• Tidak ada hasil yang ditemukan

d. Boundaries. Suatu batas kelompok ditandai secara fisik oleh ruang yang ditempati, secara psikologis oleh kepribadian anggotanya dan secara sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "d. Boundaries. Suatu batas kelompok ditandai secara fisik oleh ruang yang ditempati, secara psikologis oleh kepribadian anggotanya dan secara sosial"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Tinjauan Konseptual 2.1.1. Kelompok

Dari banyak konsep “Kelompok” yang dikembangkan para oleh ahli, satu aspek mendasar yang disepakati adalah bahwa kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Lebih luas lagi, Longres (1994) mengemukakan bahwa; “ Group are more than aggregates of people; they are

system, “ two or more persons who are interacting one and another in such a manner that each person influences and is influenced by each other person.” Pendapat ini menjelaskan bahwa selain

karakteristik kelompok, yaitu interaksi, struktur, tujuan (common

purpose, goals) dan dinamika (dynamics), dalam kajian tentang

kelompok, Longres juga menekankan pentingnya pemahaman tentang kelompok sebagai suatu sistem sosial yang memliliki mekanisme yang mengatur pola hubungan diantara anggotanya yang menggambarkan posisi kelompok dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini, ia menambahkan bahwa kelompok memiliki atribut sebagai berikut :

a. Interdependence. Kelompok adalah kumpulan individu dimana masing-masing itu unik dan antar semua individu saling tergantung.

b. Structure. Kelompok memiliki organisasi internal yang terdiri dari norma-norma atau kesepakatan dalam melakukan suatu pekerjaan dan bagian dari pekerja yang ditandai oleh peranan dari status. Struktur ini membuat kelompok lebih dari sekedar kumpulan sejumlah individu.

c. Identity. Kelompok memiliki entitas kesadaran diri. Anggota kelompok memandang diri mereka yang berada dalam kelompok sebagai “kami (us)” dan memandang orang lain yang berada diluar kelompok (outsiders) sebagai “mereka (they)”. Outsiders biasanya memilih atau memiliki kecenderungan untuk menjauh dari kelompok.

(2)

d. Boundaries. Suatu batas kelompok ditandai secara fisik oleh ruang yang ditempati, secara psikologis oleh kepribadian anggotanya dan secara sosial oleh rasa keakuan, tradisi dan norma-norma khususnya.

e. Organization. As a hole on. Kelompok merupakan keseluruhan yang memiliki bagian-bagian. Suatu kelompok pada waktu yang bersamaan pada setiap diri anggota kelompok merasakan dirinya sebagai bagian dari keseluruhan, dimana keseluruhan tersebut merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih luas lagi. Kelompok tetap eksis karena di dalamnya ada lingkungan sosial yang memberi pengaruh yang dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan sekaligus sumber-sumber ketegangan.

f. Openess. Kelompok sama halnya seperti individu, merupakan sistem yang terbuka yang tidak dapat eksis tanpa ketergantungan dengan lingkungan sosial dimana mereka harus berinteraksi.

g. Dynamism. Karena adanya kesalingtergantungan atau keterbukaan antar sejumlah anggota kelompok dengan lingkungan, kelompok menjadi dinamis; tidak statis. Konflik dan perubahan akan selalu muncul.

Merujuk pada konsep diatas, dapat disimpulkan bahwa interaksi merupakan unsur fundamental yang sangat penting dari semua proses kelompok. Interaksi ini mengacu pada pola pengaruh timbal balik yang ada dalam kelompok. Kelompok juga mengembangkan suatu struktur tertentu atau pola stabil dari tingkah laku yang ditunjukan oleh anggota kelompok dimana mereka berinteraksi secara berulang dengan cara/ karakter yang dimiliki oleh setiapa anggota kelompok. Kelompok memiliki beberapa tujuan atau fungsi, yaitu antara lain untuk menyelesaikan suatu tugas, membantu anggotanya untuk tumbuh dan berkembang, atau menyediakan aktivitas pengisian waktu luang.

Kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kelompok pada umumnya menunjukan bahwa kelompok memiliki realitas kehidupannya sendiri yang eksis diantara fakta-fakta keberadaan individu dan struktur masyarakat secara keseluruhan. Sejalan

(3)

dengan pandangan tersebut, Sukanto (1990) menyatakan bahwa syarat-syarat kelompok adalah :

a. Ada kesadaran dari setiap anggota sebagai bagian dari kelompok.

b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lain.

c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antar mereka bertambah erat (nasib, kepentingan, tujuan, ideologis dsb)

d. Kelompok tersebut berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.

Pada umumnya latar belakang pembentukan kelompok dalam masyarakat dilandasi oleh dua alasan, pertama terbentuk secara alamiah dan kedua karena dibentuk oleh pihak luar untuk berbagai tujuan. Kelompok alamiah tumbuh dan berkembang karena kesamaan kebutuhan (keamanan dan sosial), keadaan fisik dan daya tarik anggota, dan alasan ekonomi. Sedangkan kelompok bentukan pihak luar ditumbuhkembangkan antara lain untuk tujuan terapi pemberdayaan, rekreasi atau berorientasi pada tugas. Kelompok-kelompok bentukan cenderung memiliki fungsi-fungsi yang jelas dan memiliki tugas untuk mengembangkan nilai-nilai, norma dan tujuan kelompok.

Sumberdaya kelompok mencakup karakteristik anggota dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok. Karakteristik anggota mencakup karakteristik rumah tangga, pendapatan, modal, sikap, kemampuan dan keterampilan. Sumberdaya kelompok juga meliputi informasi pembagian tugas kelompok, pengetahuan dan keahlian, waktu, modal atau alat-alat produksi yang dimiliki kelompok. Sementara faktor lingkungan mencakup faktor sosial budaya dan ekonomi. Agar perkembangan suatu program dapat berakar dan hidup di masyarakat, maka perlu memperhatikan lingkungan sosial budaya masyarakat dan aspek-aspek kehidupan ekonomi seperti persaingan usaha, permintaan produk, kapasitas produksi dll.

(4)

2.1.2. Pemberdayaan

Secara etimologi, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata „power‟ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan senantiasa bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Namun pemahaman yang mendalam terhadap konsep pemberdayaan tidak terlepas dari konsep yang mendasarinya yaitu ketidakberdayaan. Pemahaman kondisi tersebut merupakan bagian dari proses pemberdayaan itu sendiri. Keadaan ini oleh Leamer (1986) dalam Suharto (1997) digambarkan sebagai suatu kondisi dimana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran, emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada.

Pemberdayaan merupakan strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat agar mampu mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997). Sementara itu Ife (1995) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Terkait dengan itu, Sutrisno (2000) menjelaskan, dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada pemilihan, perencanaan, dan

(5)

pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh pemerintah.

Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan tidak hanya ditujukan pada pengembangan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga ditujukan untuk mengembangkan harkat dan martabat manusia, rasa percaya diri, serta terpeliharanya nilai-nilai budaya setempat. Untuk mencapai kondisi berdaya baik secara ekonomi maupun sosial tersebut, Kartasasmita (1997), mengajukan dua strategi pengembangan yang dapat diterapkan dalam pemberdayaan. Pertama, memberikan peluang agar sektor dan masyarakat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Kedua, memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan rakyat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi ini diterapkan dengan mengembangkan upaya-upaya berikut :

a. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang dengan mendorong, memotivasi dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang memiliki agar berupaya untuk mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki (misalnya: membuka akses pada berbagai peluang dan penyediaan berbagai masukan: modal, teknologi dan pasar).

c. Mengembangkan perlindungan bagi golongan lemah sebagai bukti keberpihakkan pada mereka, mencegah persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat potensi kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial. seperti memiliki kepercayaan

(6)

diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004): a. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk berpergian. b. Kemampuan membeli komoditas „kecil‟: kemampuan individu

untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari. c. Kemampuan membeli komoditas „besar‟: kemampuan individu

untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier.

d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga; mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri.

e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

f. Kesadaran hukum dan politik.

g. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga 2.1.3. Pengembangan Masyarakat

Ardle (1989) mengemukakan; “ Community Devolopment is

The devolopment and utilization of a set of ongoing struktur which allaw the community to meet its own needs,” ( Pengembangan

masyarakat adalah pengembangan dan pemanfaatan secara efektif seperangkat struktur yang sedang berlangsung yang memungkinkan komunitas dapat memenuhi kebutuhannya sendiri). Pengertian ini menggambarkan bahwa pengembangan masyarakat melibatkan seperangkat struktur yang diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian kelompok komunitas dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu dalam proses pengembangan masyarakat hendaknya mempertimbangkan semua aspek

(7)

kehidupan masyarakat tersebut, sehingga keputusan apapun mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh masyarakat sendiri, dengan mempertimbangkan sumber daya yang telah ada di masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat.

Dalam perspektif pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat bertujuan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi golongan masyarakat miskin melalui partisipasi aktif dan inisiatif mereka sendiri. Masyarakat tidak dipandang sebagai sistem klien yang bermasalah, melainkan sebagai masyarakat yang unik, memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. Peran pekerja sosial disini adalah membantu masyarakat agar dapat mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya serta mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif. Jadi fokusnya adalah menolong masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri (to help

people to help themselves).

Menurut Korten (1984), pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam pengembangan masyarakat terkandung esensi partisipasi. Partipasi merupakan bentuk perilaku sadar. Ini berarti bahwa tanpa kesadaran dan kesukarelaan akan terjadi partisipasi yang semu. Pada program dengan pendekatan ekonomi produktif (termasuk P2KP) bentuk partisipasi masyarakat adalah partisipasi interaktif dan fungsional.

Kajian terhadap keberhasilan/kegagalan partisipasi masyarakat menyimpulkan bahwa ada dua hal yang mendukung terjadinya partisipasi, yaitu ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant) dan terdapat iklim atau lingkungan (environment factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu (Oppenheim, 1973 dalam Sumardjo & Saharuddin, 2004). Masyarakat tidak akan berpartisipasi kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada

(8)

rencana akhir (adanya manfaat dalam penilaian mereka). Masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau aktivitas yang dapat mereka rasakan.

Simpulan diatas menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat akan muncul bila ada tiga prasyarat (Sumardjo dan Saharuddin, 2004), yaitu adanya : 1). Kesempatan; suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi; 2). Kemauan; sesuatu yang mendorong/ menumbuhkan minat dan manfaat yang dapat dirasakan aatas partisipasinya tersebut; 3). Kemampuan; kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan material lainnya.

2.1.4. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk pemerintah daerah dan kelompok yang peduli setempat, sehingga dapat dibangun "gerakan bersama" dalam menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan di wilayah bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dituntut adanya pembagian peran yang jelas antar pelaku P2KP, baik yang langsung tergabung dalam organisasi program maupun pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah daerah, para pemerhati yang peduli, kelompok-kelompok masyarakat dan lain-lain, dari tingkat pusat sampai tingkat komunitas.

Program P2KP mempunyai visi masyarakat mampu menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif dan berkelanjutan. Sedangkan misinya adalah memberdayakan masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam upaya menanggulangi kemiskinan yang dihadapinya. Prinsip yang dianut dalam pelaksanaan P2KP adalah: demokrasi, partispasi, transparansi, akuntabilitas, dan desentralisasi. Nilai-nilai yang harus

(9)

dibangun, dikembangkan dan dijunjung tinggi dalam pelaksanaan P2KP adalah: keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan dapat dipercaya.

Dengan demikian sebenarnya Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program pemberdayaan masyarakat yang bermaksud agar masyarakat mampu menolong dirinya sendiri. Secara umum tujuan P2KP adalah membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat miskin di kelurahan sasaran melalui:

a. Bantuan kredit modal kerja bagi upaya peningkatan pendapatan secara berkelanjutan.

b. Bantuan hibah untuk pembangunan maupun perbaikan prasarana dan sarana dasar lingkungan

c. Bantuan penciptaan kesempatan kerja, termasuk pelatihan, untuk mencapai kemampuan pengembangan usaha-usahanya.

Sehingga Kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat dalam P2KP adalah kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keterpaduan

Konsep Tridaya yaitu :

a. Kegiatan Pemberdayaan Sosial, berupa kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengarah pada peningkatan keterampilan teknis dan manajerial dalam upaya menunjang penciptaan peluang usaha baru, pengembangan usaha, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

b. Kegiatan Pemberdayaan Ekonomi, berupa kegiatan industri rumah tangga atau kegiatan usaha skala kecil lainnya yang dilakukan oleh perseorangan/ keluarga miskin yang menghimpun diri dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). c. Kegiatan Pemberdayaan Lingkungan, berwujud pemeliharaan,

perbaikan maupun pembangunan baru prasarana dan sarana dasar lingkungan permukiman yang dibutuhkan masyarakat kelurahan, seperti jalan dan lingkungan, ruang terbuka hijau atau taman, dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat atau komponen lain yang disepakati masyarakat. (P2KP 1999: 2)

Pola pendekatan pemberdayaan dalam P2KP dilaksanakan melalui penguatan kelembagaan masyarakat sebagai fondasi bagi terbentuknya kelembagaan lokal yang berfungsi sebagai lembaga

(10)

perantara. Pada prakteknya, program P2KP dilakukan dengan cara menyediakan bantuan keuangan (dana pinjaman bergulir dan hibah), serta bantuan teknis (tenaga pendamping yang dikenal dengan fasilitator kelurahan) dengan membangun rasa saling mempercayai antar berbagai pihak yang terlibat. Dana program tersebut dapat digunakan untuk kredit bagi ekonomi berkelanjutan dan hibah untuk pembangunan atau perbaikan sarana dan prasarana dasar lingkungan, tergantung pada prioritas kebutuhan kelompok masyarakat setempat (P2KP 1999: 2).

Dalam pelaksanaanya, setiap anggota masyarakat yang ingin terlibat dalam program tersebut diwajibkan untuk membentuk atau ikut dalam satu kelompok tertentu (Kelompok Swadaya Masyarakat). Kelompok Swadaya Masyarakat merupakan target penerima bantuan yang sesungguhnya dengan persyaratan sebagai berikut :

1. Beranggotakan minimal tiga orang (dari rumah tangga yang berbeda).

2. Anggota berasal dari keluarga berpenghasilan rendah berdasarkan kesepakatan bersama antara lurah, tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, dan warga masyarakat lainnya. 3. Jumlah anggota yang tidak berasal dari keluarga miskin (namun

diajak bergabung karena memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan) dibatasi tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota KSM (Juknis P2KP 1999: 3).

Selanjutnya masyarakat akan dibantu seorang tenaga pendamping yang bertugas antara lain membantu dan mengarahkan dalam penyusunan usulan kegiatan yang akan dilaksanakan KSM. Lebih jauh, tenaga pendamping yang disebut dengan fasilitator kelurahan ini berguna untuk menyampaikan informasi tentang program P2KP, selain membantu menyiapkan usulan dan memantau pelaksanaan program. Fasilitator kelurahan ini biasanya mempunyai latar belakang kerja sosial dan telah mendapatkan pelatihan fasilitasi. Pada awal program, akan tersedia satu fasilitator per kelurahan atau maksimal 14 orang untuk kelurahan yang sangat besar. Ia dianjurkan untuk tidak menangani

(11)

lebih dari 12 KSM. Berdasarkan pertimbangan batas rentang kendalinya.

Selain itu, di tingkat kelurahan terdpat institusi lokal yang mendapat kepercayaan untuk menerima dan menyalurkan bantuan pemerintah pusat yang dikenal dengan BKM atau Badan Keswadayaan Masyarakat. Lebih jauh BKM sebagai institusi lokal dapat berfungsi sebagai institusi yang mewakili kepentingan warga, serta berfungsi dalam menjaga kesinambungan program P2KP. BKM merupakan badan musyawarah dan pengambilan keputusan tertinggi warga masyarakat setempat, yang berhak menilai rencana/usulan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam jenis kegiatan P2KP (Juknis P2KP 1999: 7).

2.2. Kerangka Pemikiran

Pada umumnya latar belakang pembentukan kelompok dimasyarakat dilandasi oleh dua alasan, pertama terbentuk secara alamiah dan kedua karena dibentuk oleh pihak luar untuk berbagai tujuan. Kelompok alamiah tumbuh dan berkembang karena kesamaan kebutuhan (keamanan dan sosial), keadaan fisik dan daya tarik anggota, dan alasan ekonomi. Sedangkan kelompok bentukan pihak luar ditumbuh kembangkan antara lain untuk tujuan terapi pemberdayaan, pembinaan, rekreasi atau berorientasi pada tugas. Kelompok-kelompok bentukan cenderung memiliki fungsi-fungsi yang lebih jelas dan memiliki tugas untuk mengembangkan nilai-nilai, norma dan tujuan kelompok.

Kegiatan secara kelompok pada kondisi tertentu memiliki berbagai kelebihan dari usaha yang dilakukan secara individual. Melalui kelompok maka suatu aktifitas akan dapat berjalan lebih efisien, masing-masing anggota dapat saling memperhatikan dan memberi dukungan, norma-norma yang telah terbentuk menjadi sarna sosialisasi sosial sehingga dapat meningkatkan keberfungsian individu maupun kelompok.

Ditinjau dari segi waktu dan proses pembentukannya, KSM pengrajin rajutan yang berada di Kelurahan Binong termasuk dalam katagori kelompok bentukan, yaitu oleh pengelola P2KP. Dari perspektif pengelola program, KSM ini diharapkan dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam ; 1) mengorganisasi kepentingan-kepentingan para pengrajin rajutan dalam berhubungan dengan pihak pengelola program sehingga dapat

(12)

memperpendek atau menyederhanakan proses pengajuan bantuan; 2) mengembangkan sikap-sikap dan perilaku usaha para pengrajin yang signifikant bagi pengembangan usaha; 3) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengrajin baik secara teknis maupun praktis.

Sebagai elemen sosial yang dibangun dari individu-invdividu, kekuatan suatu kelompok sangat bergantung pada karakter-karakter yang terdapat dalam diri individu anggota-anggotanya seperti ; usia, jenis kelamin dll. Disamping itu, dalam memasuki suatu kelompok, selain karakter internal yang dibentuk secara alamiah, individu anggota juga membawa karakter yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang dijalaninya dalam kehidupan bermasyarkat, seperti; persepsi, sikap, pendidikan, pengalaman, tingkat ketergantungan keluarga, keragaan usaha dll. Selanjutnya melalui interaksi yang terjadi dalam kelompok, melewati dimensi waktu dan ruang, karakter-karakter tersebut berproses membentuk karakter-karakteristik kelompok. Dalam interaksi tersebut setiap anggota saling menerima dan memberi kesan dan persepsi sehingga menciptakan norma-norma bagi pengaturan peran dan fungsi bagi keberfungsian kelompok, dalam mengembangkan tujuan bersama, mengembangkan kohesivitas dan konformitas kelompok sehingga membuat mereka berfikir bahwa kelompok adalah “kami”.

Keberadaan suatu kelompok tidak terlepas dari dari dinamka sosial yang terjadi dalam proses pembentukannya. Sebagai kelompok bentukan pihak luar, proses pembentukan KSM pengrajin rajutan tidak terlepas dari kebijakan pihak yang berkepentingan terhadap pembentukannya, dalam hal ini P2KP. Dalam pembentukan suatu kelopok, pada umumnya kebijakan yang terkait dengan kepentingan pihak luar tersebut besar pengaruhnya terhadap kemandirian kelompok itu sendiri. Artinya kepentingan-kepentingan tersebut justru dapat menyebabkan proses internalisasi kepentingan anggota justru menjadi terabaikan.

Dengan adanya dinamika yang terjadi dalam suatu kelompok, maka dalam upaya untuk menciptakan suatu kelompok yang mampu memaksimalkan peran dan fungsi idealnya, pertimbangan terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi kelompok, baik eksternal maupun internal harus djadikan prioritas. Dengan mempertimbangkan kondisi itu diharapkan upaya penguatan yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan eksiistensi kelompok sasaran dimaksud.

(13)

Mengingat banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi suatu kelompok seperti diuraikan diatas, maka dalam konterks kajian ini, penulis berupaya untuk mengembangkan konsep-konsep tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kelompok tersebut sebagai landasan penyusunan program pengembangan masyarakat yang akan dilakukan. Secara sederhana alur pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar. 1 Kerangka Pemikiran Keterangan : : : : : Terdapat/ Dihasilkan Saling mempengaruhi Dilakukan

Dilakukan dg cara/ melalui - Sejarah

- Permodalan - Kapasitas produksi - Konformitas - Jejaring

- Akses dan Kontrol - Sistem Pemasaran Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan KSM Keragaan KSM - Dominasi pengurus terhadap pemasaran

- Distribusi bantuan tidak

Merata - Tidak mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat - Proses Pembentukan Kelompok - Kepemimpinan - Karakteristik anggota - Manajemen Organisasi - Pengambilan Keputusan Dinamika KSM (Performance) KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM) KSM YANG MAMPU BERSAING MEMBUKA LAPANGAN KERJA BARU PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MANDIRI (KSM) Meningkatkan kualitas Produksi Memperluas Jejaring Diklat Teknis Manajemen dan Produksi SEMAKIN LUASNYA SISTEM SUMBER MENINGKATNYA KUALITAS HASIL PRODUKSI

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara dengan NB, Guru PAI SMA Negeri 1 Lhokseumawe, 13 pada tanggal Juli 2017.. Orang tua saya punya usaha pembuatan kue, setiap hari saya membawa kue dari rumah dan saya makan

Perilaku penggunaan Napza in- halasia ( ngelem ) pada remaja juga di ben- tuk dari pengaruh teman sebaya yang terle- bih dahulu telah menggunakan lem, Infor- man

Penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2013) tentang Pengaruh Corporate Governanace, Leverage dan Profitabilitas terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur

Dalam kesempatan tersebut Gayung menyampaikan, pemilihan kajian sejarah perkotaan menjadi kajian unggulan di UNAIR, tidak bisa lepas dari letak UNAIR yang berada

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

3 Bagi peserta yang dinyatakan LULUS SELEKSI dan tidak melaksanakan kegiatan Daftar Ulang PANITIA PELAKSANA SIPENCATAR (membayar biaya diklat dan melengkapi berkas-berkas

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2013-Oktober 2013 bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap gizi ibu status gizi balita pada rumah tangga miskin

Perlu juga merujuk pada laporan Daily Bulletin (Outlook Harian) kami untuk memperkuat pandangan terhadap laporan ini.. Trend pada laporan ini dilihat dari kondisi 15’-chart