• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA BAHASA KIASAN DALAM NOVEL ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN KARYA SINDHUNATA: PERSPEKTIF STILISTIKA PRAGMATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAYA BAHASA KIASAN DALAM NOVEL ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN KARYA SINDHUNATA: PERSPEKTIF STILISTIKA PRAGMATIK"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

i

GAYA BAHASA KIASAN DALAM NOVEL ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN KARYA SINDHUNATA:

PERSPEKTIF STILISTIKA PRAGMATIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH

ROMANA EDIT TERESA NIM: 161224023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan sebagai tanda syukur dan terima kasihku kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingannya sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

2. Kepada Bapa Fidelis dan Mama Yustina yang selalu mendukung saya setiap ada kesulitan dan ketika saya mengeluh dalam proses penyelesaian skripsi sehingga skripsi dapat terselesaikan.

3. Kepada Kakak Upeng, Tita, Yovi dan Adik tercinta Yono yang selalu memberi dukungan semangat kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Kepada teman-teman PBSI USD 2016 yang selalu memberikan saya semangat dan support untuk selalu tekun mengerjakan skripsi sehingga skripsi dapat terselesaikan.

5. Kepada semua pihak yang sudah mendukung saya dan tidak bisa saya sebutkan namanya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(3)

iv MOTTO

Semua orang mempunyai cara untuk selesai dan berbeda

Anda tidak istimewa (Mark Manson)

(4)

ix

Teresa,Romana Edit. 2020. Gaya Bahasa Kiasan Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata Perspektif: Stilistika Pragmatik. Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang gaya bahasa kiasan novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata Perspektif: Stilistika Pragmatik. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi wujud gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata Perspektif: Stilistika Pragmatik, (2) mengidentifikasi makna gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata Perspektif: Stilistika Pragmatik, dan (3) mengidentifikasi fungsi gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata Perspektif: Stilistika Pragmatik.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah paragraf-paragraf dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah baca dan catat.

Hasil penelitian menunjukan wujud gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata ada tiga belas buah. Rincian gaya bahasa kiasan tersebut adalah gaya bahasa kiasan simile ada lima belas buah, gaya bahasa kiasan metafora ada tiga puluh enam buah, gaya bahasa kiasan metonimia lima buah, gaya bahasa kiasan epitet enam belas buah, gaya bahasa kiasan personifikasi tujuh buah, gaya bahasa kiasan hipalase dua buah, gaya bahasa kiasan sarkasme tujuh buah, gaya bahasa kiasan satire dua buah, gaya bahasa kiasan ironi tiga puluh delapan buah, gaya bahasa kiasan eponim ada enam buah, gaya bahasa kiasan fabel dua buah, gaya bahasa kiasan dan sinekdoke enam buah. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukan ada tiga puluh empat makna gaya bahasa kiasan novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Tigapuluh empat makna tersebut adalah menggambarkan, menjelaskan, memuji, kesedihan, pertanyaan, kecewa, memberitahu, menyindir, membandingkan, penghormatan, penghormatan, kemarahan, kebijaksanaan, rendah hati, kebahagiaan, kekaguman, pertengkaran, permohonan, kekuatan, ketidakberdayaan, kesakitan, kesetiaan, emosi, lokasi, nasihat, mengerikan, romantis, kegembiraan, menyatakan sifat, menyindir, menunjukan, menjelaskan, menegaskan, mengejek, dan kecemasan. Berdasarkan penelitian ada 26 fungsi gaya bahasa kiasan. Rincian fungsi gaya bahasa kiasan tersebut adalah memuji, ratapan, mengenang, memberitahukan, menyadarkan, merayu,merendahkan diri, menyembunyikan maksud, kesedihan, memuja, menyindir, mengejek, mengungkapkan fakta, kepasrahan, kepedulian, kerisauan, kekecewaan, kesangsian, menginformasikan, mengeluh, menegaskan, penolakan, keputusasaan, kekesalan, memberikan nasihat, dan mencela.

Kata kunci: Gaya Bahasa Kiasan, Wujud, Makna, Fungsi dan Konteks Tuturan.

(5)

viii

ABSTRACT

Teresa, Romana Edit. 2020 The Figurative Language Style of Anak Bajang Menggiring Angin A Novel Written By Sindhunata Perspective: Pragmatic Stylistics. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language and Literature Education Department of Language and Art Faculty of Teacher Training and Education. Sanata Dharma University.

This study investigates the figurative language style of the novel Anak Bajang Menggiring Angin written by Sindhunata Perspective: Pragmatic Stylistics. The objectives of this study are: (1) to identify figurative language forms in the novel Anak Bajang Penggiring Angin written by Sindhunata Perspective: Pragmatic Stylistics, (2) to identify the meaning of figurative language style in Anak Bajang Menggiring Angin a novel written by Sindhunata Perspectives: Pragmatic Stylistics, and (3) to identify the figurative language style function in the novel Anak Bajang Menggiring Angin written by Sindhunata Perspective: Pragmatic Stylistics.

This type of research was descriptive qualitative. In this case, the data are in the form of speech used by the writer in the novel, or speech used by the characters in the novel. Data collection method used are reading dan writting.

The data are in the novel thirteen figurative styles in the novel Anak Bajang Menggiring Angin written by Sindhunata. The details of the figurative language styles are fifteen simile figurative styles, there are thirty six metaphorical figurative styles, there are five metomimia figurative styles, there are sixteen epitetal figurative styles, there are seven types of personification figurative styles, there are two hypalase figurative style, there are sarcasm figurative language, there are two of satire figurative styles, there are thirtin eight irony figurative styles, there are six eponym figurative language, there are two fable figurative languages, there are six sinekdoke figurative styles. This study also investigate the meaning of figurative. The details of the figurative language meanings are thirtieen seven pragmatic meanings of figurative language users based on the context in Anak Bajang Menggiring Angin a novel written by Sindhunata. Thirty-four meanings are describing, explaining, praising, sadness, asking questions, disappointment, telling, insulting, comparing, respecting, anger, wisdom, humility, happiness, admiration, quarreling, petition, strength, helplessness, pain, loyalty, emotion, location, advice, horrific, romantic, joy, expressing nature, insulting, showing, explaining, affirming, mocking, and anxiety. Based on the research there are twnety six figurative language style functions. The details of the functions of the figurative language are praising, lamentation, remembrance, informing, awakening, seducing, humble themselves, conceal intentions, sorrow, worshiping, insulting, mocking, revealing facts, resignation, anxiety, disappointment, doubt, complaining, rejection, despair, resentment, giving advice, and criticizing.

Key words: Figurative Language Style, Form, Meaning, Function and Speech Context.

(6)

xii

DAFTAR ISI

Halaman Judul...i

Halaman Persembahan ... ii

MOTTO ...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Identifikasi Masalah ... 5 1.3 Rumusana Masalah ...5 1.4 Tujuan Penelitian ...6 1.5 Manfaat Penulisan...6 1.6 Batasan Istila ...7 1.7 Sistematika Penulisan ...11

BAB II Landasan Teori...12

2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan...12

2.2. Kerangka Teori...14

2.2.1. Pragmatik...14

2.2.2. Konteks dalam Pragmatik...17

2.2.3. Stilistika...27

2.2.4. Stilistika Pragmatik...28

2.2.5. Majas dan Gaya Bahasa...31

2.2.6 Makna Pragmatik ...73

2.2.7 Fungsi Pragmatik ...76

2.3. Kerangka Berpikir...77

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...80

(7)

xiii

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data...81

3.4. Metode dan Teknik Analisis Data...82

3.5. Instrument Pengumpulan Data...85

3.6. Triangulasi Data...85

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...87

4.1. Deskripsi Data...87

4.2. Hasil Analisis Data...88

4.3. Wujud Gaya Bahasa...89

4.4 Makna Pragmatik Gaya Bahasa...117

4.4. Fungsi Pragmatik Gaya Bahasa...128

4.5. Pembahasan...139

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...148

5.1. Kesimpulan...148

5.2. Saran...150

(8)

1

PENDAHULUAN

Pada bab ini, peneliti akan menguraikan pendahuluan yang terdiri dari tujuh subbab yakni, latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, batasan istilah, dan sistematika penulisan. Tujuan subbab tersebut, akan diuraikan sebagai berikut:

1.1 Latar Belakang

Sastra dikenal sebagai wadah pengungkapan gagasan, ide dan kreasi imajinasi masyarakat. Lahirnya gagasan, ide dan kreasi imajinasi tersebut datang dari pengalaman yang dialami langsung oleh masyarakat. Gagasan,ide dan kreasi imajinasi tersebut melahirkan sebuah karya sastra. Dalam menyuguhkan karya sastra, pengarang ingin menyampaikan pesan atau makna yang terdapat dibalik karya kepada masyarakat sebagai penikmat sastra. Sebagai bentuk karya, sastra tidak hanya sekedar pengungkapan batin pengarang kepada masyarakat namun lebih kepada bentuk usaha untuk mendidik masyarakat pada umumnya. Sebagai karya yang selalu melampaui waktu, karya sastra tidak sekadar menyampaikan pengalaman reflektif pengarang tetapi juga sebagai sarana penyampaian representasi pengalaman sosial pengarang kepada masyarakat sebagai penikmat karya sastra. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Kompleks menunjuk pada susunan atau urutan unsur- unsur yang saling berkaitan antar bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.

(9)

Unsur tersebut adalah unsur ide dan unsur emosi (Wellek dan Warren, 1990:140).

Pesatnya perkembangan zaman modern mengakibatkan segala kebutuhan manusia dapat terpenuhi dengan mudah. Sistem informasi yang menjadi kebutuhan alamiah manusia lambat laun akan diraih sedemikian rupa dengan hadirnya teknologi sebagai bentuk nyata perubahan zaman. Bukan tidak mungkin hal tersebut dapat mempermudah pekerjaan manusia sebagai pencipta sekaligus penikmat perubahan tersebut. Lalu bagaimana dengan sastra? Apakah tidak terpengaruh dengan perkembangan tersebut?

Sebagai bentuk karya sastra, novel dan puisi yang umum ditemui dalam kehidupan masyarakat masih sangat produktifitas. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahasa dan struktur kebahasaan dalam kedua karya sastra tersebut terbilang dekat dengan masyarakat.

Cerita-cerita aktual menjadi ciri khas novel dan puisi sastra modern. Aktual dalam menyajikan masalah, cerita dan alur. Selain itu, pengarang juga dengan apik menampilkan kisah yang menjadi masalah dalam karya sastra. Masalah- masalah tersebut dapat berupa kemakmuran, kemerdekaan, kejahatan, percintaan dan masalah sosial. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra prosa hingga saat ini masih menjadi karya sastra yang banyak dikonsumsi oleh pembaca sebagai penikmat karya sastra. Sebagai bentuk prosa yang sangat popular, novel menyajikan gaya penceritaan berupa kisah atau rentetan peristiwa secara utuh dengan bentuk naratif. Hal demikian menimbulkan ketertarikan sendiri pembaca terhadap novel sebagai salah satu bentuk karya sastra prosa.

(10)

Di Indonesia ada banyak novel. Novel-novel tersebut ditulis oleh penulis- penulis asli Indonesia maupun penulis dari luar Indonesia. Judul-judul yang disajikan pun beraneka ragam sesuai dengan jiwa penulis. Penulis novel disebut dengan novelis.

Di dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji salah satu novelis Indonesia yang sudah sangat terkenal hingga mancanegara oleh karyanya yang berjudul Anak Bajang Menggirng Angin karya Sindhunata. Sindhunata dengan nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ. adalah penulis novel kelahiran Jawa Timur, 12 Mei 1952. Sindhunata dikenal dengan karya karya sastra klasik Anak Bajang Menggiring Angin. Selain itu, Sindhunata juga amat dikenal karena features-nya tentang kemanusiaan di Harian Kompas.

Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata adalah sepenggal kisah fantasi ramayana yang ditulis dalam bentuk bahasa Indonesia. Novel ini bercerita tentang makna cinta dengan imajinasi simbolik disertai penggalian filosofis yang sangat dalam. Novel ini juga membangkitkan kembali kisah-kisah klasik Ramayana namun dengan gaya penyajian yang enak dinikmati sesuai dengan kebutuhan pembaca zaman ini. Dalam menyajikan kisah demi kisah, penulis dalam novel AMBA banyak menggunakan diksi sebagai penunjang nilai estetika sastra novel. Sebagai novel Ramayana, Sindhunata sebagai penulis novel banyak menggunakan diksi yang mengandung gaya bahasa kiasan. Dalam novel AMBA penulis Sindhunata menggunakan diksi kiasan untuk menggambarkan Anoman. Dalam cerita novel AMBA, Anoman adalah si kera putih yang sejak lahir berwujud bajang. Kehadiran gaya bahasa kiasan dalam novel AMBA tersebut memberi kesan menarik novel. Novel ini, dianggap

(11)

ditemui dalam penggunaan gaya bahasa kiasan penulis. Lewat penggunaan gaya bahasa kiasan tersebut, novel AMBA ini dianggap sebagai buku kisah ramayana sebagai penciptaan kembali kisah-kisah tradisional ramayana namun dalam bentuk sastra. Gaya penyajian sastra dalam novel AMBA melalui imajinasi yang indah dan dimunculkan lewat diksi yang indah pula, sehingga kiahpercintaan Rama dan Dewi Sinta menjadi lebih kuat.

Novel Anak Bajang Menggiring Angin sangat menarik untuk diteliti. Penggunaan imajinasi penulis yang dimunculkan melauli penggunaan gaya bahasa kiasan menjadi sebagai semakin menarik untuk dikaji khususnya secara stilistika pragmatik. Teori-teori stilistika yang berkaitan dengan gaya bahasa menjadi sangat relevan dalam novel AMBA ini, mengingat gaya penulis dalam menyajika cerita novel AMBA sangat kental dengan penggunaan gaya bahasa kiasan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam lagi terkait dengan gaya penggunaan bahasa kiasan novel AMBA khususnya dari segi teori pragmatik.

Di dalam penelitian ini, peneliti akan lebih mengkaji gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik novel Anak Bajang Menggirng Angin karya Sindhunata. Dalam buku Keraf yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa, disebutkan bahwa gaya bahasa kiasan ada enam belas jenis yaitu persamaan atau simile; metafora; alegori, parable, dan fable; personifikasi; alusi; eponim;epitet; sinekdoke; metonimia; antonomasia; hipalase; ironi, sinisme, dan sarkasme; satire; innuendo; antifrasis; pun atau

(12)

paronomasia. Lebih jelas tentang enam belas gaya bahasa kiasan menurut Keraf tersebut akan diuraikan pada bab 2 tentang landasan teori.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi beberapa masalah yang akan dijadikan bahan penelitian ini, yaitu: 1. Terdapat makna pragmatik dibalik tuturan tertentu pada novel Anak

Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata yang pemaknaannya dapat diambil secara tersirat dari konteks tuturan.

2. Gaya bahasa kiasan yang diambil dari perspektif stilistika pragmatik dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata.

1.3 Rumusan Masalah

Ada sebagian pembaca sebagai penikmat sastra belum mumpuni dalam memahami bahwa setiap penulis karya sastra mempunyai kebebasan dalam memilih diksi atau gaya bahasa di dalam setiap penulisan karya. Di dalam penelitian ini, peneliti mencoba menjawab masalah tersebut dengan merumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:

Mencegah hal tersebut, penulis mengangkat rumusan masalah sebagai salah satu alternativ jawaban ketidaktaun pembaca, yaitu

1. Apa saja wujud gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata ?

2. Apa saja makna gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata?

(13)

3. Apa saja fungsi gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik dalam novel Anak Bajang Mennggiring Angin karya Sindhunata?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan adalah sesuatu yang ingin dalam jangka waktu tertentu dan sebuah penelitian tentu memiliki tujuan sebagai akhir dari sebuah proses. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan dalam kajian stilistika pragamtik novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata :

1. Mengidentifikasi wujud gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

2. Mengidentifikasi makna gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

3. Mengidentifikasi fungsi gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

1.5 Manfaat Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gaya bahasa kiasan dan mengkaji makna gaya kiasan yang digunakan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Hasil dari penelitian ini adalah jenis gaya bahasa kiasan, makna gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya bahasa kiasan khususnya dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Hasil dari penelitian ini peneliti berharap mampu memberikan manfaat teoritis dan juga manfaat praktis. Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberi sumbangan teori tentang jenis gaya bahasa kiasan dan makna gaya bahasa

(14)

kiasan dari segi konteks pada kalimat yang digunakan dalam penulisan novel khususnya dalam bidang stilistika pragmatik.

Manfaat praktis yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah dapat menjadi panduan dalam memahami jenis dan makna gaya bahasa kiasan perspektif stilitsika pragmatik bagi penikmat novel. Selain itu, dapat memberikan bekal bagi calon guru bahasa Indonesia mengenai macam- macam gaya bahasa kiasan dan makna gaya bahasa kiasan. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada pembaca untuk memahami gaya bahasa kiasan dan makna gaya bahasa kiasan dalam Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

1.6 Batasan Istilah

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa istilah. Agar tidak terjadi salah tafsiran, penulis menggunakan beberapa batasan istilah.

1. Gaya Bahasa

Gaya bahasa berkaitan erat dengan gaya komunikasi seseorang. Semakin baik gaya bahasa seseorang dalam berkomunikasi maka semakin baik penilaian oranglain terhadap dirinya. Sebaliknya, semakin buruk gaya bahasa yang digunakan seseorang dalam berkomunikasi semakin buruk pula penilaian orang lain terhadapnya. Gaya bahasa dapat menjadi salah satu indikator penilaian terhadap watak, perilaku dan kemampuan seseorang menggunakan gaya bahasa (Keraf, 1981:112).

(15)

Jadi, gaya bahasa berkaitan dengan gaya yanag digunakan oleh seseorang dalam bertutur maupun dalam menulis. Selain gaya bahasa tersebut dapat memberi efek tertentu dan menjadi ciri khas seseorang.

2. Gaya Bahasa Kiasan

Hubungan antara bahasa dan sastra merupakan kunci utama untuk memahami bahasa maupun sastra. Bahasa sebagai medium utama karya sastra. Tanpa ada bahasa tidak akan ada karya sastra. Karya sastra diungkapkan melalui bahasa dengan kesatuan kata-kata yang membentuknya. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra erat kaitannya dengan pemilihan diksi dan gaya bahasa. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan keindahan bagi pembaca sebagai penikmat karya sastra. Berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa dibagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (Keraf, 2010:145). Kajian gaya bahasa dalam penelitian ini adalah gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan adalah gaya yang dilihat dari segi makna tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya (Keraf, 2010:121). Penafsiran gaya bahasa tersebut dapat dilakukan sesuai dengan konteks pragmatik. Di dalam penelitian ini, penafsiran gaya bahasa kiasan dikaji dari segi stilistika pragmatik. Jadi, gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan secara langsung dari kata yang membentuknya.

(16)

3. Pragmatik

Pragmatik adalah suatu telaah makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujaran (Rahardi, dkk.; 2016:28). Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Studi pragmatik lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan- tuturan daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri (George, 2006:3).

Jadi, pragmatik berkaitan dengan penafsiran makna suatu kata atau makna suatu ujaran berdasarkan konteks situasi tuturan terjadi.

4. Konteks Pragmatik

Black (2016:2) menjelaskan konteks adalah sesuatu yang diciptakan secara dinamis dan bersama-sama oleh para peran dari wacana. Hal ini berlaku untuk wacana tertulis maupun wacana lisan. Konteks adalah salah satu bidang di mana teori relevansi memiliki pandangan yang berbeda jauh dari teori-teori lain (Black, 2016:179). Sperber dan Wilson (2016:179) mendefiniskan konteks sebagai sekumpulan premis atau ide yang digunakan untuk menafsirkan sebuah ucapan. Rahardi (2003:13-14) mendefinisikan pragmatik sebagai studi ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya.

(17)

konteks situasi tuturan dilakukan. Konteks tuturan berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan konteks tuturan untuk dijadikan acuan dalam menafsirkan makna. Selain itu, konteks pragmatik juga berkaitan dengan segala hal yang berada di luar kata, frasa, klausa dan kalimat yang dapat dijadikan acuan untuk menafsirkan makna sebenarnya.

5. Stilistika Pragmatik

Stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumunya lebih mengacu pada gaya bahasa (Nyoman, 2009:167). Di dalam karya sastra, stilistika berfungsi untuk mengungkapkan cara-cara dan hakikat penggunaan gaya bahasa pengarang. Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah penghubung antara bahasa dengan sastra.

Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Teori tentang stilistika dan pragmatik menghasilkan stilistika pragmatik. Kajian stilistika pragmatik dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dari teori pragmatik yang bisa menjelaskan aspek-aspek dari teks sastra yang membuat teori-teori pragmatik menjadi menarik untuk digunakan sebagai sarana penafsiran (Black, 2011:336). Di dalam penelitian ini kajian stilistika pragmatik berfungsi untuk mengkaji konteks gaya bahasa kiasan. Selanjutnya, kajian konteks gaya bahasa tersebut dapat mengungkapkan penggunaan gaya bahasa pengarang dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

(18)

6. Novel

Novel adalah cerita rekaan yang menyajikan tentang aspek kehidupan manusia yang lebih mendalam yang senantiasa berubah-ubah dan merupakan kesatuan dinamis yang bermakna (Santosa,dkk.; 2010:46).). Novel menyajikan kehidupan itu sendiri. Sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan kehidupan subjektivitas manusia (Santosa,dkk.;2010:47).

Penyajian cerita rekaan tersebut mengungkapkan kejadian, pengalaman hidup manusia yang menarik melalui cerita. Di dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti gaya bahasa kiasan konteks pragmatik.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I satu pendahuluan, meliputi : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, batasan istilah, dan sistematika penulisan. Bab II landasan teori, meliputi : tinjauan pustaka dan kajian teori. Bab III metodologi penelitian, meliputi: pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data. Bab IV pembahasan, meliputi jenis gaya bahasa kiasan dan maksud gaya bahasa kiasan dalam novel anak bajang. Bab V yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

(19)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini berisi tentang uraian-uraian tentang penelitian yang relevan, kerangka teori dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan menguraikan tentang teori-teori terkait yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Kerangka teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai acuan analisis dari penelitian ini yang berisi pragmatik, konteks dalam pragmatik, stilistika, stilistika pragmatik, dan majas dan gaya bahasa. Kerangka berpikir berisi tentang landasan teori berdasarkan pada penelitian yang relevan. Secara rinci akan diuraikan berikut:

2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Terdapat dua penelitian terdahulu yang meneliti tentang gaya bahasa kiasan di dalam karya sastra. Adanya penelitian tersebut menunjukan bahwa penelitian yang dilakukan oleh peneliti masih relevan.

Pertama, penelitian yang berjudul Analisis Kesopanan dan

Ketidasopanan Level Narrator Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruh (Catatan Buat Emak) karya Ahmad Tohari: Sebuah Kajian Stilistika Pragmatik oleh Martha Ria Anesti tahun 2014. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kesopanan dan bentuk-bentuk pelanggaran ketidaksopanan level narator dalam novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari. Hasil penelitian ini adalah adanya narasi-narasi dalam novel. Narasi-narasi tersebut terdiri dari enam bentuk kesopanan.

(20)

Kedua, penelitian berjudul Pemanfaatan Gaya Bahasa Dalam Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak Karya Garin Nugroho: Kajian Stilistika Pragmatik oleh Damaris Rambu Sedu Dairu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya bahasa dan makna gaya bahasa yang digunakan dalam Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak Karya Garin Nugroho: Kajian Stilistika Pragmatik. Hasil penelitian tersebut menunjukan ada 71 gaya bahasa berdasarkan konteks dalam pragmatik, dan ada 9 makna gaya bahasa berdasarkan konteks dalam pragmatik.

Penelitian di atas merupakan penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Hal tersebut dikarenakan kedua peneliti sama- sama mengkaji tentang gaya bahasa kiasan karya sastra perspektif stilistika pragmatik. Meskipun sama-sama mengkaji tentang gaya bahasa perspektif stilistika pragmatik, peneliti belum menemukan kajian peneliti sebelum yang menunjukkan gaya bahasa kiasan perspektif stilsitika pragmatik dalam Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak Karya Garin Nugroho secara terperinci. Dalam hal ini, peneliti sebelum mengkaji makna gaya bahasa kiasan dari Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak Karya Garin Nugroho. Atas dasar itu, peneliti dalam karya ilimiah ini mengkaji gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Karena menganggap gaya bahasa kiasan khususnya dalam karya sastra sangat menarik untuk dikaji dan masih perlu untuk diteliti. Namun, peneliti sebelumnya banyak mengkaji gaya bahasa kiasan perspektif semantik. Perspektif semantik mengkaji makna gaya bahasa kiasan secara tekstual atau

(21)

memaknai gaya bahasa sesuai yang tertulis dalam teks. Sementara, gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik, peneliti akan mengkaji makna gaya bahasa kiasan dari tuturan tertentu yang terdapat di dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata dari persepktif stilistika pragmatik. Jadi, penanda gaya bahasa akan menentukan makna gaya bahasa kiasan. Selain itu, makna gaya bahasa dalam tuturan sangat berperpengaruh dari konteks tuturan disampaikan. Dalam hal ini, terdapat keterkaitan antara konteks tuturan dan makna tuturan yang nantinya akan menjadi hasil akhir penelitian dari peneliti.

Berangkat dari beberapa alasan di atas, peneliti menganggap bahwa kajian gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik sangat baik untuk dilakukan. Apalagi, peneliti belum menemukan ada peneliti yang meneliti gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik dari novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Pragmatik

Perkembangan ilmu bahasa yang tidak dapat dipisahkan dari pemakainya (users), yang biasa disebut pragmatik telah banyak dicatat para ahli pragmatik. Ilmu bahasa pragmatik adalah bagian dari topik pembahasan

lingustik. Baik linguistik tradisional maupun linguistik modern.

Perkembangan ilmu bahasa pragmatik pada linguistik modern tidak sama dengan perkembangan ilmu bahasa pragmatik pada masa

(22)

lunguistik-dikesampingkan dan tidak diperhitungkan, karena dianggap terlalu membahas persoalan khusus, khas dan cenderung dipandang aneh.

Jacob L. Mey (1993) mengatakan pragmatik pada saat sekarang sangat menarik untuk dicermati, diteliti dan dikaji. Pada tahun 1970-an ilmu bahasa pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik baru mencuat dan betul-betul berkembang dalam percaturan lingusitik Amerika. Hal ini berbeda dengan perkembangan ilmu bahasa pragmatik pada tahun-tahun 1930-an yang mencakup bidang-bidang tradisional ( fonetik,morfologi, dan fonemik).

Pada tahun 1950-an, sosok sintaksis mendapatkan tempat di dalam dunia linguistik oleh Noam Chomsky. Bagi Chomsky, sintaksis bagian dari linguistik yang sangat sentral. Sentral karena dalam sintaksis mengandung ilmu bahasa sekaligus linguistik. Pada tahun 1970-an, para linguis yang bercorak pemikiran transformasi-generasi seperti Ross dan Lakoff, menyatakan bahwa kajian ihwal sintaksis sama sekali tidak dipisahkan dari konteks situasi pertuturannya. Maka, sejak saat itulah dalam dunia linguistik yang kemudian disebut dengan ilmu bahasa pragmatik mulai berkembang di Amerika Tengah. Mulai saat itulah pragmatik mulai digunakan dalam kajian linguistik.

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Studi pragmatik lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturan daripada dengan makna terpisah

(23)

dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri (George, 2006:3).

Pragmatik sebagai anak cabang dari linguistik yang paling muda masih perlu digelorakan. Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa linguistik yang berorientasi pada aliran fungsionalisme, pragmatik lebih khusus membahas makna yang berbeda dengan semantik. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada pembahasan makna pragmatik yang lebih terperinci pada maksud penutur dengan kaitannya konteks penutur. Maksud penutur tersebut termanifestasi dalam bentuk bahasa (Rahardi, 27:2019). Ruang lingkup pragmatik ada empat, yakni:

Pertama, pragmatik adalah studi tentang konteks (George, 2006:4). Studi tentang konteks berarti penutur perlu mengatur apa yang ingin disampaikan dengan mitra tutur, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa.

Kedua, pragmatik juga adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan (George, 2006:4).

Di dalam studi ini perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur.

Ketiga, studi pragamatik juga membahas tentang ungkapan dari jarak hubungan (George, 2006:6). Jarak dapat menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan. Jarak pendengar, jarak penutur sebagai jawaban mendasar dalam menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan.

(24)

Keempat, studi pragmatik erat kaitanya dengan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan.

Belajar pragmatik memiliki manfaat kepada orang lain tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan ketika sedang berbicara.

2.2.2 Konteks dalam Pragmatik

Konteks didefinisikan sebagai sekumpulan premis atau ide yang digunakan untuk menafsirkan sebuah ucapan (Black, 179:2016). Konteks dipandang sebagai sebuah konstruk yang berada dibawah kendali pendengar, diawali asumsi bahwa ucapan itu adalah relevan. Konteks dianggap memperhatikan asumsi-asumsi yang tidak akurat tetap dapat mempengaruhi penafsiran terhadap ucapan. Setiap orang memiliki pengetahuan tersendiri dalam menafsirkan informasi. Maksud penafsiran informasi dapat dipengaruhi juga oleh latarbelakang setiap orang. Bisa saja, penafsiran informasi setiap orang bisa berbeda sepanjang waktu dengan penafsiran informasi orang lain. Misalnya, kalau kita mendengar kata “ dokter gigi” maka pengetahuan yang ada dalam pikiran kita akan berebeda jika seandainya yang kita dengar adalah “ dokter”. Dokter gigi adalah orang yang mempunyai keahlian khusus dengan penyakit gigi. Maka dalam menangani pasien, dokter gigi tidak bisa menangani semua jenis penyakit.

(25)

Keahliannya hanya seputar gigi bukan penyakit yang lain. Lalu akan berbeda dengan dokter. Dia akan melayani semua jenis penyakit. Tetapi ada beberapa konteks dalam dokter gigi tidak dapat dipahami oleh dokter secara umum. Jenis penyakit yang dapat ditanganipun akan berebeda dengan jenis penyakit yang ditangani oleh dokter gigi. Karenaya kita akan memilih konteks yang pas untuk memaksimalkan makna yang didapatkan dari sebuah ucapan, baik ucapan dari dokter gigi maupun ucapan dari dokter umum. Demikian pula, kedua dokter akan memaksimalkan makna yang digunakan dengan memilih konteks yang pas agar ucapan yang disampaikan dapat tercapai sesuai dengan tujuan.

Rahardi (2003:13-14) mendefinisikan pragmatik adalah studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dan konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah teragamatisasi dan terkodefisasi sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaanya. Dapat dikatakan bahwa dalam mendefinisikan sebuah kata, frasa maupun kalimat dalam satuan kebahasaan tertentu tidak dapat dipisahkan dari konteks situasi tuturan. Artinya, makna suatu kebahasaan tertentu dapat ditafsirkan setelah ada penggabungan dan kodefisasi suatu unsur kebahasaan dan konteks tuturan dilakukan. Artinya, konteks pragmatik membahas hubungan antara bahasa dan konteks tuturan.

Konteks pragmatik berkaitan dengan segala macam aspek yang sifatnya luar bahasa (extralinguistic), yang menjadi penentu pokok

(26)

Konteks adalah sesuatu yang diciptakan secara dinamis dan bersama-sama oleh para peran dari wacana (Black, 2016:4). Di dalam pengertian ini, pencarian makna konteks ditentukan oleh wacana di dalam teks. Terdapat keterkaitan antara konteks dan wacana dalam teks. Pembaca dapat menyimpulkan makna konteks dari wacana teks, berkaitan dengan informasi baru yang disampaikan akan menjelaskan apa yang sudah disampaikan sebelumnya atau dapat mengubah persepsi kita tentang apa yang sudah disampaikan.

Kehadiran konteks menimbulkan makna sebenarnya sebuah tuturan. Selain itu, pemahaman tentang konteks pragmatik juga berkaitan dengan pemahaman pembaca dalam memahami, mengakses informasi apapun agar dapat mengolah ucapan penutur. Maksud dari akses informasi ucapan penutur adalah untuk membuat ucapan tersebut menjadi relevan. Selain itu, kehadiran konteks juga menciptakan situasi agar ucapan atau tuturan penutur menjadi lebih bermakna.

Secara umum, pengertian konteks pragmatik adalah segala macam aspek yang berada di luar bahasa (extralinguistic) yang menjadi penentu pokok kehadiran sebuah makna kebahasaan. Konteks situasi mutlak hadir untuk menjadikan tuturan benar-benar bermakna. Dalam Bahasa Indonesia, orang bisa saja menyebut “monyet” kepada orang lain sebagai bentuk keakraban yang benar-benar kental, baik dan tidak berjarak sama sekali. Artinya, dalam bertutur kedua orang tersebut memang sudah mempunyai

(27)

hubungan pertemanan sehingga komunikasi tersebut bisa terjadi. Namun, perlu ditegaskan bahwa penentu bagi makna tuturan itu ( kasar,vulgar, atau biasa-biasa saja) adalah kehadiran konteks situasi.

Leech (1983) menyebutkan konteks tuturan dengan istilah “ speech situation”. Apa yang dikatakan oleh Leech berbeda dengan konteks tuturan menurut Malinowsky. Menurut Leech, speech situation ada lima, yakni: pertama, penutur dan lawan tutur “Speaker dan hearer” dapat berkaitan dengan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang ekonomi, latar belakang sosial, latar belakang psikis, mental atau emosinya. Kedua, konteks tuturan itu sendiri : situasi waktu dan situasi tempat (spatio-temporal settings) bagi terjadinya tuturan aspek fisik, aspek sosial-kultur yang menjadi penentu makna tuturan. Ketiga, tujuan tuturan. Sebuah tuturan muncul karena ada tujuan. Jadi harus ditegaskan bahwa, dalam pragmatik setiap bertutur harus berorientasi tujuan ,pada maksud, maka disebutkan sebagai “ good-oriented activity”. Dalam pragmatik, setiap kebahasaan yang digunakan harus selalu berdasarkan pada fungsi, bukan hanya bentuk, karena setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya bentuk tindakan verbal, yang secara fungsional selalu memiliki tujuan. Keempat, tuturan harus selalu di anggap sebagai tindak verbal. Tindak-tindak verbal inilah yang menjadi kajian utama pragmatik. kelima, tuturan menjadi produk tindak verbal. Dalam sebuah tuturan misalnya seorang guru mengatakan kepada muridnya “ ruangan ini panas”. Dalam tuturan tersebut, produk yang sesungguhnya diharapkan adalah adanya tindakan menyalakan AC atau

(28)

kipas angin. Aspek situasi tuturan yang disampaikan depan itu menjadi penentu makna kebahasaan sebuah tuturan.

2.2.2.1 Konteks Situasi Tutur

Pragmatik adalah studi bahasa yang terikat konteks (context dependent). Dalam hal ini, konteks tidak bisa tidak dilibatkan dalam memaknai bahasa, baik bahasa dalam pengertian entitas kebahasaan elemen, maupun bahasa dalam pengertian umum yang jauh lebih holistik dan luas (Rahardi, 2016:38). Kehadiran konteks tuturan menjadi keharusan khususnya dalam tuturan lisan.

a. Penyapa dan Pesapa

Penyapa dan pesapa biasa juga disebut sebagai penutur dan mitra tutur. Penyapa dan pesapa bisa berdasarkan jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi, latar belakang kultur, usia, profesi, dan masih banyak lainnya. Leech (1983) menjelaskan bahwa pragmatik tidak hanya terbatas pada dimensi lisan, tetapi juga pada dimensi tulis atau dimensi tekstual. Dimensi-dimensi yang berkaitan dengan Dimensi-dimensi penyapa dan pesapa sangat variatif (Lyons, 1997:34). Misalnya saja, dari dimensi usia orang harus bisa membedakan bahasa yang digunakan oleh orang yang

usia tua dengan anak-anak. Biasanya, ketika seorang

berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dari usianya

(29)

pemilihan bahasa yang digunakan. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan nilai sopan santun dan menghargai orang yang lebih tua oleh orang yang usianya dibawahnya.

b. Konteks Tuturan

Konteks linguistik biasanya berdimensi fisik, konteks sosiolinguistik berupa dimensi setting sosial-kultural yang mewadahi kehadiran tuturan. Konteks pragmatik adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur (Wijana, 1996:11). Semua latar belakang yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur sangat berguna dalam menentukan makna kebahasaaan tertentu dalam sebuah tuturan. Konteks tuturan sebagai pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penyapa dan pesapa dan makna tuturan tersebut ditafsirkan oleh pesapa.

(Leech,1993:20) menjelaskan konteks diberi arti sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dapat diartikan bahwa antara penutur dengan lingkungan penutur mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam hal ini, aspek-aspek fisik dan lingkungan sosial antara penyapa dan pesapa menjadi penentu tercapainya makna sebuah tuturan.

(30)

c. Tujuan Sebuah Tuturan

Perbedaan antara istilah “tujuan tuturan” dan “ fungsi tuturan”. Menurut pandangan Leech istilah “ tujuan tuturan” atau “fungsi tuturan” lebih tepat untuk menggantikan penggunaan istilah maksud tuturan. Sebab, banyak orang secara sadar lebih menggunakan istilah tujuan tuturan karena dianggap netral untuk menunjukan kegiatan atau komunikasi yang berorientasi pada tujuan (Leech, 1993:20)

d. Tuturan sebagai Bentuk Tindak Ujar

Pragmatik lebih menangani bahasa pada tingkatan lebih konkret daripada tata bahasa (Leech, 1993:20). Karena objek kajian dari pragmatik sangat jelas yaitu tentang konteks sebuah tuturan. Konteks tuturan tersebut berkaitan erat dengan identitas penutur, latar belakang penutur, situasi tuturan dan kapan tuturan tersebut terjadi.

1. Penutur dan Lawan Tutur

Penutur dan lawan tutur atau mitra tutur dilambangkan dengan huruf kapital S (speaker) yang berarti pembicara atau penutur, dan huruf kapital H (hearer) yang dapat diartikan sebagai pendengar, mitra tutur atau lawan tutur (Rahardi, 2003:19).

Penutur dan lawan tutur berkaitan dengan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kulturnya, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis, atau mentalnya (

(31)

Rahardi, 2018:28). Aspek konteks penutur dan lawan tutur dalam hal ini tidak hanya terbatas dari itu saja. Bisa saja konteks lawan tutur hadir dari kedua pihak tersebut tanpa mengambil peran apapun. Keberhasilan sebuah komunikasi antara penutur dan lawan tutur tidak dapat terlepas dari aspek konteks tutur.

2. Konteks Tuturan

Semua latar belakang yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur sangat berguna dalam menentukan makna kebahasaaan tertentu dalam sebuah tuturan. Konteks tuturan sebagai pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penyapa dan pesapa dan makna tuturan tersebut ditafsirkan oleh pesapa. Leech (1993: 20) menjelaskan konteks diberi arti sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dapat diartikan bahwa antara penutur dengan lingkungan penutur mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam hal ini, aspek-aspek fisik dan lingkungan sosial antara penyapa dan pesapa menjadi penentu tercapainya makna sebuah tuturan.

Konteks tuturan berkaitan dengan situasi waktu dan tempat (spatio- temporal setting) bagi terjadinya pertuturan, aspek fisik, dan aspek sosial- kultural yang menjadi penentu makna bagi tuturannya. Dalam pembelajaran pragmatik, titik berat konteks tuturan adalah pada fakta adanya latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur (Rahardi, dkk,; 2018:29)

(32)

Konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh penutur dalam keseluruhan proses bertutur (Rahardi, 2003:20). Dalam hal ini, Penutur dan mitra tutur dapat saling menafsirkan makna dan pesan yang ingin disampaikan atau didengar berdasarkan pengetahuan masing-masing. Latar belakang pengetahuan yang sama dapat memberikan pemahaman untuk membantu kedua pihak dalam hal ini penutur dan mitra tutur menafsirkan makna tuturan.

3. Tujuan Tuturan

Tujuan tuturan berkaitan erat dengan bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dalam suatu tuturan. Munculnya suatu tuturan penutur dapat dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan yang jelas. Kepada siapa tuturan itu disampaikan dan apa maksud tuturan itu disampaikan. Adanya perbedaan tujuan tuturan yang digunakan tidak dapat terlepas dari latarbelakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dalam suatu tuturan.

Tujuan tuturan dapat memberi warna hadirnya sebuah tuturan. Bukan tidak mungkin hadirnya sebuah tuturan tanpa tujuan tertentu. Penutur dan mitra tutur sebelum melakukan sebuah tuturan tentu melalui sebuah konteks agar tujuan yang ingin disampaikan dapat tercapai. Di dalam pragmatik, bertutur selalu berorientasi pada tujuan dan pada maksud. Bentuk kebahasan yang digunakan, secara pragmatik selalu didasarkan

(33)

pada fungsi (fungction), bukan semata-mata pada bentuk (forms), karena setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya sekaligus merupakan bentuk tindak verbal, secara fungsional selalu memiliki tujuan (Rahardi, 2018: 30). Singkatnya, dalam pragmatik selalu berfokus pada fungsi, pada kegunaan, atau pada tujuan.

4. Tuturan Sebagai Bentuk Tindak Tuturan

Pragmatik mempelajari tindak verbal yang sunguh-sunggh terdapat dalam situasi dan suasana pertuturan tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan didalam ilmu bahasa pragmatik bersifat kontekstual (Rahardi, 2003:21). Sifat kontekstual tersebut berkaitan dengan siapa peserta tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan gambaran konteks tuturan. Sifat kontekstual tersebut yang dimaksud dengan tuturan sebagai tindak tuturan.

5. Tuturan Sebagai Tindak Verbal

Tuturan dapat digunakan sebagai produk sebuah tindak verbal. Dalam hal ini, sebuah tuturan selalu berorientasi pada tujuan, makna sebuah tuturan sebagai bentuk nyata dari sebuah tujuan tuturan. Leech (1993:22) menyebutkan bahwa pragmatik sangat jelas mengkaji tentang makna dalam hubungan dengan situasi ujaran. Hal tersebut, membedakan pragmatik dengan semantik. Misalnya pada contoh berikut, ”Ada anjing!”. Bagi seorang anak kecil yang biasanya takut pada sosok hewan anjing, tuturan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menyuruh atau memberi tahu agar dia berhenti bermain dan pulang ke rumahnya.

(34)

tersebut tidak hanya sekedar sebagai bentuk wujud tindak tutur tetapi juga sebagai produk dari tindak tutur itu sendiri. Produk tindak tutur dalam tuturan tersebut adalah, anak tersebut akan berhenti bermain dan pulang ke rumah.

Tindak verbal dikenal sebagai titik fokus kajian pragmatik, karena tindak verbal dapat membedakan kajian pragmatik yang berfokus pada tindak-tindak verbal dengan semantik yang berfokus pada pokok proposisi dan etintas-etintas kebahasaan khususnya frasa dan kalimat dalam sintaksis (Rahardi,dkk.; 2018:30). Di dalam penelitian ini, peneliti akan lebih fokus pada konteks tuturan yang berkaitan dengan situasi, waktu dan tempat bagi terjadinya pertuturan, aspek fisik, dan aspek sosial kultural yang menjadi penentu utama bagi tuturan di dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Dari hasil analisis konteks tuturan tersebut peneliti dapat menyimpulkan tujuan tuturan yang ingin disampaikan oleh penulis novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Di dalam pragmatik tujuan tuturan dapat dibagi menjadi dua yaitu berorientasi pada tujuan dan maksud tuturan.

2.2.3 Stilistika

Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (Style) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga

(35)

tujuan yang dimaksud dapat tercapai secara maksimal (Ratna, 2009:3). Studi gaya yang dibicarakan secara khas dalam kajian ini adalah stilistika berkaitan dengan gaya bahasa. Gaya tersebut erat kaitannya dengan ciri-ciri, standar bahasa, dan ekspresi.

Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa (Pradopo, 2000:264). Di dalam kajian ini objek kajian peneliti dibatasi pada objek gaya bahasa khususnya pada karya sastra. Analisis stilistika dimaksudkan untuk menentukan seberapa jauh penyimpangan bahasa yang digunakan pengarang serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek estetis atau puitis (Nurgiyantoro, 1995:280). Dengan demikian, stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistik yang kuat sebab salah satu perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa sastra dengan bahasa pada zamannya (Wellek dan Warren, 1995:221)

2.2.4 Stilistika Pragmatik

Kajian stilistika mempunyai anggapan bahwa bahasa dari sebuah teks mencerminkan dunia tekstual secara sempurna (Black, 2011:1). Pragmatik adalah kajian terhadap bahasa dalam penggunaannya dengan memperhitungkan unsur-unsur yang tidak dicakup oleh tata bahasa dan semantik. Dapat dipahami bahwa stilistika menggunakan pragmatik dan pemahaman-pemahaman yang dapat dihasilkan pramatika. Dalam hal ini, peran pembaca sebagai penafsir bukan hanya sebagai pembaca pasif.

(36)

menyatakan bahwa stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style) (Ratna, 2009:8). Style berasal dari bahasa Latin yaitu stilus yang berarti alat berujung runcing untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Karena perkembangan selanjutnya, style tersebut menjadi dasar bahwa style adalah gaya bahasa. Hal tersebut sesuai dengan sifat gaya bahasa menyindir, membandingkan, menghina, menentang orang lain dan menyakiti perasaannya.

Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Teori tentang stilistika dan pragmatik menghasilkan stilistika pragmatik. Kajian stilistika pragmatik dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dari teori pragmatik yang bisa menjelaskan aspek-aspek dari teks sastra yang membuat teori-teori pragmatik menjadi menarik untuk digunakan sebagai sarana penafsiran (Black, 2011:336). Sudjiman ( 1993:3) menjelaskan bahwa stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakannya atau mempertentangkan dengan wacana nonsastra. Atau stilistika mengkaji fungsi puitik suatu bahasa.

Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dalam hal ini, style diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Sesungguhnya, gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisan dan ragam tulis, ragam nonsastra dan ragam sastra. Karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu.

(37)

sistematis memperhatikan preferensi penggunaan kata atau penggunaan bahasa, mengamati penggunaan antarahubungan untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistik (stylistic features) yang membedakan pengarang, karya sastra, tradisi atau periode tertentu dari pengarang, karya sastra, tradisi atau karya sastra lainnya.

Pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya (Rahardi, 2003:13-14). Konteks tuturan yang dimaksud telah teragamtisasi dan terkodifikasi sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak terlepas begitu saja dari struktur kebahasaannya.

Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksterna (Rahardi, 14-15). Dalam hal ini, studi pragmtik mutlak harus dikaiteratkan dengan konteks situasi tutur. Pembaca akan bertindak sebagai pembaca sekaligus penafsir dengan perpaduan teori-teori antara pragmatik dengan stilistika.

Kecenderungan orang memandang bahwa makna adalah hasil proses penafsiran. Penafsiran tersebut akan melahirkan pandangan yang bermacam- macam. Pandangan yang bermacam-macam tersebut dapat mempengaruhi orang dalam menafsirkan makna. Salah satu hal berpengaruh dalam penafsrian makna tersebut adalah bahasa. Bahasa yang bermacam-macam akan mempengaruhi orang dalam menafsirkan makna. Lebih khusus bahasa yang digunakan di dalam teks. Dalam menafsirkan bahasa yang digunakan dalam teks, kita bisa memunculkan bermacam-macam makna tergnatung apa yang

(38)

kita gunakan sebagai latar belakang pengetahuan dalam memahami teks tersebut. Oleh karena itu, bahasa dalam suatu teks dapat memiliki lebih dari satu makna. Salah satu latar belakang pengetahuan yang dapat digunakan dalam memahami penafsiran bahasa dalam teks adalah konteks. Untuk itu, pragmatik dapat dijadikan sebagai acuan dalam menggunakan penafsiran konteks tersebut. Dapat dipahami jika stilistika juga menjadi acuan khusus untuk menggunakan pragmatik untuk melahirkan makna yang bermacam- macam pembaca dari bahasa teks. Disini, peran pembaca lebih sebagai penafsir bukan hanaya sebagai penerima makna pasif.

Di dalam penelitian ini kajian stilistika pragmatik berfungsi untuk mengkaji konteks gaya bahasa kiasan. Konteks gaya bahasa kiasan berkaitan dengan penafsiran terhadap unsur dasar yang penting terhadap wacana tertulis khususnya wacana sastra. Asumsi yang digunakan dalam pragmatik dapat digunakan dalam mengolah bahasa kemudian menafsirkan makna.

2.2.5 Majas dan Gaya Bahasa

Pada dasarnya gaya bahasa adalah proses kreatif untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia tersebut salah satunya adalah kebutuhan seni. Kebutuhan seni manusia memiliki kaitan erat dengan karya sastra. Karya sastra dalam dunia sastra selalu menggunakan bahasa khas. Penggunaan bahasa khas tersebut bersifat otomatis, rutin, biasa dan wajar. Biasanya penggunaan bahasa khas tersebut memiliki kaitan untuk memberikan tujuan estetis dan menyampaikan sesuatu dengan tidak langsung. Tujuan estetis

(39)

dan penyampaian tidak langsung tersebut sangat dekat dengan istilah gaya bahasa dan majas.

2.2.5.1 Majas

Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra dengan sifat alami sastra itu sendiri yang ingin menyampaikan sesuatu secara tidak langsung banyak menggunakan pemakaian bentuk gaya bahasa kias. Pemakaian bentuk-bentuk tersebut disamping untuk membangkitkan suasana dan kesan tertentu, tanggapan indra tertentu, juga dimaksud untuk memperindah penuturan itu sendiri. Pemakaian bentuk-bentuk tertentu tersebut sangat erat dengan penggunaan istilah pemajasan. Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, maknanya tidak menunjuk pada makna harafiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan makna pada kata yang ditambahkan, makna yang tersirat (Wicaksono, 2014:29). Pengungkapan makna tersirat dengan melibatkan penggunaan gaya bahasa tersebut bermaksud untuk mempengaruhi gaya dan memperindah bahasa karya sastra.

Secara tradisional istilah majas sama dengan gaya bahasa. Sehingga ada yang menyebut majas sebagai gaya bahasa dan ada juga yang menyebut gaya bahasa sebagai majas. Dalam sastra kontemporer, majas hanyalah bagian kecil dari gaya bahasa. Kehadiran majas dalam gaya bahasa sangat terbatas dan sudah berpola. Majas lebih mengkaji aspek kebahasaan sastra.

(40)

1. Majas Perbandingan

Majas perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti : bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya (Wicaksono, 2016:32). Gaya bahasa perbandingan meliputi:

a. Hiperbola

Hiperbola adalah sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari kata (Wicaksono, 2016:32). Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Keraf, 2010:135). Singkatnya hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebihan pada pengertian kata. Jadi, hiperbola adalah pernyataan dengan cara membesar-besarkan sesuatu hal.

Contoh:

1. Sangat indahlah keadaan bulan pada waktu malam menjelang penobatan Rama menjadi raja Adodya. Belum gemilang

cahayanya karena masih nampak sebagian wajahnya, bagaikan seorang gadis yang mengintip kekasihnya. Sayang, ditengah keindahannya alam ini ada kembang menur yang meneteskan air matanya ( Anak Bajang Menggiring Angin, hal:117).

(41)

2. Jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya (Wicaksono,2014:32)

b. Metonimia

Metonimia adalah pengganti kata dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap (Wicaksono, 2016:32). Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 2010:142). Singkatnya metonimia adalah penggunaan majas yang sangat dekat dengan hubungannya dengan kata lain yang menggantikannya.

Contoh :

1. Dan di kejauhan, terdengar suara haru meratap di tepi sungai,

suara anak manusia yang binasa karena kekejaman sesamanya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:120).

2. Aku telah membantu ibu menjual telur dengan mengendarai Honda bebek kami (Wicaksono, 2014:33)

c. Personifikasi

Personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 2013:17). Personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya sama seperti manusia (Wicaksono, 2016:33). Dari beberapa pandangan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa personfikasi

(42)

adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani manusia kepada benda-benda mati.

Contoh :

1. Angin dari barat laut seperti menghembuskan belati-belati tajam. Sungai-sungai mengalir deras, membawakan lagu kesedihan. Dan laut bagai ingin berontak, memuntahkan gelombang-gelombangnya ke tepi-tepi daratan (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:124). 2. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjet (Wicaksono,

2014:33) d. Sinestesia

Sinestisia adalah gaya bahasa yang berhubungan dengan indra yang dimiliki oleh manusia (Wicaksono, 2016:34).

e. Simile atau Perumpamaan

Simile atau Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Perumpamaan

adalah gaya bahasa perbandingan yang pada hakikatnya

membandingkan dua hal yang berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama (Wicaksono, 2016:34).

Contoh :

1. Cita-cita hidupku tersudut ke jurang yang curam (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:126).

2. Ia ingin merasakan bau badannya yang wangi bagai bunga mawar di musim semi (Wicaksono, 2014:35)

(43)

f. Pleonasme

Plenonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan (Keraf, 2010:133).

Gaya bahasa pleonasme dapat disimpulkan menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas maupun hanya sebagai gaya (Wicaksono, 2016:35). Dapat disimpulkan bahwa pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan deskripsi panjang hanya untuk menyatakan suatu maksud. Biasanya majas pleonasme banyak menggunakan perulangan kata hanya untuk mempertegas makna yang ingin dimaksudkan.

Contoh:

1. Ingin dan ingin lagi mendedahkan nasihat orangtua (Wicaksono, 2014: 33)

g. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2010;35). Metafora dapat juga diartikan sebagai membandingkan suatu benda dengan benda yang lain (Wicaksono, 2016:35). Dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan sesuatu hal secara langsung dalam bentuk singkat.

(44)

Contoh:

1. Mereka pantas berkejaran,bermain dan berkembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.

2. Sehingga diriku tak ubahnya patung batu (pudarnya pesona Cleopatra, hal:8)

h. Alegori

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan (Keraf, 2010:140). Alegori adalah majas perbandingan yang memperlihatkan satu perbandingan utuh; perbandingan itu membentuk kesatuan yang menyeluruh (Wicaksono, 2016:36).

Jadi, perbandingan tersebut sebagai bentuk kiasan dengan tujuan memperluas analogi. Analogi bertujuan untuk menghubungkan pokok perbandingan pertama dengan pokok perbandingan kedua.

Contoh :

1. `Fajar meneguk kehangatan susu-susu purnama di bukit dadanya, sampai pucat wajah ibunda malam itu (Anak Bajang Mneggiring Angina, hal:193)

2. Iman adalah pondasi dan ukuran kehidupan di dunia

Berhati-hatilah dalam mengemudikan bahtera hidup keluargamu (Wicaksono, 2014:36)

(45)

i. Alusi

Alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa (Keraf, 2016:141). Alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui (Wicaksono, 2016:36). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang berusaha mempengaruhi suatu tokoh atau peristiwa. Tujuannya untuk mengingatkan dan membandingkan dengan sesuatu yang menjadi acuan perbandingan.

Contoh:

1. Kata-kata adalah syair sebuah nyanyian yang terparas dari hati yang sebentar lagi akan menderita ( Anak Bajang Menggiring Angin, hal:141).

2. Sehingga diriku tak ubahnya patung batu (Wicaksono, 2010:36) j. Asosiasi

Asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan (Wicaksono, 2016:37). Perbandingan tersebut menggambarkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan.

Contoh:

1. Dan lihatlah bunga-bunga Angsoka itu memilih mati, daripada harus disingkirkan dari buah dadanya, yang bundar laksana

(46)

sepasang mata matahari senja yang terbelalak dirayu asamara ketika menyaksikan bulan sedang mandi supaya sebentar lagi dapat segar menggantikan tugasnya menerangi dunia (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:142).

2. Mukanya bagai bulan penuh (Wicaksono, 2010:37) k. Eufemisme

Eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2010:132). Eufemisme adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk menghaluskan maksud (Wicaksono, 2014: 38). Dapat disimpulkan bahwa, eufemisme adalah gaya bahasa yang menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu dengan tujuan untuk menghina atau menghaluskan suatu maksud.

Contoh :

1. Saparneka memang berhati malam tanpa tepi dalam kehausannya akan lelaki. (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:146).

2. Istrinya memiliki masalah dengan rahim dan kesuburan (Wicaksono, 2014:38)

(47)

l. Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan sesuatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal (Keraf, 2010:141). Epitet adalah keterangan suatu frasa deskripsi memberikan atau menggantikan nama suatu benda dan nama seseorang (Tarigan, 2009:128). Dapat disimpulkan bahwa epitet adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan deskripsi secara tidak langsung.

Contoh:

1. Roh-roh halus ini adalah arwah mahluk-mahluk yang dibinasakan Rahwana sebelum waktunya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:148).

2. Hati Anastasi bertumbah harus dipenuhi bunga-bunga

kebahagiaan (Wicaksono, 2014:38) m. Eponim

Eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk

menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan

sesuatu berdasarkan sifatnya (Wicaksono, 2016:38). Gaya bahasa eponim digunakan seorang untuk menghubungkan suatu. Tujuannya

untuk menjelaskan sifat seorang tersebut. Maksud untuk

(48)

Contoh :

1. Kilatan-kilatan pedang persaudaraan seperti membayang di hadapannya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:152).

2. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerma seperi Pak Habibie. Kala itu, aku menganggap Pak Habibie adalah seperti profesi sendiri (Wicaksono, 2014:39).

n. Hipalase

Hipalase adalah gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain (Wicaksono, 2016:39). Hipalase adalah acuan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain (Keraf, 2010:142). Dari dua pengertian ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hipalase adalah gaya bahasa yang bertujuan menerangkan sesuatu dengan menggunakan kata yang atau perbandingan yang lain. Atau, kata yang digunakan tersebut sebenarnya bertujuan untuk menyampaikan tujuan yang hendak disampaikan.

Contoh :

1. Kedatangan Sarpaneka yang mulutnya berbisa ini membuat layu suasana keindahan Taman Alengka (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:153).

2. Anda termenung di taman yang murung

Ai masih menuntut almarhum maskawin dari kiki, putrinya.

(49)

o. Pars Pro Toto

Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk keseluruhan (Keraf, 2010:142). Par pro toto merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti sari wakil keseluruhan (Wicaksono, 2016:40). Penggunaan gaya bahasa dalam pars pro toto bertujuan untuk menyatakan sebagian untuk keseluruhan. Atau, pernyataan keseluruhan tersebut diungkapkan sebagai bentuk perwakilan.

Contoh:

1. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rama melihat Jatayu sedang berada dalam sakratul maut. Sayapnya patah. Paruhnya mengatup lemah, kehilangan daya tenaganya. Kepalanya tunduk meratapi pertiwi (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:173).

2. Wajah-wajah yang cukup manis tapi tak semanis dan senindah gadis-gadis sungai Nil (Wicaksono, 2014:40).

p. Totem Pro Parte

Totem pro parte adalah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud adalah hanya keseluruhan (Wicaksono, 2016:40). Ungkapan tersebut disampaikan dengan mengungkapkan keseluruhan objek untuk menyatakan sebagian. Tujuan utama ungkapan tersebut adalah sebagian dari objek tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam novel Jejak Keruh karya Hamzah Puandi Ilyas.. Apa makna gaya bahasa hiperbola dalam novel Jejak Keruh karya

Instrumen dalam penelitian ini yaitu peneliti sendiri yang merupakan alat pengumpul data utama analisis data dilakukan dengan tahapan: 1 mengidentifikasi dan menginventarisasi

Objek penelitian yaitu gaya bahasa kiasan dan nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Prau Gethek Nyabrang Jaladri karya Ir.. Subjek penelitian yaitu novel

Bentuk gaya bahasa hiperbola lain yang terdapat dalam novel Assalamualaikum Beijing karya Asma Nadia ini dapat dilihat pada kutipan berikut.. Pemilihan dan pemakaian

Tujuan penelitian yang berjudul analisis gaya bahasa pada novel anak Pondok Senja karya Mulasih Tary adalah untuk mendeskripsikan jenis gaya bahasa dan fungsi gaya

Hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis gaya bahasa kiasan dalam kumpulan sajak Menjadi Tulang Rusukmu karya Yanwi Mudrikah, ditemukan 7 gaya bahasa kiasan yang

Berdasarkan data-data tersebut gaya bahasa retoris dan kiasan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye layak untuk dijadikan alternatif bahan ajar sastra Indonesia di

Gaya-gaya bahasa tersebut: a gaya bahasa perbandingan merupakan bahasa kiasan yang menyamakan suatu hal dengan yang lain, dalam novel Sang Pemimpi, b gaya bahasa perulangan yaitu gaya