NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh : Dwi Sumiarsih
ST.14014
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
KUALITAS HIDUP PENDERITA THALASEMIA BETA MAYOR DI RUANG CEMPAKA RSUD dr. SOEDIRAN
MANGUN SOEMARSO WONOGIRI Oleh :
Dwi Sumiarsih ST.14014
Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 5 Februari 2016 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Keperawatan
Pembimbing Utama
Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep NIK: 201279102
Pembimbing Pendamping
Anis Nurhidayati, SST.,M.Kes NIK: 200685025
Penguji
(S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep) NIK: 200984041
Surakarta, 5 Februari 2016 Ketua Program Studi S-1 Keperawatan
Ns. Atiek Murharyati, M. Kep NIK. 200680021
Kualitas Hidup Penderita Thalasemia Beta Mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri
Abstrak
Thalassemia menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di dunia khususnya di negara-negara Mediterania, Malaysia, Thailand, dan Indonesia (Wahidiyat, 2007). Penderita thalassemia beta mayor dengan kadar hemoglobin (Hb) <10gr% adalah sebanyak 99,1%. Sampai saat ini transfusi darah masih merupakan pengobatan utama untuk menanggulangi anemia pada thalassemia beta mayor (Atyanti Isworo dkk, 2012). Tujuan penelitian untuk mengetahui kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
Rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Teknik sampling Purposive Sampling. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang. Subjek yang diamati adalah penderita thalasemia beta mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi.
Respon fisik pasien thalasemia beta mayor terdiri dari tiga tema, yaitu: respon fisik pasien dalam beraktifitas, respon fisik pasien sebelum transfusi dan Respon fisik pasien setelah transfusi. Respon psikologis pasien thalasemia beta mayor terdiri dari dua tema, yaitu: penerimaan diri terhuyadap kondisinya dan kegietan beribadah. Respon sosial pasien thalasemia beta mayor, yaitu: hubungan sosial terhadap dirinya. Respon dimensi lingkungan pasien thalasemia beta mayor terdiri dari empat tema, yaitu: hubungan pasien di lingkungan tempat tinggal, prestasi dan hubungan di lingkungan sekolah, akses pelayanan di Rumah Sakit, hubngan antara petugas dan sesama penderita thalasemia.
Kata Kunci : Kualitas Hidup, Thalasemia Beta Mayor Daftar pustaka : 31 (2005-2015)
BACHELOR OF NURSING PROGRAM SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
Dwi Sumiarsih
The Quality of Life of Beta Thalassemia Major Patients at Cempaka Room of dr. Soediran Mangun Soemarso Regional Public Hospital (RSUD) of Wonogiri
Abstract
Thalassemia is a serious public health problem in the world, which occurs particularly in Mediterranean countries, Malaysia, Thailand, and Indonesia (Wahidayat, 2007). The proportion of beta thalassemia major patients with less than 10% of hemoglobin (Hb) concentration is 99.1%. Up to now blood transfusion still becomes main treatment to cope with the disease (Atyanti Isworo, et al., 2012). This research aims at finding out the quality of beta thalassemia major patients at Cempaka room of dr. Soediran Mangun Soemarso Regional Public Hospital (Rumah Sakit Umum daerah—
RSUD) of Wonogiri.
This is a qualitative research with phenomenological approach. The sampling technique applied is purposive sampling. Samples of 5 participants including thalassemia major patients at Cempaka room of dr. Soediran Mangun Soemarso Regional Public Hospital of Wonogiri were observed. The data were analyzed using Colaizzi’s method of descriptive phenomenological research.
The physical response of beta thalassemia major patients comprises their physical response in doing activities, that before transfusion, and that after transfusion. In addition, their psychological response includes self-acceptance of their condition, and their religious activities. Meanwhile, the social response covers their social relationship. Finally, their response to environmental dimension involves patients’ relationship at their neighborhood, achievement and relationship in school environment, service access to hospital, relationship between health professionals and thalassemia patients.
Keywords : quality of life, beta thalassemia major Bibliography : 31 (2005-205
PENDAHULUAN
Thalassemia beta mayor sebagai penyakit genetik yang diderita seumur hidup akan membawa banyak masalah bagi penderitanya. Mulai dari kelainan darah berupa anemia kronik akibat proses hemolisis, sampai kelainan berbagai organ tubuh baik sebagai akibat penyakitnya sendiri ataupun akibat pengobatan yang diberikan. Penderita thalassemia beta mayor dengan kadar hemoglobin (Hb) <10gr% adalah sebanyak 99,1%. Sampai saat ini transfusi darah masih merupakan pengobatan utama untuk menanggulangi anemia pada thalassemia beta mayor (Atyanti Isworo dkk, 2012).
Banyaknya masalah kesehatan yang dialami anak dengan thalassemia dapat menimbulkan gangguan sosial dan emosional. Secara umum anak dengan thalassemia akan memperlihatkan gejala depresi, cemas, gangguan psikososial dan gangguan fungsi sekolah. Hal ini karena penyakit thalassemia membutuhkan perawatan yang lama dan sering di rumah sakit. Tindakan pengobatan yang diberikan juga dapat menimbulkan rasa sakit serta pikiran anak tentang masa depan yang tidak jelas. Semua kondisi ini memiliki implikasi serius bagi kesehatannya sehubungan dengan kualitas hidupnya (Atyanti Isworo dkk, 2012).
Di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri bulan Mei sampai
dengan Juli 2015 tercatat penderita
thalasemia beta mayor sebanyak 27
pasien dengan usia antara 1 s/d 16 tahun, secara umum dilihat dari kondisi fisik penderita mengalami kelemahan fisik, pucat, hepatospelenomegali, facies cooley yang merupakan ciri khas penderita thalasemia. Secara psikologis sering merasa minder, kurang percaya diri, merasa berbeda dengan teman seusianya. Secara sosial dapat berinteraksi sosial dengan selalu memberikan suport dan dukungan keluarga. Secara lingkungan penderita dapat diterima di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sekolah, pihak sekolah memahami kondisi penderita yang sering tidak masuk sekolah karena melakukan tranfusi darah setiap bulannya. Penatalaksanaan
thalassemia beta mayor saat ini yang makin optimal mengakibatkan kualitas hidup penderitanya mendekati anak normal, demikian pula angka harapan hidupnya memanjang, yang tadinya hanya mencapai usia 10 tahun, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini sudah mencapai usia 30-40 tahun (Giardina, 1992) dalam (Debby dkk., 2010). Menurut Sandra B (2009) menyatakan bahwa penilaian kualitas hidup pada anak thalassemia beta mayor sejauh ini belum dilaporkan di Indonesia.
Penelitian ini untuk mengetahui secara mendalam mengenai kualitas
2
hidup pada penderita thalassemia beta mayor, maka judul penelitian ini adalah “Kualitas Hidup Penderita Thalasemia Beta Mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri”.
Perumusan Masalah
“Bagaimana kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri?“
Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
2. Tujuan khusus
2.1. Menganalisis kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi kesehatan fisik.
2.2. Menganalisis kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi kesehatan psikologis.
2.3. Menganalisis kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi hubungan sosial.
2.4. Menganalisis kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi lingkungan.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit/Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi Rumah Sakit dalam mengindentifikasikasi anak thalassemia beta mayor dengan kesulitan tertentu dan membutuhkan tindakan perbaikan secara medis ataupun bantuan konseling. Bagi masyarakat sebagai bahan kajian pengetahuan terutama yang berkaitan dengan dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien thalasemia dan mengetahui bagaimana penerimaan diri seorang pasien thalasemia.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pustaka dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor. 3. Bagi Peneliti Lain
Memberikan bahan kajian dan acuan bagi peneliti berikutnya dalam melaksanakan penelitian sejenis yang lebih kompleks.
4. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor.
LANDASAN TEORI 1. Kualitas Hidup
Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya, yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan (Sandra B, 2009).
Model konsep kualitas hidup dari WHO Qol-Bref (The World Health
Organization Quality of Life-Bref) mulai berkembang sejak tahun 1991. Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan yang terdiri dari 4 dominan (Skevington dkk, 2004), yaitu:
1.1. Dimensi kesehatan fisik 1.2. Dimensi psikologis 1.3. Dimensi hubungan sosial 1.4. Dimensi hubungan lingkungan
2. Thalasemia Beta Mayor
Thalasemia adalah suatu kelainan genetik darah dimana produksi hemoglobin yang normal tertekan karena defek sintesis satu atau lebih rantai globin. Thalasemia merupakan kelainan sepanjang hidup yang diklasifikasikan sebagai thalasemia alpha dan beta tergantung dari rantai
globin yang mengalami kerusakan pada sintesis hemoglobin. Thalasemia beta mayor terjadi karena defisiensi sintesis rantai ȕ dan thalasemia mayor terjadi apabila kedua orang tua merupakan pembawa sifat thalasemia, dimana dari kedua orang tua tersebut diperkirakan akan lahir 25% lahir normal, 50% pembawa sifat thalasemia dan 25% penderita thalasemia beta mayor. Sedangkan thalasemia minor muncul apabila salah seorang dari orang tua pembawa sifat thalasemia (Potts & Mandleco, 2007).
Fokus Penelitian
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010) penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan pendekatan fenomenologis merupakan
4
pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia di dalam situasinya yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya dapat memahami tentang bagaimana dan makna apa yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa di dalam kehidupan informan sehari-harinya (Sutopo, 2006).
Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri terhadap pasien penderita thalasemia beta mayor dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai kualitas hidup pasien penderita thalasemia beta mayor di Ruang Cempaka RSUD
dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September s/d Desember 2015.
Populasi dan Sampel
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas (activity) orang-orang (actors) yang ada pada tempat (place) tertentu. Situasi sosial tersebut, dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin difahami secara lebih mendapal “apa yang terjadi” di dalamnya (Sugiyono, 2015).
Situasi sosial dalam penelitian ini adalah penderita thalasemia beta mayor di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri, per Desember 2014 dengan jumlah 15 pasien. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut
sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sebagai sampel konstruktif, karena dengan sumber data dari sampel itu dapat dikonstruksikan fenomena yang semula masih belum jelas (Sugiyono, 2015). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang.
Partisipan yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Pasien menderita thalassemia berdasarkan diagnosis yang telah dibuat Sub Bagian Hematologi. 2. Berusia 6-15 tahun.
3. Anak atau orang tua/wali bersedia diikutsertakan dalam penelitian.
Pada penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah
purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Ciri-ciri khusus sampel purposive, yaitu: 1) sementara, 2) menggelinding seperti bola salju (snow ball), 3) disesuaikan dengan kebutuhan, 4) dipilih sampai jenuh (informan tidak lagi memberikan informasi yang baru) (Sugiyono, 2015).
Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang sesuai dengan kriteria yang telah dibuat. Dimana hal ini sesuai pendapat Saryono & Anggraeni (2010) bahwa fokus penelitian
kualitatif adalah pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan yang sedikit. Pertemuan dengan masing-masing partisipan dilakukan secara bertahap.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Beck, 2006), metode Colaizzi dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan dengan metode Colaizzi fenomena-fenomena dapat terungkap dengan jelas sesuai dengan makna-makna yang didapat.
Keabsahan Data
Dalam penelitian ini pengujian keabsahan data menggunakan metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2007) meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliability) dan
confirmability (obyektivitas).
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan September s/d Desember 2015 di Ruang Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri terhadap pasien penderita thalasemia beta mayor. Teknik sampling yang digunakan adalah
6
purposive sampling dengan jumlah
partisipan adalah 5 orang.
1. Respon Fisik Pasien Thalasemia Beta Mayor
Berdasarkan ungkapan dari keseluruhan partisipan mengenai kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi kesehatan fisik yang terdiri dari 4 indikator, yaitu:
1.1. Rasa sakit fisik yang mencegah dalam beraktivitas sesuai dengan kebutuhan
Akibat dari sakit fisik yang dirasakan, keseluruhan dari partisipan tidak mampu untuk beraktivitas sesuai dengan kebutuhan dengan maksimal secara umum partisipan merasakan lemas, mudah capek dan seseg. Untuk mengatasi hal tersebut partisipan memilih untuk istirahat dengan tiduran dan berdiam diri di rumah.
1.2. Menggunakan energi untuk berbagai macam aktivitas (bermain, kegiatan di rumah, dan lain-lain)
Kelemahan fisik akan mengakibatkan partisipan melakukan pembatasan energi. Pembatasan energi akan dilakukan oleh partisipan pada berbagai macam aktivitas
(bermain, kegiatan di rumah, dan lain-lain) setiap harinya. Hal tersebut akan berdampak terhadap mobilitas keseluruhan dari partisipan akan merasa capek dan kurang tenaga. Dengan kata lain, keseluruhan dari partisipan akan melakukan pembatasan energi setiap harinya.
1.3. Aktivitas sebelum dan setelah transfusi darah
Transfusi darah yang terjadwal merupakan pengobatan utama untuk menanggulangi anemia pada thalassemia beta mayor. Transfusi biasanya setiap dua sampai tiga minggu sekali tergantung dari kondisi anak. Sebelum transfusi darah partisipan umumnya merasa cepat lemas, tidak enak badan dan gemetar. Berbeda dengan setelah transfusi darah, partisipan merasakan enak badan dan merasa sehat.
1.4. Aktivitas sehari-hari
Keseluruhan dari partisipan untuk aktivitas sehari-hari biasa saja dan normal-normal saja seperti halnya yang dilakukan anak-anak pada umumnya, hanya di sini pihak keluarga selalu memantau dan membatasi kegiatan bermainnya mengingat
kondisinya yang tidak bisa maksimal untuk beraktivitas sehari-hari.
2. Respon Psikologis Pasien Thalasemia Beta Mayor
Berdasarkan ungkapan dari keseluruhan partisipan mengenai kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi kesehatan psikologis yang terdiri dari 5 indikator, yaitu:
2.1. Perasaan positif mengenai kondisi saat ini
Mengingat dari kelima partisipan masih anak-anak, yaitu 2 partisipan dengan umur 13 s/d 14 tahun dan 3 partisipan dengan umur 8 tahun, belum mampu mengungkapkan secara fokus terhadap beberapa pertanyaan, namun dari pihak keluarga sebagai pendamping dapat membantu dalam menjelaskan maksud dari pertanyaan tersebut. Umumnya dari keseluruhan partisipan mengenai perasaan
positif mengenai kondisi saat ini cenderung biasa saja, bahkan pihak keluarga selalu mendukung dan bersyukur tetap sehat serta bisa beraktifitas secara normal. 2.2. Perasaan negatif mengenai
kondisi saat ini
Umumnya dari keseluruhan partisipan mengenai perasaan negatif mengenai kondisi saat ini cenderung biasa saja, akan tetapi kembali lagi pada keterbatasan energi dalam beraktifitas mudah merasa capek terutama dalam berpikir masalah pelajaran sekolah.
2.3. Cara berpikir terhadap gangguan dan perubahan kondisi saat ini Keseluruhan partisipan mengungkapkan bahwa dalam dirinya tidak merasakan adanya gangguan dan perubahan. Bahkan sebagian partisipan mampu berprestasi dalam belajarnya. Jelas sekali dalam hal ini, dengan selalu memberikan suport orang tua terhadap anaknya dalam kondisi apapun dapat menumbuhkan motivasi, percaya diri, bahkan prestasi anak.
2.4. Spiritual
Dari keseluruhan partisipan merupakan agama Islam. Dalam hal ibadah, seperti sholat,
8
mengaji dan berdo’a merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, meskipun ada partisipan yang sholatnya bolong-bolong dan malas-malasan. Dengan demikian orang tua perlu mengingatkan dan mengajak anaknya untuk beribadah dengan rajin.
2.5. Cara menerima penampilan tubuh Keseluruhan partisipan mengenai cara menerima penampilan tubuh merasa biasa saja, tidak ada rasa minder. Namun sebagian orang tuanya partisipan merasa malu dengan penampilan tubuh anaknya yang berbeda. Namun mau bagaimana lagi, semua harus diterima dengan ikhlas.
3. Respon Sosial Pasien Thalasemia Beta Mayor
Berdasarkan ungkapan dari keseluruhan partisipan mengenai kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi hubungan sosial yang terdiri dari 2 indikator, yaitu:
3.1. Hubungan personal/individu dan sosial dengan orang lain (bergaul) Hubungan personal dan sosial (bergaul) diungkapkan oleh kelima partisipan menunjukkan hasil baik-baik saja, dapat bergaul dengan teman sebayanya. Menciptakan kembali kehidupan sosial merupakan aspek yang penting, anak thalasemia sudah mengalami manajemen yang efektif baik secara internal ataupun eksternal terkait dengan kondisi kronis yang dialaminya, sehingga individu merasa nyaman dan beradaptasi dengan keadaannya.
3.2. Dukungan sosial dari keluarga terdekat/teman dan tetangga Dukungan sosial dari keluarga terdekat/teman dan tetangga diungkapkan oleh kelima partisipan menunjukkan semua memberikan dukungan, terutama dukungan/support dari orang tua. Dukungan sosial dari keluarga terdekat/teman dan tetangga dapat menciptakan suatu keadaan yang dinamis yang sangat kompleks dan dapat memberikan kontribusi yang berbeda terhadap kesehatan.
4. Respon Pasien Thalasemia Beta Mayor Dilihat Dari Dimensi Lingkungan
Berdasarkan ungkapan dari keseluruhan partisipan mengenai kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi lingkungan yang terdiri dari 5 indikator, yaitu:
4.1. Bermain di lingkungan tempat tinggal
Dari keseluruhan partisipan mengenai bermain di lingkungan tempat tinggal pada umumnya mengungkapkan biasa saja, merasa senang dan asyik dengan teman sebayanya, bahkan sebagian orang tua partisipan tidak membatasi bermain, namun tetap saja harus terus diawasi jangan sampai kelelahan.
4.2. Hubungan dengan guru dan teman-teman di sekolah
Ungkapan keseluruhan partisipan mengenai hubungan dengan guru dan teman-teman di sekolah baik-baik saja. Guru dan teman kelasnya sudah tahu dengan kondisinya. Bahkan dalam
pelajaran olah raga guru memberikan toleransi untuk tidak ikut. Demikiannya juga dengan ijin untuk berobat ke rumah sakit, pihak sekolah memakluminya. Kegiatan bermain di sekolah dengan teman-temannya juga terlihat normal-normal saja. 4.3. Prestasi di sekolah
Ungkapan keseluruhan partisipan mengenai prestasi di sekolah secara umum normal saja, artinya tidak ada yang mengindikasikan bahwa karena penyakit thalasemia yang dideritanya mengakibatkan prestasi belajar menjadi menurun. Pada umumnya prestasi belajar menurun diakibatkan karena tidak rajin belajar atau malas belajar, bahkan sebagian partisipan mampu berprestasi.
4.4. Akses terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan Ungkapan keseluruhan partisipan yang diwakili anggota keluarganya mengenai akses terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan umumnya mengungkapkan sesuai dengan yang dibutuhkan partisipan. Hal tersebut tercermin dari layanan dari petugas dengan partisipan dan keluarga yang baik.
10
Selanjutnya dalam transportasi dari rumah ke rumah sakit atau sebaliknya masih terjangkau oleh kendaraan umum, maka partisipan serta keluarganya tidak kesulitan dalam masalah alat transportasi. 4.5. Hubungan partisipan dengan
petugas, sesama penderita thalasemia sewaktu berada di rumah sakit
Dari ungkapan keseluruhan partisipan mengenai hubungan partisipan dengan petugas, sesama penderita thalasemia sewaktu berada di rumah sakit mempunyai hubungan yang baik. Terutama partisipan merasa tidak sendirian berada di rumah sakit, senang bahkan asyik bermain dengan temannya yang kondisinya sama. Bahkan sebagian partisipan menyatakan bahwa mereka baik seperti keluarga sendiri.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor pada dimensi kesehatan fisik secara garis besar dari keseluruhan pertisipan mendekati anak normal, pada dimensi kesehatan psikologis dari keseluruhan pertisipan mendekati anak normal, pada dimensi hubungan sosial dari keseluruhan pertisipan mendekati anak normal dan dimensi lingkungan secara garis besar menunjukkan bahwa penatalaksanaan thalassemia beta mayor dari keseluruhan pertisipan mendekati anak-anak normal lainnya.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitiannya Ilmi, dkk (2014) yang mengemukakan bahwa hasil wawancara pada tanggal 8 September 2014 kepada lima orang tua anak dengan thalasemia diketahui bahwa dari kelima anak thalasemia yang rutin menjalani transfusi di ruang rawat anak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru menjadi lebih bersifat sensitif, mudah sedih, anak juga tampak merasa minder kepada teman-temannya karena sering tidak masuk sekolah dan sakit sehingga anak lebih sering menyendiri dari lingkungan dan aktivitas sekitarnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi kesehatan fisik secara garis besar menunjukkan bahwa penatalaksanaan thalassemia beta mayor dari keseluruhan pertisipan yang makin optimal, sehingga mengakibatkan kualitas hidup penderitanya mendekati anak normal.
2. Kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor dilihat dari dimensi kesehatan psikologis secara garis besar menunjukkan bahwa penatalaksanaan thalassemia beta mayor dari keseluruhan pertisipan baik-baik saja, sehingga mengakibatkan kualitas hidup penderitanya mendekati anak normal. 3. Kualitas hidup penderita thalasemia
beta mayor dilihat dari dimensi hubungan sosial secara garis besar menunjukkan bahwa penatalaksanaan thalassemia beta mayor dari keseluruhan pertisipan mempunyai hubungan sosial yang baik, sehingga mengakibatkan kualitas hidup penderitanya mendekati anak normal. 4. Kualitas hidup penderita thalasemia
beta mayor dilihat dari dimensi lingkungan secara garis besar menunjukkan bahwa penatalaksanaan thalassemia beta mayor dari
12
keseluruhan pertisipan mampu bersosialisasi dengan lingkungan dengan baik, sehingga mengakibatkan kualitas hidup penderitanya mendekati anak-anak normal lainnya.
Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi Rumah Sakit dalam mengindentifikasikasi anak thalassemia beta mayor dengan kesulitan tertentu dan membutuhkan tindakan perbaikan secara medis ataupun bantuan konseling.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan kajian pengetahuan terutama yang berkaitan dengan dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien thalasemia dan mengetahui bagaimana penerimaan diri seorang pasien thalasemia.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pustaka dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kualitas hidup penderita thalasemia beta mayor. 4. Bagi Peneliti Lain
Memberikan bahan kajian dan acuan bagi peneliti berikutnya dalam melaksanakan penelitian sejenis yang lebih kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Abetz L, Baladi JF, Jones P, Rofail D. 2006. The impact of iron overload and its treatment on quality of life: result from a literature review. Health and Quality of life outcomes 4:73. Atyanti I, dkk. 2012. Kadar Hemoglobin,
Status Gizi, Pola Konsumsi Makanan dan Kualitas Hidup Pasien Thalassemia. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.3, November 2012. Azarkeivan, A., et al. 2009. Associates of
physical and mental health related quality of life in beta thalasemia major/intermedia.
journals. JMRS, 14(5): 349-355. Boyse, et al. 2011. Children with Chronic
Conditions. Pedriatics
Publications.
Clarke, S.A. et al. 2009. Health-related quality of life and financial impact of caring for a child with thalassaemia major in the UK.
Journal compilation, 43(9): 118-122.
Deby Anggororini, Eddy Fadlyana, Ponpon Idjradinata. 2010. Korelasi Kadar Feritin Serum dengan Kematangan Seksual pada Anak Penyandang
Thalassemia Mayor. Maj Kedokt
Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010.
Dini, M. 2011. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Anak Thalasemia Beta Mayor di RSU Kota Tasikmalaya dan Ciamis. Tesis. Universitas Indonesia: Jakarta.
Eleftheriou, A. 2007. About
Thalassaemia. Thalassaemia
International Federation. Nicosia. Cyprus
Hidayat. A.A.A. 2007. Metode Penelitian
Keperawatan dan Tekhnik
Analisa Data. Salemba Medika: Jakarta.
Ilmi, S dkk. 2014. Hubungan Jenis
Kelamin dan Domisili Dengan Pertumbuhan Pada Anak Dengan Thalasemia. Program Studi Ilmu Keperawatan. Universitas Riau. Khurana, A., Katyal, A., & Marwaha, R.
K. 2006. Psychosocial Burden in Thalasemia. Indian Journal of
Pediatrics, 73(10): 877-880.
Malik, S., Syed, S., & Ahmed, N. 2009. Complications in transfusion– dependent patients of ß-thalassemia major. http://www.pjms.com.pk/issues/ju lsep09/article/article30.html. Diunduh tanggal 03 Juli 2015. Mulyani dan Adi F. 2011. Reaksi
Psikososial Terhadap Penyakit di Kalangan Anak Penderita Talasemia Mayor di Kota Bandung. Jurnal Informasi, Vol.
16 No. 03 Tahun 2011.
Munthe. 2011. Essential Haematology. 3rd ed. Blackwell Science Ltd.
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku
Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Potts, N. L. & Mandleco, B. L. 2007.
Study Guide to Accompany
Pediatric Nursing (Second
Edition). Thomson: Canada. Polit, DF & Beck, CT 2006, Essentials Of
Nursing Research Methods,
Appraisal, and Utilization. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia.
Pusponegoro, et al. 2005. Standar Medis
Pelayanan Kesehatan Anak.
IDAI: Jakarta.
Sandra, B. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Anak Thalassemia Beta Mayor. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.
Saryono & Anggraeni, MD. 2010.
Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.
Saryono. 2011. Metodologi Penelitian
Kesehatan: Penuntun Praktis
Bagi Pemula. Mitra Cendikia
Press: Yogyakarta.
Sekaran, U. 2006. Research Methods For
Business: Metodologi Penelitian Untuk Bisnis, Buku 2. Salemba Empat: Jakarta.
Shaligram, D., Girimaji, S. C., & Chaturvedi, S. K. 2007. Psychological problems and quality of life in children with thalasemia. Indian Journal of
Pediatric, 74(8),727-730.
Skevington, SM, Lotfy, M & O’Connell, KA 2004, “The world health organizations WHOQOL-Bref quality of life assesment : psycometric properties and result of the international field trial a report from the WHOQOL Group, Departement Psikology
Netherlands, vol. 13, hal. 299 – 310.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
14
Kuantitatif, Kualitatif dan R &D. Alfabeta: Bandung.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian
Pendidikan (Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Cetakan Ke-21. CV. Alfabeta: Bandung.
Sutopo, HB. 2006. Metodologi Dasar
Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Universitas Negeri Sebelas Maret: Surakarta
Thavorncharoensap, M., et al. 2010. Factors affecting health related quality of life in thalassaemia.thai children with thalasemia. Journal
BMC Disord, 10(1): 1-10.
Wahidiyat I. 2009. Thalassemia dan
Permasalahannya di Indonesia.
Naskah Lengkap Konika XI. IDAI: Jakarta.
Wong, L Donna. 2009. Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik. Vol 1
Edisi 6. EGC: Jakarta.
Yaish Hassan M. 2010. Thalassemia:
Differential diagnoses &
Workup.http://emedicine.medscape. com/article/958850-followup. Diakses pada tanggal 03 Juli 2015.