• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jñānasiddhânta Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jñānasiddhânta Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TEOLOGI-ESTETIS TARI DAHA MALOM KAJIAN

FILSAFAT AGAMA HINDU

Oleh:

Putu Sri Marselinawati & Ni Wayan Juli Artiningsih Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

E-mail:marselinatulasi92@gmail.com & wayanjuliartiningsih23@gmail.com

ABSTRACT

Art is a very important component in the implementation of the yadnya ceremony, especially in Bali, without art the yadnya ceremony will feel meaningless. Daha Malom dance is a sacred dance created expressively to express the omnipotent nature of God giving salvation as a complement to ritual ceremonies at Puseh Temple, Ngis Karangasem Village. In the creation of this sacred symbol, three important elements are inseparable, namely satyam (truth), siwam (holiness) and sundaram (beauty). Daha Malom Dance in Ngis Village is an oral tradition which is the appreciation of the local community with environmental conditions, until now the truth is still believed, this method of proving the truth through oral tradition is in line with the way of proving the truth of Mimamsa Darsana. Respect for nature is one of the implementations of the Sankhya-darsana teachings which aim to remind humans of their origin, as an identity that comes from God, the harmony of Bhuana Agung and Bhuana Alit which is expressed in the Daha Malom Dance reflecting the sradha and devotion of Hindus in Ngis Karangasem Village. This study used qualitative research methods. Qualitative research is research that uses data that is stated verbally and qualifications are theoretical

Key Words: Teo-aesthetic, Daha Malom Dance, Hindu’s philoshopy

I. PENDAHULUAN

Agama Hindu bersifat Universal artinya ajaran agama Hindu memberikan keluasan kepada umatnya untuk melakukan suatu pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena dengan keluasan tersebutlah yang menyebabkan pelaksanaan ajaran agama Hindu diberbagai belahan dunia menampilkan suatu kegiatan keagamaan yang beranekaragam, akan tetapi jika kita telusuri secara seksama dan lebih dalam dari keanekaragaman tersebut, maka akan dapat kesamaan tujuan yang sama dalam Tri Kerangka agama Hindu bisa disebut tattwa agama hindu dimana-mana sama, namun susila dan

upacaranya bisa berbeda-beda, (Ngurah, 2011: 46).

Memang sampai hari ini, di Bali, tiada hari tanpa berkesenian. Lebih-lebih dalam kehidupan keagamaan, seni adalah sebuah persembahan. Bahkan tak ada ritual agama Hindu di pulau ini yang dianggap sempurna tanpa penampilan nilai-nilai seni. Begitu menyatunya antara agama dan seni membuat orang luar Bali kagum sekaligus “bingung” menyaksikan gemuruh pementasan seni ditengah religiusitas upacara agama. Kesenian Bali pada dasarnya adalah seni keagamaan. Berdasarkan sebuah seminar pada tahun 1972, kesenian Bali digolongkan menjadi seni wali, seni bebali, dan seni balih-balihan.

Kesenian Bali merupakan suatu ekspresi jiwa seni masyarakat Bali yang

(2)

di dalamnya dikaitkan dengan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama yang ada di Bali itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Drs. Ida Wayan Oka Granoka, (dalam Yudhabakti dan Watra, 2007:32) bahwa seni tidak bisa dipisahkan dengan agama, karena pentas seni adalah pentas agama yang artinya pentas yang mengandung ajaran kebenaran (satyam), kesucian (siwam), dan keindahan (sundaram) yaitu proses pemahaman ajaran Veda.

Kesenian adalah satu komponen yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara yadnya khususnya di Bali, tanpa kesenian upacara yadnya akan terasa mati artinya tidak memiliki nilai budaya yang religius (Gunawijaya, I Wayan Titra;, 2020).

Salah satu jenis Tari sakral atau tari Wali yang mengiri upacara keagamaan di Bali yaitu Tari Daha Malom. Tari Daha Malom merupakan tarian warisan leluhur Desa Ngis yang ditarikan setiap ada upacara Dewa Yadnya, salah satunya upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh yang biasa dikenal dengan istilah Ngusabha Puseh yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu pada sasih karo. Tari ini memiliki nilai seni dan religisitas.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempergunakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasi bersifat teoritis dan dalam menguji hipotesis tidak diolah melalui perhitungan matematik dengan berbagai rumus statistika, pengolahan data dialakukan dengan mengunakan pola pikir tertentu menurut logika (Nawami, 1996:32). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi yang berorientasi untuk memahami, mengenali peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan

hubungan dengan orang-orang dalam situasi tertentu dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena-fenomena sosial yang alamiah digunakan sebagai sumber data, pendekatan ini berdasarkan kenyataan lapangan (empiris), (Iskandar, 2009:24). Penelitian ini menggunakan teknik penentuan informan porvosive random sampling dan snowball random sampling. Metode pengumpulan data Dalam penelitian ini adalah metode wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumentasi.

III. PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Tari Daha Malom

Tari Daha Malom merupakan tarian sakral yang hanya ditarikan saat upacara keagamaan maka dari itu pemilihan penari, kostum, dan gerak tariannya mengandung kesucian tanpa melanggar nilai-nilai etika dan estetika. Tarian Daha Malom ditarikan oleh dua anak wanita atau gadis belia yang belum menginjak remaja (anak yang masih suci) atau belum mengalami menstruasi dan anak tersebut suci tanpa luka atau gigitan binatang buas seperti anjing, serta anak tersebut diperlakukan dengan baik dalam artian tidak dipukul ataupun dimarahi dan tetap dijaga (dipingit) selama 9 hari sebelum puncak acara pementasan tari Daha Malom. Jika hal ini dilanggar maka akan dilakukan pemilihan Daha Malom kembali. Dalam proses pemilihannya pun sangat panjang untuk bisa mementaskan tari yang sakral tersebut, jika anak yang dipilih tersebut telah tiga kali menjadi Daha Malom maka pemilihan pun dilakukan kembali oleh para pengelingsir (pemuka Desa). selanjutnya barulah ditentukan siapa yang akan dijadikan Daha Malom oleh ke-empat pengelingsir (pemuka Desa) yang ada di Desa Ngis sekaligus pengempon di Pura Puseh tersebut.

(3)

Tari Daha Malom bersumber dari mitologi masyarakat bahwa tanaman di Desa Ngis pernah diserang hama, sehingga tidak mendatangkan hasil perkebunan. Sebagian besar masyarakat Desa Ngis yang bermata pencaharian sebagai petani menjadi kesulitan. Pada saat upacara Dewa Yajna di pura puseh Desa Ngis kira-kira pada abad XVI ada salah seorang dari masyarakat mengalami kerauhan. Dalam keadaan yang demikian itu Ia meminta agar disetiap upacara ngusabha puseh berlangsung dilengkapi dengan tarian suci (sakral) yang dibawakan oleh anak-anak wanita (simbol Purusa dan Pradana) yang masih muda (belum menstruasi).

Dengan adanya wahyu seperti itu setiap upacara ngusabha puseh di Desa Ngis Karangasem, selalu dilengkapi dengan mementaskan tarian suci yang disebut dengan Daha Malom sebagai lambang kesuburan, dengan tujuan agar keadaan Desa Ngis dapat tumbuh dengan subur dan terhindar dari serangan hama yang. Mitologi ini membuat masyarakat merasa percaya dan yakin akan kekuatan yang dimiliki oleh Daha Malom, sehingga masyarakat merasa perlu menyucikan dan mensakralkan dan mengkramatkan tarian Daha Malom ini. 3.2 Teologi-Estetis Tari Daha Malom

Nilai estetis yang bernuansa religius Hindu didasari oleh konsep satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram (keindahan). Tari Daha Malom yang merupakan bagian dari tradisi lisan berpegang pada sabda kerahuan yang menjadi kebenaran atau jawaban dari musibah yang menimpa Desa Ngis, unsur kesucian atau sivam menjadi Tari Daha Malom sebagai salah satu tari yang disakralkan oleh masyarakat desa, dari syarat penari Tari Daha Malom sarat akan nilai-nilai kesucian yakni anak gadis yang belum

menstruasi, tidak digigit binatang (tidak berdarah/luka), dan tidak dimarahi (kesucian mental), sundaram atau unsur keindahan dalam Tari Daha Malom terlihat dari oranamen busana dan gerak tarian pependetannya

3.2.1 Nilai Ketuhanan dan manifestasi (tattwa)

Membahas pengertian ke-Tuhanan beserta manifestasinya kiranya tidak terlepas dari filsafat atau tattwa yang terkadung, karena hal tersebut membahas hal yang menyakut kebenaran dari realitas yang tinggi. Kata “tattwa” berasal dari bahasa sanskerta yaitu berasal dari akar kata “tat’ yang berarti itu atau kebenaran, kata “twa” itu sendiri berarti sifat, sehingga dapat disimpulkan bahwa tattwa mempunyai pengertian” keituan”, jadi yang dimaksud tattwa adalah hakekat atau kebenaran (Ngurah, dkk, 1999:115 ).

Tattwa memberikan penjelasan tentang asal usul jagat raya, atau sumber dari segala sumber yaitu: Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Menurut Sugiarto dan Pudja (dalam surya Dharma, 2002: 60) siapapun yang telah menyadari dan meghayatai ke-Tuhanan bahwa brahman itu lebih besar dari alam, keberadaan maha besar, tidak terbatas, berada dalam tubuh setiap mahluk meliputi seluruh alam semesta dan menjadi penguasa alam semesta, maka dia menjadikan keadaan abadi. Pendapat ini sebagai bukti bahwa kebenaran, kebijaksanaan dan kesucian yang utama terletak di alam semesta ini ada pada Tuhan Yang Maha Esa, namun walaupun demikian Tuhan tidak pernah terlihat, diraba, pendeknya tuhan tidak dapat terjangkau oleh panca indra manusia akan tetapi tuhan diyakini keberadaannya, seperti yang termuat dalam Bhagawadgita VIII. 20. Yang menyatakan sebagai berikut:

(4)

Peras tasma tu bhavo Nyo wyakto wyatat

Sana tanah ya sa sarvesu bhutesu Nasyatu na winasyati

Terjemahannya:

Namun ada alam lain yang tidak terwujud, kekal, dan melampaui alam ini yang terwujud dan tidak terwujud. Alam itu bersifat utama dan tidak pernah dibinasakan. Bila seluruh dunia ini dilebur, bagian itu tetap dalam kedudukannya, (Swami Prabhupada, 2006:433-434).

Dari sloka tersebut diatas diuraikan ajaran kesunyatan tentang hakekat Tuhan yang tidak nyata (tidak terwujud), dan yang maha nyata (terwujud) muncul dari yang tidak nyata (tidak terwujud) dan kembali pada yang tak nyata (tak terwujud) pula (maya). Dengan keterbatasan itulah, maka tidak ada yang mempertanyakan apakah dan siapakah Tuhan itu. Karena apabila menjawab pertanyaan tersebut adalah sama dengan memaksa diri untuk mendefinisikan Tuhan yang begitu abstrak, sedangkan secara teori apabila sudah berbicara tentang definisi haruslah lengkap dan benar-benar memberikan gambaran yang jelas.

Tuhan yang mencakup segala yang ada, luas dan mutlak, dan tidak dijangkau oleh pikiran manusia, sehingga setiap definisi tentang Tuhan selalu tidak lengkap dan kabur. Oleh sebab itu manusia berusaha menggambarkan Tuhan menurut kemampuan alam pikirannya walaupun penggambaran tersebut terkadang tidak sesuai dengan apa yang tersirat di dalam kitab suci (Heriyanti, Komang, 2021).

Sesuai dengan uraian di atas Tuhan Yang Maha Esa dimohonkan untuk hadir dalam suatu tempat dan dalam hal ini beliau disebut dengan Ida Sang Hyang

Widhi Wasa, karena beliaulah yang menakdirkan atau beliau Yang Maha Kuasa. Dalam implementasinya untuk mentakdirkan atau untuk menggambarkan kemahakuasaan Tuhan, umat Hindu khususnya yang ada di Bali mempergunakan berbagai sarana-sarana seperti banten juga diaktualisasikan dengan adanya Pratima sebagai media atau sarana pengembangan diri kepada yang maha kuasa sehingga dalam hal ini nilai kebenaran (nilai tattwa) akan sangat kelihatan dengan adanya penggambaran manusia terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa lewat manifestasinya sebagai dewa atau bhatara bersthana pada setiap penjuru mata angin, yang merupakan keyakinan manusia untuk menuju kepada yang sunya sebab menurut konsepsi ke-Tuhanan dan keyakinan umat Hindu hanya keadaaan yang sunya yang memiliki sifat yang mutlak tentang kebenaran atau tentang ke-Tuhan.

Konsepsi tersebut direalisasikan dalam kehidupan beragama melalui berbagai ritual sebagai rasa bhakti kepada yang maha pencipta. Dalam kaitannya dengan pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh di Desa Ngis adalah bagaimana kepercayaan masyarakat desa tersebut terhadap adanya manifestasi Tuhan yang mereka puja sebagai perwujudan Dewa Wisnu yang bersthana di pura puseh untuk memohon keselamatan serta untuk menetralisir sifat-sifat negatif dan memamfaatkan sebesar mungkin untuk menciptakan keharmonisan serta keseimbangan Parahyangan (hubungan yang harmonis antara masyarakat Desa dengan Tuhan).

Pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh di Desa Ngis juga bertujuan menuntun jalan pikiran masyarakat Desa Ngis untuk memperdalam kepercayaan (sradha)

(5)

kepada Tuhan. Masyarakat mengangap wabah serangan penyakit yang menganggu tumbuh-tumbuhan itu merupakan perbuatan dari roh atau kekuatan yang tidak kuasa untuk ditanggulangi oleh manusia sehingga satu-satunya jalan manusia adalah memohon kepada Tuhan. Sebagai wujud rasa terima kasih secara tidak langsung mendorong masyarakat Desa Ngis melakukan berbagai ritual pemujaan, misalnya ketika Ida bhatara katurun mesucian, secara filosofis masucian bermakna membersihkan pralingga atau pratima Ida bhatara pecanean, serta menghilangkan segala mala dan ngabet sarining amerta dalam hal ini maksudnya adalah mengambil air kehidupan (suci) di pura sumuh dan diharapkan setelah pratima atau pralingga Ida bhatara bersih atau suci, maka kesucian Ida bhatara yang begitu luar biasa memberikan pibrasi positif pula terhadap lingkungan atau palemahan Ida. Lebih lanjut dalam setiap kehidupan manusia tentunya mendambakan rasa damai dan keteraturan sehingga manusia akan mencari sumber kedamaian tersebut, yang mana sumber ketentraman dan kedamaian tersebut adalah Tuhan itu sendiri, hal ini selaras dengan yang tersurat dalam Bhagawadgita II. 66 sebagai berikut:

Nasti buddhir ayuktasya, Na cayuktasya bhavana, Na cabhavayatah santir, Asantasya kutah sukma.

Terjemahannya:

Orang yang tidak mempunyai hubungan dengan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin memiliki kecerdasan rohani maupun pikiran yang mantap. Tanpa kecerdasan rohani dan pikiran yang mantap tidak mungkin ada kedamaian, tanpa kedamaian

bagaimana mungkin ada kebahagian (Swami Prabhupada, 2006: 153-154)

Dari kutipan sloka di atas dijelaskan bahwa sumber dari kedamaian adalah kecerdasan rohani, yang mana keceerdasan rohani yang dimaksud adalah kecerdasan yang berupa kesadaran akan hakekat sang diri serta sumber yang maha utama. Dengan memiliki pikiran yang mantap, otomatis perlahan pikiran-pikiran positif muncul dari dalam diri, dengan pikiran yang positif akan tercipta pula suasana yang kondusif, tentram dan damai. Dengan meyakini tentang manifestasi Tuhan yang bersthana di pura puseh, yang di simbolkan dengan pementasan tari Daha Malom, diharapkan mampu menciptakan kecerdasan rohani serta pemikiran yang mantap guna meningkatakan Sradha kepada Tuhan sehingga dengan keyakinan yang mantap terhadap eksistensi Tuhan serta keyakinan akan adanya Karmaphala maka akan tercipta prilaku yang positif menuju tercapainya hubungan yang harmonis antara masyarakat di Desa Ngis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Nilai tattwa yang terkandung dalam pementasan tari Daha Malom adalah pada sadarnya memiliki makna sebagai lambang kesuburan, yang dimana untuk mencetuskan rasa terima kasih dan memohon kemakmuran, kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimana dapat dilihat dari gerakkan Daha Malom yang secara sederhana dengan sikap mamusti dan nyembah serta ngayab seolah-olah proses memohon suatu anugrah.

Masyarakat Hindu di Bali dalam mengadakan komunikasi dengan Tuhan tidak hanya melalui hubungan spiritual secara langsung namun juga mempergunakan media simbol. Menurut

(6)

Ernst Cassier manusia dikatakan sebagai animal symbollicum. Penciptaan simbol merupakan respon ekspresif manusia terhadap situasi alam yang melingkupinya (Triguna, 2000 : 2).

Tari Daha Malom merupakan simbol yang diciptakan secara ekspresif untuk mengungkapkan sifat kemahakuasaan Tuhan pemberi keselamatan sebagai pelengkap upacara ritual di Pura Puseh Desa Ngis Karangasem. Dalam penciptaan simbol suci tersebut tidak terlepas dari tiga unsur penting yaitu satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram (keindahan). Disadari atau tidak dalam kehidupan sehari-hari manusia yang masih diikat oleh kama (keinginan) membutuhkan keindahan (sundaram). Ketika manusia tampil dan mengekspresikan diri dihadapan sesama maka ia akan melakukan dan mewujudkan suatu bentuk ekspresi yang bernilai estetis. Karenanya tidaklah berlebihan Herbert Gans mengatakan bahwa semua umat manusia memiliki dorongan untuk berbuat estetis. Kebutuhan manusia akan nilai estetis telah mendorong mereka untuk terus berekspresi menciptakan objek-objek estetis yang dapat menimbulkan lango (rasa senang). Tari Daha Malom juga diciptakan untuk memenuhi rasa estetis umat Hindu. Karena tanpa unsur estetis mustahil Tari Daha Malom ini dipakai secara konvensional sebagai simbol Tuhan. Sehingga palawatan ini memiliki bentuk tertentu. Bentuk Tari Daha Malom ini menunjukkan ekspresi keindahan dalam mengungkapkan sifat kemahakuasaan Tuhan.Pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh juga telah menunjukkan filsafat kebenaran (satyam), karena dipentaskan sebagai rasa sujud bakti pada Tuhan, sesuai dengan petunjuk sradha (kepercyaan), siwam (kesucian) yaitu dipentaskan pada saat upacara ngusabha

puseh yang patut dipersembahkan dengan pikiran yang suci. Sundaram (keindahan), pementasan tari Daha Malom ini juga dipentaskan sebagai nilai keindahan, dikarekan gerakkan menusti, menyembah dan ngayab yang mengandung filsafat ke-Tuhanan dan filsafat hidup dalam memohon suatu anugrah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Jadi dapat kesimpulan pementasan tari Daha Malom sebagai seni sakral, yang merupakan symbol kesuburan, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan memohon kemakmuran, kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menghubungkan wujud bersatunya aspek satyam (kebenaran), aspek siwam (kesucian) dan aspek sundaram (keindahan) yang menjadi satu, yaitu sebuah persembahan kepada Tuhan, atas dasar sradha (kepercayaan).

3.2.2 Ajaran Mimamsa Darsana dalam Tari Daha Malom

Mimamsa Darsana adalah salah satu sistem filsafat yang tergolong dalam kelompok Astika yaitu sitem filsafat yang mengakui kebenaran dan otoritas Weda. Mimamsa berarti menganalisa dan memahami seluruhnya (Tim Penyusun, 2014: 147). Bagi Rsi Jaimini, kitab suci Veda secara praktis hanya Tuhan semata, dan Veda yang abadi tersebut tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya (Tim Penyusun, 2014:168). Pokok pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa. Pada zaman Brahmana sudah dimulai adanya pembicaraan-pembicaraan tentang bermacam- macam hal yang mengenai upacara-upacara keagamaan, dan bahwa hasil dari pembicaraan - pembicaraan itu lalu disusun secara sistematis, yang

(7)

kemudian menimbulkan kesusateraan yang disebut Kalpa-Sutra.

Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata. Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. Tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten (Suparta, I Gede Agus, 2020).

Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.

Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah:

1. Pengamatan (Pratyaksa) 2. Penyimpulan (anumata) 3. Kesaksian (Sabda) 4. Perbandingan (Upamana) 5. Persangkaan (Arthapatti) 6. Ketiadaan (Anupalabdi)

Dari cara mendapatkan pengetahuan dan kebebnaran Mimamsa

dapat sebagai metode yang mengungkapkan kebenaran. Kebenaran dan pengetahuan akan terciptanya Tari Daha Malom sebagai pelengkap ngusbha Pura Puseh Desa Ngis, berawal dari sabda orang yang kerahuan yang disaksikan oleh masyarakat Desa Ngis. Pemuka agama dan penglingsir desa yang mempercayai kerahuan tersebut adalah wahyu dari Tuhan sebagai cara menangkal serangan hama yang melanda Desa Ngis. Proses sabda dari kerahuan ini membuat masyarakat merasa percaya dan yakin akan kekuatan yang dimiliki oleh Daha Malom. Hal serupa juga disebutkan Duija, (2009:05) pemahaman terhadap sebuah tradisi lisan diperlukan jika mau memahami lebih dalam hakikat budaya sebuah komonitas, sekecil apapun sebuah komonitas itu, dimana setiap komonitas memiliki akar tradisi (tradition roots) yang berbeda-beda berdasarkan geografis, adat-istiadat, bahasa, agama dan sebagainnya. Sebuah tradisi bisa lahir atas dasar penghayatan masyarakat terhadap lingkungannya. Oleh karena itu dalam sebuah tradisi akan ditemukan fakta-fakta budaya di dalammya. Hal serupa juga dijelaskan oleh Menurut Sweeney (dalam Duija: 2009:09), yakni hubungan antara tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia melayu didasari oleh anggapan bahwa dengan mengetahui interaksi keduannya, barulah dapat memahami masing-masing tradisi tersebut.

Terkait dengan konsep mitos dijelaskan oleh Barthes (dalam Duija, 2009:15) merupakan sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Ini membenarkan seseorang berprasangka bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep atau ide; mitos adalah cara pemaknaan. Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan, tetapi juga dapat diungkap

(8)

lewat tari-tarian atau pementasan wayang misalnya. Inti- inti cerita itu ialah lambang-lambang kebaikan, kejahatan, hidup dan mati, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat (Peursen, dalam Duija 2009:15). Terkait Daha Malom perjalan mitos ini telah memunculkan sejarah lisan tentang konsep lambang kesuburan, kesejahteraan bagi wilayah Desa Ngis. Jadi dapat disimpulkan bahwa Tari Daha Malom Desa Ngis adalah tradisi lisan yang merupakan penghayatan masyarakat setempat dengan keadaan lingkungan, hingga kini masih dipercayai kebenarannya, cara pembuktian kebenaran melalui tradisi lisan ini sejalan dengan cara pembuktian kebenaran Mimamsa Darsana.

3.2.3 Ajaran Samkhya Darsana Dalam Tari Daha Malom

Menurut Jacobsen (2008:31) menjelaskan kata Sāṅkhya merupakan kata benda turunan yang berasal dari kata dari sankhyā yang berasal dari akar kata khyā yang berarti diketahui, atau bernama, dan akar kata sam berarti bersama. Jadi Samkya berarti system bilangan atau hitungan, tujuan Sāṅkhya adalah mempertimbangkan betapa pentingnya semua faktor-faktor penciptaan seluruh dunia, yang berkontribusi terhadap hidup manusia. Samkhya yang lainnya menekankan masalah teori sebab akibat, konsep prakrti dan purusa, evolusi alam semesta, konsep pembebasan dan teori pengetahuan. Ciri khusus dari Samkhya adalah penggabungan dari filsafat Nyaya dan Vaisesika tentang realitas, dengan perkecualian Isvara (Tuhan) yang tidak ada dalam sistim ini, tapi dimasukkan dalam prinsip-prinsip dasar : purusha dan prakerti.

Tari Daha Malom yang ditarikan oleh dua orang anak gadis merupakan

lambang dari Purusha dan Prakerti. Purusha adalah unsur kejiwaan atau cetana dalam teks wrspat tattwa, sedangkan prakerti adalah unsur kebendaan atau acetana dalam teks wrspati tattwa. Purusa dan Prakerti adalah asal mula penciptaan alam semesta. Purusha dan Prakerti ada Dalam bhuana agung alam jagat raya ini dan bhuana alit diri setiap mahkluk hidup. (Marselinawati)

Kehadiran Tuhan di alam ini adalah nyata, alam atau bhuana agung adalah badan nyata dari Tuhan, seperti halnya dinyatakan Dalam Isa Upanisad I.1:

Isavasyam idam sarvam Yat kinca jagatyam jagat Terjemahannya:

Tuhan Bersthana di alam semesta yang bergerak maupun yang tidak bergerak (Wiana, 2007:151). Dari uraian sloka diatas tersebutlah di atas veda memandang bahwa alam semesta adalah sthana dari Tuhan, dengan kata lain Brahman adalah jiwa dari Bhuana Agung, dan Atma adalah jiwa dari bhuana alit, yang keduannya merupakan kesatuan yang utuh. Tuhan memnciptakan alam sebagai badan wadahnya adalah untuk menjadikan badannya sebagai media kehidupan manusia dan mahluk lainnya, dimana Tuhan tidak terpengaruh oleh keberadaan alam sebagai badannya melainkan manusia yang sangat ketergantungan dengan alam sebab tanpa kehadiran alam manusia tidak bisa hidup, alam merupakan sumber makanan bagi manusia.

Kehidupan keberagamaan umat Hindu khususnya di Bali, hal tersebut dikemas ke dalam sebuah konsep yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana ini, juga

(9)

tertuang dalam kekawin Ramayana sargah I.3, yaitu bagaiamana Sang Dasaratha berbuat kasih kepada sesama mahluk ciptaan Tuhan, berbuat pemujaan kepada leluhur, dan pemujaan Kepada Dewa-dewa. Jadi Tri Hita Karana ini sebagai perwujudan kesejahteraan dan kebahagian dimana ketiga unsur Ida Sang Hyang Widhi Wasa, alam semesta dan manusia harus saling menjaga, (Jaman, 2006: 18-20). Dapat dilihat bahwa hal inilah yang menjadi pola dasar tatanan kehidupan umat Hindu yang ada di Desa Ngis yang dijadikan budaya perilaku sehari-hari sehingga memunculkan konsep Tri Hita Karana pada pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh. Terkait dengan fungsi pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh di Desa Ngis, merupakan upaya membangun keharmonisan manusia dengan Tuhan melalui jalan bhakti, dengan sesama manusia (punia) dan manusia dengan lingkungan (asih). Yang salah satunya divisualisasikan ke dalam bentuk tari Daha Malom. (Marselinawati, 2020)

Pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh di Desa Ngis senantiasa diikuti dengan proses ngaturan banten Ajuman setelah usainya pementasan tari Daha Malom tersebut sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan, sehingga dengan hal tersebut masyarakat percaya bahwa dengan mempersembahkan banten ajuman dalam upacara yadnya serangkain pementasan tari Daha Malom memberikan rasa aman dan tentram karena yadnya tersebut dilandasi dengan rasa syukur dan terima kasih. Kepada Tuhan (Gunawijaya, 2020).

Makna pementasan tari Daha Malom dalam ngusabha puseh di Desa Ngis, dengan adanya ritual upacara merupakan upaya masyarakat untuk menjaga keselarasan alam sebagai wujud

purusa atau Tuhan sebagai pemberi jiwa pada alam semesta, serta membangun solidaritas alam makro dan mikro, yang dikemas dalam konsep Tri Hita Karana, serta sebagai pengingat masyarakat untuk berlindung pada ajaran dharma, yang di dalamnya ada ikatan yang harmonis, serta tetap mempertahankan keselarasan palemahan di Desa Ngis, dengan tetap melestarikan berbagai tradisi yang telah diwarisikan sejak dahulu serta tetap menjaga kesucian wilayah Desa Ngis agar tetap subur. Penghormatan terhadap alam merupakan salah satu implementasi dari ajaran sankhya-darsana yang bertujuan mengingatkan manusia akan asalnya, sebagai identitas yang berasal dari Tuhan, penyelarasan bhuana agung dan bhuana alit yang diekspresikan Dalam Tari Daha Malom mencerminkan sradha dan bhakti umat Hindu Desa Ngis Karangasem.

IV. SIMPULAN

Tari Daha Malom merupakan tarian warisan leluhur Desa Ngis yang ditarikan setiap ada upacara Dewa Yadnya. Tari Daha Malom yang merupakan bagian dari tradisi lisan berpegang pada sabda kerahuan yang menjadi kebenaran atau jawaban dari musibah yang menimpa Desa Ngis, unsur kesucian atau sivam menjadi Tari Daha Malom sebagai salah satu tari yang disakralkan oleh masyarakat desa, dari syarat penari Tari Daha Malom sarat akan nilai-nilai kesucian yakni anak gadis yang belum menstruasi, tidak digigit binatang (tidak berdarah/luka), dan tidak dimarahi (kesucian mental), sundaram atau unsur keindahan dalam Tari Daha Malom terlihat dari oranamen busana dan gerak tarian pependetannya.

Tari Daha Malom Desa Ngis adalah tradisi lisan yang merupakan penghayatan masyarakat setempat dengan keadaan lingkungan, hingga kini

(10)

masih dipercayai kebenarannya, cara pembuktian kebenaran melalui tradisi lisan ini sejalan dengan cara pembuktian kebenaran Mimamsa Darsana. Tari Daha Malom yang ditarikan oleh dua orang anak gadis merupakan lambing dari Purusha dan Prakerti, konsep Purusha dan Prakerti dijelaskan secara rinci Dalam Samkhya Darsana. Dalam Samkhya Darsana disebutkan bahwa Purusha dan Prakerti adalah sumber pencipta alam semesta dan mahkluk hidup, bhuana Agung dan Bhuana Alit. DAFTAR PUSTAKA

Burhan, Bugin. 2001. Metode Penelitian kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo

Darmawan, I. P. A., Somawati, A. V., WINDYA, I. M., Gunawijaya, I. W. T., Hartaka, I. M., Kariarta, I. W., ... & Rahayu, K. Y. (2020). Hindu Nusantara: Antara Tradisi dan Upacara. Nilacakra. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I

Bali. 1990. Kamus Bahasa Bali-Indonesia

Duija, I Nengah. 2009. Mitos I Ratu Ayu Mas Membah (Pendekatan The-Antropologi); Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Antropologi Budaya Fakultas Dharma Acarya. IHDN: Denpasar.

Gunawijaya, I. W. T. (2020). Konsep Teologi Hindu Dalam Geguritan Gunatama (Tattwa,

Susila, dan

Acara). Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(2).

Heriyanti, K., & Utami, D. (2021). Memahami Teologi Hindu

Dalam Konteks

Budaya. SWARA WIDYA: Jurnal Agama Hindu, 1(1).

Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Cipaduyung:

Nawawi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara.

_______1996. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & S. Bandung : Alfabeta Gaung Persada (GP) Pres Rineka Cipta Marselinawati, P. S. (2020). Kosmologi

Hindu Dalam Sankhya-Yoga. Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 2(2).

Marselinawati, P. S., & Suparta, I. G. A. (2020). Samkhya Darsana dalam Wrspati Tattwa. ŚRUTI: Jurnal Agama Hindu, 1(1), 58-67.

Ngurah, I Gusti Made. 2011. Samhita Vacana Agama Hindu (Himpunan Naskah Dharma Vacana). Surabaya: Paramita Ngurah, I Gusti Made, dkk. 1999. Buku

Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita

Jacobsen, Knut A. 2008. Kapila: Founder of Samkhya and Avatara of Visnu. New Delhi: Munshiram Manoharlal Publisher

Suparta, I. G. A. (2020). Hakikat Penyatuan dalam Samadhi Pada Patanjala

Yogadarsana. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(2).

Referensi

Dokumen terkait

Glaukoma adalah sekelompok gangguan yang melibatkan beberapa perubahan atau gejala patologis yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dengan segala

Oleh karena itu maka direncanakanlah bangunan pengaman pantai tipe groin yang berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang pantai, sehingga bisa mengurangi /

dan padat, Pengisian data Statistik, Laporan Pemakaian Anggaran Belanja Tahunan (ABT), Laporan Data Jumlah Realisasi Ekspor, Laporan Tenaga Kerja Asing, Laporan

Dengan pengertian bahwa teknologi mencakup bioteknologi, dan bahwa akses dan pengalihan teknologi di antara para Pihak merupakan unsur- unsur penting bagi pencapaian tujuan

[r]

Nestlé sebagai perusahaan besar senantiasa responsif terhadap tuntutan perdagangan global agar produknya berdaya saing tinggi, mengantisipasi masyarakat yang dinamis dan

Tingkat persepsi tertinggi petani terhadap alih fungsi lahan padi sawah menjadi lahan hortikultura dan jagung berada pada faktor produksi dengan pencapaian skor

 Peta yang menunjukkan daerah yang harus dihindari dan daerah potensial untuk penanaman baru  Tabel dan bagan yang meringkaskan emisi GHG yang terkait dengan pembuatan