• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Landasan Teori

2.2. Kerangka Teori

2.2.5. Majas dan Gaya Bahasa

Pada dasarnya gaya bahasa adalah proses kreatif untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia tersebut salah satunya adalah kebutuhan seni. Kebutuhan seni manusia memiliki kaitan erat dengan karya sastra. Karya sastra dalam dunia sastra selalu menggunakan bahasa khas. Penggunaan bahasa khas tersebut bersifat otomatis, rutin, biasa dan wajar. Biasanya penggunaan bahasa khas tersebut memiliki kaitan untuk memberikan tujuan estetis dan menyampaikan sesuatu dengan tidak langsung. Tujuan estetis

dan penyampaian tidak langsung tersebut sangat dekat dengan istilah gaya bahasa dan majas.

2.2.5.1 Majas

Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra dengan sifat alami sastra itu sendiri yang ingin menyampaikan sesuatu secara tidak langsung banyak menggunakan pemakaian bentuk gaya bahasa kias. Pemakaian bentuk-bentuk tersebut disamping untuk membangkitkan suasana dan kesan tertentu, tanggapan indra tertentu, juga dimaksud untuk memperindah penuturan itu sendiri. Pemakaian bentuk-bentuk tertentu tersebut sangat erat dengan penggunaan istilah pemajasan. Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, maknanya tidak menunjuk pada makna harafiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan makna pada kata yang ditambahkan, makna yang tersirat (Wicaksono, 2014:29). Pengungkapan makna tersirat dengan melibatkan penggunaan gaya bahasa tersebut bermaksud untuk mempengaruhi gaya dan memperindah bahasa karya sastra.

Secara tradisional istilah majas sama dengan gaya bahasa. Sehingga ada yang menyebut majas sebagai gaya bahasa dan ada juga yang menyebut gaya bahasa sebagai majas. Dalam sastra kontemporer, majas hanyalah bagian kecil dari gaya bahasa. Kehadiran majas dalam gaya bahasa sangat terbatas dan sudah berpola. Majas lebih mengkaji aspek kebahasaan sastra.

1. Majas Perbandingan

Majas perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti : bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya (Wicaksono, 2016:32). Gaya bahasa perbandingan meliputi:

a. Hiperbola

Hiperbola adalah sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari kata (Wicaksono, 2016:32). Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Keraf, 2010:135). Singkatnya hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebihan pada pengertian kata. Jadi, hiperbola adalah pernyataan dengan cara membesar-besarkan sesuatu hal.

Contoh:

1. Sangat indahlah keadaan bulan pada waktu malam menjelang penobatan Rama menjadi raja Adodya. Belum gemilang

cahayanya karena masih nampak sebagian wajahnya, bagaikan seorang gadis yang mengintip kekasihnya. Sayang, ditengah keindahannya alam ini ada kembang menur yang meneteskan air matanya ( Anak Bajang Menggiring Angin, hal:117).

2. Jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya (Wicaksono,2014:32)

b. Metonimia

Metonimia adalah pengganti kata dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap (Wicaksono, 2016:32). Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 2010:142). Singkatnya metonimia adalah penggunaan majas yang sangat dekat dengan hubungannya dengan kata lain yang menggantikannya.

Contoh :

1. Dan di kejauhan, terdengar suara haru meratap di tepi sungai,

suara anak manusia yang binasa karena kekejaman sesamanya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:120).

2. Aku telah membantu ibu menjual telur dengan mengendarai Honda bebek kami (Wicaksono, 2014:33)

c. Personifikasi

Personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 2013:17). Personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya sama seperti manusia (Wicaksono, 2016:33). Dari beberapa pandangan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa personfikasi

adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani manusia kepada benda-benda mati.

Contoh :

1. Angin dari barat laut seperti menghembuskan belati-belati tajam. Sungai-sungai mengalir deras, membawakan lagu kesedihan. Dan laut bagai ingin berontak, memuntahkan gelombang-gelombangnya ke tepi-tepi daratan (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:124). 2. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjet (Wicaksono,

2014:33) d. Sinestesia

Sinestisia adalah gaya bahasa yang berhubungan dengan indra yang dimiliki oleh manusia (Wicaksono, 2016:34).

e. Simile atau Perumpamaan

Simile atau Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Perumpamaan

adalah gaya bahasa perbandingan yang pada hakikatnya

membandingkan dua hal yang berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama (Wicaksono, 2016:34).

Contoh :

1. Cita-cita hidupku tersudut ke jurang yang curam (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:126).

2. Ia ingin merasakan bau badannya yang wangi bagai bunga mawar di musim semi (Wicaksono, 2014:35)

f. Pleonasme

Plenonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan (Keraf, 2010:133).

Gaya bahasa pleonasme dapat disimpulkan menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas maupun hanya sebagai gaya (Wicaksono, 2016:35). Dapat disimpulkan bahwa pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan deskripsi panjang hanya untuk menyatakan suatu maksud. Biasanya majas pleonasme banyak menggunakan perulangan kata hanya untuk mempertegas makna yang ingin dimaksudkan.

Contoh:

1. Ingin dan ingin lagi mendedahkan nasihat orangtua (Wicaksono, 2014: 33)

g. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2010;35). Metafora dapat juga diartikan sebagai membandingkan suatu benda dengan benda yang lain (Wicaksono, 2016:35). Dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan sesuatu hal secara langsung dalam bentuk singkat.

Contoh:

1. Mereka pantas berkejaran,bermain dan berkembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.

2. Sehingga diriku tak ubahnya patung batu (pudarnya pesona Cleopatra, hal:8)

h. Alegori

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan (Keraf, 2010:140). Alegori adalah majas perbandingan yang memperlihatkan satu perbandingan utuh; perbandingan itu membentuk kesatuan yang menyeluruh (Wicaksono, 2016:36).

Jadi, perbandingan tersebut sebagai bentuk kiasan dengan tujuan memperluas analogi. Analogi bertujuan untuk menghubungkan pokok perbandingan pertama dengan pokok perbandingan kedua.

Contoh :

1. `Fajar meneguk kehangatan susu-susu purnama di bukit dadanya, sampai pucat wajah ibunda malam itu (Anak Bajang Mneggiring Angina, hal:193)

2. Iman adalah pondasi dan ukuran kehidupan di dunia

Berhati-hatilah dalam mengemudikan bahtera hidup keluargamu (Wicaksono, 2014:36)

i. Alusi

Alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa (Keraf, 2016:141). Alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui (Wicaksono, 2016:36). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang berusaha mempengaruhi suatu tokoh atau peristiwa. Tujuannya untuk mengingatkan dan membandingkan dengan sesuatu yang menjadi acuan perbandingan.

Contoh:

1. Kata-kata adalah syair sebuah nyanyian yang terparas dari hati yang sebentar lagi akan menderita ( Anak Bajang Menggiring Angin, hal:141).

2. Sehingga diriku tak ubahnya patung batu (Wicaksono, 2010:36) j. Asosiasi

Asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan (Wicaksono, 2016:37). Perbandingan tersebut menggambarkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan.

Contoh:

1. Dan lihatlah bunga-bunga Angsoka itu memilih mati, daripada harus disingkirkan dari buah dadanya, yang bundar laksana

sepasang mata matahari senja yang terbelalak dirayu asamara ketika menyaksikan bulan sedang mandi supaya sebentar lagi dapat segar menggantikan tugasnya menerangi dunia (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:142).

2. Mukanya bagai bulan penuh (Wicaksono, 2010:37) k. Eufemisme

Eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2010:132). Eufemisme adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk menghaluskan maksud (Wicaksono, 2014: 38). Dapat disimpulkan bahwa, eufemisme adalah gaya bahasa yang menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu dengan tujuan untuk menghina atau menghaluskan suatu maksud.

Contoh :

1. Saparneka memang berhati malam tanpa tepi dalam kehausannya akan lelaki. (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:146).

2. Istrinya memiliki masalah dengan rahim dan kesuburan (Wicaksono, 2014:38)

l. Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan sesuatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal (Keraf, 2010:141). Epitet adalah keterangan suatu frasa deskripsi memberikan atau menggantikan nama suatu benda dan nama seseorang (Tarigan, 2009:128). Dapat disimpulkan bahwa epitet adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan deskripsi secara tidak langsung.

Contoh:

1. Roh-roh halus ini adalah arwah mahluk-mahluk yang dibinasakan Rahwana sebelum waktunya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:148).

2. Hati Anastasi bertumbah harus dipenuhi bunga-bunga

kebahagiaan (Wicaksono, 2014:38) m. Eponim

Eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk

menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan

sesuatu berdasarkan sifatnya (Wicaksono, 2016:38). Gaya bahasa eponim digunakan seorang untuk menghubungkan suatu. Tujuannya

untuk menjelaskan sifat seorang tersebut. Maksud untuk

Contoh :

1. Kilatan-kilatan pedang persaudaraan seperti membayang di hadapannya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:152).

2. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerma seperi Pak Habibie. Kala itu, aku menganggap Pak Habibie adalah seperti profesi sendiri (Wicaksono, 2014:39).

n. Hipalase

Hipalase adalah gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain (Wicaksono, 2016:39). Hipalase adalah acuan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain (Keraf, 2010:142). Dari dua pengertian ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hipalase adalah gaya bahasa yang bertujuan menerangkan sesuatu dengan menggunakan kata yang atau perbandingan yang lain. Atau, kata yang digunakan tersebut sebenarnya bertujuan untuk menyampaikan tujuan yang hendak disampaikan.

Contoh :

1. Kedatangan Sarpaneka yang mulutnya berbisa ini membuat layu suasana keindahan Taman Alengka (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:153).

2. Anda termenung di taman yang murung

Ai masih menuntut almarhum maskawin dari kiki, putrinya.

o. Pars Pro Toto

Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk keseluruhan (Keraf, 2010:142). Par pro toto merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti sari wakil keseluruhan (Wicaksono, 2016:40). Penggunaan gaya bahasa dalam pars pro toto bertujuan untuk menyatakan sebagian untuk keseluruhan. Atau, pernyataan keseluruhan tersebut diungkapkan sebagai bentuk perwakilan.

Contoh:

1. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rama melihat Jatayu sedang berada dalam sakratul maut. Sayapnya patah. Paruhnya mengatup lemah, kehilangan daya tenaganya. Kepalanya tunduk meratapi pertiwi (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:173).

2. Wajah-wajah yang cukup manis tapi tak semanis dan senindah gadis-gadis sungai Nil (Wicaksono, 2014:40).

p. Totem Pro Parte

Totem pro parte adalah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud adalah hanya keseluruhan (Wicaksono, 2016:40). Ungkapan tersebut disampaikan dengan mengungkapkan keseluruhan objek untuk menyatakan sebagian. Tujuan utama ungkapan tersebut adalah sebagian dari objek tersebut.

Contoh :

1. Kesuburan alam meresap ke dalam tubuh sang pertapa (Anak Bajang Menggiring Angin, hal: 164).

2. Dunia tiba-tiba gelap semua (Wicaksono, 2014:40) 2. Majas Perulangan (Repetisi)

a. Aliterasi

Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Keraf, 2010:130). Aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata permulaan sama bunyinya (Wicaksono, 2016:40). Aliterasi diartikan sebagai perulangan bunyi konsonan yang sama.

Contoh :

1. Subali, percayalah, panah sakti Guwawijaya takkan membunuh orang yang tak bersalah (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:189). 2. Keras-keras kena air lembut juga (Wicaksono, 2014:40)

b. Ansonansi

Ansonansi adalah pengulangan pada vokal, baik awal, tengah maupun akhir kata secara berurutan dalam baris atau klausa (Wicaksono, 2014:741). Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Dapat disimpulkan bahwa dalam gaya bahasa asonansi ada perulangan bunyi vokal secara berurutan secara bersama.

Contoh :

1. “Dewa, ampunilah dosa-dosaku. Dan Rama, dihadapan

musuhmulah aku menyerahkan hiudpku. Semoga dengan

penyesalanku, dewa-dewa rela menerima aku…” (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:189).

2. Ini muka penuh luka siapa punya (Keraf, 2010:130) c. Epanalipsis

Epanalipsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau klausa. Epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama (Keraf, 2010:128). Epanalipsis adalah gaya bahasa repitisi kata terakhir pada kahir kalimat atau klausa (Wicaksono, 2014:41)

Contoh :

1. Anoman, kau tertidur Anoman (Anak Bajang Menggiring Angin, hal: 212).

2. Kita gunakan perasaan dan pikiran kita (Keraf, 2010:128) d. Epizeukis

Epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan (Wicaksono, 2014:41). Epizeukis adalah repitisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang kali berturut- turut (Keraf, 2010: 127). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa epizeukis adalah gaya bahasa yang ulang berturut-turut dengan

tujuan sebagai penegasan atau memperjelas maksud yang hendak disampaikan.

Contoh:

1. “Kita harus bekerja, bekerja, sekaloi lagi bekerja untuk mengejar ketertinggalan kita”.

2. Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketertinggalan kita (Keraf, 2010:127)

e. Mesodiplosis

Mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang menggunakan pengulangan di tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan (Keraf, 2010:128).

Mesodiplosis adalah pengulangan ditengah (Wicaksono, 2014:42). Dalam gaya bahasa Mesodiplosis ada perulangan kalimat atau baris di tengah baris.

Contoh :

1. Para pembesar jangan mencuri bensin.

Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri. 2. Pegawai jangan mencuri kertas karbon

Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng. f. Anafora

Anafora adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya (Keraf, 2010:127). Anafora

juga adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya. Anafora adalah kata atau kelompok kata yang diulang pada baris berikutnya (Wicaksono, 2014:42). Anafora adalah perulangan pada kata pertama setiap baris dan diulang kembali pada baris pertama kalimat berikutnya.

Contoh:

1. “ Anakku, itulah Cupu Manik Astagina. Air kehidupan permata

mendung di dalamnya. Air kehidupan permata mendung itu diperoleh leluhur para dewa di negeri di mana keadaanya lebih daripada petang, lebih daripada dingin, tapi sang surya selalu bersinar…”( Anak Bajang Menggiring Angin, hal:224).

2. Aku sangat bahagia. Aku sangat bangga (Wicaksono, 2014:42) g. Epifora

Epifora adalah perulangan kata pada akhir kalimat atau di tengah kalimat (Keraf, 2010:42). Singkatnya epifora adalah perulangan kata pada akhir atau di tengah kalimat.

Contoh:

1. “ Negeri inilah negeri yang padang obore, membawa terang dimana-mana. Sampai-sampai negeri tetangganya ibarat menjadi ranting-rantingnya, dan negeri-negeri yang jauh ibarat daun yang tertarik kepadanya (Anak Bajang Menggiring Angin, (hal:234).

2. Buah dada saja. Buah bokong saja. Siku saja. Jempol saja (Wicaksono, 2014:43).

3. Majas Sindiran

Gaya bahasa sindiran adalah acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 2010:143). Gaya bahasa sindiran berkaitan dengan gaya bahasa yang rangkaian kata-kata berlainan dengan apa yang dimaksudkan. Gaya bahasa sindiran meliputi:

a. Sinisme

Sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati atau gaya bahasa sindiran yang pengungkapannya lebih kasar (Keraf, 2010:143). Gaya bahasa sinisme adalah bentuk sindiran paling kasar. Sindiran paling kasar tersebut diungkapkan dengan menggunakan ungkapan yang kasar juga.

Contoh:

1. “ Anakku, apa gerangan yang terjadi? Kecantikannmu seperti memudar. Kenapa aku takut memandang wajahmu? (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:37).

2. Dev, mobilnya rongsokan begitu (Wicaksono, 2014:43). b. Ironi

Ironi adalah gaya bahasa yang berupa sindiran halus berupa pernyataan yang maknanya bertentangan dengan makna sebenarnya (Wicaksono, 2014:43). Sinisme adalah sindiran yang agak kasar (Ratna, 2009:447). Dalam gaya bahasa tersebut ada pernyataan yang bertentangan

dengan makna sebenarnya. Maksud dan tujuannya adalah untuk menyindir. Biasanya, ungkapan yang digunakan bertentangan dengan maksud yang sebenarnya. Tujuan utamanya untuk menyindir. Biasanya, kata yang digunakan adalah kata-kata yang kasar.

Contoh:

1. “Ketahuilah, anakku. Sastra Jendra bukanlah wedaran budi manusia, melainkan seruan sebuah hati yang merasa tak berdaya, memangil keilahian untuk meruwatnya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:35).

2. Kamu yang kecil, kerempeng kok tiba-tiba melakukan hal gila seperti itu (Wicaksono, 2014:44)

c.Sarkasme

Sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik (Wicaksono, 2014:44). Sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir (Keraf, 2010:143). Singkatnya, sarkasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang kasar dan keras untuk menyindir.

Contoh:

1. Anakku, kau berdua mengira, hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi itu. Kau berdua lupa, bahwa hanya dengan pertolongan yang ilahi, baru kau dapat mencapai cita- cita mulia itu (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:35)

2. Brengsek, kau anak setan!”, kau yang anak setan! (Wicaksono, 2014:44)

d. Satire

Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan mengandung kritikan dengan maksud agar sesuatu yang salah itu dicari kebenarannya (Wicaksono, 2014:44). Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan dengan maksud menertawakan atau menolak

sesuatu (Keraf, 2010:144). Satire biasanya dipakai untuk

mengancam,menyindir atau menertawakan gagasan atau ide dan kebiasaan orang.

Contoh:

1. “ Sukesi, apa yang kau lihat sekarang adalah mahluk tak berdaya,

hatimu sendiri, anugerah yang memberi titah…” (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:25).

2. Dan yang jahat lagi, ketika seseorang pemimpin telah terpilih, kau justru lebih asyik memperoloknya dibandingkan membantunya bekerja (Wicaksono, 2014: 44)

4. Majas Pertentangan

Majas pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada. Gaya bahasa pertentangan meliputi:

a. Litotes

Litotes adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari pernyataan yang sebenarnya ( Tarigan,

2009:144). Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi dari makna yang sebenarnya (Keraf, 2010:132). Jadi, litotes adalah gaya bahasa yang berisi ungkapan dengan tujuan untuk mengecilkan fakta dan merendahkan diri.

Contoh:

1. Rumah yang buruk inilah merupakan hasil usaha kami bertahun- tahun lamanya.

2. Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali (Keraf, 2010: 133)

b. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung

pertentangan yang ada fakta-fakta yang ada (Keraf, 2010:45). Paradoks dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dalam pengungkapannya, paradoks menggunakan perbandingan berdasarkan fakta-fakta yang pernah terjadi. Fungsi fakta-fakta tersebut adalah untuk menentang kenyataan yang terjadi atau membandingkan peristiwa tersebut. Lebih jelas akan dibahas pada contoh berikut:

Contoh:

1. “Sebenarnya aku tidak mmepunyai kebaikan-kebaikan itu. Kebaikan

itu bukan pahala perbuatan manusia,Rama. Kebaikan itu bahkan sudah ada, sebelum manusia mampu mengadakannya (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:138).

2. Aku biasanya suka romantis tetapi mengapa begini sadis? (Wicaksono, 2014: 45)

c. Histeron Proteron

Histeron proteron adalah gaya bahasa yang menyatakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau dari kenyataan yang ada (Wicaksono, 2014:45). Ungkapan tersebut menggunakan perbandingan yang sebenarnya tidak mempunyai makna yang sama dengan pernyataan yang digunakan. Dalam pengungkapannya, gaya bahasa hysteron proteron menggunakan kata-kata yang kebenaranya tidak logis atau tidak wajar. Lebih jelasnya akan dibahas pada contoh berikut:

1. Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya (Keraf, 2010:133)

2. Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia pada pada pantai yang luas padang pasirnya (Wicaksono, 2014:46)

d. Oksimoron

Oksimoron (okys= tajam, moros= gila,tolol) adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan (Keraf, 2010:136). Gaya bahasa oksimoron mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama sehingga sifatnya lebih padat dan tajam. Lebih jelasnya akan diuraikan pada contoh berikut:

1. Keramah-tamahan yang bengis (Keraf, 2010:136) 2. Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi kasar

e. Okupasi

Okupasi adalah gaya bahasa pertentangan yang mengandung bantahan, tetapi disertai penjelasan (Wicaksono, 2014:47). Majas okupasi melukiskan sesuatu dengan bantahan,tetapi di beri tambahan penjelasan atau kesimpulan. Maksud kesimpulan tersebut adalah untuk mempertegas maksud bantahan tersebut. Lebih jelas akan diuraikan pada contoh berikut: Contoh :

1. Lain kali, ketika senja sedang merekah, Retna Anjani melihat burung dara kehabisan nafas dikejar pemburu menginginkan kematiannya. Dan Retna Anjani tahu kesedihan burung yang malang itu. Ia menghiburnya dengan nyanyian dan berbicara dalam bahasa burung.

2. Merokok merusak kesehatan, tapi si perokok tidak dapat menghentikan kebiasaanya maka munculah pabrik Karena untungnya banyak.

5. Majas Penegasan

Majas penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata dalam satu baris kalimat (Wicaksono, 2016:47). Gaya bahasa atau majas penegasan meliputi:

a. Paralelisme

Paralelisme adalah pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna (Wicaksono, 2016:47).

Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata

atau frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 2010:126). Jadi, paralelisme adalah pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat makna yang ingin dicapai.

Contoh :

1. Dan lihatlah, anak-anak manusia berkeliaran di tengah fajar. Tidur

beralaskan kembang-kembang mekar. Bangun di pangkuan cahaya bintang. Anak-anak manusia ini selalu menjadikan hidupnya menjadi ucapan syukur bersama kicauan burung yang berterima kasih pada kehangatan malam (Anak Bajang Menggiring Angin, hal:53)

2. Baik golongan yang tinggi maupun yang rendah harus diadili bersalah. b. Erotesis

Erotesis adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban (Keraf, 2010:134). Maksud gaya bahasa eritosis aadalah untuk

menekankan atau memberikan pendalaman terhadap apa yang

disampaikannya. Namun, dalam penyampaiannya tidak perlu memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan. Karena tujuannya pertanyaan

Dokumen terkait