Prototipe Sistim Pengenal Jenis Uap Menggunakan
Deret Sensor Kristal SiO
2Terlapis Polimer dan Neural Network
Hendra K.
1, M.Rivai
1, M.Sahal
1, Mauridhi H.P.
1, Ami S.J.S.
21Teknik Elektro, FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Kampus ITS, Keputih, Sukolilo, Surabaya 60111
2MIPA-Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya
e-mails: muhammad_rivai@ee.its.ac.id, muhammad_rivai@yahoo.com
Abstrak - Pada penelitian ini telah dibuat prototipe
sistim pengenal jenis uap yang elemen sensornya terdiri dari deret kristal SiO2 berfrekuensi 10 MHz
yang dilapis dengan polimer yang berbeda. Polimer yang digunakan adalah bahan fasa diam pada kolom kromatografi gas yang mempunyai kepolaran yang berbeda. Sampel uap yang digunakan adalah senyawa pelarut yang umum digunakan. Beberapa hasil percobaan dilaporkan disini. Semakin tebal lapisan polimer yang digunakan maka semakin tidak stabil frekuensi resonansi yang dihasilkan, dengan ketebalan polimer agar diperoleh frekuensi resonansi yang stabil adalah kurang dari 1µm. Semakin tinggi suhu dan kelembaban maka semakin rendah frekuensi resonansi yang dihasilkan, dengan koefisien suhu adalah -1,78 ppm/C dan koefisien kelembaban adalah -0,45 ppm/%. Frekuensi resonansi kristal akan menurun sebanding dengan konsentrasi uap. Deret sensor ini dapat menghasilkan pola yang berbeda untuk tiap jenis uap pelarut yang dideteksinya. Neural network yang diimplementasikan dalam sistim sensor ini dapat membedakan jenis uap yang terdeteksi, termasuk dapat membedakan antara molekul non-polar dari non-polar dan bahkan antara molekul dalam satu grup kepolaran.
Kata kunci: uap, kristal SiO2 terlapis polimer, pola
perubahan frekuensi resonansi, neural network.
1. PENDAHULUAN
Pendekatan klasik untuk pendeteksian uap atau gas adalah dengan menggunakan rancangan “gembok dan kunci”, yang mana sensor yang spesifik dibuat agar mengikat jenis uap tertentu dengan kuat atau berselektivitas sangat tinggi. Pendekatan ini memerlukan perancangan pembuatan sensor berpresisi tinggi dan memerlukan banyak sensor untuk tiap jenis uap yang akan dideteksi.
Pendekatan lain adalah perancangan yang meniru sistim penciuman mamalia, yang mana kriteria “gembok dan kunci” diabaikan. Sebagai gantinya, sekumpulan sensor yang terdiri dari elemen-elemen sensor yang mempunyai tanggapan sedikit berbeda digunakan untuk merespon sejumlah uap kimia yang berbeda. Walaupun pengenalan jenis uap tidak dapat
dikenali hanya dari sebuah elemen sensor, tetapi deret sensor ini akan menghasilkan pola yang berbeda untuk tiap jenis uap yang dideteksinya [1]. Beberapa peneliti telah mencoba untuk membuat perangkat yang dapat mendeteksi jenis uap dengan menggunakan berbagai jenis bahan sensor seperti metal [2], semikonduktor [3][4] dan polimer konduksi [5][6].
Pada makalah ini, pengarang telah membuat sistim pengenal jenis uap yang menggunakan deret sensor kristal SiO2 terlapis polimer dan pengenal pola
neural network. Hasil karakterisasi perubahan frekuensi resonansi kristal terhadap ketebalan polimer, suhu, kelembaban, konsentrasi dan jenis uap pelarut dilaporkan disini. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan pada berbagai bidang aplikasi seperti lingkungan, industri makanan, kesehatan, dan keamanan
2. TEORI
Bahan kristal SiO2 dapat digunakan sebagai
resonator frekuensi, yang mana besarnya frekuensi yang terjadi bergantung pada ketebalan bahan tersebut. Struktur kristal SiO2 ditunjukkan pada
Gambar 1. Jika terdapat molekul uap yang menumpuk dipermukaannya maka frekuensi resonansi akan menurun dan frekuensi resonansi akan kembali setelah molekul uap tersebut dihilangkan. Perubahan frekuensi resonansi (f) dinyatakan:
Δm νA ρ 2 2f Δf 2 SiO (1)
dengan f frekuensi resonansi kristal, m massa total dari molekul uap yang terserap di permukaan kristal,
2 SiO
ρ kerapatan kristal, kecepatan propagasi akustik pada kristal, dan A luas elektroda.
Jika permukaan kristal dimodifikasi dengan bahan polimer, maka banyaknya molekul uap yang terserap bergantung pada koefisien partisi antara polimer dan uap. Tingkat penyerapan uap ke dalam polimer dapat didekati dengan teori parameter kelarutan () antara terlarut dengan pelarut.
elektroda SiO2 SiO2 polimer elektroda
Gambar 1: Struktur kristal SiO2.
Untuk larutan, parameter kelarutan didefinisikan sebagai akar kuadrat kerapatan energi kohesif:
1/2 V v ΔE δ (2)
dengan Ev energi penguapan molar, dan V volume
molar larutan. Untuk polimer, parameter kelarutan dihitung dari rumus struktur dan kerapatan polimer.
Hansen mengusulkan bahwa energi kohesif
merupakan kontribusi dari interaksi non-polar, polar dan ikatan hidrogen. Besarnya kelarutan didasarkan pada kecocokan (matching) interaksi yang membentuk energi kohesif tersebut. Analogi pada larutan, besarnya penyerapan uap kedalam polimer dapat dinyatakan: 1/2 2 h uap δ h pol δ 2 p uap δ p pol δ 2 d uap δ d pol δ Δ (3)
dengan pol parameter Hansen untuk polimer, uap
parameter Hansen untuk uap, d komponen gaya
dispersi, pkomponen kepolaran,h komponen ikatan
hidrogen. Semakin kecil nilai maka semakin besar faktor penyerapan uap ke dalam polimer.
Untuk keperluan pengenalan jenis uap secara otomatis maka digunakan metoda neural network propagasi balik. Neural network ini terdiri dari tiga lapis, ditunjukkan pada Gambar 2. Lapis input terdiri sejumlah titik yang disesuakain dengan jumlah elemen sensor. Lapis output terdiri sejumlah model syaraf, yang disesuaikan dengan jumlah jenis uap yang diujikan. Lapis tersembunyi dapat dicari secara
percobaan dengan mempertimbangkan faktor
kecepatan algoritmanya. Jaringan ini akan bertindak meniru pemikiran manusia. Sebelum digunakan, jaringan ini dilatih dengan pola yang sudah diketahui terlebih dahulu sampai mencapai taraf kesalahan tertentu. pi 1 pi j po 1 po k pt 1 pt k i h o i1 ij wh 11 wh 1j wh m1 wh mj 1 wbh 1 1 wbh m hm h1 wo 11 wo 1m wo k1 wo km 1 1 wbo 1 wbo k pi po pt pola perubahan frekuensi jenis uap input hidden (tersembunyi) output o1 ok
Gambar 2: Struktur neural network propagasi balik tiga lapis.
3. METODE
Prototipe sistem sensor uap ditunjukkan pada Gambar 3. Empat buah kristal SiO2 berfrekuensi 10
MHz dipasang pada atap sebuah tabung pengujian dan dihubungkan ke rangkaian osilator digital CMOS. Frekuensi osilator diukur dengan menggunakan rangkaian pencacah 32-bit secara paralel dan
ditransfer ke komputer pribadi menggunakan
mikrokontroler 89S51 melalui komunikasi serial RS232.
µC 89S51
N2
Bak air yang terkontrol suhunya Flowmeter Katup aseton benzena Lapis output Lapis tersembunyi Lapis input Exhaust Deret Sensor Lubang injeksi Osilator metanol Komputer
Gambar 3: Skematika peralatan percobaan. Untuk menghilangkan molekul uap pada permukaan kristal, maka tabung pengujian dialiri gas nitrogen berkemurnian 99,999% dengan laju 1 Lmin-1 sesaat
sebelum pengukuran dimulai sampai frekuensi resonansi semua kristal tersebut dalam keadaan stabil. Sampel uap yang digunakan dalam percobaan ini
adalah benzena, toluena, khloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan aseton.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada percobaan pertama menggunakan empat buah kristal yang dilapis dengan bahan polimer PEG-1540 dengan ketebalan yang berbeda. Polimer diencerkan dengan pelarut yang sesuai dan dilapiskan pada permukaan kristal SiO2. Ketebalan polimer t
dapat dihitung menggunakan persamaan:
pol ρ 2 f 2 ν ρ pol Δf t 2 SiO (4)
dengan fpol beda frekuensi resonansi kristal antara
sebelum dan sesudah pelapisan polimer, dan pol
kerapatan polimer. Perubahan frekuensi resonansi kristal terhadap perubahan waktu ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4: Perubahan frekuensi resonansi kristal saat pelapisan polimer. 0 5000 10000 15000 20000 25000 0,08 0,98 3,87 > 4 Ketebalan (um) Si m p a n g a n B a k u Pe ru b a h a n F re k u e n s i (H e rtz)
Gambar 5: Simpangan baku perubahan frekuensi resonansi kristal untuk ketebalan polimer yang berbeda.
Semakin besar ketebalan polimer yang terbentuk maka frekuensi resonansi kristal semakin tidak stabil,
ditunjukkan pada Gambar 5, bahkan terjadi
pemadaman osilasi. Hal ini disebabkan adanya penyerapan yang besar terhadap energi akustik oleh adanya molekul uap yang terserap di permukaannya.
Pada percobaan kedua menggunakan tiga buah kristal yang dilapis dengan bahan polimer yang berbeda (OV-101, OV-17, PEG-1540) dan sebuah kristal yang tak-terlapis. Suhu tabung pengujian divariasi antara 20 - 40C. Besarnya suhu dan kelembaban tabung pengujian serta frekuensi resonansi masing-masing kristal diukur secara serentak. Hasil analisa regresi linear berganda pengaruh suhu ditunjukkan pada Gambar 6, yang menunjukkan bahwa koefisien suhu kristal SiO2
terlapis polimer sama atau lebih besar dari kristal SiO2
tak-terlapis. Kenaikkan suhu dapat menyebabkan ekspansi volume polimer [7], sehingga menurunkan frekuensi resonansinya. Koefisien suhu terbesar adalah -17,8 Hz/C pada 10 MHz (atau -1,78 ppm/C).
Gambar 6: Pengaruh suhu terhadap perubahan frekuensi resonansi kristal SiO2 terlapis polimer.
Gambar 7: Pengaruh kelembaban terhadap perubahan frekuensi resonansi kristal SiO2 terlapis polimer.
Hasil analisa regresi linear berganda pengaruh kelembaban ditunjukkan pada Gambar 7, yang menunjukkan bahwa koefisien kelembaban kristal SiO2 terlapis polimer lebih besar dari kristal SiO2
tak-terlapis. Kenaikan kelembaban dapat menyebabkan ekspansi volume polimer [8], sehingga menurunkan frekuensi resonansinya. Semakin besar tingkat kepolaran polimer maka semakin besar koefisien
kelembabannya. Hal ini diakibatkan karena molekul air merupakan molekul polar. Koefisien kelembaban yang terbesar adalah -4,5 Hz/% pada 10 MHz (atau -0,45 ppm/%).
Pada percobaan ketiga menggunakan deret kristal seperti pada percobaan sebelumnya. Tabung pengujian dialiri gas nitrogen (N2) sampai pada saat perubahan
frekuensi resonansi masing-masing kristal SiO2
menjadi stabil (fluktuasi kurang dari 10 Hertz selama 100 detik). Rerata nilai perubahan frekuensi resonansi untuk 100 detik terakhir dicacat sebagai nilai frekuensi resonansi awal untuk masing-masing kristal SiO2
terlapis polimer. Kemudian aliran gas nitrogen dihentikan, larutan metanol dengan volume tertentu disuntikkan ke dalam tabung pengujian. Konsentrasi uap (C) yang terjadi dalam ruang pengujian dapat ditentukan dengan persamaan:
(ppth) P lar M tab V T R lar V lar ρ (ppm) 3 10 P lar M tab V T R lar V lar ρ C (5)
dengan lar kerapatan larutan pelarut (g mL-1), Vlar
volume larutan pelarut (L), R ketetapan gas ideal (0,082L atm mol-1K-1 ), T suhu tabung pengujian (K),
Vtab volume tabung uji (L), Mlar massa molekul pelarut
(g mol-1), dan P tekanan tabung pengujian (atm).
Perubahan frekuensi resonansi masing-masing kristal terlapis polimer saat pemaparan uap metanol ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8: Perubahan frekuensi saat pemaparan uap metanol.
Saat perubahan frekuensi mendekati nilai kestabilan, rerata nilai perubahan frekuensi resonansi untuk 100 detik terakhir dicacat sebagai nilai frekuensi resonansi akhir untuk masing-masing kristal terlapis polimer. Ruang pengujian dialiri kembali dengan gas nitrogen
untuk melepaskan uap yang terserap kedalam polimer sehingga frekuensi resonansi kristal kembali ke frekuensi resonansi awalnya. Pada keadaan ini pengukuran berikutnya dapat dilakukan kembali. Semakin besar konsentrasi uap dalam tabung pengujian maka semakin besar penurunan frekuensi resonansi kristal yang mempunyai fungsi linear yang berkesesuaian dengan “Persamaan (1)”, ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9: Pengaruh konsentrasi uap metanol terhadap perubahan frekuensi resonansi kristal.
Pada percobaan keempat menggunakan beberapa jenis pelarut yang berbeda, yaitu benzena, toluena, kloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan aseton. Volume larutan sampel yang disuntikkan ke ruang pengujian dipilih sehingga perubahan frekuensi terbesar diperkirakan melebihi 100 Hertz. Hal ini dimaksudkan agar perubahan frekuensi ini jauh lebih besar dari nilai fluktuasinya. Pola respon yang dihasilkan deret sensor dapat dinyatakan dengan frekuensi ternormalisasi (fn), yang dinyatakan
1..4 i , 4 1 j j Δf i Δf n i Δf (6)
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perubahan frekuensi deret resonator kristal SiO2 terlapis polimer
dapat memberikan pola yang khas untuk setiap jenis uap pelarut, ditunjukkan pada Gambar 10. Nilai kepolaran uap pelarut disusun secara menaik dari bawah ke atas. Polimer non-polar (OV-101) dan mid-polar (OV-17) cenderung memberi respon yang
menurun untuk kepolaran uap yang menaik.
Sebaliknya polimer polar (PEG-1540) cenderung memberi respon yang menaik untuk kepolaran uap yang menaik. Hal ini disebabkan karena besarnya
tingkat serapan bergantung pada kecocokan
(matching) interaksi yang membentuk energi kohesif, yang salah satunya adalah komponen kepolarannya.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Perubahan Frekuensi Ternormalisasi
OV-101 OV-17 PEG-1540 Tak-Terlapis
aseton metanol etanol dietil eter khloroform toluena benzena
Gambar 10: Pengaruh jenis uap pelarut terhadap pola perubahan frekuensi kristal ternormalisasi.
Untuk keperluan pengenalan jenis uap secara otomatis maka digunakan metoda neural network. Pada fase training, 42 pola perubahan frekuensi diimplementasi ke lapisan input dan dilakukan iterasi
yang akan menghasilkan MSE sebesar 10-3
menggunakan metode Levenberg-Marquardt dengan preprocessing Principal Component Analysis (PCA). Pada fase running, 21 pola perubahan frekuensi diujikan ke neural network rerata nilai aktivasi untuk setiap model syaraf pada lapis output ditunjukkan pada Gambar 11.
-1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Aktivasi model syaraf pada lapis output
benzena toluena khloroform dietil eter etanol metanol asetone
aseton metanol etanol dietil eter khloroform toluena benzena
Gambar 11: Rerata nilai aktivasi model syaraf output JST setelah fase running
Hampir seluruh jenis uap dapat dibedakan secara jelas yang digambarkan dengan sebuah histogram yang dominan bertanda positip. Untuk metanol dan etanol hampir tidak bisa dibedakan yang dikarenakan nilai momen dipolnya yang sama.
5. KESIMPULAN
1. Ketebalan lapisan polimer mempengaruhi
kestabilan frekuensi resonansi kristal SiO2.
Semakin tebal lapisan polimer, semakin tidak stabil frekuensi resonansi yang dihasilkan bahkan
dapat mematikan mekanisme resonansi.
Ketebalan polimer agar diperoleh frekuensi resonansi yang stabil adalah kurang dari 1µm. 2. Penambahan lapisan polimer akan memperbesar
koefisien suhu dan kelembaban dari frekuensi resonansi kristal SiO2. Hal ini diakibatkan karena
suhu dan kelembaban dapat menaikkan volume lapisan polimer. Koefisien suhu terbesar adalah -1,78 ppm/C dan koefisien kelembaban terbesar adalah -0,45ppm/%.
3. Pengaruh konsentrasi uap pelarut terhadap frekuensi resonansi kristal SiO2 terlapis polimer
merupakan fungsi linear.
4. Setiap jenis uap pelarut yang berbeda momen dipolnya akan memberikan gambaran yang khas berupa pola perubahan frekuensi resonansi beberapa kristal SiO2 terlapis polimer yang
berbeda kepolarannya.
5. Neural network yang diimplementasikan dalam sistim sensor ini dapat membedakan jenis uap yang terdeteksi, termasuk dapat membedakan antara molekul non-polar dari polar (seperti benzena dari aseton), dan bahkan molekul dalam satu grup (seperti benzena dari toluena).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh Research Grant TPSDP Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS tahun anggaran 2005.
REFERENSI
[1] Albert KJ, Lewis NS, Schauer CL, Sotzing GA, Stizel SE, Vaid TP, “Cross-reactive chemical sensor arrays”, Chem Rev 100, 2000, pp. 2595-2626.
[2] Panella V, Chiarello R, Krim J, “Adequacy of the Lifshitz theory for certain thin adsorbed films”,
Physical Review Letters 76, 1996, pp. 3606-3609.
[3] Moritz W, Bartholomaus L, Roth U, Filippov V, Vasiliev A, Terentjev A, “Semiconductor sensors for the detection of fluorocarbons, fluorine and hydrogen fluoride”, Analytical Chimica Acta 393, 1999, pp. 49-57.
[4] Takeaway T., Suzuki K., Takada T., Kobayashi T., and M. Egashira, “Odor identification using a SnO2-based sensor array”, Sensors and Actuators
B 80, 2001, pp.51-58.
[5] Guadarrama A, Fernandez JA, Iniguez M, Souto J, Saja JA, “Discrimination of wine aroma using an array of conducting polymer sensors in conjuction with solid-phase micro-extraction (SPME) technique”, Sensors and Actuators B 77, 2001, pp. 401-408.
[6] Kaneda H, “Beer adsorption on a lipid membrane
as related to sensory evaluation”,
J.Am.Soc.Brew.Chem 59(4), 2001, pp. 167-171.
[7] Rivera D, Alam MK, Davis CE, Ho CK, “Characterization of the ability of polymeric
chemiresistor arrays to quantitate
trichloroethylene using partial least squares (PLS): effect of experimental design, humidity, and temperature”, Sensors and Actuators B 92, 2003, pp. 110-120.
[8] McDonough LA, Microscopy and Spectroscopy
of Water Uptake in Polymer Photoresists,
Disertation, University of Colorado, USA, 2004.
BIOGRAFI
Hendra Kusuma adalah dosen teknik elektro di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), meraih gelar sarjana di ITS tahun 1988 dan master di Curtin University of Technology tahun 2001. Bidang penelitian meliputi teknologi rangkaian elektronika dan renewable energy.
Muhammad Rivai adalah dosen teknik elektro di ITS, meraih gelar sarjana di ITS tahun 1993 dan master di Universitas Indonesia tahun 1997. Bidang penelitian meliputi sensor uap, perancangan rangkaian elektronik, dan pemrosesan sinyal.
Mochammad Sahal adalah dosen teknik elektro di ITS, meraih gelar sarjana di ITS tahun 1997. Bidang penelitian meliputi sistim informasi, neural network, dan genetic algorithm.
Mauridhi Hery Purnomo adalah profesor teknik elektro ITS, meraih gelar sarjana di ITS tahun 1985, master dan doktor di Osaka City University tahun 1995 dan 1998. Bidang penelitian meliputi image processing dan neural network.
Ami Soewandi JS adalah profesor kimia di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, meraih gelar sarjana di Unair tahun 1973 dan gelar doktor di Institut Teknologi Bandung tahun 1982. Bidang penelitian meliputi kimia organik.