• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS KAB. SIDRAP DAN LUWU UTARA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS KAB. SIDRAP DAN LUWU UTARA)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG PADA LAHAN SAWAH

TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS KAB.

SIDRAP DAN LUWU UTARA)

Maintang, Eka Triana Yuniarsih dan Muh. Taufik

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km, 17, 5 Makassar

Email : salsabila.marzuki@yahoo.com

ABSTRAK

Jagung merupakan salah satu komoditas strategis bagi perekonomian nasional. Selain sebagai bahan pangan, komoditas ini banyak digunakan sebagai bahan utama pakan ternak dan industri makanan. Jagung dapat dikembangkan pada lingkungan fisik dan sosial ekonomi yang beragam antara lain pada lahan kering, sawah, lebak dan pasang surut. Pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan sangat strategis karena umumnya lahan tersebut tidak dimanfaatkan setelah padi MT I. Salah satu kendala pengembangan jagung di lahan sawahtadah hujan adalahteknologi budidaya jagung belum diterapkan secara baik. Kajian dilaksanakan pada sentra pengembangan jagung di lahan sawah yaitu di Kec. Kulo Kabupaten Sidrap dan kec. Mallangke kabupaten Luwu Utara. Kajian bertujuan untuk mengetahui komponen teknologi budidaya jagung spesifik lokasi yang diterapkan oleh petani jagung pada lahan sawah tadah hujan di kab. Sidrap dan kab. Luwu Utara. Pengkajian menggunakan metode survei dengan menggunakan kuesioner secara terstruktur dan semistruktur. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana (Sampel Random Sampling) dengan jumlah petani responden sebanyak 60 orang. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum petani jagung di kec. Kulo kabupaten Sidrap dan kec. Mallangke kabupaten Luwu Utara telah menerapkan teknologi budidaya jagung yang sesuai anjuran diantaranya menggunakan varietas unggul (jagung hibrida). Komponen teknologi yang perlu perbaikan antara lain pemupukan (jenis dan cara pemupukan), pengelolaan air (pembuatan draenase dan penampungan air/sumur), pengendalian hama penyakit (pengendalian terpadu) serta penanganan pasca panen jagung.

Kata kunci: jagung, teknologi budidaya, lahan sawah

PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu komoditas strategis bagi perekonomian nasional. Penduduk di beberapa daerah di Indonesia menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga dimanfaatkan sebagai bahan baku utama pakan ternak dan bahan baku industri.

Penggunaan komoditi jagung lebih didominasi oleh bahan baku utama industri pakan ternak yaitu sebesar 51%. Selanjutnya diikuiti penggunaan bahan pangan antara lain pangan langsung, bahan baku minyak nabati non kolesterol, tepung jagung dan makanan kecil (Ditjentan 2010). Pada masa yang akan datang, Indonesia tidak mustahil akan menggunakan jagung sebagai salah satu bahan baku alternatif untuk industri biofuel (Zakaria 2011). Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka permintaan akan kebutuhan jagung nasional akan terus meningkat dalam setiap tahunnya, maka pemenuhannya diupayakan dari produksi dalam negeri.

(2)

Perkembangan produksi jagung di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2005-2009), menunjukkan peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 9,52%/tahun. Pada tahun 2010 produksi jagung nasional mencapai 18,2 juta ton PK (Pipilan kering) (Ditjentan 2010). Periode 2010-2014, Kementerian Pertanian memprogramkan pencapaian dan peningkatan produksi jagung melalui upaya perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas, agar swasembada jagung nasional bisa dipertahankan. Sasaran produksi jagung tahun 2010-2014 akan ditingkatkan secara bertahap yaitu dari 19,80 juta ton PK pada tahun 2010, menjadi 29 juta ton PK pada tahun 2014, atau dengan laju peningkatan produksi sebesar 10%/tahun. Luas panen jagung naik rata-rata 4,07%/ tahun dan produktivitas naik rata-rata-rata-rata 6,93%/tahun (Zakaria 2011).

Produktivitas tanaman jagung di tingkat penelitian dapat mencapai 4,5-10,0 t/ha, bergantung pada potensi lahan dan teknologi produksi yang diterapkan. Produktivitas rata-rata nasional yang dicapai sampai saat ini masih dibawah potensinya. Dalam 5 tahun, produktivitas jagung nasional meningkat rata-rata sebesar 4,78% yaitu 34,54 ku/ha PK pada tahun 2005 menjadi 42,10 ku/ha pada tahun 2009 (Zakaria 2011). Pencapaian tersebut masih dibawah potensi produktivitas dari varietas jagung yang ada. Produktivitas jagung komposit dapat mencapai 5-6 t/ha, sementara jagung hibrida dapat mencapai 8-10 t/ha. Dengan mengacu pada potensi produksi tersebut, komoditas ini masih memiliki peluang besar untuk terus ditingkatkan produksinya.

Jagung dapat dikembangkan pada lingkungan fisik, sosial ekonomi yang sangat beragam karena jagung dapat ditanam pada lahan kering, sawah, lebak dan pasang surut dengan berbagai jenis tanah (Zubachtirodin et al. 2007).Pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan sangat strategis karena umumnya lahan tersebut tidak dimanfaatkan setelah padi MT I dan tidak cukup air untuk menanam padi MT II, sehingga terdapat peluang menanam jagung karena kebutuhan airnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan padi yang diairi sampai tergenang. Estimasi Kasryno (2002) bahwa pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat masing-masing 10-15% dan 20-30%. Namun demikian terdapat beberapa kendala utama yang dihadapi petani untuk pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan antara lain: masalah ketersediaan air (kelebihan air pada saat menanam segera setelah padi dipanen dan kekeringan pada fase generatif terutama pada saat pengisian biji, teknologi budidaya jagung belum diterapkan secara baik dan benar, modal yang terbatas, dan tidak ada jaminan pasar.

Pengembangan jagung pada lahan tadah hujan dihadapkan pada kendala kesuburan tanah yang relatif rendah dan pengerjaan pengolahan tanah cukup berat karena kondisi drainase buruk, namun teknologi budidaya tepat guna sudah tersedia (Badan Litbang Pertanian 2008). Ada dua permasalahan utama dalam budidaya jagung yaitu (1) faktor abiotis, meliputi ketersediaan hara dalam tanah kurang, cekaman air terutama kekeringan, serta kekurangan bahan organik tanah, dan (2) teknik budidaya, meliputi penggunaan varietas potensi hasil rendah, populasi tanaman rendah, dan takaran pupuk rendah (Balitsereal 2006).

Berdasarkan uraian di atas dilakukan kegiatan pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui komponen teknologi budidaya jagung spesifik lokasi yang diterapkan oleh petani jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Luwu Utara.

(3)

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan bulan Mei-September 2012 di Desa Ma’denra, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap serta di Desa Patimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, metode survei dengan menggunakan kuesioner secara terstruktur dan semistruktur. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana (Sampel Random Sampling). Di tiap kabupaten dipilih satu kecamatan dan di tiap kecamatan dipilih satu desa yang merupakan wilayah pengembangan jagung. Di tiap desa ditentukan petani responden sebanyak 60 orang petani.

Data yang dikumpulkan ialah data komponen teknologi spesifik lokasi yang diterapkan oleh petani jagung di lahan sawah tadah hujan. Pengumpulan data melalui wawancara terstruktur dan semi terstruktur dari responden (petani dan informan kunci). Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabulasi (Tabel hasil).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas jagung untuk mencukupi kebutuhan pangan dan pakan ternak adalah peningkatan produktivitas. Meningkatnya produktivitas tanaman jagung sangat terkait dengan aspek teknis atau teknologi yang diterapkan dalam budidaya. Secara umum aspek teknis dalam budidaya jagung dimulai dari pengolahan tanah, penggunaan benih, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Balitsereal (2007) melaporkan bahwa daerah penanaman jagung di Sulawesi Selatan yang sudah mulai berkembang seperti di Kecamatan Kulo Kab. Sidrap dan Kecamatan Sinjai Timur Kab. Sinjai sudah menanam jagung hibrida namun teknologi budidaya terutama pemupukan masih perlu diperbaiki.

Hasil inventarisasi komponen teknologi yang diterapkan oleh petani jagung di Kabupaten Sidrap dan Luwu pada lahan sawah tadah hujan secara umum menunjukkan bahwa petani telah menerapkan teknologi budidaya sesuai anjuran seperti penggunaan varietas unggul, pemupukan dan pemeliharaan lainnya. Namun demikian penerapan teknologi tersebut masih belum optimal. Teknologi budidaya jagung yang diterapkan oleh petani di lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Sidrap dan Luwu Utara di sajikan pada Tabel 1.

Persiapan lahan dilakukan dengan tanpa olah tanah (TOT) setelah padi, jerami dibabat kemudian disemprot dengan herbisida 1-2 minggu sebelum tanam. Penyemprotan herbisida bertujuan untuk mengendalikan gulma yang tumbuh di sawah dan mencegah gulma tumbuh setelah jagung ditanam. Menurut responden, teknologi TOT dipilih karena lebih hemat biaya terutama biaya pengolahan tanah dan lebih cepat sehingga waktu tanam lebih cepat.

Penanamaan dilakukan secara langsung dengan cara tugal dan menggunakan tali ajir. Jarak tanam yang digunakan 90 x 30 (cm) atau 80 x 30 (cm) (kec. Kulo) dan 70 x 30 (cm) dan 20 x 60 (cm) (kec. Mallangke). Jumlah Biji per lubang tanam 1- 2 biji. Penyulaman dilaksanakan pada 7-20 hari setelah tanam. Salah satu kendala budidaya jagung pada lahan sawah adalah pengolahan tanah yang cukup berat karena kondisi drainase yang buruk. Menurut Faesal dan Syuryawati, (2009) pengelolaan tanah dan tanaman padalahan sawah dengan tanah berat dengan tekstur liat dan

(4)

berdrainase lambat maka penanaman jagung dapat dilakukan lebih cepat dengan cara ditugal bertingkat, tugal yang pertama dibuat lebih dalam untuk penampung air dan tugal yangkedua agak ke samping atas lubang pertama untuk tempat benih sehingga benih yangditanam terhindar dari genangan air yang dapat menyebabkan benih tidak tumbuh karenabusuk. Pada lahan sawah bertekstur ringan yang sering tergenang pada saat akan menanam, sebaiknya dibuat guludan agar benih yang ditanam terhindar dari genangan airpada saat perkecambahan dan selanjutnya benih berkembang seiring menurunnya permukaan air secara perlahan.

Tabel 1. Penerapan komponen teknologi budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kab. Luwu Utara dan Sidrap

No Komponen Teknologi Kabupaten

Luwu Utara Sidrap

1 Pengolahan Tanah Tanpa olah tanah tetapi menggunakan herbisida yang disemprot seminggu sebelum tanam

Tanpa olah tanah tetapi menggunakan herbisida yang disemprot pada 1- 2 minggu sebelum tanam

2 Varietas Pasifik 105, Nk-22, Avanta Bisi 2, NK-22, Asia 92 3 Kebutuhan Benih 11,726kg/ha tn 12,83 kg/ha

4 Penanamaan Tugal menggunakan tali ajir Tugal menggunakan ajir 5 Jumlah Biji per lubang

tanam 2 biji 1 biji

6 Jarak Tanam 90 x 30 (cm) atau 80 x 30 (cm) 70 x 30 (cm) dan 20 x 60 (cm) Penyulaman 7 - 10 hari setelah tanam 7- 20 hari setelah tanam

7 Pemupukan

Urea 316,66 355

ZA 133,33 16,6

NPK Ponska 100 133,33

Cara Pemupukan

Diletakkan disekitar tanaman tanpa di timbun tanah

Pupuk dicampur dan diletakkan di sekitar tanaman tanpa di timbun Waktu Pemupukan

Pupuk dasar (urea) 14 HST dan pupuk susulan (urea + Ponska + ZA) diberikan pada 35 HST

Pupuk dasar (ureaI pada umur 10-20 HST) dan pupuk susulan (urea + Phosnka + ZA) pada umur 35-40 HST

8 Pengairan Air hujan dan penyiraman

secara manual Tadah hujan 9 Penyiangan Penyiangan pada 2- 3 migggu

setelah tanam menggunakan herbisida

Penyiangan pada umur 1 -20 HST menggunakan herbisida

10 Pengendalian

Hama/Penyakit Cara kimiawi Cara kimiawi 11 Panen dan Pasca

panen umur 120 HST, dengan cara dicabut menggunakan pisau, dipipil dengan alat mesin, media penyimpanan karung dalam gudang/ bawah rumah

Umur 120 hari, dicabut dengan tangan, dipipil dengan alat mesin lalu disimpan dalam wadah karung di gudang atau di bawah kolom rumah

Di antara komponen teknologi produksi, varietas unggul mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi jagung. Perannya menonjol dalam potensi hasil per satuan luas, komponen pengendalian hama/penyakit (toleran), kesesuaian

(5)

terhadap lingkungan, dan preferensi konsumen. Petani jagung di kab. Sidrap khususnya di kec. Kulo menggunakan varietas Pasifik 105, Nk-22, Avanta sedangkan petani di kec. Mallangke kab. Luwu Utara mengunakan varietas hibrida Bisi 2, NK-22 dan Asia 92. Menurut respoden yang ditemui pemilihan varietas tersebut disesuaikan dengan permintaan pasar. Rata-rata penggunaan benih di kec. Kulo 11,76kg/ha sedangkan di kecamatan Mallangke 12,83 kg/ha. Penggunaan varietas unggul (hibrida atau komposit) umumnya berdasa hasil tinggi sehingga bila didukung oleh teknologi yang tepat akan memberikan produktivitas dan pendapatan yang tinggi bagi petani.

Petani jagung di kec. Kulo menggunakan pupuk urea 316 kg/ha, pupuk ZA 133 kg/ha dan NPK Posnka 100 kg/ha. Sedangkan petani di kec. Mallangke menggunakan urea 355 kg/ha, ZA 16.6 kg/ha dan NPK Ponska 133,33 kg/ha. Jenis pupuk yang diberikan lebih ke pemenuhan unsur N, sementara kebutuhan P dan K hanya dari NPK Ponska. Berdasarkan hasil penelitian, takaran pupuk untuk tanaman jagung di Lampung berdasarkan target hasil adalah 350-400 kg urea/ha, 100-150 kg SP-36/ha dan 100-150 kg KCl/ha (Badan Litbang Pertanian, 2008). Hasil penelitian Herniwati dan Peter Tandisau (2009) menunjukkan bahwa di kab. Luwu Utara pemberian pupuk dosis 600 kg/ha Phonska (90 N, 90 P2O5, 90 K2O) atau setara dengan pemberian dosis 200 kg/ha Urea, 250 kg/ha SP36 dan 150 kg/ha KCl memberikan produksi 7,22 t/ha.

Pada prinsipnya, pemupukan dilakukan secara berimbang. Pemupukan berimbang adalah pengelolaan hara spesifik lokasi, bergantung pada lingkungan setempat, terutama tanah.Pengelolaan hara spesifik lokasi berupaya menyediakan hara bagi tanaman secara tepat, baik jumlah, jenis, maupun waktu pemberiannya, dengan mempertimbangkan kebutuhan tanaman dan kapasitas lahan dalam menyediakan hara bagi tanaman (Makarim et al. 2003). Metode pemupukan berdasarkan kebutuhan hara tanaman jagung dapat dilakukan dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun dengan Bagan Warna Daun (BWD) untuk pemberian hara N sedangkan kebutuhan hara P dan K dengan perangkat Uji Tanah Kering (PUTK). Pengukuran klorofil daun menggunakan klorofilmeter dan pengukuran warna daun menggunakan BWD berkorelasi positif dengan kadar N daun (Syafruddin et al. 2006). Kebutuhan pupuk tanaman jagung juga dapat diketahui melalui uji petak omisi (tanpa satu unsur). Pengujian langsung di lahan petani dengan petak perlakuan NPK (lengkap), NP (minus K), NK (minus P) dan PK (minus N) (badan Litbang Pertanian, 2015).

Selain takaran dan bentuk pupuk, waktu dan cara pemupukan juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Petani jagung di Kec. Kulo melakukan pemupukan dengan cara diiletakkan disekitar tanaman tanpa di timbun tanah. Waktu pemberian pupuk dasar (Urea) 14 Hari Setelah Tanam (HST) dan pupuk susulan (Urea + Ponska + ZA) diberikan pada 35 HST sedangkan petani di Kec. Mallangke melakukan pemupukan dengan cara pupuk dicampur dan diletakkan di sekitar tanaman tanpa di timbun.Pupuk dasar (Urea pada umur 10-20 HST) dan pupuk susulan (Urea + Phosnka + ZA) pada umur 35-40 HST. Waktu pemberian pupuk sudah sesuai dengan teknologi anjuran tetapi memerlukan perbaikan dari segi cara pemupukan. Hara N banyak menguap dan tercuci, hara K banyak tercuci, sedangkan hara P terfiksasi di dalam tanah oleh karena itu pupuk seharusnya dibenamkan ke dalam tanah.

(6)

Rekomendasi waktu dan cara pemupukan dalam PTT jagung pupuk N diberikan 2 kali, yaitu pada 7-10 HST dan 30-35 HST dengan cara pemupukan di tugal sedalam 5 cm dengan jarak 10 cm dari batang tanaman dan ditutup dengan tanah.

Untuk mengurangi kehilangan N, pemberian pupuk N harus dilakukan secara bertahap. Hasil penelitian Tirtoutomo et al. (1991) menunjukkan bahwa pemberian N 1/3 bagian pada saat tanam dan 2/3 bagian pada 30 HST relatif lebih baik dari segi hasil maupun efisiensi serapan N, dibanding dengan pemberian seluruhnya pada saat tanam atau 2/3 takaran pada waktu tanam dan 1/3 takaran pada 30 HST. Pemberian N secara tugal atau larik lebih hemat 55-66% dibanding cara sebar atau siram (urea dilarutkan). Pemberian 45 kg N/ha secara tugal atau larik memberikan hasil yang setara dengan pemberian 90 kg N/ha secara sebar atau disiram (Fadhly et al. 1993).

Pupuk P sebaiknya diberikan semuanya pada awal tanam, karena memberikan hasil yang sama dengan pemberian secara bertahap (Sutoro et al. 1988).Pada tanah Ultisol, pupuk K lebih baik diberikan secara bertahap, yaitu 1/2 takaran pada awal tanam dan 1/2 takaran pada 45 HST. Pada tanah kapuran justru sebaliknya, seluruh pupuk K lebih baik diberikan pada awal tanam (Syafruddin et al. 1997).

Masalah ketersediaan air yakni kelebihan air pada saat menanam segera setelah padi dipanen dan kekeringan pada fase generatif terutama pada saat pengisian bij merupaka salah satu kendala umum dalam budidaya jagung di lahan sawah tadah hujan. Olehnya itu diperlukan teknologi pengelolaan air yang efisien sehingga ketersediaan air tetap ada sepanjang pertumbuhan tanaman. Petani jagung baik di kec. Kulo maupun di kec. Mallange mengandalkan air hujan dan penyiraman secara manual serta pembuatan saluran draenase dibuat di beberapa petakan untuk membuang air jika sawah masih tergenang.

Efisiensi pemanfaatan air di lahan sawah tadah hujan dapat dilakukan dengan menanam jagung segera setelah panen padi, apabila dipetakan sawah masih tergenang, perlu dibuat saluran drainase unruk mengeluarkan airnya. Apabila menanam jagungsetelah padi dipanen pada lahan sawah tadah hujan dipercepat maka dapat dimanfaatkansisa kelembaban tanah dari tanaman padi dan mengurangi frekuensi mengairi di musimkemarau ( Faesal dan Zubactirodin 2005).

Kelebihan air pada saat tanam dapat diatasi dengan pembuatan saluran drainase yang dapat berfungsi ganda yaitu mengeluarkan air dari petakan sawah pada musim hujan dan menjadi saluran pembagi air di musim kemarau.Pemanfaatan air tanah dangkal atau kedalaman muka air (4 – 5 m) yang dipompa naik permukaan kemudian didistribusi ke seluruh petak sawah melalui saluran atau pipaparalon, ketika hujan sudah tidak ada dan sawah sudah mulai mengering upaya ini merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan air pada musim kemarau. Kekurangan air pada musim kemarau dapat pula diatasi dengan membuat sumur gali,memompa air dari kolam atau air sungai. Selain itu, dapat pula dibuat bendungan sederhana (embung) sebagai penampung air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi pertanaman jagung pada musim kemarau

Petani jagung baik di kec. Kulo maupun di kec. Mallangke pada umumnya melakukan pengendalian cara kimiawi yakni menggunakan herbisida untuk pengendalian gulma dan menggunakan pestisida untuk pengendalian hama penyakit. Menurut responden cara ini lebih cepat dan lebih menghemat tenaga dibandingkan dengan pengendalian mekanis.

(7)

Komponen teknologi lain yang masih perlu perbaikan adalah teknologi pasca panen. Petani jagung di kec. Kulo dan Kec. Mallangke belum optimal dalam penanganan hasil jagung setelah di panen. Petani masih memiliki pengetahuan dan sarana prasarana pascapanen yang sederhana. Panen dilakukan secara manual selanjutnya dipilil dengan mesin pemipil (tresher) dan langsung dimasukkan kedalam karung untuk selanjutnya di simpan di bawah kolom rumah sampai terjual. Penanganan pasca panen yang benar akan menghasilkan biji pipilan kering yang berkualitas sehingga mutu pipilam jagung yang dihasilkan oleh petani dapat diterima oleh pabrik pakan tentunya dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan jika dijual langsung ke pedagang pengumpul. Pada umumnya kriteria jagung untuk pabrik pakan dengan kadar air minimal 15%, tidak berjamur 3%, rusak maupun pecah 2%. Komponen teknologi pasca panen yang perlu perbaikan antara lain teknologi pengeringan yang harus ditunjang oleh sarana pasca panen antara lain alat pengecek kadar air, lantai jemur, terpal, alat pengering, gudang penyimpanan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas jagung, diantaranya melalui penerapan teknologi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul dengan penerapan teknologi PTT mampu meningkatkan hasil jagung dan efi-siensi input produksi (Suryana et al. 2008). Hasil penelitian Balitsereal pada lahan kering menunjukkan bahwa penerapan model PTT pada jagung varietas Lamuru dapat membe-rikan hasil 6-6,5 t/ha, pada lahan kering masam dengan menggunakan varietas Sukmaraga memberikan hasil 5,5–6 t/ha, dan pada lahan sawah tadah hujan dengan varietas Lamuru dan Srikandi Kuning-1 mampu mem-berikan hasil sekitar 6–7 t/ha (Balitsereal, 2006). Penelitian pendekatan PTT jagung yang telah dilaksanakan padaMK 2006 menunjukkan bahwa hasil biji jagung rata-rata pipilan kering yang diperolehpetani di Kab. Pangkep, Barru, dan Sidrap masing-masing 6,42 t; 4,50 t; dan 4,09 t/ha.Penerimaan petani per ha cukup menguntungkan, untuk petani di Kab. Pangkep sebesar Rp. 7.571.000,- sedangkan petani di Kab. Barru diperoleh sebanyak Rp. 4.693.300,- dan petani di Kab. Sidrap sebesar Rp. 3.646.300, (Faesal dan Syuryawati 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum petani jagung di kec. Kulo kabupaten Sidrap dan kec. Mallangke kabupaten Luwu Utara telah menerapkan teknologi budidaya jagung yang sesuai anjuran diantaranya telah menggunakan varietas unggul (jagung hibrida). Komponen teknologi yang perlu perbaikan antara lain pemupukan (jenis dan cara pemupukan), pengelolaan air (pembuatan draenase dan penampungan air/sumur), pengendalian hama penyakit (pengendalian terpadu) serta penanganan pasca panen jagung.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2008. Pengelolaan tanaman terpadu (ptt) pada sawah hujan. Pedoman bagi Penyuluh Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 23 Hal.

(8)

Badan Litbang Pertanian, 2015. Pedoman Umum PTT Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 20 p.

Balitsereal. 2006. Deliniasi percepatan pengembangan teknologi PTT jagung pada beberapa agroekosistem. Bahan Padu Padan Puslitbangtan dengan BPTP. Bogor, 13-14 Maret 2006. Balitsereal Maros, 14 hal.

Balitsereal. 2007. Highlight. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 50p

Ditjentan Pangan, 2010. Mempertahankan Swasembada Jagung Menuju Kemandirian Pangan. Sinar Tani Edisi 20-28 Oktober 2010. No.3376 Tahun XLI.

Faesal dan Zubachtirodin. 2005. Teknologi pelarutan pupuk N, P, K pada tanaman jagung di lahan sawah tadah hujan. Prosiding Seminar Nasional. Pemasyarakatan Inovasi Teknologi dalam Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal. Mataram, 30–31 Agustus. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Libang Pertanian. Puslitbangtan. 37 p.

Faesal dan Syuryawati. 2009. Kendala dan prospek pengembangan jagung pada lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros Hal. 183-188.

Fadhly, A.F. A.S. Wahid, M. Rauf, dan Djamaluddin. 1993. Pengaruh sumber dan takaran nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Titian Agronomi. 5:69-75.

Herniwati dan P.Tandisau, 2009. Kajian Pemupukan N, P dan K pada Jagung Komposit Varietas Sukmaraga di Kabupaten Luwu Utara. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Sulawesi Selatan.

Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya di Indonesia. Disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Bogor.

Makarim, A. K., I.N. Widiarta, S. Hendarsih, dan S. Abdurachman. 2003. Panduan teknis pengelolaan hara dan pengendalian hama penyakit tanaman padi secara terpadu.

Suryana, A., Suyamto, Zubachtirodin, M. S. Pabbage, S. Saenong, dan I. N. Widiarta. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Departemen Pertanian. 38 p.

Sutoro, Y. Soeleman, dan Iskandar. 1988. Budi daya tanaman jagung. Dalam: Jagung. Subandi et al. (Eds.). Puslibangtan. Bogor. p. 49-66.

Syafruddin, S. Saenong, A.F. Fadhly. 1997. Keragaan pemupukan N, P, K, dan S pada tanaman jagung di Sulsel. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas. Maros. p.478-489.

Syafruddin, S. Saenong, dan Subandi. 2006. Pemantauan kecukupan hara N berdasarkan klorofil daun. pada tanaman jagung. Prosiding Seminar Nasional Jagung. p. 296-302.

Tirtoutomo, S. S. Solehuddin, C. Soepardi, dan H. Taslim. 1991. Pengaruh macam dan waktu pemberian pupuk nitrogen terhadap efisiensi pengambilan nitrogen oleh tanaman jagung. Media Penelitian Sukamandi. 9:5-10.

(9)

Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan Subandi. 2007. Wilayah produksi dan potensi pengembangan jagung. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Sumarno et al. (Editor). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Zakaria, A.K. 2011. Kebijakan antisipatif dan strategi penggalangan petani menuju swasembada jagung nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 9 No.3, September 2011: 261-274.

Referensi

Dokumen terkait

Para siswa pada umumnya hanya tahu soal meminjam dan membaca buku perpustakaan saja dan itupun dilakukan dalam waktu yang teramat singkat, yaitu pada jam-jam

Sedangkan, pendek berarti kisahnya pendek (kurang dari pada 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memutuskan diri pada satu tokoh dalam satu

menanyakan langsung tentang pelanggaran- pelanggaran kepada salah satu Aparatur.. Sipil Negara dilingkup Pemerintahan Kabupaten Minahasa Tenggara. Aparatur Sipil Negara

Penelitian ini terbatas hanya untuk mengetahui tentang penerapan, perkembangan serta kendala dan permasalahan yang ada dalam sistem agribisnis perikananyang meliputi

Bukan ciri arsitektur Indis awal yang masih kental dengan ornamen dan ragam hias pada tiap elemen bangunan. Kusen, pintu, dan jendela merupakan jendela

Agen cerdas tersebut harus dapat menetukan strategi kelompok dengan menganalisa setiap perubahan keadaan dalam game peperangan yang sering bersifat tidak pasti atau abu–abu,

dilandasi dengan sumberdaya lokal. Melalui pengembangan potensi yang ada diharapkan upaya pemerintah daerah dalam memberdayakan masyarakat khususnya industri batik