, salah satunya dikerjakan oleh Rahmad Hidayat dan Rohman Hakim. Wahyu memberikan pola desain di atas kain katun dan sutra untuk selanjutnya dicanting dan diwarna oleh para perajin.

Pada tahun 2019, Carla Van Lunn, mentor batik Wahyu sekaligus Project Director program beasiswa Australia Grant Scheme selama di menawarkan kolaborasi untuk mengenalkan Batik Pamekasan dengan tema Signature Series melalui presentasi dan makan malam di Brisbane

Club. Mengutip laman

www.brisbaneclub.com.au, klub ini didirikan pada tahun 1903 dan menjadi salah satu private club di Australia. Beranggotakan para pemimpin bisnis, professionals, wirausahawan dan perwakilan dari komunitas terkemuka, akademisi dan seniman yang tetap menghargai kebudayaan tradisional ditengah era kontemporer. Monarch yang sering disebut sebagai kupu-kupu raja dengan karakter corak warna jingga dan hitam dan bintik putih di bagian tepinya. Sedangkan Altcheringa atau Altjeringa, istilah dari Suku Aborigin Australia tentang permulaan tanpa akhir. Wahyu mempelajari sudut pandang batik menurut warga negara asing dalam hal ini masyarakat Australia yang lebih terbuka dan tidak membatasi pakem motif tertentu.

Gambar 28. Batik Signature Series. (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro)

(14)

Gambar 29. Batik Signature Series (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro)

Gambar 30. Model Brisbane Club. (Sumber: koleksi Carla Van Lunn)

Gambar 31. Model Brisbane Club. (Sumber: koleksi Carla Van Lunn)

Gambar 31. Model Brisbane Club. (Sumber: koleksi Carla Van Lunn)

Presentasi bertajuk Beauty Beyond Bali atau dapat diartikan sebagai keindahan di luar Bali. Karena sebagian besar masyarakat asing mengenal Bali sebagai sebuah negara, bukan bagian dari Indonesia. Diharapkan dalam presentasi ini dapat mengenalkan produk lokal (dalam hal ini Batik Pamekasan) agar semakin diminati pasar global dan meningkatkan perekonomian perajin.

SIMPULAN DAN SARAN

Kiprah Wahyu Subiyantoro dalam pengembangan batik Pamekasan berawal dari intensitas kegiatannya sebagai seorang kolektor batik. Mulai dari apresiasi, membeli/mengoleksi, menumbuhkan kekeluargaan dengan perajin, rekan diskusi dalam hal motif dan bisnis, rekan dagang, hingga menjadi mentor pelatihan pembuatan motif untuk para perajin. Tidak hanya dalam konteks mentor dalam pelatihan formal, namun juga dalam relasi sosial sehari-hari.

Metode pembuatan motif batik yang diajarkan oleh Wahyu adalah: (1) Teknik menjiplak (outlining). Teknik ini untuk mengembangkan kemampuan menggambar bentuk dalam motif utama; (2) Teknik repetisi. Teknik ini untuk mengasah kemampuan mengatur komposisi dan logika visual dalam menciptakan pattern (motif); (3) Teknik pencerminan (mirorring). Teknik ini menguatkan aspek keseimbangan, harmoni dan presisi dalam pembuatan motif; (4) Teknik Grid membantu memudahkan dalam pembuatan latar (isen-isen) yang lebih rapi, terkontrol, dinamis, beragam, dan nampak penuh sehingga meningkatkan value detail dalam motif batik.

(15)

Selain mengajarkan berbagai teknik pembuatan motif, Wahyu juga memberikan pengetahuan tentang sejarah desain, gaya desain, konsep dan strategi kontemporer, serta aspek penggalian makna filosofis. Proses pendampingan, monitoring, dan evaluasi dilakukan secara berkesinambungan sehingga menghasilkan karya yang memenuhi enam aspek dalam teori fungsi Victor Papanek.

Perajin batik Pamekasan memiliki daya tangkap dan kreativitas yang tinggi dalam membuat motif pada selembar kain batik. Motif yang baru diajarkan atau dilihat dapat dengan cepat dibuat oleh mereka dengan kualitas yang baik. Karya batik yang dihasilkan setelah pelatihan menunjukkan gejala kontemporer yaitu tidak lagi terpaku pada pakem, eklektik, dan merupakan reinterpretasi dari motif yang sudah ada sebelumnya. Motif yang dihasilkan secara visual terlihat komposisi yang baik, harmoni, presisi, dan detail.

Pembuatan motif baru akan lebih mudah dilakukan jika ada kemauan dari perajin untuk belajar dan mengembangkan kualitas produk. Dinas terkait tidak hanya memberikan pelatihan namun juga pendampingan hingga evaluasi motif secara berkala. Terbukti pada pelatihan yang dilakukan pada tahun 2017 meningkatkan kemampuan perajin dalam menciptakan motif baru. Peningkatan omset 30-60 persen merupakan dampak yang dirasakan perajin. Meningkatnya ketertarikan konsumen masa kini terhadap motif baru merupakan dampak eksternal. Terjadi peningkatan keyakinan diri para perajin batik Pamekasan untuk berpartisipasi dalam lomba desain batik yang diadakan tingkat provinsi dan keluar sebagai nomiator atau juara.

Pola kerja kolaboratif yang sinergis diterapkan Wahyu Subiyantoro membuahkan hasil yang positif. Motif batik yang dia ciptakan dan kemudian dikerjakan secara kolaboratif bersama perajin batik Pamekasan mendapat apresiasi positif di mancanegara. Hal ini menjadi spirit bagi pengembangan batik Pamekasan kontemporer yang berdasar kearifan lokal untuk menembus pasar global.

Menilik berbagai karya yang dihasilkan sesudah pelatihan dan membandingkannya dengan karya sebelum pelatihan, bisa disebut telah memenuhi enam aspek teori fungsi Victor

Papanek. Wahyu sebagai desainer memiliki kepekaan yang tajam dalam membaca kebutuhan konsumen dan tren. Ia juga berhasil mengasah kemampuan abstraksi gagasan para perajin ke dalam bentuk gambar/motif. Karya-karya batik kontemporer yang dihasilkan tetap menunjukkan dimensi sosial budaya Pamekasan tanpa kehilangan sifat komunal maupun karakter batik Pamekasan. Aspek keteknikan atau keterampilan dalam perwujudan motif baru dalam sebuah produk kain batik yang berkualitas menunjukkan penguasaan alat, teknik, dan proses yang baik. Secara visual keindahan motif baru perwujudannya terpadu sesuai kaidah estetis dan prinsip desain. Motif baru yang diciptakan memungkinkan terjadinya diversifikasi fungsi guna yang baik yang lebih luas sasaran penggunanya di masa kini.

Melalui penelitian ini penulis merekomendasikan agar kegiatan pelatihan semacam ini bisa dilaksanakan secara berkesinambungan. Tidak hanya terpaku bergantung pada program dinas terkait, namun upaya-upaya kolaboratif dengan kancah kontemporer global akan menjadi tantangan baru bagi para desainer dan perajin untuk semakin menggali kemungkinan-kemungkinan kreasi dan inovasi masa kini dengan tetap mengedepankan potensi dan kearifan lokal.

REFERENSI

Anshori, Yusak. & Kusrianto, A. 2011. Keeksotisan Batik Jawa Timur. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

BPS Kabupaten Pemekasan. 2020. Kabupaten Pamekasan Dalam Angka 2020. Pamekasan: BPS Kabupaten Pamekasan.

________________________. 2020. Statistik Daerah Kabupaten Pamekasan 2020. Pamekasan: BPS Kabupaten Pamekasan.

Badan Standardisasi Nasional. SK Penetapan nomor 142/KEP/BSN/9/2014. Jakarta Bastomi, Suwaji. 2012. Estetika Kriya

Kontemporer dan Kritiknya. Semarang: UNNES Press.

Djoemena, N.S. 1986. Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning. Jakarta: Djambatan.

(16)

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hendriyana, Husein. 2018. Metodologi

Penelitian Penciptaan Karya: Seni Kriya & Desain Produk Non Manufaktur. Bandung: Sunan Ambu Press.

Nurcahyanti, Desi dan Affanti, Tiwi Bina. 2018. “Pengembangan Desain Batik Kontemporer Berbasis Daerah dan Kearifan Lokal”. Jurnal Sosioteknologi, Vol 17 No 3, pp 397 – 398. Institut Teknologi Bandung. Rouffaer, G.P dan Juynboll, H.H. 1914. De

Batikkunst in Nederlansche Indie en haar geshiedenis. Utrecht: Oosthoek. Papanek, Victor. 1984. Design For The Real

World, Human Ecology and Social Change. Chicago Illonis: Academy Chicago Publisher.

Sastrodiwirjo, Kadarisman. 2012. The Heritage Of Indonesia Pamekasan Membatik. Surabaya: PT Jepe Press Media Utama. Susanto, S.S.K. 2018. Seni Batik Indonesia.

Yogyakarta: Andi Publisher.

Susanto, S.S.K. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri Departemen Perindustrian RI.

Sutopo, Oki Rahadianto. 2013. “Faktor Struktural Dan Kultural Penyebab Kesenjangan Sosial: Kasus Industri Batik Pamekasan Madura”. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol 5 No 2, pp 230 – 239. Universitas Negeri Semarang.

van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven. Koninklijk Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen. Wulandari, Yosi. 2017. Upaya Pengembangan

Pengrajin Batik Di Desa Wisata Batik Gulurejo Kecamatan Lendah Kabupaten Kulonprogo. Skripsi. Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta.

Yusuf, A.M. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Gabungan. Jakarta: Kencana. https://lifestyle.kompas.com/read/2017/10/02/180 000120/batik-kontemporer-lebih-disukai-generasi-milenial https://pamekasankab.bps.go.id/statictable/2017/ 06/16/260/banyaknya-sentra-industri-unit-usaha- dan-tenaga-kerja-di-kabupaten-pamekasan-2015.html https://www.britannica.com/topic/the-Dreaming-Australian-Aboriginal-mythology

Gambar

Gambar 1 . Foto diri Wahyu Subiyantoro  (Sumber: Facebook Wahyu Subiyantoro).
Gambar 2. Suasana pelatihan   (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).
Gambar 6 . Contoh hasil repetisi motif  (Sumber: koleksi Wahyu Subiyantoro).
Gambar 11. Pola yang digambar pada kain.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memiliki Tempat/Ruang Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana kriteria tercantum pada format IV , dengan memperoleh skor 

(6)   Amunisi  dan  jenis  mesiu  lainnya  hanya  dapat  disimpan  dengan  bahan  peledak  Jain  di  dalaIn  gudang  bahan  peledak  apabila  ditumpuk  pada 

Objek Pajak Konstruksi Umum Objek Pajak Konstruksi Khusus Penilaian Individual LKOK Proses CAV Program CAV Pengecekan Nilai Nilai Objek.. Nilai tidak Dapat

Terkait dengan kewajaran penyajian Laporan keuangan yang disusun terdiri dari Neraca, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan arus kas, Laporan Pembagian Hasil Usaha di

Meskipun persentase penggunaan biaya variabel untuk operasional lebih besar dibandingkan persentase biaya tetap untuk investasi, atau secara rata-rata total biaya mencapai

Sampel lotion dengan seri konsentrasi ekstrak tongkol jagung yang berbeda dilarutkan dalam metanol pa diukur absorbansinya (A) tiap 5 nm pada rentang panjang

[r]

Masyarakat yang bilingual atau multilingual dapat melakukan campur kode tergantung dari mitra tuturnya, selama mitra tutur itu mengerti dengan sisipan-sisipan yang