• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Landasan Teori

2.2. Kerangka Teori

2.2.2. Konteks dalam Pragmatik

Konteks didefinisikan sebagai sekumpulan premis atau ide yang digunakan untuk menafsirkan sebuah ucapan (Black, 179:2016). Konteks dipandang sebagai sebuah konstruk yang berada dibawah kendali pendengar, diawali asumsi bahwa ucapan itu adalah relevan. Konteks dianggap memperhatikan asumsi-asumsi yang tidak akurat tetap dapat mempengaruhi penafsiran terhadap ucapan. Setiap orang memiliki pengetahuan tersendiri dalam menafsirkan informasi. Maksud penafsiran informasi dapat dipengaruhi juga oleh latarbelakang setiap orang. Bisa saja, penafsiran informasi setiap orang bisa berbeda sepanjang waktu dengan penafsiran informasi orang lain. Misalnya, kalau kita mendengar kata “ dokter gigi” maka pengetahuan yang ada dalam pikiran kita akan berebeda jika seandainya yang kita dengar adalah “ dokter”. Dokter gigi adalah orang yang mempunyai keahlian khusus dengan penyakit gigi. Maka dalam menangani pasien, dokter gigi tidak bisa menangani semua jenis penyakit.

Keahliannya hanya seputar gigi bukan penyakit yang lain. Lalu akan berbeda dengan dokter. Dia akan melayani semua jenis penyakit. Tetapi ada beberapa konteks dalam dokter gigi tidak dapat dipahami oleh dokter secara umum. Jenis penyakit yang dapat ditanganipun akan berebeda dengan jenis penyakit yang ditangani oleh dokter gigi. Karenaya kita akan memilih konteks yang pas untuk memaksimalkan makna yang didapatkan dari sebuah ucapan, baik ucapan dari dokter gigi maupun ucapan dari dokter umum. Demikian pula, kedua dokter akan memaksimalkan makna yang digunakan dengan memilih konteks yang pas agar ucapan yang disampaikan dapat tercapai sesuai dengan tujuan.

Rahardi (2003:13-14) mendefinisikan pragmatik adalah studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dan konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah teragamatisasi dan terkodefisasi sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaanya. Dapat dikatakan bahwa dalam mendefinisikan sebuah kata, frasa maupun kalimat dalam satuan kebahasaan tertentu tidak dapat dipisahkan dari konteks situasi tuturan. Artinya, makna suatu kebahasaan tertentu dapat ditafsirkan setelah ada penggabungan dan kodefisasi suatu unsur kebahasaan dan konteks tuturan dilakukan. Artinya, konteks pragmatik membahas hubungan antara bahasa dan konteks tuturan.

Konteks pragmatik berkaitan dengan segala macam aspek yang sifatnya luar bahasa (extralinguistic), yang menjadi penentu pokok

Konteks adalah sesuatu yang diciptakan secara dinamis dan bersama-sama oleh para peran dari wacana (Black, 2016:4). Di dalam pengertian ini, pencarian makna konteks ditentukan oleh wacana di dalam teks. Terdapat keterkaitan antara konteks dan wacana dalam teks. Pembaca dapat menyimpulkan makna konteks dari wacana teks, berkaitan dengan informasi baru yang disampaikan akan menjelaskan apa yang sudah disampaikan sebelumnya atau dapat mengubah persepsi kita tentang apa yang sudah disampaikan.

Kehadiran konteks menimbulkan makna sebenarnya sebuah tuturan. Selain itu, pemahaman tentang konteks pragmatik juga berkaitan dengan pemahaman pembaca dalam memahami, mengakses informasi apapun agar dapat mengolah ucapan penutur. Maksud dari akses informasi ucapan penutur adalah untuk membuat ucapan tersebut menjadi relevan. Selain itu, kehadiran konteks juga menciptakan situasi agar ucapan atau tuturan penutur menjadi lebih bermakna.

Secara umum, pengertian konteks pragmatik adalah segala macam aspek yang berada di luar bahasa (extralinguistic) yang menjadi penentu pokok kehadiran sebuah makna kebahasaan. Konteks situasi mutlak hadir untuk menjadikan tuturan benar-benar bermakna. Dalam Bahasa Indonesia, orang bisa saja menyebut “monyet” kepada orang lain sebagai bentuk keakraban yang benar-benar kental, baik dan tidak berjarak sama sekali. Artinya, dalam bertutur kedua orang tersebut memang sudah mempunyai

hubungan pertemanan sehingga komunikasi tersebut bisa terjadi. Namun, perlu ditegaskan bahwa penentu bagi makna tuturan itu ( kasar,vulgar, atau biasa-biasa saja) adalah kehadiran konteks situasi.

Leech (1983) menyebutkan konteks tuturan dengan istilah “ speech situation”. Apa yang dikatakan oleh Leech berbeda dengan konteks tuturan menurut Malinowsky. Menurut Leech, speech situation ada lima, yakni: pertama, penutur dan lawan tutur “Speaker dan hearer” dapat berkaitan dengan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang ekonomi, latar belakang sosial, latar belakang psikis, mental atau emosinya. Kedua, konteks tuturan itu sendiri : situasi waktu dan situasi tempat (spatio-temporal settings) bagi terjadinya tuturan aspek fisik, aspek sosial-kultur yang menjadi penentu makna tuturan. Ketiga, tujuan tuturan. Sebuah tuturan muncul karena ada tujuan. Jadi harus ditegaskan bahwa, dalam pragmatik setiap bertutur harus berorientasi tujuan ,pada maksud, maka disebutkan sebagai “ good-oriented activity”. Dalam pragmatik, setiap kebahasaan yang digunakan harus selalu berdasarkan pada fungsi, bukan hanya bentuk, karena setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya bentuk tindakan verbal, yang secara fungsional selalu memiliki tujuan. Keempat, tuturan harus selalu di anggap sebagai tindak verbal. Tindak-tindak verbal inilah yang menjadi kajian utama pragmatik. kelima, tuturan menjadi produk tindak verbal. Dalam sebuah tuturan misalnya seorang guru mengatakan kepada muridnya “ ruangan ini panas”. Dalam tuturan tersebut, produk yang sesungguhnya diharapkan adalah adanya tindakan menyalakan AC atau

kipas angin. Aspek situasi tuturan yang disampaikan depan itu menjadi penentu makna kebahasaan sebuah tuturan.

2.2.2.1 Konteks Situasi Tutur

Pragmatik adalah studi bahasa yang terikat konteks (context dependent). Dalam hal ini, konteks tidak bisa tidak dilibatkan dalam memaknai bahasa, baik bahasa dalam pengertian entitas kebahasaan elemen, maupun bahasa dalam pengertian umum yang jauh lebih holistik dan luas (Rahardi, 2016:38). Kehadiran konteks tuturan menjadi keharusan khususnya dalam tuturan lisan.

a. Penyapa dan Pesapa

Penyapa dan pesapa biasa juga disebut sebagai penutur dan mitra tutur. Penyapa dan pesapa bisa berdasarkan jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi, latar belakang kultur, usia, profesi, dan masih banyak lainnya. Leech (1983) menjelaskan bahwa pragmatik tidak hanya terbatas pada dimensi lisan, tetapi juga pada dimensi tulis atau dimensi tekstual. Dimensi-dimensi yang berkaitan dengan Dimensi-dimensi penyapa dan pesapa sangat variatif (Lyons, 1997:34). Misalnya saja, dari dimensi usia orang harus bisa membedakan bahasa yang digunakan oleh orang yang

usia tua dengan anak-anak. Biasanya, ketika seorang

berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dari usianya

pemilihan bahasa yang digunakan. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan nilai sopan santun dan menghargai orang yang lebih tua oleh orang yang usianya dibawahnya.

b. Konteks Tuturan

Konteks linguistik biasanya berdimensi fisik, konteks sosiolinguistik berupa dimensi setting sosial-kultural yang mewadahi kehadiran tuturan. Konteks pragmatik adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur (Wijana, 1996:11). Semua latar belakang yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur sangat berguna dalam menentukan makna kebahasaaan tertentu dalam sebuah tuturan. Konteks tuturan sebagai pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penyapa dan pesapa dan makna tuturan tersebut ditafsirkan oleh pesapa.

(Leech,1993:20) menjelaskan konteks diberi arti sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dapat diartikan bahwa antara penutur dengan lingkungan penutur mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam hal ini, aspek-aspek fisik dan lingkungan sosial antara penyapa dan pesapa menjadi penentu tercapainya makna sebuah tuturan.

c. Tujuan Sebuah Tuturan

Perbedaan antara istilah “tujuan tuturan” dan “ fungsi tuturan”. Menurut pandangan Leech istilah “ tujuan tuturan” atau “fungsi tuturan” lebih tepat untuk menggantikan penggunaan istilah maksud tuturan. Sebab, banyak orang secara sadar lebih menggunakan istilah tujuan tuturan karena dianggap netral untuk menunjukan kegiatan atau komunikasi yang berorientasi pada tujuan (Leech, 1993:20)

d. Tuturan sebagai Bentuk Tindak Ujar

Pragmatik lebih menangani bahasa pada tingkatan lebih konkret daripada tata bahasa (Leech, 1993:20). Karena objek kajian dari pragmatik sangat jelas yaitu tentang konteks sebuah tuturan. Konteks tuturan tersebut berkaitan erat dengan identitas penutur, latar belakang penutur, situasi tuturan dan kapan tuturan tersebut terjadi.

1. Penutur dan Lawan Tutur

Penutur dan lawan tutur atau mitra tutur dilambangkan dengan huruf kapital S (speaker) yang berarti pembicara atau penutur, dan huruf kapital H (hearer) yang dapat diartikan sebagai pendengar, mitra tutur atau lawan tutur (Rahardi, 2003:19).

Penutur dan lawan tutur berkaitan dengan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kulturnya, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis, atau mentalnya (

Rahardi, 2018:28). Aspek konteks penutur dan lawan tutur dalam hal ini tidak hanya terbatas dari itu saja. Bisa saja konteks lawan tutur hadir dari kedua pihak tersebut tanpa mengambil peran apapun. Keberhasilan sebuah komunikasi antara penutur dan lawan tutur tidak dapat terlepas dari aspek konteks tutur.

2. Konteks Tuturan

Semua latar belakang yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur sangat berguna dalam menentukan makna kebahasaaan tertentu dalam sebuah tuturan. Konteks tuturan sebagai pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penyapa dan pesapa dan makna tuturan tersebut ditafsirkan oleh pesapa. Leech (1993: 20) menjelaskan konteks diberi arti sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dapat diartikan bahwa antara penutur dengan lingkungan penutur mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam hal ini, aspek-aspek fisik dan lingkungan sosial antara penyapa dan pesapa menjadi penentu tercapainya makna sebuah tuturan.

Konteks tuturan berkaitan dengan situasi waktu dan tempat (spatio- temporal setting) bagi terjadinya pertuturan, aspek fisik, dan aspek sosial- kultural yang menjadi penentu makna bagi tuturannya. Dalam pembelajaran pragmatik, titik berat konteks tuturan adalah pada fakta adanya latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur (Rahardi, dkk,; 2018:29)

Konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh penutur dalam keseluruhan proses bertutur (Rahardi, 2003:20). Dalam hal ini, Penutur dan mitra tutur dapat saling menafsirkan makna dan pesan yang ingin disampaikan atau didengar berdasarkan pengetahuan masing-masing. Latar belakang pengetahuan yang sama dapat memberikan pemahaman untuk membantu kedua pihak dalam hal ini penutur dan mitra tutur menafsirkan makna tuturan.

3. Tujuan Tuturan

Tujuan tuturan berkaitan erat dengan bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dalam suatu tuturan. Munculnya suatu tuturan penutur dapat dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan yang jelas. Kepada siapa tuturan itu disampaikan dan apa maksud tuturan itu disampaikan. Adanya perbedaan tujuan tuturan yang digunakan tidak dapat terlepas dari latarbelakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dalam suatu tuturan.

Tujuan tuturan dapat memberi warna hadirnya sebuah tuturan. Bukan tidak mungkin hadirnya sebuah tuturan tanpa tujuan tertentu. Penutur dan mitra tutur sebelum melakukan sebuah tuturan tentu melalui sebuah konteks agar tujuan yang ingin disampaikan dapat tercapai. Di dalam pragmatik, bertutur selalu berorientasi pada tujuan dan pada maksud. Bentuk kebahasan yang digunakan, secara pragmatik selalu didasarkan

pada fungsi (fungction), bukan semata-mata pada bentuk (forms), karena setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya sekaligus merupakan bentuk tindak verbal, secara fungsional selalu memiliki tujuan (Rahardi, 2018: 30). Singkatnya, dalam pragmatik selalu berfokus pada fungsi, pada kegunaan, atau pada tujuan.

4. Tuturan Sebagai Bentuk Tindak Tuturan

Pragmatik mempelajari tindak verbal yang sunguh-sunggh terdapat dalam situasi dan suasana pertuturan tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan didalam ilmu bahasa pragmatik bersifat kontekstual (Rahardi, 2003:21). Sifat kontekstual tersebut berkaitan dengan siapa peserta tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan gambaran konteks tuturan. Sifat kontekstual tersebut yang dimaksud dengan tuturan sebagai tindak tuturan.

5. Tuturan Sebagai Tindak Verbal

Tuturan dapat digunakan sebagai produk sebuah tindak verbal. Dalam hal ini, sebuah tuturan selalu berorientasi pada tujuan, makna sebuah tuturan sebagai bentuk nyata dari sebuah tujuan tuturan. Leech (1993:22) menyebutkan bahwa pragmatik sangat jelas mengkaji tentang makna dalam hubungan dengan situasi ujaran. Hal tersebut, membedakan pragmatik dengan semantik. Misalnya pada contoh berikut, ”Ada anjing!”. Bagi seorang anak kecil yang biasanya takut pada sosok hewan anjing, tuturan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menyuruh atau memberi tahu agar dia berhenti bermain dan pulang ke rumahnya.

tersebut tidak hanya sekedar sebagai bentuk wujud tindak tutur tetapi juga sebagai produk dari tindak tutur itu sendiri. Produk tindak tutur dalam tuturan tersebut adalah, anak tersebut akan berhenti bermain dan pulang ke rumah.

Tindak verbal dikenal sebagai titik fokus kajian pragmatik, karena tindak verbal dapat membedakan kajian pragmatik yang berfokus pada tindak-tindak verbal dengan semantik yang berfokus pada pokok proposisi dan etintas-etintas kebahasaan khususnya frasa dan kalimat dalam sintaksis (Rahardi,dkk.; 2018:30). Di dalam penelitian ini, peneliti akan lebih fokus pada konteks tuturan yang berkaitan dengan situasi, waktu dan tempat bagi terjadinya pertuturan, aspek fisik, dan aspek sosial kultural yang menjadi penentu utama bagi tuturan di dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Dari hasil analisis konteks tuturan tersebut peneliti dapat menyimpulkan tujuan tuturan yang ingin disampaikan oleh penulis novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Di dalam pragmatik tujuan tuturan dapat dibagi menjadi dua yaitu berorientasi pada tujuan dan maksud tuturan.

Dokumen terkait