BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.2. Saran
Kemampuan penguasaan kosakata seseorang dapat menjadi tolok ukur kebaikan sebuah tulisan. Tulisan yang bagus adalah tulisan yang mengandung unsur kebahasaan yang baik dan benar. baik secara struktur kalimat dan benar penggunaan kebahasaan. Oleh karena itu, agar seseorang dapat menulis dengan baik dan benar, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah penggunaan kosakata. Penggunaan kosakata seseorang bergantung seberapa sering ia membaca. Boleh dikatakan bahwa, membaca dan menulis adalah satu kesatuan kemampuan yang tidak dapat terpisahkan.
Dalam menulis skripsi ini, peneliti menyadari bahwa kemampuan menulisnya sangatlah kurang. Penggunaan kosakata yang belum mumupuni menyebabkan struktur kalimat dan struktru bahasa tulisan ini belum sempurna. Letak ketidaksempurnaan ini menjadi bahan pembelajaran bagi
penulis bahwa, melatih diri membaca sejak dini sangatlah penting. Faktor membaca yang baik dapat mempengaruhi kemampuan menulis seseorang secara baik dan benar. sehubungan dengan itu, dalam penulisan skripsi ini peneliti memberikan saran berguna bagi peneliti sejenis. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya membahas penggunaan gaya bahasa kiasan perspektif stilistika pragmatik. Tinjauan stilistika pragmatik menjadi tinjauan utama dalam penelitian ini. Tiga hal pokok menjadi rumusan masalah untuk menjawab tinjauan stilistika pragmatik tersebut adalah wujud gaya bahasa kiasan, makna gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya bahasa kiasan. Dalam penelitian ini, peneliti berharap kepada peneliti sejenis untuk memperdalam kembali rumusan masalah ketiga yaitu fungsi gaya bahasa kiasan khusus dari penutur.
2. Penelitian ini hanya berfokus pada gaya bahasa kiasan. Oleh karena itu, peneliti sejenis dapat melakukan penelitian pada pengunaan gaya bahasa lainnya.
148
Black, E. (2011). Stilistika Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eko, M. (2010). Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata,Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
Ghony, D. M. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Keraf, G. (1981). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Nusa Indah.
Keraf, G. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Pratiwi, A. T. (2018). Jenis dan Fungsi Gaya Bahasa Kiasan Pada Lirik Lagu Band Naif dan
Payung Teduh. Skirpsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Purwaningsih , S. (2015). Kajian Stilistika Novel Perahu Kertas Karya Dewi Lestari. Skripsi.
Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Rahardi, d. (2016). Pragmatik: Fenomena Ketidaksantunan Berbahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga. Rahardi, K. (2003). Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.
Rahardi, K. (2017). Pragmatik. Jakarta: Erlangga.
Ratna, N. K. (2009). Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, W. H. (2010). Pengantar Apresiasi Sastra. Suarakarta: Yuma Pustaka. Siswantoro. (2008). Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudaryanto. (2015). Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma Press. Sudjiman, P. (1993). Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Temprint.
Tarigan, H. G. (1986). Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Tarigan, H. G. (2013). Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Wicaksono, A. (2014). Catatan Ringkas Stilistika . Bandarlampung: Garudhawaca. Yule, G. (2006). Pragmatik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
149
150
No Data Wujud gaya bahasa
kiasan
Makna Gaya Bahasa Kiasan
Fungsi Gaya Bahasa Kiasan
Tringulasi data setuju Tidak
setuju
1. A : Nak, kenapa kau tatap langit
dalam kedinginan?” Tanya Bengawan Wisrawa.
B : Ayah, lihatlah Dewi Sukesi di ufuk Timur. Kedua matanya bagaikan matahari kembar. Tapi sinarnya tak sampai ke hatiku yang kedinginan
Kode : D1 (Halaman: 11)
Konteks : tuturan itu terjadi karena Begawan Wisrawa melihat anaknya
Prabu Danareja sedang duduk
menghadap ke arah Timur.
Percakapan itu terjadi pada malam
hari ketika cahaya bintang
memancar. Suhu pada saat
percakapan tersebut adalah dingin.
Percakapan santai seperti
percakapan biasa antara seorang anak laki-laki dengan ayahnya.
Simile
Penanda Wujud : bagaikan
Kata bagaikan mau menggambarkan kedua mata sama dengan matahari kembar. Matahari kembar menunjukan jumlah matahari ada dua.
Menggambarkan Keterangan : seseorang menggambarkan kedua mata seseorag denga matahari yang jumlahnya dua. Dalam tuturan tersebut dapat kita gambarkan bahwa kedua matanya bersinar terang,indah seperti matahari. Memuji Keterangan : Fungsi memuji ditunjukan dengan kata bagaikan matahari kembar.
151 menyerupai perempuan-perempuan
elok yang sepantasnya menjadi dayang-dayang keraton mengiringi
Menyerupai, menjadi. Kata menyerupai dan
Sang pertapap memuji Wisrawa karena berkenan
ratapan ditujukan dengan kata angin- angin menyerupai
152 B : “Oh Dewa, terimalah sembah
sujudku. Tak pernah kubermimpi bahwa di hutan segelap dan seluas ini, kau sudi datang. Kau adalah Batara Kamajaya yang tampan. Ketampananmu mengundang hutan ini menjadi indah,” kata pertapa itu sambil menyembah Begawan Wisrawa.
Kode : D2 (Halaman : 15)
Konteks: tuturan terjadi antara raja dengan pertapa. percakapan terjadi di hutan sebagai latar tempat.
Tuturan itu terjadi karena raja datang memenuhi undangan pertapa.
Sebagai bentuk ucapan terima kasih, sang pertapa bersembah sujud di hadapan
menunjukan sesuatu sama dengan benda
pembandingnya.
tersebut, dijelaskan Wisrawa
didampingi para dayang saat tiba di hutan. menjadi dayang- dayang keraton mengiringi maksud kepergian Begawan Wisrawa.
3. A : Sukesi tak dapat meneruskan
kata-katanya. Ia terbungkam
bersama kesunyian malam. Oh, kesunyian yang mencekam. Dan Prabu Sumali tahu betapa kesunyian itu tersenyum. Menertawakan Sukesi yang baru saja menambah dosa jagad raya.
B :Adikku Sumali, maafkanlah aku. Lupakanlah fajar masa muda kita yang cerah ketika dunia menjadi
Metafora
Penanda wujud :
Terbungkam, kesunyian
malam, fajar masa muda, ladang penderitaan. Kesedihan Keterangan : kesedihan muncul akibat penderitaan yang dialamunya ketika sudah tua. Dalam eksediahn tersebut, penutur mengenang kembali kebahagiaan di saat Menyesali,mengenang. Keterangan : Fungsi tersebut ditujukan dengan kata terbungkam bersama
kesunyian, fajar masa
muda dan lading
penderitaan.
153 ladang penderitaan bagi kita, Sumali
aku tak layak menjadi menantumu. Kode : D3
(Halaman: 37)
Konteks : tuturan itu terjadi pada malam hari antara Sukesi dan Prabu Sumali. Sukesi adalah kakak dari Prabu Sumali. Percakapan itu terjadi
ketika Sukesi ingin mengakui
kesalahannya dihadapan Prabu
Sumali. Suasana pada saat
percakapan itu sangat menegangkan.
Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan penggunaan kata-kata
percakapan antara Sukesi dan Prabu Sumali. Sukesi adalah calon
menantu Prabu Sumali.
penutur saat muda dan saat tua.
4. A : Sukesi semakin menangis
terharu. Ratapannya yang
memilukan hati seperti kekeringan yang mengharapkan belas kasih mega-mega.
B : Sudahlah, Sukesi, keringkan air matamu dan tengadahkan wajahmu seperti bunga yang mau mekar di taman Argasoka.
Kode : D4 (Halaman: 38)
Konteks: tuturan terjadi ketika Sukesi menangis. Sukesi menangis
Simile
Penanda wujud : Seperti. Kata seperti ingin
membandingkan ratapan Sukesi dengan kekeringan. Biasanya, ketika kekeringan orang selalu merindukan air. Begtulah ketika
seseorang sedang meratapi sesuatu psti mengahdirkan iba bagi orang yang
Kesedihan Keterangan : Dalam tuturan tersebut Sukesi menangis karena penderitaan yang dialaminya. Memberitahukan
154 Prabu Sumali menghiburnya.
5. A : “ Ayah, tapi kenapa kami mesti
menjadi kera. Dimanakah keadilan di jagad raya ini?” tanya ketiga anaknya.
B : “ Anakku, kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia. Ia paling dekat dengan bentuk seseorang manusia. Untuk itulah, ia selalu berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaannya. Kode : D5
( Halaman: 61)
Konteks : Tuturan bisa terjadi karena ayah ketiga anak tersebut mencari kesempurnaan anaknya dengan menyerupai mereka seperti kera. Kera adalah binatang hidupnya di hutan. Namun, dalam usaha pencarian kesempurnaan tersebut, ketiga putranya seolah-olah menolak karena harus disamakan dengan kera dan menurut mereka itu tidak adil.
Metonimia
Penanda wujud : Jagad raya, lekas.
Jagad raya untuk menunjukan Bertanya, kecewa Keterangan : penutur dalam tuturan tersebit bertaya kepada ayahnya. Dalam tuturan terebut, penutur merasa kecewa karena keadaan yang dialaminya. Penurur tidak menerima keadaan tersebut. Menyadarkan Keterangan :
6. A : Anakku, tidurlah kini, kenapa
kau menangis?” Retna Anjani terpaksa menghibur anaknya, dari kesedihannya, “ Tidurlah dalam kehangatan cahaya bulan. Bulan
Metafora
Penanda wujud : Warna putih yang suci
Memberitahu. Keterangan : Seseorang menasihati mitra Merayu, memuji Keterangan :
155 suci yang tidak dimiliki oleh setiap
anak manusia pun. Di pinggir telaga ini, aku akan terus memelukmu. Oh bulan, sinarlah kebahagiaan pada anakku, aku mencintainya”.
B : “ Anjani, janganlah kau bersedih. Sudah kukatakan, penderitaanmu memang harus ditanggung putramu. Kesucianmu menjadi kesucian hati anakmu. Tapi inilah hukum jagad raya seisinya : sekali manusia berdosa, dosa itu tetap ada, karena siapa yang dapat menghapuskan apa yang telah terjadi…, kata Batara Guru.
Kode : D7 (Halaman : 66)
Konteks: Tuturan terjadi di pinggir telaga. Ketika tuturan terjadi, Anjani sedang menangis. Anjani menangis disebabkan anaknya menyerupai kera. Dalam tutruan tersebut dijelaskan ketika Anjani menangis datang Batara Guru menghiburnya.
Menurutnya, tidak ada yang mesti diratapi dari nasib sekrang dengan keadaannya.
7. A : “ Setan kau Wibsana! Apa
katamu, seperti halilintar di siang bolong, kebijaksanaanmu yang gegabah itu!”
B : “ Kakakku, kembalikanlah Dewi Sinta pada Ramawijaya, dan mulai
Sarkasme
Penanda wujud : Halilintar di siang bolong. Gegabah. Halilintar di siang bolong
Menyinidir, kemarahan. Keterangan : Penutur menyindir mitra tuturnya Menyadarkan Keterangan : Fungsi menyadarkan ditandai dengan penggunaan gaya bahasa halolintar
156 itulah yang dapat menahanku di
Alengka,” sahut Wibisana. Kode : D7
(Halaman : 246)
Konteks : Tuturan terjadi antara adik kakak, Dewi Sinta dan
Wibisana. Tuturan terjadi di Negeri Alengka.
mitra tutur. Bisa saja perkataan tersebt sangat kasar dan tidak dapat di terima leh khalayak umum.
kata yang kasar dan menyakitkan. Karena itu, penutur marah sehingga mengggunakan gaya abahasa kiasan sebagai penunjukan kata kemarahanya.
8. A : “ Ibu mengapakah hari mesti
menjadi malam, sehingga dapat kubermain dengan mahluk-mahluk hutan?” tanya Anoman.
B : Seperti dirimu, Anakku, hari- haripun bisa lelah dalam
perjalanannya. Dan merekapun ingin tidur, saat itulah hari menjadi
malam, “ jawab Anjani. Kode : D8
( Halaman : 69)
Konteks : Tuturan terjadi antara anak dan ibu. Percakapan terjadi santai seperti percakapan antara ibu dan seorang anaknya.
Epitet
Penanda wujud : Mahluk- mahluk hutan
Di dalam gaya bahasa kiasan mengandung kata mahluk-mahluk hutan untuk menunjukan penghuni hutan. Pertanyaan Keterangan: Seseorang bertanya kepada ibunya perihal waktu siang dan malam. Sang anak tidak tahu mengapa biasa terjadiperbedaan waktu siang dan waktu malam.
Merayu.
Keterangan : Merayu ditujukan dengan penggunaan kata agar penutur dan mitra tuturnya saling paham.
9. A : Ibu, apa susahnya menelan
matahari? Tidakkah ia seperti buah delima yang merekah, bila ia muncul di pagi hari?
B : “Anakku,jangan, nak…, cegah Anjani.
Kode : D9
Metafora
Penanda wujud : Buah delima
Dalam kalimat tersebut mengandung gaya bahasa kiasan simile untuk
Membandingkan Keterangan : Penutur bertanya kepada mitra tutur dengan cara membandingkan
Menyadarkan Keterangan :
157 karena Anoman penasaran. Lalu, ibu
Anoman mencegah Anoman yang ingin menelan matahri. Dalam tuturan tersebut Anjani, ibu Anoman khawatir.
Buah delima adalah salah satu buah-buahan yang sangat enak dan memiliki banyak manfaat, salah satunya bagi kesehatan.
10. A : “ Anjani, apakah artinya malam
yang tiba-tiba menjadi siang, dan siang yang tiba-tiba menjadi
malam?” tfanya Batara Surya sambil memperhatikan Anjani yang
bersimpuh menghangatkan anaknya. B : “ Hamba tidak mengerti,
Batara”, sahut Anjani.
A : Itulah perpisahan, Anakku. Dan inilah saatnya kau harus berpisah dengan anakmu,” jawab Batara Surya.
Kode : D10 ( Halaman :73)
Konteks : Tuturan terjadi antara dewa dan hamba. Disebutkan dalam percakapan dewa bernama Batara Surya dan hamba bernama Anjani.
Epitet
Penanda wujud : Hamba Kata hamba biasa
diguanakan dlam komunikasi di lingkup istana. Sapaan hamba diperuntukan bagi orang yang memegang kekuasaan tinggi dan paling dihormati.
Penghormatan Keterangan : Batara Surya adalah orang yang paling dihormati di kerajaan. Itulah sebabnya, Anjani menggunakan sapaan hamba sebagai bentuk penghormatan. Merendahkan diri Keterangan : Penggunaan kata hamba dalam sebuah percakapan
menunjukan kerendahan hati seseorang.
11. A : “ Selamat tinggal, Anakku”
Anjani mencium anaknya, kera putih yang kecil untuk terakhir kali. Dan lihatlah, bidadari-bidari surga telah menyaksikan perpisahan itu. Lalu turunlah tangga-tangga langit. Anjani naik dengan sayap kesedihan
Personifikasi , simile dan metafora.
Penanda wujud : Bidadari- bidadari putih, tangga- tangga langit, sayap
kesedihan, air mata menjadi
Kesedihan. Keterangan : Seseorang merasa sedih karena berpisah denga Kemewahan, kemegahan. Keterangan : Fungsi ditujukan dengan kata memuji, indah.
158 B : ibu, dimanakah kau?” jerit
Anoman. Kode : D11 ( Halaman: 74)
Konteks : Tuturan terjadi antara ibu dan anak. Tuturan terjadi pada saat situasi perpisahan antara ibu dan anak.
Dalam tuturan tersebut mengandung gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan dalam tuturan tersebut disampaikan pada saat seorang anak berpisah dengan ibunya. Biasanya dalam sebuah perpisahan pasti ada sebuah pesan, rasa sedih bahkan tangisana. Arena adanya perasaan rindu untuk bertemu kembali setelah perpisahan terjadi.
bu yang berpisah dengan anaknya pasti merasa sedih, demikian
sebaliknya.
12. A : “ Subali, kakakku, lama aku
menunggumu. Aku sudah diperintahkan dewa untuk
mengakhiri tapaku. Aku mengira, aku akan sebatangkara.
B : “ Surigiwa, adikku, jangan kau pikirkan masa lalu kita. Lihatlah, di depan kita ada delapan ratus anak kera yang indah.
Kode : D12 (Halaman: 84)
Konteks: Bisa tuturan terjadi karena adik kakak yang sudah lama tidak pernah bertemu dan tidak saling memberi kabar. Tuturan akrab
Metafora, epitet
Penanda wujud : Dewa, dan sebatang kara. Dewa untuk menunjukan sifat kesucian. Diapakai di kehidupan kerajaan. Dewa sering membantu orang- orang istana khusunya ketika sakit. Tapa untuk menunjukan cara hidup. Sebatangkara menunjukan hidup sendiri, tanpa orangtua, tanpa saudara.
Memberitahu Keterangan : Seseorang diberitahu untuk mengehntikan pertapaan dan sempat merasa akan tinggal sendiri karena kesepian selama pertapaan. Memuja Keterangan:
159 percakapan menunjukan pertemuan
dua orang adik kakak setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Dalam tuturan juga menjelaskan Sugriwa adik Subali baru saja menyelesaikan pertapaan. Pertapaan berakhir karena Sugriwa takut hidup sendiri dan kehilangan Sugriwa.
atau ditinggalkan keluarga.
13. A : “ Anakku, kulihat dalam dirimu
hati yang hening dan sunyi, berteriak dalam kesia-siaan menyatakan rahasianya kepada jagad raya. Kulihat pula hatimu kesepian seperti awan yang mengembara, ingin mengubah dirinya menjadi air mata yang jatuh di pelupuk mata hati manusia,”kata Batara Guru menyapa Subali dan Sugriwa.
B : Subali dan Sugriwaa segera melakukan sembah. Wajahnya mengharapkan kasih sayang bagi anak-anak kera.
Kode : D13 ( Halaman: 87)
Konteks : Tuturan terjadi antara dewa Batara Surya pada pagi hari. Tujuan tuturan untuk menyapa Subali dan Sugriwa. Bisa saja Batara Surya menyapa
Simile
Penanda wujud : Seperti, menjadi.
Gaya bahasa kiasan digunakan untuk membadningakn sesuatusecara eksplisit. Memuji Keterangan : seseorang memuji anaknya yang tenang dan baik.
Menyembunyikan maksud. Keterangan : Fungsi menyembunyikan maksud ditujukan dengan pengguanaan gaya bahasa kiasan.
160 mereka. Lalu, Subali dan
Sugriwa langsung menyembah dihadapannya. Tindak verbal tersebut terjadi
karena Batara Surya adalah dewa.
14. A : Langit pucat dan dingin. Air
mata manusia terus mengalir, seperti sungai yang tak mau dikeringkan. Jeritan ayam melolong bagaikan serigala kelaparan di waktu malam. Kode : D14
( Halaman : 97)
Konteks : Tuturan terjadi pada malam hari. Terjadi pada saat manusia menangis tersedu-sedu. Tuturaan terjadi karena ada dendam dengan kejadian sebelumnya.
Simile
Penanda wujud: langit pucat, Seperti, bagaikan.
Kesedihan Keterangan : seseorang merasa sedih ketika mengenang kembali kejadian yang pernah menimpa dirinya pada kejadian sebelum. Kesedihan Keterangan: Fungsi ditujukan dengna penggunakan kata perbandingan langit yang pucat.
15. A : “ Aku tak bisa melihat cahaya.
Tapi aku merasa kini kegelapan sedang melanda hutan. Kenapa anakku belum juga datang?” tanya sang kakek.
B : “ Jangan kau meresahkan anak yang sehari-hari merawat kita. Jangan pula kau tertipu oleh matamu yang buta. Dari mana kau yakin bahwa kegelapan ada disekitar kita. Mungkin saja bulan sedang bersinar, sehingga membuat kita kegirangan
Epitet
Penanda wujud: mata buta Mata buta menunjukan orang yang tdiak bisa melihat, sakit mata.
Kemarahan Keterangan: Seseorang marah dengan mitra tutur karena selalu meratapi masa lalunya. Dalam tuturan tersebut penutur menangis karena dia berpikir anaknya sudah
Menyadarkan
Keterangan : Fungsi menyadarkan ditujukan dengan sikap marah mitra tutur. Sikap marah penutur ditandai dengan penggunaan gaya bahasa kiasan.
161 Kode : D15
(Halaman : 99)
Konteks : Tuturan terjadi ketika kakek dan nenek kehausan dan menunggu kedatangan kedua orang anaknya yang pergi mencari air minum. Sang kakek merasa resah karena kedua anaknya belum datang. Keresahan sang kakek karena
merasa hari sudah gelap. Bisa saja tuturan itu terjadi karena sang nenek dan kakek tidak dapat melihat atau matanya buta.
Padahal, dia berpikir demikian akrena tidak dapat melihat atau matanya buta.
16. A : “Ampunilah aku, hai orang suci
yang menderita. Karena nafsu akan kegagahanku, aku tak bisa
membedakan mana suara manusia yang tak bersalah, mana suara musuh yang harus kubinasakan.., kata Dasarata.
B : “Siapa gerangan engkau? kenapa engkau tiba-tiba minta ampun kepadaku?” Tanya seorang kakek. Raja Dasarata memperkenalkan dirinya dan melanjutkan ceritanya. Kode : D16
(Halaman : 100)
Konteks: Tuturan terjadi karena Dasarata mengalami peristiwa malang pada saat mereka pergi
Epitet
Penanda wujud : orang suci
Orang suci menunukan orang yang tidak berdosa dan tidak melalukan
kesalahan. Hidupnya bersih.
Penyesalaan. Keterangan : Dasarat menyesal karena perbuatannya. Sehingga menyebabkan penderitaan bagi kakek dan neneknya. Menyadarkan Keterangan: Fungsi menyadarkan ditandai dengan penggunaan kata orang suci
sebagai perbandiingan.
162 menyebabkan Dasarata kembali
terlambat. Karena merasa bersalah, Dasarata meminta maaf kepada kakeknya. Namun, permintaan maaf Dasarata ditolak. Karena bagi kakeknya, bukan menjadi masalah asalkan mereka kembali dengan selamat.
17. A : “ Anakku, kau adalah mata
hidupku. Apa artinya kehidupan ini tanpa kasih sayangmu lagi? Peluklah aku, Anakku, bersama malam yang sudah reda, tapi tanpa tahu saat pergantiannya, peluklah aku anakku. Supaya akupun bisa merasakan keindahan dari kematian yang kau alami. Anakku, kenapa kau
tinggalkan kami yang buta dan tidak berdaya ini?” sang kakek terus meratap.
B : “ Dasarata, sekarang bawalah kami ke tepi sungai. Akan ku raih anakku untuk terakhir kali,” kata sang kakek. Dasarata menuntut saja apa yang diinginkan mereka. Dituntulah kedua orang tua buta menuju ke mayat anaknya. Kode : D17
(Halaman: 101)
Konteks : Tuturan terjadi di tepi
Alusi dan metafora Penanda wujud: kau adalah mata hidupku, mayat.
Ratapan, kesedihan. Keterangan : Penutur
menggunakan gaya bahasa kiasan yang mengandung ratapan untuk menyatakan perasaannya. Menyembunykan maksud .
163 mati. Dalam percakapan tersebut
sang kakek merasa kehilangan akan kedua anaknya. Oleh karena itu, sang kakek meminta Dasarata menuntun ke tepi sungai.
18. A : “ Tolonglah kami, hai Raja, yang
mulia dan baik hati. Hanya Ramawujaya-lah yang dapat membinasakan raksasa jahat itu!” kata Begawan Yogiswara. Dasarata keberatan mengabulkan permintaan Resi Yogiswara.
B : “Resi yang mulia, Rama masih sangat muda. Belum mempunyai pengalaman berperang. Tegakah kamu membinasakan dia terbunuh oleh raksasa jahat itu?” kata Dasarata.
Kode : D18 ( Halaman : 104)
Konteks : Tuturan terjadi antara raja dengan resi untuk melaporkan keadaan hutan yang tidak tentram. Dalam tuturan tersebut sang raja tidak setuju anaknya diutus ke hutan untuk perang melawan raksasa jahat. Sang raja menganggap anaknya belum berpengalaman, namun pernyataan raja dibantaha oleh resi. Dalam percakapan tersebut sang resi
Antonimisai
Penanda wujud: Hai raja, yang mulia
Dalam kalimat tersebut mengandung gaya bahasa kiasan
Peghormatan Keterangan : Antonomasia yang menggantikan nama diri. Hai Raja yang mulia untuk menggantikan nama Ramawujaya. Ramawujaya adalah raja yang mempunyai kesaktian. Memuja Keterangan : fungsi ditandai dengan penggunaan kata raja dan yang mulia.
164 gerangan kamu?” tanya Raja Janaka.
B : “ Hamba hanyalah anak gunung, yang ingin mengikuti sayembara,” jawab Rama. Prabu Janaka tertegun melihat ketampanan sastria ini, hanya hatinya menyangsikan kemampuan anak gunung itu untuk menarik Gandewa saktinya.
Kode : D19 ( Halaman: 107)
Konteks : Tuturan terjadi di
halaman istana. Maksud tuturan sang Raja ingin megetahui siapa orang muda yang ada di halaman istana tersebut. Tuturan terjadi karena ada orang muda yang hadir di halaman istana untuk membantu mengangkat Gandewa.
Penanda wujud: Anak gunung
Anak gunung menunjukan anak yang berasal dari gunung, tinggalnya di dekat gunung, rumahnya di dekat gunung. Dalam kehidupan sehari-hari anak gunung biasanya mempunyai kebiasaan bertani. kekaguman Keterangan : Penutur memggunakan gaya bahasa kiasan untuk menyatakan sesuatu hal. Keterangan: Fungsi merendahkan diri ditujukan dengan penggunaan kata perbandingan. 20. A : „Anakku, ampunilah
kesalahanku. Aku menyesali kesalahanku,” kata Dewi Renuka meratap di hadapan Ramabargawa. Dewa-dewa di langit memperhatikan ratapan mahluknya itu. Tapi
Ramabaragwa segera mengayunkan kapaknya dan memenggal leher ibunya. Robohlah Dewi Renuka, darahnya terciprat ke bunga Angsoka yang menjadi amarah karena kekejaman Ramabargawa.
Metafora
Penanda wujud ; Kejujuran yang beku
Kemarahan, penyesalan Keterangan : penutur
mneggunakan gaya bahasa kiasan untuk membandingkan kejujuran dengan benda yang beku.
165
mengakui kesalahannya. Kau
merasa, perbuatanmu itu lahir dari kejujuran hatimu. Tapi ketahuilah kejujuran sejati tidak akan berakhir dengan pedang yang mematikan, kejujuran sejati itu adalah belas kasih yang mau mengampuni. Kau telah tertipu Ramabargawa, oleh
kejujuranmu yang beku. Maka
biarlah hidupmu terkutuk, sepanjang hiudpmu kau takkkan merasakan belas kasih. Ia lalu tersungkur, memeluk ibunya yang berlumuran darah.
Kode : D20 (Halaman : 111)
Konteks : Tuturan terjadi antara ibu dan anaknya. Sang ibu memohon ampun kepada anaknya. Sang anak