• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB TEORI DASAR. 2.1 Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB TEORI DASAR. 2.1 Umum"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI DASAR

2.1

Umum

Prinsip utama dalam proses mendesain pipa bawah laut adalah mengusahakan agar sistem pipa yang akan dibangun dapat kuat dan stabil baik pada saat proses instalasi, hydrotest dan selama masa layan (operasional) yang direncanakan. Berdasarkan standar DNV OS-F101 Submarine Pipeline Systems 2007, keamanan dari sebuah sistem pipa dapat dipastikan dengan menggunakan safety class methodology. Dalam metodologi ini sebuah sistem pipa bawah laut dapat dikategorikan kedalam satu kelas atau lebih berdasarkan pada konsekuensi kegagalan yang dapat ditimbulkan. Umumnya suatu sistem pipa bawah laut diklasifikasikan bedasarkan sifat fluida yang dialirkan dan lokasi pemasangan. Selain itu, dengan menggunakan DNV ini juga dapat ditentukan ketebalan dari dinding pipa yang dibutuhkan.

Dalam proses mendesain jaringan pipa bawah laut dilakukan serangkaian proses yang sistematis, tahapan tersebut tentunya harus disesuaikan dengan standar internasional yang umum digunakan seperti DNV, API, ASME dan lain-lain. Gambar 2.1 memperlihatkan flow chart dari langkah-langkah desain yang umum dilakukan.

BAB

(2)

Gambar 2.1 Flow chart langkah desain pipa bawah laut [sumber: Bai, Y, 2001].

2.1.1 Klasifikasi Sistem Pipa Berdasarkan Fluida yang Dialirkan

Jenis fluida yang dialirkan dalam sebuah jaringan pipa bawah laut tentunya berbeda-beda. Tabel 2.1 menjelaskan jenis-jenis fluida yang dialirkan dalam sebuah pipa bawah laut:

(3)

Tabel 2.1 Klasifikasi Keamanan Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Fluida yang Dialirkan

[sumber: DNV OS-F101].

Kategori Fluida Keterangan

A Fluida tidak terbakar, fluida yang berbasis air.

B

Fluida yang dapat terbakar dan beracun yang berbentuk cair pada kamar dan kondisi tekanan atmosfir. Salah satu contohnya adalah metanol.

C

Fluida yang tidak terbakar dan tidak beracun yang berbentuk gas pada suhu kamar dan kondisi tekanan atmosfir. Contohnya adalah nitrogen dan karbon dioksida.

D Gas berfasa tunggal, dapat terbakar dan tidak beracun.

E Fluida yang dapat terbakar dan beracun yang berbentuk gas pada suhu kamar dan kondisi tekanan atmosfir.

2.1.2 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Lokasi Pipa

Sistem pipa bawah laut terbagi atas dua kelas. Sistem ini dibagi berdasarkan lokasi pipa pemasangan tersebut (dapat dilihat pada Tabel 2.2)

Tabel 2.2 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Lokasi Pipa [sumber: DNV

OS-F101].

Klasifikasi lokasi pipa Keterangan

1 Lokasi dimana tidak terjadi akitivitas manusia yang rutin sepanjang jalur pipa.

2

Bagian dari pipa yang dekat dengan platform dengan aktifitas manusia yang banyak , luas dari lokasi ini harus berdasakan analisis resiko, atau dapat asumsikan sebagai area yang berjarak 500 meter dari platform bila data yang diperlukan untuk analisis resiko tidak ada.

(4)

2.1.3 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Tingkat Keamanan

Dalam mendesain sistem pipa bawah laut harus didasarkan pada konsekuensi kegagalan yang dapat terjadi, klasifikasi berdasarkan tingkat kemanan pipa dapat dibagi menjadi tiga seperti pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Tingkat Keamanan [sumber: DNV

OS-F101].

Kelas Kemanan Keterangan

Rendah

Dimana kegagalan yang mungkin terjadi menyebabkan resiko yang sangat kecil terhadap manusia dan lingkungan, klasifikasi ini diterapkan pada saat instalasi.

Normal

Dimana kegagalan yang mungkin terjadi menyebabkan resiko yang cukup besar terhadap manusia dan lingkungan, juga bidang politik dan ekonomi. Klasifikasi ini biasanya diterapkan untuk keadaan operasi pipa yang jauh dari platform.

Tinggi

Dimana kegagalan yang mungkin terjadi dapat menyebabkan resiko yang sangat besar terhadap manusia, lingkungan, ekonomi dan politik. Klasifikasi ini biasanya diterapkan untuk keadaan operasi dilokasi dekat dengan platform.

Klasifikasi keamanan pipa bawah laut mungkin akan berbeda-beda untuk fase konstruksi dan lokasi yang berbeda. DNV 2007 mengklasifikasikan sistem pipa bawah laut berdasarkan tingkat keamanan menjadi dua fase keadaan pipa seperti pada Tabel

2.4.

Tabel 2.4 Klasifikasi Keamanan Sistem Pipa Bawah Laut [sumber: DNV OS-F101].

Fase

Kategori fluida A dan C Kategori fluida B, D, dan E Kelas lokasi Kelas lokasi

1 2 1 2

Temporal Rendah Rendah Normal Normal

Operasional Rendah Normal Normal Tinggi Fase temporer merupakan fase dari proses instalasi sampai dengan pre-commissioning yaitu tahap sampai dengan dilakukan proses hydrotest.

(5)

Tabel 2.5 menunjukkan nilai safety factor pada pipa yang digunakan untuk perhitungan

pressure containment sedangkan Tabel 2.6 menunjukkan nilai safety factor pada pipa yang digunakan untuk perhitungan buckling.

Tabel 2.5 Nilai Safety Factor Sistem Pipa Bawah Laut untuk Perhitungan Pressure Containment[sumber: DNV OS-F101].

Kelas Kemanan γsc1

Rendah 1.046

Normal 1.138

Tinggi 1.308

Tabel 2.6 Nilai Safety Factor Sistem Pipa Bawah Laut untuk Perhitungan Buckling [sumber: DNV OS-F101].

Kelas Kemanan γsc2

Rendah 1.04

Normal 1.14

Tinggi 1.26

2.2

Pemilihan Rute Pipa

Dalam mendesain suatu jaringan pipa di bawah laut, langkah awal yang harus diperhatikan adalah pemilihan rute yang akan dilalui oleh pipa itu sendiri (Routing). Pemilihan rute pipa ini didasarkan pada beberapa faktor, sehingga nantinya diperoleh rute pipa yang paling efektif dan efisien. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Rute pipa yang dipilih haruslah sependek mungkin dan diusahakan agar rute pipa lurus.

Dengan mengambil rute yang pendek, dapat meminimalisasi kehilangan tekanan, meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi pada saat instalasi, dan meminimalisasi material pipa. Rute pipa yang lurus sebenarnya sangat sulit untuk dicapai karena

(6)

kontur dasar laut yang tidak rata, shore crossing, third parties (kegiatan-kegiatan yang ada sebelum pipa dibangun) dan lain sebagainya.

2. Rute pipa yang diambil adalah rute yang memiliki kemudahan pada saat instalasi. Rute yang memiliki kemudahan pada saat instalasi akan membuat pekerjaan penempatan pipa di dasar laut lebih mudah dan cepat.

3. Rute pipa yang diambil haruslah rute teraman, dan memiliki dampak bahaya yang dapat merugikan pipa yang sangat kecil.

Pemilihan rute pipa harus memperhatikan kondisi batimetri dari dasar laut, lokasi dari existing platform dan risers, jalur pipa lain yang telah ada sebelumnya, kedalaman perairan, kondisi sosial-politik, lokasi kapal karam, dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam memilih jalur pipa terkait dengan kondisi dasar lautnya diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut:

• Hindari halangan-halangan didasar laut atau bentangan menggantung pipa yang mungkin terjadi disepanjang jalur yang direncanakan.

• Hindari persilangan dengan jalur pipa yang lain jika memungkinkan. • Hindari daerah-daerah dimana kapal banyak membuang jangkarnya.

• Hindari bentang pipa dari tanah yang tidak stabil dan pasang pipa di daerah yang relatif lebih stabil, jika hal ini dapat diidentifikasikan.

• Hindari gundukan-gundukan tanah atau cekungan yang dapat menyebabkan timbulnya daerah menggantung disepanjang jalur pipa.

• Khusus untuk daerah yang terdapat aliran lumpur, perkecil resiko terjadinya kerusakan terhadap pipa akibat pergerakan tanah dengan memilih jalur pipa tegak lurus terhadap kontur kedalaman.

Untuk mengetahui rute pipa diperlukan adanya kgiatan survei. Survei yang dilaksanakan adalah survei geodetik (untuk mendapatkan parameter-parameter geodetik), survei geofisikal (untuk mengetahui kontur permukaan dasar laut), survei geoteknik (untuk mengetahui jenis tanah penempatan pipa), survei hidrooseanografi (untuk mengetahui beban-beban lingkungan dan meteorologi, dan survei visual (untuk mengetahui kondisi asli lokasi pipa).

(7)

Gambar 2.2 menunjukkan flowchart yang sebaiknya dilakukan dalam pemilihan rute pipa. No No OK!

Gambar 2.2 Flow chart routing selection.

2.3

Pembebanan pada Pipa

Berdasarkan pada strandar DNV OS-F101 Submarine Pipeline Systems 2007 pembebanan pada pipa dibagi menjadi 2 yaitu beban fungsional dan beban lingkungan, dimana beban-beban tersebut akan ditentukan terlebih dahulu sebelum proses desain dimulai.

1) Beban Fungsional

Beban fungsional merupakan beban yang berasal dari keberadaan fisik pipa dan hal tersebut sangat menentukan integritas dari sistem pipa baik selama proses instalasi,

Route Survey

Seabed Profile

Bottom Roughness Desktop Study

Mix Data & Compare Allowable

Span Length

Design Modify Route

(8)

hydrotest, maupun keadaan operasional. Yang termasuk kedalam beban fungsional adalah sebagai berikut:

• Gaya Berat

Yang termasuk kedalam beban ini adalah berat pipa secara keseluruhan, berat isi yang ditransportasikan baik pada saat kondisi operasi dan hydrotest, serta gaya angkat.

• Tekanan

Beban tekanan yang dimaksud adalah tekanan yang terjadi pada pipa yang terdiri tekanan internal, tekanan eksternal dan tekanan tanah untuk pipa yang dikubur. • Thermal ekspansion dan contraction

Beban ini biasanya diakibatkan oleh temperatur dari isi yang ditransportasikan dalam pipa.

• Pre- stressing

Beban yang termasuk kedalam beban pre-stressing biasanya adalah tekanan yang diakibatkan oleh aktifitas pada saat instalasi pipa.

2) Beban Lingkungan

Beban lingkungan adalah beban yang bekerja pada pipa yang diakibatkan oleh lingkungan sekitar dan bukan merupakan beban fungsional atau beban accidental. Beban lingkungan yang bekerja pada pipa biasanya terdiri atas beban angin, gelombang, arus, beban hidrodinamik dan fenomena lingkungan lainnya. Selain beban fungsional dan lingkungan diatas dalam desain pipa juga dikenal adanya beban accidental yaitu beban yang diakibatkan oleh keadaan yang tidak direncanakan, yang termasuk beban ini adalah diantaranya vessel impact, benda jatuh, pergerakan tanah, gesekan jangkar dan lain lain.

(9)

2.4

Pemilihan Diameter dan Material Pipa

Perancangan pipa melibatkan pemilihan diameter pipa, ketebalan dan material yang digunakan. Diameter pipa yang dipilih sebaiknya didasarkan pada pertimbangan kapasitas aliran yang diinginkan untuk mengangkut hasil produksi fluida dari sumur-sumur minyak atau gas. Hal ini membutuhkan suatu analisis menyeluruh dengan asumsi untuk keadaan kondisi operasi terburuk sepanjang masa layan dari pipa yang direncanakan. Setelah itu, desain dilanjutkan untuk memilih jenis bahan pipa yang akan dipakai, apakah akan menggunakan pipa dari baja, komposit, atau jenis fleksibel yang kemudian membuat keputusan detail mengenai komposisi dan spesifikasi dari material yang digunakan. Pertimbangan pemilihan material pipa harus didasarkan pada jenis fluida yang akan ditransportasikan, beban, temperatur, dan mode kerusakan yang mungkin selama proses instalasi dan operasi. Pemilihan material pipa harus dicocokan dengan semua komponen dalam sistem pipa bawah laut. Pipa yang dipilih harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

• Sifat mekanik bahan. • Kekakuan material.

• Ketahanan terhadap retak/fraktur. • Ketahanan terhadap fatigue. • Weldability.

• Ketahanan terhadap korosi.

Sifat dari karakteristik material pipa ini nantinya akan digunakan dalam menghitung ketahanan pipa yang akan didesain. Dalam DNV 2007 nilai dari faktor kekuatan material (material strength factor) dapat dilihat pada Tabel 2.7, nilai dari faktor daya tahan material (material resistance factor) dapat dilihat pada Tabel 2.8, sedangkan nilai dari karakteristik properti material dirumuskan seperti pada Tabel 2.9. Selain itu, pada proses fabrikasi pipa terdapat adanya perubahan suhu, perubahan suhu ini nantinya akan memberikan perbedaan antara tekanan dan tegangan, yang dikenal dengan nilai dari faktor fabrikasi (αfab), biasanya nilai faktor fabrikasi diberikan, namun jika faktor tersebut tidak diketahui maka nilainya diberikan seperti dalam Tabel 2.10.

(10)

Tabel 2.7 Faktor Kekuatan Material [sumber: DNV OS-F101].

Faktor Kekuatan Material Normal Supplementary Requirement

αu 0.96 1.00

Tabel 2.8 Faktor Daya Tahan Material [sumber: DNV OS-F101].

Limit State Category SLS / ULS / ALS FLS

γm 1.15 1.00

Tabel 2.9 Faktor Maksimum Fabrikasi [sumber: DNV OS-F101].

Pipe Seamless UO & TRB & ERW UOE

αfab 1.00 0.93 0.85

Tabel 2.10 Karakteristik Properti Material [sumber: DNV OS-F101].

Property Nilai

Karakteristik yield stress fy = (SMYS - fytemp)αu Karakteristik tensile stress fu = (SMTS – futemp)αu dimana:

fytemp = pengurangan nilai yield stress akibat temperature futemp = pengurangan nilai tensile stress akibat temperature Seamless = jenis pipa tanpa las

SLS = Serviceability Limit State ULS = Ultimate Limit State FLS = Fatigue Limit State ALS = Accidental Limit State

UO = proses fabrikasi pipa dari pipa yang dilas

UOE = proses fabikasi pipa dari pipa yang dilas dan dimuaikan ERW = Electric Resistance Welding

(11)

TRB = Three Roll Bending

SMYS = Specified Minimum Yield Strength SMTS = Specified Minimum Tensile Strength

Perbedaan kelas material pada pipa mengacu pada sifat material dalam kondisi temperatur kamar. Temperatur berpengaruh terhadap sifat material, apabila tidak ada informasi mengenai pengaruh temperatur tehadap sifat material maka dapat digunakan grafik seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.3 untuk menentukan penurunan tegangan akibat temperatur.

Gambar 2.3 Grafik temperatur Vs Stress derating [sumber: DNV OS-F101].

Dalam pemilihan material pipa biasanya digunakan material grade X-60 atau X-65 (414 atau 448 Mpa) untuk pipa dengan tekanan tinggi atau pipa untuk perairan dalam sedangkan untuk perairan dangkal yang memiliki tekanan rendah digunakan pipa

(12)

dengan material grade X-42, X-52 atau X-56. Sedangkan jenis pipa sendiri dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu Seamless, Submerged Arc Welded (SAW), Electric Resistance Welded (ERW), dan Spiral Weld.

Dari keempat jenis pipa diatas jenis Seamless dan SAW adalah yang sering digunakan dibandingkan jenis lainya. Tabel 2.11 menyajikan grade material berdasarkan American Petroleum Institute (API).

Tabel 2.11 Grade Material Berdasarkan Standar API [sumber: API].

API Grade SMYS SMTS

ksi Mpa ksi MPa

X42 42 289 60 413 X46 46 317 63 434 X52 52 358 66 455 X56 56 386 71 489 X60 60 413 75 517 X65 65 448 77 530 X70 70 482 82 565 X80 80 551 90 620

2.5

Desain Tebal Dinding Pipa (Wall Thickness)

Penentuan tebal pipa adalah salah satu pekerjaan yang sangat penting dan mendasar dalam mendesain sistem pipa bawah laut. Dalam penentuan tebal pipa didasarkan pada kiteria desain yang disebabkan oleh adanya tekanan internal dan tekanan eksternal hidrostatik yang bekerja pada pipa. Dalam DNV OS-F101 Submarine Pipeline Systems 2007 dijelaskan mengenai kriteria desain untuk penentuan tebal pipa. Berikut adalah penjelasan mengenai kriteria-kriteria tesebut.

2.5.1 Karakteristik Wall Thickness

Nilai dari tebal dinding pipa untuk perhitungan tahanan terhadap pressure containment dan tahanan lain dihitung dalam beberapa kondisi seperti diterangkan pada persamaan 2.1 s.d. 2.4.

(13)

Nilai dari tebal dinding pipa untuk perhitungan tahanan terhadap pressure containment: • Untuk kondisi Instalation dan Hydrotest.

fab

s t

t

t1 = − 2.1

• Untuk kondisi Operasional

CA fab

s t t

t

t1 _2 = − − 2.2

Nilai dari tebal dinding pipa untuk perhitungan tahanan terhadap buckling: • Untuk kondisi Instalation dan, Hydrotest.

s

t

t2 = 2.3

• Untuk kondisi Operasional

CA

s t

t

t2_2 = − 2.4

dimana:

tfab = tebal toleransi fabrikasi tCA = tebal corrosion allowance ts = tebal dinding pipa

t1 = tebal dinding pipa pada kondisi Instalation dan Hydrotest untuk perhitungan tahanan terhadap pressure containment.

t1_2 = tebal dinding pipa pada kondisi operasional untuk perhitungan tahanan terhadap pressure containment.

t2 = tebal dinding pipa pada kondisi Instalation dan Hydrotest untuk perhitungan tahanan terhadap buckling.

t2_2 = tebal dinding pipa pada kondisi operasional untuk perhitungan tahanan terhadap buckling.

2.5.2 Kriteria Pressure Containment

Ketentuan pertama dari perhitungan tebal dinding pipa adalah menentukan kriteria pressure containment. Dalam konsep lama pressure containment dituliskan sebagai

(14)

fungsi allowable hoop stress. Dalam kriteria tersebut, tekanan hoop stress yang merupakan perbedaan antara tekanan internal dan eksternal nilainya tidak boleh melebihi nilai yang diijinkan.

) ( 2 ) ( y,temp s s e i h SMYS f t t D P P − − ≤ − =

η

σ

2.5 dimana: σh = hoop stress Pi = tekanan internal Pe = tekanan eksternal D = diameter pipa

fy,temp = pengurangan nilai yield stress akibat temperatur yang bekerja pada pipa η = usage factor

Menurut DNV 2007 nilai dari usage factor dapat dirumuskan seperti pada persamaan 2.6. inc SC m U

γ

γ

γ

α

η

. . . 3 . 2 1 = 2.6 dimana:

αu = faktor kekuatan material

γm = faktor daya tahan material (material resistance factor) γSC1 = safety class factor

γinc = incidental to design pressure ratio

Nilai dari incidental ratio dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12 Incidental Ratio untuk Pressure Containmet [sumber: DNV-OS-F101].

Condition or pipeline system γinc

Typical pipeline system 1.10

Minimum, except for below 1.05

When design pressure is equal to full shut-in pressure including dynamic effects 1.00

(15)

Sedangkan dalam konsep load and resistance factor design (LRFD) kiteria pressure containment dituliskan sebagai berikut.

m sc b e li t P P P

γ

γ

. ) ( 1 ≤ − 2.7 atau m sc b d t P P

γ

γ

. ) ( 1 ≤ 2.8 dimana: Pd = pressure design

Pli = tekanan lokal insidental

Pb(t) = pressure containment pada tebal dinding pipa (t)

Berikut ini beberapa definisi tekanan yang digunakan dalam proses perhitungan tebal dinding pada pipa menurut DNV 2007:

a. Tekanan Lokal (Local Pressure)

Tekanan lokal adalah beban dimana perbedaan nilainya dengan tekanan referensi merupakan berat kolom dari isi pipa. Nilai tekanan lokal secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

h g P

Plocal,ref = ref +

ρ

cont. .

2.9 untuk tekanan lokal secara spesifik dituliskan sebagai berikut:

h g P Pld = d +

ρ

cont. . 2.10 h g P h g P

Pli = inc +

ρ

cont. . = d.

γ

inc +

ρ

cont. . 2.11

h g P

Plt = t +

ρ

cont. . 2.12

dimana:

Pinc = tekanan insidental = γinc.Pd

(16)

Pt = 1.05⋅Pinc ( normal and hight safety class) = 1.03⋅Pinc (low and hight safety class) Pld = tekanan lokal desain

Pli = tekanan lokal insidental Plt = tekanan lokal system test ρcont = tekanan isi pipa

g = percepatan grafitasi

h = jarak antara titik referensi dengan permukaan air laut

b. Tekanan eksternal (Pe)

Nilai dari tekanan eksternal dapat dirumuskan menjadi:

h g Pe =

ρ

sw. . 2.13 dimana: e P = tekanan eksternal

ρsw = densitas air laut d = kedalaman air

Nilai dari pressure containment diambil dari nilai terendah (minimum), yang ditentukan dengan persamaan :

[

( ); ( )

]

) (t MinP, t P, t Pb = by bb 2.14 3 2 . . 2 ) ( ,y y b f t OD t t P − ⋅ = 2.15 3 2 . 15 . 1 . 2 ) ( , u b b f t OD t t P − ⋅ = 2.16 dimana:

Pb(t) = tahanan pressure containment pada tebal pipa Pb,y(t) = tahanan pressure containment pada batasan leleh

(17)

Pb,b(t) = tahanan pressure containment pada batasan tarik fy = tegangan leleh desain

fu = tegangan tarik desain t = tebal dinding pipa

2.5.3 Kriteria Buckling

Buckling merupakan keadaan dimana pipa sudah tidak bundar atau mengalami perubahan bentuk akibat tekanan hidrostatis yang besar pada kedalaman tertentu, kedalaman tersebut merupakan kedalaman mulai terjadinya buckle atau initiation buckle. Buckling dapat dibagi menjadi 2 yaitu local buckling dan global buckling. Berdasarkan DNV 2007 local buckling harus dicek terhadap beberapa kriteria, yaitu:

1. Kriteria System collapse. 2. Kriteria Combained loading. 3. Kriteria Propagating buckling.

1. Kriteria System Collapse

Kriteria ini menunjukan bahwa pipa akan mampu bertahan dari deformasi bentuk pipa selama masa layannya. Kiteria ini sangat dipengaruhi oleh kapasitas plastis, kapasitas elastis, dan ovalitas dari baja. Nilai dari tekanan collapse dalam DNV 2007 dirumuskan sebagai berikut: t D f P P P P P P Pc el).( c pl ) c. el. pl. o. ( − 2 − 2 = 2.17 • Tekanan elastik (Pel)

3 2 1 2 ) ( v D t E t Pel −       = 2.18 dimana: E = modulus elastisitas

(18)

t = tebal didinding pipa υ = poisson rasio • Tekanan plastis (Ppl) D t f t Ppl( 2)=2. yfab. 2.19 dimana:

fy = tegangan leleh desain, psi αfab = faktor fabrikasi (lihat Tabel 2.9) D = diameter luar pipa

• Ovalitas baja (fo) D D D fo = max − min 2.20 Dmax = diameter maksimum

Dmin = diameter minimum

Persamaan 2.17 tekanan collapse (Pc) merupakan persamaan polinomial derajat tiga, untuk itu dilakukan pendekatan nilai Pc dengan persamaan 2.21-2.28:

b y Pc 3 1 − = 2.21 dimana: el P b=− 2.22       + Φ − − = 180 60 3 cos 2 u

π

y 2.23       + − = t D f P P P c p p el 0 2 2.24 2 p elP P d = 2.25

(19)

      + − = b c u 2 3 1 3 1 2.26       + − = b bc d v 3 1 27 2 2 1 3 2.27         − − = Φ − 3 1 cos u v 2.28 Dalam DNV 2007 kriteria collapse mensyaratkan agar tekanan collapse dapat menahan tekanan eksternal yang bekerja pada pipa, atau dengan kata lain nilai tekanan eksternal tidak boleh melebihi nilai tekanan collapse (Pc), kriteria collapse dapat dituliskan sebagai berikut: 2 . . 1 , 1 m sc c e P P

γ

γ

≤ 2.29 dimana: Pe = tekanan eksternal Pc = tekanan collapse

2. Kriteria Kombinasi Pembebanan (Combined Loading)

Kriteria ini menunjukan kekuatan dari pipa baja yang akan diletakan di dasar laut terhadap semua gaya dan tekanan yang akan terjadi pada pipa. Dalam kriteria ini pipa dikenai beberapa pembebanan secara langsung, dalam hal ini pipa dikenai kombinasi pembebanan terhadap momen tekuk (bending moment), gaya aksial efektif, tekanan internal berlebih (internal over pressure) dan kombinasi pembebanan terhadap momen tekuk, gaya aksial efektif, tekanan internal berlebih dan tekanan eksternal berlebih (external over pressure). Berdasarkan standar DNV 2007 kriteria combined loading akan di cek terhadap kondisi Load Controlled Condition.

• Combined Loading - Load Contolled Condition

Kriteria kombinasi pembebanan ini, pipa didisain untuk dapat menahan pembebananan seperti dijelaskan sebelumnya. Kriteria kondisi ini adalah sebagai berikut:

(20)

1 . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2  ≤            +                         +         c e m sc p c d m sc p c d m sc P P S S M M γ γ α γ γ α γ γ 2.30 dimana: C F F d M M =

γ

γ

2.31 C F F d S S =

γ

γ

2.32

(

D t

)

t f Mp y . 2 2 − = 2.33

(

D t

)

t f Sp = y

π

− . 2.34

(

)

y u C f f

β

β

α

= 1− + 2.35

(

)

     > ≤ ≤ − < = 60 / 0 60 / 15 90 / / 60 15 / 5 . 0 t D untuk t D untuk t D t D untuk

β

2.36 Sf = −

[

(

− ⋅

)

2

]

(

⋅ 2

)

 2 4 P D t P OD Nf

π

lt e 2.37 keterangan:

Md = bending moment design Sd = gaya aksial efektif disain Mp = statis momen

Sp = gaya aksial statis Mf = momen efektif

αc = parameter flow stress Sf = effective axial force Nf = axial force in pipe wall

(21)

3. Propagation Buckling

Propagation buckling dapat digambarkan sebagai suatu situasi dimana buckle yang terjadi pada pipa berubah menjadi buckle yang memanjang sepanjang pipa. Perambatan ini tidak bias mulai atau menjalar kebagian lain jika tekanan eksternal masih dibawah tekanan propagasi (Ppr).

Untuk mengecek terjadinya propagating buckling digunakan persamaan:

2 . sc m pr e P P

γ

γ

≤ 2.38 5 . 2 . . . 35       = D t f Ppr yαfab 2.39 dimana: Ppr = tekanan propagasi

= adalah tekanan untuk melanjutkan proses propagation buckling

2.6

On Bottom Stability

Pipa bawah laut dewasa ini telah berkembang sebagai suatu infrastruktur yang penting dalam usaha pendistribusian minyak, gas maupun fluida lainya. Oleh karena peranannya yang sangat penting maka pipa harus didesain untuk dapat menahan beban dan gaya-gaya lingkungan yang bekerja padanya sehingga dapat kuat dan stabil baik pada waktu instalasi, hydrotest maupun selama masa oprasionalnya. Dalam teknologi pipa bawah laut telah dikenal beberapa cara/metode yang digunakan untuk menjadikan pipa bawah laut stabil, metode yang umum digunakan antara lain :

• Menambahkan selimut beton pada pipa yang berfungsi sebagai pelindung dan pemberat pada pipa agar tetap stabil.

• Mengubur pipa didalam seabed tujuan dari cara ini adalah untuk mengurangi gaya-gaya hidrostatik yang bekerja kalau pipa berada diatas seabed.

(22)

Sebelum melakukan analisis terhadap kestabilan pipa di bawah laut maka ada beberapa data kondisi dasar yang harus diketahui, yaitu :

• Kondisi lingkungan.

• Kondisi geoteknik dasar laut.

• Kondisi topografi dasar laut (kondisi kemiringan pantai, batuan, dll). • Bathymetry (kontur kedalam laut).

• Data properties pipa. • Lokasi pipeline restraint.

Dalam pendesainan on-bottom stability, hal yang paling diperhatikan adalah berat dan ketebalan dari concrete coating pada pipa sehingga pipa tetap stabil pada kondisi operasionalnya. Secara umum analisis dari on-bottom stability ditinjau dari dua kondisi, yaitu:

1. Kondisi instalasi: Data gelombang dan arus yang digunakan adalah data gelombang dan arus 1 tahunan.

2. Kondisi operasional: Data gelombang dan arus yang digunakan adalah data gelombang dan arus 100 tahunan.

2.6.1 Kondisi Lingkungan

Dalam proses desain pipa bawah laut data lingkungan yang dipakai adalah data gelombang dan data arus laut. Data kondisi lingkungan yang digunakan harus merupakan data yang berasal dari tempat desain analisis dilakukan. Data biasanya merupakan hasil pengukuran, hasil pemodelan hindcasting, maupun hasil dari pengamatan langsung di tempat. Data-data yang masih acak ini akan mengalami analisis statistik untuk mendapatkan nilai dari tinggi gelombang signifikan (HS), periode puncak gelombang (TP), dan kesesuaian waktu ulang. Hasil analisis statistik Hs, Tp, dan periode ulang adalah data lingkungan yang akan digunakan pada desain stabilitas pipa yang akan dibahas kemudian. Gelombang yang bergerak pada permukaan air akan memberikan percepatan pada patikel air yang dilaluinya. Pergerakan partikel air yang terjadi akan membentuk orbit, selama penjalaran gelombang dari laut dalam menuju laut

(23)

dangkal, orbit partikel ini akan mengalami perubahan bentuk seperti pada Gambar 2.4. Orbit perpindahan patikel berbentuk lingkaran pada seluruh kedalaman pada laut dalam sedangkan di laut transisi dan dangkal lintasan partikel akan mengalami perubahan bentuk menjadi elips, semakin dangkal kedalamannya bentuk elips ini semakin pipih dan di dasar gerak partikel adalah horizontal.

Gambar 2.4 Sketsa orbit partikel gelombang [sumber: Dean & Dalrymple, 1991]. Gelombang menjalar dari laut dalam menuju laut dangkal, hal ini akan mempengaruhi kecepatan dan panjang gelombang. Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air (d) dan panjang gelombang (L), gelombang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Gelombang di laut dangkal, jika d / L ≤ 1/ 20 .

2. Gelombang di laut intermediet, jika 1/ 20 < d / L ≤ 1/ 2 . 3. Gelombang di laut dalam, jika d / L ≥ 1/ 2 .

Terjadinya gelombang seperti yang telah dijelaskan akan mempengaruhi kecepatan dan percepatan partikel air, oleh karena itu perhitungan panjang gelombang, kecepatan dan percepatan juga didekati dengan sesuai jenis perairannya. Dengan mengetahui panjang gelombang pada perairan dalam, maka dapat dihitung panjang gelombang untuk perairan dengan kedalaman yang lain.

(24)

2.6.2 Gaya-gaya yang Bekerja pada Analisis On Bottom Stability

Kestabilan pipa bawah laut meliputi kestabilan dalam dua arah yaitu arah vertikal dan horizontal/lateral. Kestabilan ini diperhitungkan terhadap gaya-gaya lingkungan yang bekerja pada pipa, gaya-gaya tersebut adalah gaya inersia, gaya seret (drag force) dan gaya angkat (lift force). Sedangkan resistensi permukaan dasar laut merupakan gaya gesek antara pipa dengan permukaan tanah laut. Gaya seret dan gaya inersia adalah gaya yang secara bersama-sama bekerja dalam arah horizontal/lateral pada pipa, sedangkan gaya angkat bekerja secara vertikal, gaya angkat ini adalah gaya yang mengurangi berat pipa dalam air yang mempengaruhi kestabilan pipa. Gambar 2.5 adalah gambaran gaya-gaya dalam analisis perhitungan stabilitas pipa bawah laut.

Gambar 2.5 Gaya-gaya yang bekerja pada pipa bawah laut [sumber: Mouselli, A. H, 1981].

•••• Berat Tenggelam Pipa

Berat total pipa dihitung dengan mempertimbangkan berat bajanya, lapisan pelindung korosi, dan juga lapisan pelindung sambungan (field joint coating). Gambar 2.6 memperlihatkan potongan melintang dari sebuah pipa dan Gambar 2.7 menunjukkan Ilustrasi pipa bawah laut.

(25)

Gambar 2.6 Ilustrasi penampang pipa bawah laut.

Gambar 2.7 Ilustrasi pipa bawah laut dengan HDPE coating dan concrete coating. Berikut adalah properti pipa yang harus diperhatikan:

Ds = diameter luar pipa baja Di = diameter dalam pipa baja

Dw = diameter luar lapisan anti korosi (corrosion wrap) Dtherm = diameter luar lapisan thermal insulation

Dcc = diameter luar selimut beton ts = tebal pipa baja

(26)

ttherm = tebal pipa thermal insulation tcc = tebal selimut beton

Wst = berat pipa baja

Wcorr = berat lapisan anti korosi di udara Wtherm = berat lapisan thermal insulation Wcc = berat selimut beton

Wcont = berat isi pipa (containt)

Ws = berat terendam pipa (submerge weight) B = gaya apung

ρst = densitas baja (submerge weight) ρcorr = densitas lapisan anti korosi di udara ρtherm = densitas lapisan thermal insulation ρc = densitas selimut beton

ρsw = densitas air laut ρcont = densitas fluida isi pipa

Dalam menentukan berat tenggelam pipa dilakukan langkah perhitungan sebagai berikut:

- Diameter total pipa

cc therm corr s tot D t t t D = +2⋅ +2⋅ +2⋅ 2.40 - Berat baja (Ws)

(

s i

)

st st D D W =π ⋅ 2 − 2 ⋅ρ 4 2.41

- Berat lapisan anti korosi (Wcorr)

2 2

( 2. )

4

corr corr s corr s

W =π ρ  D + tD

(27)

- Berat lapisan thermal insulation (Wtherm)

(

)

(

)

[

s corr therm cc s corr

]

therm

therm D t t t D t

W =π +2⋅ +2⋅ +2⋅ 2 − +2⋅ 2 ⋅ρ

4 2.43

- Berat lapisan selimut beton

(

)

[

tot s corr therm

]

c

cc D D t t

W =π 2 − +2⋅ +2⋅ 2 ⋅ρ

4 2.44

- Berat isi pipa

cont i cont D W =π 2 ⋅ρ 4 2.45 - Gaya apung       ⋅ ⋅ = ⋅ = 4 tot sw sw D V B ρ ρ π 2.46

- Berat pipa di udara

cont cc therm corr st u W W W W W W = + + + + 2.47

- Berat terndam pipa

B W W W W W

Ws = st + corr + therm + cc + cont − 2.48

•••• Gaya Hidrodinamika

Gaya-gaya hidrodinamika yang terjadi pada pipa didasar laut akan dihitung dengan menggunakan persamaan Morisson. Persamaan ini berlaku untuk pipa yang mempunya perbandingan diameternya dan panjang gelombang adalah D/L ≤ 0.2 dimana D merupakan nominal diameter pipa dan L adalah panjang gelombang yang terjadi. Pada kondisi ini, gelombang tidak terpengaruh oleh adanya pipa di dasar laut sehingga mengakibatkan terjadinya dua gaya utama yang bekerja pada pipa yaitu gaya seret dan gaya inersia.

• Penentuan Koefisien Hidrodinamik

Sebelum melakukan perhitungan gaya-gaya hidrodinamika maka terlebih dahulu menentukan nilai dari koefisien-koefisien hidrodinamik, Mousselli menyatakan bahwa

(28)

nilai dari suatu koefisien hidrodinamika bergantung pada nilai bilangan Reynould, kekasaran pipa (pipe roughness) dan Bilangan Kaulegan-Carpenter.

- Persamaan bilangan Reynould:

υ D U U Re s c ⋅ + = ( ) 2.49

- Persamaan bilangan Keulegan-Carpenter:

D T U Kc s ⋅ = 2.50 keterangan :

Us = kecepatan arus signifikan

Uc = kecepatan partikel pada kedalaman referensi diatas seabed

=

(

)

[

]

r o o o r U z D D z z z ⋅     −       + + +1 1 ln 1 1 ln 1

D = diameter luar pipa V = viskositas kinematik

e = hight of roughness

zo = parameter kekasaran seabed zr = kedalaman referensi arus Ur = kecepatan arus referensi T = periode gelombang

Nilai dari koefisien hidrodinamika drag (CD) dan Lift (CL) dapat ditentukan dengan melihat grafik pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9. sedangkan untuk nilai koefisien inersia (CM) Mousselli menentukan kisaran nilainya antara 1,5 – 2,5.

(29)

Gambar 2.8 Grafik koefisien drag Vs Raynold number [sumber: DNV OS-F101].

(30)

Gaya Seret (Drag Force)

Gaya seret terjadi karena adanya gesekan antara fluida dengan dinding pipa atau yang dikenal sebagai skin friction dan adanya vortex yang terjadi dibelakang pipa (form drag), sketsa terjadinya gaya friksi pada pipa dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Sketsa terjadinya gaya gesek pada pipa [sumber: Abidin, Zenal].

Terjadinya gaya seret sangat terpengaruh oleh kecepatan aliran, nilai dari gaya seret dapat dirumuskan sebagai berikut:

(

cos ) ( cos )

)

2 1 c s c s D D C DU U U U F = ⋅ ⋅ρ⋅ ⋅ θ + ⋅ ⋅ θ + 2.51 dimana: FD = gaya seret CD = koefisien seret ρ = masa jenis fluida D = diameter pipa

Us = kecepatan siginifikan akibat gelombang Uc = arus laut

(31)

• Gaya Inersia

Gaya inersia menunjukan adanya gaya dari masa fluida yang dipindahkan oleh pipa, nilainya dipengaruhi oleh percepatan partikel air. Nilai dari gaya inersia dapat dirumuskan seperti berikut:

θ

π

ρ

D A Sin C FI M ⋅ s      ⋅ ⋅ ⋅ = 4 2.52 dimana:

FI = gaya inersia persatuan panjang CM = koefisien hidrodinamik inersia

As = percepatan partikel air horizontal efektif

Gaya total hidrodinamika arah horizontal yang bekerja pada pipa merupakan penjumlahan dari gaya seret dan gaya inersia.

+ = D I

H F F

F 2.53

Persamaan Morrison diatas menggunakan beberapa asumsi yang digunakan yaitu: - Kecepatan dan percepatan yang digunakan harus didapat dari perhitungan dengan

menggunakan teori gelombang linier/Airy, stokes orde 5, solitary, dan sebagainya. - Persamaan morisson menganggap bahwa struktur tidak bergetar atau berespons

dinamis akibat gelombang, oleh sebab itu kecepatan dan percepatan benda relatif terhadap kecepatan dan percepatan partikel.

Gaya Angkat (Lift Force)

Gaya angkat adalah gaya hidrodinamik dalam arah vertikal, gaya ini terjadi apabila terdapat konsentrasi streamline pada pipa. Konsentrasi streamline terjadi diatas silinder pipa yang mengakibatkan gaya angkat keatas. Jika terjadi celah sempit antara silinder dan seabed, konsentrasi streamline dibawah silinder pipa akan mengakibatkan gaya angkat negatif kearah bawah. Gambar 2.11 menunjukan sketsa terjadinya gaya angkat pada pipa.

(32)

Gambar 2.11 Ilustrasi konsentrasi streamline pada pipa [sumber: Mousselli, H. A, 1981]. Besarnya gaya angkat ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(

2

)

) cos 2 1 c s L L C D U U F = ⋅ ⋅ρ⋅ ⋅ ⋅ θ + 2.54 dimana:

FL = gaya angkat (lift force) CL = adalah koefisien gaya angkat • Gaya gesek tanah pipa

Gaya horizontal yang mempengaruhi kestabilan pipa selain gaya yang diakibatkan gelombang diatas adalah gaya gesek. Gaya gesek ini sangat dipengaruhi oleh besarnya koefisien gesek antara permukan pipa dengan tanah, nilai dari koefisien ini bergantung pada jenis tanah dan permukaan pipa. Gaya gesek yang bekerja pada pipa dapat dirumuskan sebagai berikut.

N

(33)

dimana:

Fr = gaya gesek pipa-tanah µ = koefisien friksi pipa-tanah N = gaya normal yang terjadi

Nilai dari koefisien gesek tegantung pada jenis tanah dasar periaran laut /seabed, menurut DNV RP-E305 koefisien dibagi menjadi jenis tanah clay dan sand, Tabel 2.13 menunjukkan nilai koefisien untuk clay dan sand.

Tabel 2.13 Nilai Koefisien Gesek Berdasarkan Jenis Tanah [sumber: DNV RP-E305]. Jenis Tanah Koefisien Gesekan

Sand 0.7

Clay Dapat dilihat pada Gambar 2.12

(34)

2.6.3 Analisis Desain Stabilitas Pipa Bawah Laut

Desain stabilitas dari pipa merupakan interaksi yang kompleks antara pergerakan arus air melalui pipa, baik arus yang dibangkitkan oleh gelombang maupun arus yang dibangkitkan oleh pasut yang menimbulkan terjadinya gaya-gaya hidrodinamika pada pipa, dan kombinasi antara total berat tenggelam pipa dengan koefisien gesek antara permukaan pipa dengan tanah.

Analisa sederhana dari stabilitas pipa di dasar laut dapat dilakukan dengan berdasar pada keseimbangan statis antara penerapan gaya-gaya hidrodinamika dengan kombinasi gaya penahan tanah. Gaya penahan tanah sebenarnya merupakan gaya gesek yang terdapat pada pertemuan permukaan pipa dengan tanah. Berikut ini adalah gaya-gaya yang terlibat dalam stabilitas:

• Berat isi dan berat tenggelam pipa. • Kombinasi gaya drag.

• Kombinasi gaya angkat. • Gaya inersia.

• Gaya friksi penahan antara permukaan pipa dengan dasar laut.

Dalam DNV RP-E305 On-bootom Stability Design of Submarine Pipeline, bisa digunakan tiga jenis metode analisis, yaitu:

• Analisis dinamik.

• Analisis kestabilan umum.

• Analisis kestabilan statis sederhana.

Pemilihan jenis analisa diatas bergantung pada derajat ketelitian dari analisis desain yang ingin dihasilkan.

Pada Tugas Akhir ini yang digunakan metode analisis kestabilan statis sederhana, dimana pada metode ini didasarkan pada keseimbangan statis dari gaya-gaya yang bekerja pada pipa, namun telah dikalibrasikan dengan hasil dari analisis kestabilan sederhana. Metode ini dapat dipakai dalam mayoritas perhitungan kestabilan, dimana berat terendam merupakan parameter yang mejadi perhatian. Metode ini didasarkan

(35)

pada model yang disederhanakan, sehingga sebagai konsekuensinya dalam metode dianjurkan untuk tidak melakukan modifikasi apapun tanpa pertimbangan menyeluruh pada semua faktor, misalnya dengan melakukan pengecekan dengan satu dari metode analisis kestabilan yang lain.

Agar pipa tetap stabil di atas seabed, kesetimbangan gaya-gaya yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

- Kestabilan arah horizontal

0 sin = ⋅ − − + I r s

θ

D F F W F 2.56

- Kestabilan arah vertikal

θ

cos ⋅ + +FL Ws N 2.57

Kombinasi dari dua persamaan diatas adalah:

(

θ

)

θ

µ

⋅ − ⋅ = ⋅sin + + I L s s D F F W co W F 2.58 atau w L I D s F F F F W ⋅      + ⋅ ⋅ + + = θ θ µ µ sin cos 2.59

Persamaan diatas merupakan persamaan yang dijadikan sebagai parameter kestabilan arah horizontal pipa . Dimana Fw adalah nilai faktor kalibrasi yang besarnya ditentukan dengan grafik pada Gambar 2.13.

(36)

Gambar 2.13 Grafik nilai faktor kalibrasi [sumber: DNV RP-305]. Sedangkan untuk parameter kestabilan arah vertikal pipa adalah:

[

]

1 . 1 ≥ + B B Ws 2.60

Gambar

Gambar 2.1 Flow chart langkah desain pipa bawah laut [sumber: Bai, Y, 2001] .
Tabel  2.1  Klasifikasi  Keamanan  Sistem  Pipa  Bawah  Laut  Berdasarkan  Fluida  yang  Dialirkan  [sumber: DNV OS-F101]
Tabel 2.4 Klasifikasi Keamanan Sistem Pipa Bawah Laut [sumber: DNV OS-F101].
Tabel  2.5  Nilai  Safety  Factor  Sistem  Pipa  Bawah  Laut  untuk  Perhitungan  Pressure  Containment  [sumber: DNV OS-F101]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diagram 5.18 di atas menunjukkan kesanggupan atau kebersediaan responden yang dalam hal ini para pakar dari beberapa lembaga dan perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk

SPMI (SISTEM PEMETAAN MUTU SMK NEGERI 1 TAPEN KABUPATEN.

Nilai porositas terkecil antara membran biofilter berbahan daun delima, biji delima dan kulit delima adalah membran biofilter biji delima dengan variasi 0.7 gram.. Kata Kunci:

Wawancara bapak Rustanto (Ketua Pengawas Madrasah Kabupaten Banyumas).. 2) Pelaksanaan program dan mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional Guru PAI. Program

Status perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki di masyarakat (terutama yang tidak menikah atau janda); Laki-laki sebagai kepala rumah tangga bermakna pada

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sistem pengendalian hama terpadu (PHT) nanas terhadap perkembangan populasi R. reniformis, kejadian penyakit layu

Analgetik dapat mengurangi dan menghilangkan nyeri 3 Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka DO: terlihat adanya luka terbuka pada mata kiri klien.

Hal ini dapat dilihat dari jumlah siswa yang mencapai batas kriteria ketuntas minimal (KKM) dalam pembelajaran pokok-pokok pikiran UUD 1945dengan rata-rata 77,91. Hasil ini