• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Wujud Gaya Bahasa

Dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata yang peneliti analisis, terdapat lima belas jenis gaya bahasa kiasan. Jenis gaya bahasa kiasan yang ditemukan oleh peneliti tersebut berdasarkan konteks kajian stilistika pragmatik.

Dari data yang dianalisis, ada tiga belas jenis gaya bahsaa kiasan ditemukan sebagai berikut: gaya bahasa kiasan simile, gaya bahasa kiasan metafora, gaya bahasa metonimia, gaya bahasa kiasan sarkasme, gaya bahasa kiasan epitet, gaya bahasa kiasan personifikasi, gaya bahasa kiasan alusi, gaya bahasa kiasan antonomasia, gaya bahasa kiasan hipalase, gaya bahasa

A : Nak, kenapa kau tatap langit dalam kedinginan?” Tanya Bengawan Wisrawa.

B : Ayah, lihatlah Dewi Sukesi di ufuk Timur. Kedua matanya bagaikan matahari kembar. Tapi sinarnya tak sampai ke hatiku yang kedinginan Kode : D1

(Halaman: 11)

Konteks : tuturan itu terjadi karena Begawan Wisrawa melihat anaknya Prabu Danareja sedang duduk menghadap ke arah Timur. Percakapan itu terjadi pada malam hari ketika cahaya bintang memancar. Suhu pada saat percakapan tersebut adalah dingin. Percakapan santai seperti percakapan biasa antara seorang anak laki-laki dengan ayahnya.

kiasan sarkasme, gaya bahasa kiasan satire, gaya bahasa kiasan ironi, gaya bahasa kiasan eponim, gaya bahasa kiasan fabel, dan gaya bahasa kiasan sinekdoke.

a. Gaya Bahasa kiasan Simile

Berdasarkan data hasil penelitian gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata terdapat enam belas gaya bahasa kiasan simile yang layak dimasukan sebagai data yang valid. Gaya bahasa kiasan simile adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit. Maksud perbandingan eksplisit adalah langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain (Keraf, 2010:138).

Gaya bahasa kiasan simile yang terkandung dalam data, sebagian dipaparkan sebagai berikut:

Gaya bahasa kiasan simile pada tuturan (1) ditandai dengan penggunaan kata bagaikan yang membandingkan dua hal. Tuturan tersebut disampaikan oleh Prabu Danareja kepada ayahnya ketika ia melihat Dewi Sukesi di ufuk timur. Penutur menyamakan Dewi Sukesi di ufuk timur dengan matahari kembar. Penutur membandingkan benda hidup dengan benda mati. Adapun makna dari tuturan tersebut adalah kecantikan seseorang. Namun kecantikan tersebut tidak dapat dimiliki oleh penutur. Tidak dapat dimiliki tersebut menggambarkan suasana hati penutur yang tidak dapat memiliki Dewi Sukesi. Fungsi tuturan tersebut adalah memuji Kecantikan mata Dewi Sukesi. Kalimat tersebut mengandung pujian penutur dengan membandingkan kedua matanya seperti matahari kembar. Matahari kembar menunjukkan kemiripan yakni mempunyai sifat yang sama. Sama-sama cantik,indah. Ciri manusia yang dibandingkan dengan matahari kembar dapat menunjukkan keindahan yang dimilikinya seperti keindahan matahari. Hal tersebut sesuai dengan sifat matahari yang sellau menyinari cahaya terang bagi siapa saja termasuk manusia. Dalam hal tersebut, penutur memuji kecantikan seseorang dengan membandingkannya dengan keindahan matahari.

A : Dan tataplah, pohon-pohon nagasari membiarkan saja, dahan-dahannya diterpa angin-angin menyerupai perempuan- perempuan elok yang sepantasnya menjadi dayang-dayang keraton mengiringi maksud kepergian Begawan Wisrawa. B : “Oh Dewa, terimalah sembah sujudku. Tak pernah kubermimpi bahwa di hutan segelap dan seluas ini, kau sudi datang. Kau adalah Batara Kamajaya yang tampan. Ketampananmu mengundang hutan ini menjadi indah,” kata pertapa itu sambil menyembah Begawan Wisrawa.

Kode : D2

(Halaman : 15)

Konteks: tuturan terjadi antara raja dengan pertapa. percakapan terjadi di hutan sebagai latar tempat. Tuturan itu terjadi karena raja datang memenuhi undangan pertapa. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, sang pertapa bersembah sujud di hadapan Begawan Wisrawa.

Data 2 :

Gaya bahasa kiasan simile dalam tuturan tersebut ditandai dengan penggunaan kata menyerupai, menjadi membandingakan dua hal. Tuturan tersebut terjadi ketika Begawan Wisrawa pergi memenuhi undangan pertapa di tengah hutan. seperti perjalanan Raja pada umumnya yang selalu diiringi tarian, pujian para dayang kepergian Begawan Wisrawa juga mendapatkan iringan, pujian dari dayang termasuk pohon nagasari. Adapun makna dari tuturan tersebut adalah kepergian Begawan Wisrawa untuk memenuhi undangan pertapa. Kepergian Begawan Wisrawa diiringi pujian lengak lenggok dari pohon nagasari. Dalam tuturan tersebut kepergian Begawan Wisrawa mendapat sambutan meriah dari sekitarnya. Sambutan tersebut dibandingkan pohon nagasari ketika

mengiringi kepergian Begawan Wisrawa dibandingkan dengan keelokan perempuan-perempuan dayang keraton. Kata dahan- dahanya diterpa seperti angina menyerupai perempuan- perempuan elok menjelaskan situasi saat kepergian Begawan Wisrawa. Fungsi tuturan terebut untuk meratapi kepergian

Begawan Wisrawa. Kepergian Begawan Wisrawa tanpa

didampingi oleh perempuan elok atau dayang. Tentu saja hal tersebut menimbulkan kesedihan para penghuni kerajaan. Karena kebiasaan kerajaan tidak seperti demikian ketika seorang raja akan pergi.

b. Gaya Bahasa Kiasan Metafora

Berdasarkan hasil penelitian data gaya bahasa kiasan dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata terdapat tiga puluh enam data yang layak dimasukan sebagai data yang valid. Gaya bahasa kiasan metafora adalah gaya bahasa kiasan yang membandingkan dua hal secara langsung. Perbandingan dua hal secara langsung tersebit disampaikan secara singkat (Keraf, 2007: 139). Gaya bahasa yang mengandung gaya bahasa kiasan metafora sebagian akan dipaparkan dalam data berikut:

A : Sukesi tak dapat meneruskan kata-katanya. Ia terbungkam bersama kesunyian malam. Oh, kesunyian yang mencekam. Dan Prabu Sumali tahu betapa kesunyian itu tersenyum. Menertawakan Sukesi yang baru saja menambah dosa jagad raya.

B :Adikku Sumali, maafkanlah aku. Lupakanlah fajar masa muda kita yang cerah ketika dunia menjadi ladang harapan bagi kita. Kini di hari-hari tua kita, dunia menjadi ladang penderitaan bagi kita, Sumali aku tak layak menjadi menantumu.

Kode : D3 (Halaman: 37)

Konteks : tuturan itu terjadi pada malam hari antara Sukesi dan Prabu Sumali. Sukesi adalah kakak dari Prabu Sumali. Percakapan itu terjadi ketika Sukesi ingin mengakui kesalahannya dihadapan Prabu Sumali. Suasana pada saat percakapan itu sangat menegangkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan kata-kata percakapan antara Sukesi dan Prabu Sumali. Sukesi adalah calon menantu Prabu Sumali.

A : Anakku, tidurlah kini, kenapa kau menangis?” Retna Anjani terpaksa menghibur anaknya, dari kesedihannya, “ Tidurlah dalam kehangatan cahaya bulan. Bulan lebih mencintai anak kera, anakku. Lihatlah kau diberi warna putih yang suci yang tidak dimiliki oleh setiap anak manusia pun. Di pinggir telaga ini, aku akan terus memelukmu. Oh

bulan, sinarlah kebahagiaan pada anakku, aku

mencintainya”.

B : “ Anjani, janganlah kau bersedih. Sudah kukatakan,

penderitaanmu memang harus ditanggung putramu.

Kesucianmu menjadi kesucian hati anakmu. Tapi inilah hukum jagad raya seisinya : sekali manusia berdosa, dosa itu tetap ada, karena siapa yang dapat menghapuskan apa yang telah terjadi…, kata Batara Guru.

Kode : D7

(Halaman : 66)

Konteks: Tuturan terjadi di pinggir telaga. Ketika tuturan terjadi, Anjani sedang menangis. Anjani menangis disebabkan anaknya menyerupai kera. Dalam tutruan tersebut dijelaskan ketika Anjani menangis datang Batara Guru menghiburnya.

Data 3 :

Pada tuturan data 3 dan 6 sama-sama menunjukan penggunaan gaya bahasa kiasan metafora. Wujud penanda gaya bahasa kiasan pada tuturan data 3 adalah terbungkam, kesunyian malam, fajar masa muda, dan ladang penderitaan. Penanda tersebut sesuai dengan pengertian gaya bahasa kiasan metafora yang membandingkan dua hal yang sama secara singkat. Dalam tuturan tersebut ia terbungkam sama dengan kesunyian malam. Sepi. Kemudian fajar masa muda atau masa muda tempat mereka berjuang tidak seperti masa tua sama dengan penderitaan. Ladang penderitaan disamakan dengan masa tua. Dalam tuturan tersebut, penutur merasa sedih dengan situasi yang dialaminya ketika tua karena berbeda dengan masa muda. Karena hal tersebut, penutur terlihat menyesal karena masa mudanya telah diisi dengan hal-hal yang menyakitkan termasuk menyakitkan adiknya Sumali. Makna gaya bahasa kiasan dalam tuturan tersebut adalah ungkapan kesedihan penutur ketika menghadapi penderitaan di masa tua. Dalam kesedihan tersebut, penutur menyesali atau mengenang kembali kebahagiaan yang dialaminya ketika masa muda. Namun, dibalik kebahagiaannya tersebut, ada tindakan penutur yang menyakitkan termasuk menyakitkan adiknya Sumali. Akibatnya, masa tua penutur penuh dengan penderitaan. Fungsi tuturan tersebut adalah untuk mengenang dan menyesali kembali tindakan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya. Penyesalan

tersebut ditandai dengan penggunaan metafora yakni penutur membandingkan masa tua dengan penderitaan. Masa muda dibandingkan dengan harapan.

Sedangkan dalam tuturan 6, penanda wujud ditandai dengan warna putih yang suci.pada tuturan tersebut, penutur membandingkan kesucian dengan warna putih. Kesucian menggambarkan orang yang tidak mempunyai dosa, kesalahan atau tidak mempuyai kekurangan. Hal tersebut sesuai dengan warna putih yang polos, tidak kotor. Makna gaya bahasa kiasan metafora tersebut untuk memberitahu keadaan, sifat yang dimiliki oleh anaknya. Dalam tuturan tersebut penutur ingin menyampaikan keadaan anaknya yang suci tidak berdosa. Oleh karenanya, penutur tidak menghendaki dosa yang pernah dilakukannya dahulu dialami juga oleh anaknya. Dalam hal ini adalah penderitaannya. Fungsi gaya bahasa kiasan tersebut untuk memuji, merayu kesucian anak penutur. Pujian tersebut disampaikan ketika sang ibu melihat anaknya ikut menderita seperti penderitaan yang dialaminya. Dalam tuturan tersebut, penutur menghendaki agar anaknya yang putih suci tersebut tidak ikut menderita.

c. Gaya Bahasa Kiasan Sarkasme

Berdasarkan data hasil penelitian dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata terdapat tujuh buah data yang layak dimasukan sebagai data yang valid. Gaya bahasa kiasan

A : “ Setan kau Wibsana! Apa katamu, seperti halilintar di siang bolong, kebijaksanaanmu yang gegabah itu!”

B : “ Kakakku, kembalikanlah Dewi Sinta pada Ramawijaya, dan mulai sekarang perintahlah Alengka dengan bijaksana. Hanya syarat itulah yang dapat menahanku di Alengka,” sahut Wibisana.

Kode : D7 (Halaman : 246) Data 25:

Konteks : Tuturan terjadi antara adik kakak, Dewi Sinta dan Wibisana. Tuturan terjadi di Negeri Alengka

A : “ Oh ibu, demi ayahku, aku rela berbuat segala-galanya. Akanku lakukan permintaanmu hari ini juga. Demi cinta kepada ayahku, aku mohon pamit berangkat ke hutan,” Rama menjawab, tanpa perasaan kecewa dan dendam sedikitpun. Matanya bersinar seperti mata Wisnu yang sebentar lagi akan menghadapi penderitaannya.

B : “ Kekayi, hai perempuan iblis, perempuan berhati setan jalang. Dan Rama…, jangan kau pergi, Anakku. Kepergianmu adalah kematianku. Oh Rama…, kata Dasarata tak kuasa menahan kesedihannya. Rama memeluknya erat-erat, mencoba menabahkan ayahnya.

Kode : D25

(Halaman : 122)

sarkasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang kasar bahkan lebih kasar dari kata-kata yang digunakan dalam gaya bahasa ironi (Keraf, 2007:143). Gaya bahasa sarkasme menggunakan kata-kata perbandingan yang bersifat mencela dan menyakitkan. Maksud dari sarkasme adalah untuk mengungkapkan kekesalan atau amarah. Gaya bahasa kiasan sarkasme yang terkandung dalam data akan dipaparkan berikut:

Data 7:

Pada tuturan (7) dan (25) sama-sama menunjukkan penggunaan gaya bahasa kiasan sarkasme. Wujud penanda gaya bahasa kiasan pada data (7) adalah halilintar di siang bolong. Gegabah. Penutur menggunakan gaya bahasa kisaan untuk

menyindir mitra tuturnya karena salah menggunakan

kebijaksanaan. Dalam tuturan tersebut penutur mengungkapkan kemarahannya. Makna tuturan tersebut adalah menyindir mitra tutur. Dalam sindiran tersebut, penutur marah. Ungkapan kemarahan mitra tutur terlihat jelas dalam penggunaan kata- katanya. Dalam tuturan tersebut, penutur membandingkan kata- kata yang dikeluarkan mitra tutur seperti halilintar di siang bolong. Halilintar biasanya datang ketika hujan atau menjelang hujan. Halilintar yang datang di siang bolong tanpa ada tanda-tanda mendung biasanya menimbulkan rasa kaget. Menyakitkan. Demikian juga dengan kata-kata dalam tuturan tersebut menyakitkan. Tak disangka-sangka. Sehingga penutur merasa, kata-kata yang disampaikan oleh mitra tutur tersebut sangat menyakitkan. Fungsi gaya bahasa kiasan tersebut adalah untuk

Konteks : Tuturan terjadi karena Rama menicntai ayahnya. Rama menunjukan rasa cinta kepadanya ayahnya dengan menuruti permintaan ibunya pergi ke hutan. Rupanya, kepergian Rama ke hutan tidak di terima oleh ayahnya. Bisa saja karena sang ayah mencintai anaknya, Rama. Bahasa yang digunakan oleh ayah Rama sangat kasar karena marah kepada istrinya. Namun, Rama mencoba menahan kesedihan ayahnya itu.

menyadarkan mitra tutur. Dalam tuturan tersebut, Wibisana mengungkapkan kemarahannya dengan kata-kata kasar kepada mitra tutur karena tidak mengembalikan Dewi Sinta kepadanya.

Sedangkan wujud penanda gaya bahasa kiasan sarkasme pada data (25) adalah hai perempuan iblis, perempuan berhati setan jalang. Penutur menggunakan gaya bahasa kiasan sarkasme untuk membantah tuturan sang istri Dasarata. Dalam tuturan tersebut, istri Dasarata merayu anaknya Rama pergi ke hutan. sang istri meminta Rama ke hutan sesuai dengan kesepakatan sebellumnya bahwa jika Dasarata ingin memenuhi segala permintaan istrinya, usirlah Rama ke hutan dan nobatkan putranya Barata Raja Adodya (Data 24). Permintaan tersebut dikabulkan oleh Rama karena cinta kepada ayahnya Dasarata. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Dasarata. Dalam tuturan tersebut, Dasarata marah dengan membandingkan perempuan (istrinya) dengan iblis. Iblis adalah mahluk halus yang selalu berupaya menyesatkan manusia. Penutur menganggap permintaan mitra tutur mengusir Rama ke hutan dan menobatkan Barata sebagai raja menyesatkan. Dianggap sesat karena tidak pernah ada orangtua ingin mengusir anaknya ke hutan. Makna gaya bahasa kiasan tersebut adalah kemarahan. Kemarahan penutur kepada mitra tutur yaitu istrinya karena telah mengajukan permintaan untuk mengusir Rama ke hutan dan menobatkan Barata sebagai raja.

karena tidak mungkin seorang ayah menghendaki seorang anaknya untuk di usir. Oleh karena itu, Dasarata menganggap istrinya tidak punya hati. Dan biasanya yang mempunyai permintaan menyesatkan adalah setan. Untuk itu, Dasarata membandingkan hati istrinya dengan hati setan yang jalang. Dalam tuturan tersebut, perbandingan perempuan dengan iblis sangat kasar. Fungsi gaya bahasa kiasan tersebut adalah untuk menyadarkan istrinya agar tidak mengajukan permintaan yang menyesatkan. Permintaan tersebut dianggap menyesatkan karena harus mengusir Rama ke hutan dan menobatkan putranya untuk menjadi raja. Permintaan tersebut tentu tidak baik. Oleh karena itu, Dasarata marah dengan menggunakan kata-kata sindiran yang kasar. Dengan harapan istrinya sadar dan tidak mengulang lagi perbuatannya itu.

d. Gaya Bahasa Kiasan Metonimia

Berdasarkan hasil penelitian data dalam novel Anak Bajang Menggiring Angina Karya Sindhunata terdapat lima buah data dimasukan sebagai data yang valid. Gaya bahasa kiasan metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 2010:142). Gaya bahasa kiasan metonimia yang ditemukan dalam data sebagian akan dipaparkan sebagai berikut:

A : “ Rama, kenapa kau biarkan aku di kalahkan Subali? Tiadakah kau menepati janjmu semula?” Tanya Sugriwa kesal hati. Ia menggelepar-lepar kesakitan.

B : “ Sugriwa, maafkanlah aku. Aku tidak berani membidikan panahku, karena aku tidak bisa

membedakanmu dari Subali, kakakmu.,” kata Rama. Kode : D44

( halaman: 186)

Konteks : Tuturan terjadi karena Sugriwa kalah Subali. Dan Subali kesal karena Rama tidak mengalahkan Subali, kakaknya. Namun, Rama

mampu mengalahkan Subali disebabkan tidak oleh bisa tidak bisa membedakan Subali dengan Sugriwa. Dalam perang tersebut, Sugriwa mengalami banyak sakit.

A: “ Rama, lihatlah. Anoman terbenam bersama tambak palsu buatan sastria yang telah menipu kita ini. Ijinkanlah kau untuk menghabisi nyawanya sekarang juga,” kata Sugriwa.

Kode : D70 (Halaman: 307)

Konteks : Tuturan terjadi ketika Sugriwa tahu Anoma telah menipu, berbohong.

Data 44

Data 70:

Pada tuturan data (44) dan (70) sama-sama menunjukkan gaya bahasa kiasan metonimia. Wujud penanda gaya bahasa kiasan metonimia pada data (44) adalah menggelar-lepar kesakitan. Kata menggelepar-lepar kesakitan digunakan sebagai bentuk pertalian yang sangat dekat untuk menyatakan orang yang tidak berdaya.

Menggelar-lepar adalah bergerak kesana kemari karena

kebingungan. Dalam tuturan tersebut, penutur mengungkapkan menggelepar-lepar kesakitan sebagai bentuk aksi mitra tutur karena

sakit. Mitra tutur sedang sakit sehingga bertindak membanting- bantingkan badannya. Aksi tersebut terjadi ketika Sugriwa kesal karena kalah dalam melawan Rama. Aksi menggelepar tersebut terjadi karena ada adu fisik antara Rama dan Sugriwa. Namun, dalam adu fisik tersebut Sugriwa kalah sehingga dia menderita kesakitan. Makna gaya bahasa kiasan dalam tituran tersebut dapat disimpulkan untuk menunjukan keadaaan (penderitaan) yang dialami oleh Sugriwa. Penderitaan tersebut disebabkan oleh kontak adu fisik dengan Rama. Dalam tuturan tersebut, Sugriwa kalah dalam melawan Rama. Kekalahan tersebut menimbulkan penderitaan bagi Sugriwa. Fungsi tuturan tersebut adalah untuk mengungkapkan keluhan Sugriwa. Keluhan tersebut terjadi karena Sugriwa merasakan penderitaan. Dalam tutuaran tersebut, Sugriwa seakan tidak menerima kekalahannya atas Rama. Oleh karena itu, Sugriwa kesal dengan Rama.

Sedangkan pada tuturan data (70) wujud penanda gaya bahasa kiasan metonimia adalah menghabisi nyawanya. Kata menghabisi memiliki arti menyudahi, mengakhiri. Menghabisis nyawa memiliki arti menghilangkan nyawa atau membunuh. Penutur dalam tuturan tersebut menggunakan kata sebagai pertalian yanag sama karena memiliki arti yang sama. Penutur meminta adiknya untuk menghabisi nyawa Anoma karena telah menipu penutur. Dalam tuturan tersebut, penutur ingin membalas tindakan Anoma

A : “ Ibu mengapakah hari mesti menjadi malam, sehingga dapat kubermain dengan mahluk-mahluk hutan?” tanya Anoman.

B : Seperti dirimu, Anakku, hari-haripun bisa lelah dalam perjalanannya. Dan merekapun ingin tidur, saat itulah hari menjadi malam, “ jawab Anjani.

Kode : D8 ( Halaman : 69)

Konteks : Tuturan terjadi antara anak dan ibu. Percakapan terjadi santai seperti percakapan antara ibu dan seorang anaknya

dengan cara membunuhnya. Makna dari gaya bahasa kiasan tersebut adalah ancaman. Anacaman tersebut sebagai bentuk balasan seorang yang menjadi korban penipuan temannya sendiri. Fungsi gaya bahasa tersebut adalah untuk menegaskan perasaan yang dialami seorang kepada orang yang telah menipunya.

e.Gaya Bahasa Kiasan Epitet

Berdasarkan hasil penelitian data dalam novel Anak Bajang Menggiring Angina karya Sindhunata terdapat enam belas data yang layak dimasukan sebagai data yang valid. Gaya bahasa epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal (Tarigan, 2013:`128). Gaya bahasa kiasan epitet yang terkandung dalaam data sebagian akan dipaparkan berikut:

Data 10:

Pada tuturan data (8) dan (10) sama-sama menunjukan adanya penggunaan gaya bahasa kiasan epitet. Wujud penanda gaya bahasa kiasan pada tuturan (8) adalah mahluk-mahluk hutan. Penutur menggunakan acuan mahluk-mahluk halus dalam tuturannya untuk menyatakan ciri khusus seorang. Mahluk-mahluk hutan adalah mahluk yang dianggap hidup di alam hutan dan berbeda dengan manusia. Dalam tuturannya, penutur memggunakan kiasan mahluk-mahluk hutan untuk menggantikan nama seseorang dalam hal ini adalah setan. Dalam tuturan tersebut, penutur Anoman tidak tahu mengapa mahluk-mahluk halus hanya ada pada malam hari sehingga bisa bermain bersamanya. Bagi Anoman, hal tersebut aneh. Bisa juga, tuturan tersebut disampaikan oleh Anoman karena dirinya selalu ingin bermain bersama mahluk-mahluk halus tersebut. Dlaam A : “ Anjani, apakah artinya malam yang tiba-tiba menjadi siang, dan siang yang tiba-tiba menjadi malam?” tanya Batara Surya sambil memperhatikan Anjani yang bersimpuh menghangatkan anaknya.

B : “ Hamba tidak mengerti, Batara”, sahut Anjani. A : Itulah perpisahan, Anakku. Dan inilah saatnya kau harus berpisah dengan anakmu,” jawab Batara Surya. Kode : D10

Konteks : Tuturan terjadi antara dewa dan hamba. Disebutkan dalam percakapan dewa bernama Batara Surya dan hamba bernama Anjani.

tuturan tersebut, ibu Anoman menjawab pertanyaan Anoman bahwa malam adalah bentuk istrihat dari alam. Ibaratnya manusia, alam juga butuh istrihat dari aktifitasnya, itulah yang disebut malam. Dan mahluk- mahluk halus biasanya bermain pada malam hari. Makna gaya bahasa kiasan dalam tuturan tersebut dapat disimpulkan sebagai pertanyaan Anoman sebagai penutur kepada ibunya (mitra tutur) tentang mahluk-mahluk halus yang hadir pada malam hari. Fungsi tuturan tersebut adalah penutur merayu mitra tutur agar mahluk-mahluk halus tersebut tidak hanya ada pada malam hari. Tuturan tersebut terjadi karena penutur masih ingin bermain dengan mahluk- mahluk hutan pada siang hari. Dalam tuturan tersebut, sang ibu (mitra tutur) mencoba memberi pemahaman kepada penutur (Anoman) mengapa mahluk-mahluk halus hanya ada pada malam hari. Dan sang ibu menjelaskan bahwa malam hari terjadi karena hari-hari juga butuh istirahat dari aktivitasnya.

Sedangkan, wujud penanda pada tuturan (10) adalah hamba. Penutur menggunakan acuan hamba untuk menunjukan kerendahan hatinya. Hamba memiliki makna sebagai budak, budak belian. Dalam tuturan tersebut, penutur mendeskripsikan dirinya sebagai budak. Budak

adalah orang yang siap diperintah oleh atasannya. Dalam tuturan tersebut, penutur sedang berkomunikasi dengan mitra tuturnya (Dewa). Dalam tuturan tersebut, penutur tidak bisa menjawab pertanyaan Sang Dewa. Penggunaan kata ganti hamba sebagai bentuk ketidaksanggupan penutur menjawa pertanyaan Dewa (mitra tutur). Selain itu, penggunaan kata hamba dalam tuturan sebagai bentuk penghormatan penutur kepada mitra tuturnya. Dalam tuturan tersebut, penutur sudah memposisikan dirinya sebagai budak. Makna gaya bahasa kiasan epitet dalam tuturan tersebut adalah untuk menunjukkan penghormatan penutur kepada mitra tuturnya (dewa). Fungsi gaya bahasa kiasan dalam tuturan tersebut adalah bentuk kerendahan diri

Dokumen terkait