• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. homoseksual sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum (Pujileksono &

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. homoseksual sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum (Pujileksono &"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Keberadaan homoseksual merupakan salah suatu fenomena sosial yang mendapatkan suatu penolakan dari sebagian besar masyarakat, karena masyarakat masih menganggap homoseksual sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum (Pujileksono & Puspitosari, 2005). Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama. Menurut Oetomo (2008), homoseksual merupakan suatu pilihan atau orientasi seksual yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin sama. Pada masyarakat dikenal dua macam bentuk homoseksual, yaitu gay yang berarti laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap sesama laki-laki dan lesbi berarti perempuan yang secara seksual tertarik terhadap sesama perempuan (Pujileksono & Puspitosari, 2005).

Secara keilmuan psikologi, homoseksual sudah tidak dianggap sebagai sebuah gangguan kejiwaan sejak tahun 1973 hingga sekarang. Hal tersebut berdasarkan acuan terbaru dari DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) yaitu buku acuan diagnostik secara statistikal untuk menentukan gangguan kejiwaan yang dibuat oleh American Psychiatric Association (2013), maupun dalam panduan milik Indonesia yang dikenal dengan istilah PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) bahwa homoseksual sudah tidak masuk ke dalam kategori gangguan kejiwaan. Salah satu alasannya karena syarat bagi sebuah perilaku untuk diklasifikasikan sebagai gangguan jiwa dalam DSM jika perilaku tersebut mengganggu kehidupan orang yang menderitanya. Temuan di lapangan

(2)

menyatakan bahwa para homoseksual dapat hidup dengan normal dan bahagia seperti halnya kaum heteroseksual (Mustika, 2014).

Secara kajian psikologis homoseksual bukan suatu gangguan jiwa, namun keberadaan homoseksual ditengah-tengah masyarakat masih dianggap perilaku yang menyimpang karena melanggar ajaran agama, norma, serta nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam kepada homoseksual yang berada di lingkungan sekitarnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada pula yang memandang sebelah mata dan mendapatkan penghinaan maupun perlakuan yang tidak menyenangkan (Pujileksono & Puspitosari, 2005).

Dalam kehidupan lesbi dikenal istilah-istilah untuk membedakan apakah lesbi tersebut memiliki peran selaku laki-laki yang biasa disebut butch atau butcy, dan selaku perempuan yang disebut femme, dan ada juga yang bisa berperan sebagai laki-laki maupun perempuan disebut andro. Biasanya yang berperan sebagai butcy dapat dilihat dan dibedakan dari cara berpakaian yang cenderung seperti laki-laki, bahkan lesbi butcy sudah merasa seperti laki-laki baik dalam berpakaian maupun bertingkah laku, sedangkan pada lesbi femme biasanya seperti perempuan yang pada umumnya berpenampilan feminin, suka berdandan dan tampak seperti perempuan heteroseksual lainnya. Lesbi andro dalam berpakaian lebih fleksibel, tergantung dari peran yang dilakoni pada saat itu, apakah dia sebagai perempuan atau laki-laki pada hubungan lesbi tersebut (Agustine, 2008).

Masyarakat Indonesia pada umumnya menjunjung adanya orientasi seksual yang heteronormatif sebagai orientasi yang normal. Heteronormatif merupakan norma, hukum, atau aturan dan pandangan yang hanya mengutamakan kepentingan heteroseksual, sehingga di luar hubungan heteroseksual adalah hal yang tabu, terlarang dan pantas mengalami diskriminasi maupun penyingkiran (Kadir, 2007). Heteronormatif mengasumsikan bahwa heteroseksual

(3)

merupakan satu-satunya norma yang normal dan pantas berperan penting dalam pembentukan negara. Nilai heteronormatif tersebut membuat homoseksual menjadi tertutup dan tidak ingin menonjolkan diri terlebih untuk seorang lesbi. Sekelompok atau kaum lesbi cenderung tertutup, akibatnya lesbi kurang begitu dikenal dan dipahami dibanding gay, sehingga banyak masyarakat yang menolak keberadaan lesbi dan menganggap tabu pola pikir dan tatanan seksual dari lesbi (Tarigan, 2011).

Hasil survey dari LSI (Lingkaran Survey Indonesia) tahun 2012 menemukan fakta sebesar 80,6 persen dari populasi sampel yang keberatan memiliki tetangga dari kaum gay dan lesbi (Galih & Tofler, 2012). Selain itu, adanya ketakukan dan kebencian yang diterima oleh kaum gay dan lesbi yang mengakui orientasi seksualnya dengan menjadi objek pelecehan dan kekerasan. Sebuah artikel berjudul “Pemukulan Lesbi di Makassar” memberitakan adanya kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh lesbi. Berikut kutipan dari artikel tersebut (Ariyanto & Triawan, 2008):

“Setelah puas memukul ketiganya, Papi menyeret Mami keluar dengan paksa sambil berteriak keras, hingga menarik perhatian warga sekitar. “Dasar kalian semua lesbi anjing, sundal, iblis tidak tahu untung!” Lalu, dia menuduh Linda dan Wilma yang telah menjerumuskan Mami menjadi seorang lesbi”.

Banyak alasan yang diungkapkan mengapa seorang perempuan memilih untuk menjalani kehidupan lesbi. Ada yang mengatakan karena faktor genetik, lingkungan sosial, sakit hati kepada laki-laki, mengalami pelecehan seksual oleh laki-laki, maupun menjadi lesbi hanya sekedar coba-coba atau ikut teman. Berikut kutipan pendapat dari Chris seorang lesbi yang bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Hongkong: (Tabloid Nova edisi 1004/XX, 2007):

“Adanya alasan kesepian, trauma pada lelaki, Ada juga yang sudah bawaannya lesbi. Tapi banyak pula yang cuma ikut-ikutan tren anak tomboi, eh, lama-lama jadi ketularan jadi lesbi betulan. Chris juga berkata bahwa, “awalnya kami sembunyi-sembunyi. Dua tahun belakangan saya mengaku pada orangtua. Mereka jelas kaget.

(4)

Tapi lama-lama mereka bisa terima. Saya berhubungan sesama jenis bukan karena seks. Kami merasa sama-sama disakiti.” – dikutip dari kalimat Chris dalam artikel di Tabloid Nova (2007).

Kisah lainnya dari sebuah novel berjudul “Tabula rasa”, mengenai kehidupan lesbi yang menggambarkan bagaimana polemik dan kebingungan yang dirasakan saat memilih jadi lesbi. Berikut kutipan dari Novel karya Ratih Kumala (2004):

“Kalau memang kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah dulu malaikat salah taruh jiwa laki-laki ke tubuh perempuan dan jiwa perempuan ke tubuh laki-laki?Aku tidak pernah minta dilahirkan untuk menjadi homoseksual, semua orang juga maunya lahir normal”.

Banyak hal yang membuat kaum lesbi lebih memilih untuk menutup identitas seksualnya sebagai lesbi, seperti pada sebuah penelitian kaum lesbi yang mengungkapkan orientasi seksualnya kepada orangtua dan teman-teman cenderung menerima perlakuan yang buruk (Cramer & Roach, 1998). Sekitar 46% dari kaum lesbi kehilangan teman dekat setelah membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari kaum lesbi mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah dan banyak orangtua kaum lesbi menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anaknya yang lesbi. Selain itu, terkadang kaum lesbi berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan berpacaran bahkan menikah dengan laki-laki, namun kaum lesbi yang hidup dalam keberpura-puraan merupakan salah satu cerminan tidak dapat menikmati kehidupan dan menerima keadaan diri (D’Augelli & Hershberger, 2008).

Di Indonesia, lesbi menjadi individu yang paling “bawah” dikarenakan dua hal utama, yaitu kuatnya budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai yang pertama dan karena homoseksual masih dianggap penyakit dan menyimpang. Berikut kutipan dari Damon mengenai lesbi (Jackson & Jones, 1998):

(5)

“Lesbi lebih dirugikan daripada laki-laki homoseksual. Sebagai lesbi, kami bahkan berada lebih rendah dalam lubang pasir; kami adalah perempuan (yang merupakan status minoritas) dan kami adalah lesbi”

Bali merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang sangat terkenal baik di dalam negeri maupun mancanegara. Hal tersebut mempengaruhi Bali untuk terus membangun tempat-tempat hiburan untuk menghibur para wisatawan maupun masyarakat Bali sendiri, demikian juga dengan wisatawan dari kaum gay, waria, maupun lesbi. Seiring dengan itu makin banyak pula bisnis di bidang pariwisata yang diperuntukan khusus untuk memfasilitasi dan menghibur kaum yang menyukai sesama jenis, mulai dari bar, spa, hotel, vila dan tempat berkumpul lainnya. Kebanyakan tempat-tempat berkumpul kaum sesama jenis tersebut berada di daerah Kuta, Legian dan Seminyak. Bali Joe Bar, Mixwell Bar, Dix Bar, maupun Face Bar yang terletak di daerah Seminyak merupakan bar yang paling terkenal dan ramai dikunjungi oleh kaum sesama jenis baik dari tamu domestik maupun mancanegara (Gaya Dewata, 2015).

Bali terkenal dengan budaya dan adat istiadat yang melekat dan mempengaruhi perilaku maupun pola pikir pada masyarakat Bali. Paham patriarki merupakan salah satu paham dan nilai yang dianut masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu. Paham patriarki yang menjadikan perempuan Bali merasa minoritas dan dianggap lebih rendah keberadaannya dibandingkan laki-laki (Darma, 2003). Pada budaya Bali, laki-laki disimbolkan sebagai purusa, pewaris, pelanjut garis keturunan, atau maskulinitas (tegar, melindungi). Berbeda halnya pada perempuan Bali yang sering disimbolkan sebagai pradana atau feminitas (lembut, memelihara), sehingga perempuan Bali dituntut menjadi figur pradana yang sempurna.

Perempuan Bali diakui keberadaannya ketika mampu menjadi seorang istri, dan menjadi ibu yang melahirkan anak laki-laki, namun apabila perempuan Bali tidak bisa

(6)

melakukan kedua hal ini maka prestasi dan konstribusinya tidak akan dihargai dan diakui keberadaanya dalam keluarga maupun lingkungan sosial. Ada tiga kategori perempuan yang dianggap tidak sempurna di Bali yaitu perempuan yang tidak menikah, tidak punya keturunan dan tidak memiliki keturunan laki-laki. Hal yang sangat mendasar tersebut menjadikan perempuan Bali lebih giat untuk mempertahankan hak dan harga dirinya, yang terkadang membuat perempuan Bali memiliki peran ganda dan harus memilih antara tidak menikah dan sukses berkarier atau menikah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik (Suryani, 2003).

Pada sebuah artikel berjudul: “Gay, Lesbi dan Waria di Usir Dari Denpasar” yang berisi keluhan kepada ibu-ibu dan para aktivis LSM di Wantilan DPRD Bali atas perlakuan tidak adil yang dialami kepada para gay, waria, dan lesbi di Bali sebagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Pada artikel berita tersebut, waria berinisal S meminta agar diskriminasi terhadap para waria, gay, lesbi di Bali agar segera dihentikan dan selebihnya diberi kesempatan sama dengan kelompok masyarakat lainnya. S bersama rekan-rekannya yang aktif di Yayasan Gaya Dewata, berharap pemerintah di Bali bisa lebih menerima kehadiran waria, gay, dan lesbi (Okezone, 2010).

Lesbi di Bali tidak dapat dipungkiri keberadaannya, namun keberadaan lesbi seringkali tidak diketahui dibandingkan kaum gay. Kaum lesbi lebih banyak memilih untuk tidak membuka diri, padahal di Bali sendiri menyediakan tempat-tempat hiburan malam khusus kaum homoseksual, namun hal tersebut tidak mempengaruhi kaum lesbi dalam mengungkapkan diri. Masih adanya ancaman dan pertentangan negatif dari masyarakat mengenai yang membuat kaum lesbi takut dan semakin kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sehingga embuat kaum lesbi tidak ingin membuka diri atau yang dikenal dengan istilah non coming out (Constanti, 2012). Selain itu, di Bali tidak ada sebuah yayasan khusus untuk kaum lesbi saja, berbeda halnya dengan kaum gay di Bali yang

(7)

sudah memiliki yayasan resmi bernama Yayasan Gaya Dewata. Pernyataan tersebut didukung dari hasil wawancara peneliti, tanggal 27 September 2013 kepada Pimpinan Yayasan Gaya Dewata berinisial C. C mengungkapkan bahwa, kaum lesbi lebih banyak menutup diri pada lingkungan sosial dan perkiraan keberadaan kaum lesbi di Bali pun tidak dapat dipastikan jumlahnya dibandingkan kaum gay.

Berdasarkan preliminary study yang dilakukan peneliti pada tanggal 9 Oktober 2013 pada salah satu lesbi di Bali berinisial OG, ikut memperkuat pernyataan keberadaan kaum lesbi di Bali lebih banyak menutup diri dibandingkan kaum gay:

“orang-orang seperti ini ga mau terbuka, malunya lebih besar daripada kemaluannya. Apalagi adat orang Bali malu nya itu loh, baru tau anaknya lesbi langsung dipaksa nikah, toh setelah menikah ada yang akhirnya bercerai, kembali lagi sama cewek. Ya mungkin itu dah malu, mereka tertutup karena keluarga ga mungkin nerima, takut, jadinya ga berani terbuka. Banyak mbak masih banyak yang tertutup, yang saya kenal ada 100an”.

Melakukan pengungkapan diri atau dalam istilah homoseksual disebut coming out merupakan suatu proses bagaimana seorang homoseksual mampu mengungkapkan identitas seksualnya kepada siapapun, yang nantinya akan berimbas pada suatu penerimaan diri identitasnya sebagai seorang homoseksual yang lebih positif. Coming out merupakan suatu penegasan identitas seksual sebagai lesbi atau gay terhadap diri sendiri dan orang lain (Oetomo, 2008). Proses ini merupakan proses yang paling memberatkan bagi seorang lesbi atau gay, karena seorang gay dan lesbi harus menghadapi yang namanya sexual prejudice (prasangka seksual) dengan istilah heterosexixm dan homophobia. Heterosexism yaitu keyakinan bahwa semua orang yang memiliki orientasi seksual yang heteroseksual adalah normal, sedangkan setiap orang yang memiliki orientasi seksual yang homoseksual dianggap tidak normal dan pantas direndahkan (Herek, 2009). Homophobia yaitu adanya ketakutan

(8)

yang kuat, perasaan irasional dan sikap atau reaksi negatif terhadap homoseksual (Hyde & Delamater, 2008).

Melakukan coming out berarti menerima identitas seksual sebagai homoseksual yang dapat meningkatkan suatu penghargaan diri, dan menunjang terjadinya penyesuaian psikologis pada seorang lesbi (Kelly, 2001). Disisi lain, banyak kaum lesbi yang tidak melakukan coming out, karena seorang lesbi harus memutuskan kepada siapa saja untuk mengungkapkan identitas seksual sebagai lesbi. Pada umumnya seorang lesbi takut untuk melakukan coming out terhadap keluarga, teman-teman heteroseksual, dan rekan kerja karena berbagai faktor-faktor penghambat dari dalam diri (internal) maupun dari luar diri (eksternal). Faktor-faktor penghambat tersebut datang, karena adanya risiko yang harus dihadapi oleh kaum lesbi setelah melakukan coming out seperti diusir, dihina maupun dikucilkan oleh lingkungan sosialnya.

Melakukan coming out bukanlah hal yang mudah khususnya pada lesbi femme yang diakui sangat pandai sekali menyembunyikan identitasnya sebagai lesbi, karena tidak bisa begitu saja menafsirkan seorang perempuan yang feminim tersebut adalah seorang lesbi. Dalam kehidupan percintaan, lesbi femme akan bersikap dan berperan sebagai perempuan walau secara kodrat memang seperti perempuan. Menurut Rain (2007), dalam situs jejaring sosial “sepocikopi” diungkapkan juga bahwa lesbi femme yang bersembunyi dibalik rok dan sepatu hak tinggi, sangat sulit dilihat ditempat umum sebagai seorang lesbi, dan biasanya lesbi femme lebih menutup jati dirinya. Berbeda halnya dengan lesbi butcy yang lebih membuka diri dengan berpenampilan tomboy bahkan menyerupai laki-laki dan lebih mudah distreotipkan sebagai seorang lesbi. Pernyataan tersebut diperkuat dari hasil wawancara peneliti kepada seorang lesbi berinisial “OG”.

“Yang femme lebih menutup diri, terutama sama keluarga. Kalau yang cewek masih bisa untuk nikah sama cowok, femme masih kecewek-cewekkan, ga keliatan lesbi. Kalau yang kayak saya ini (butch) 99.999% ga mungkin”.

(9)

Berdasarkan preliminary study yang sudah peneliti paparkan, peneliti mengubah fokus penelitian yang awalnya mengambil topik mengenai lesbi femme yang telah coming out, menjadi berfokus pada hambatan-hambatan yang dialami lesbi femme dalam proses coming out. Hal tersebut berdasarkan preliminary study yang didapatkan bahwa sangat sedikit diketahui lesbi femme yang telah coming out, namun bukan berarti dalam penelitian ini peneliti memberikan kesimpulan bahwa lesbi femme tidak bisa melakukan coming out. Hal tersebut membuat peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi, khususnya lesbi femme di Bali.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi femme di Bali

.

C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Keberadaan kaum lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak bisa dipungkiri lagi keberadaannya dan ditinjau dari sisi psikologi pada DSM V bahwa orientasi seksual yang homoseksual bukan lagi suatu gangguan jiwa, namun tetap saja keberadaan lesbi masih dianggap hal yang menyimpang dari sisi agama, norma, budaya dan nilai-nilai masyarakat. Adanya anggapan yang masih menyimpang membuat kaum lesbi sebagai kaum minoritas banyak mengalami diskriminasi secara fisik maupun verbal dari lingkungan sekitar.

Fenomena lesbi khususnya di Bali patut dikaji dari berbagai sudut pandang bidang ilmu. Di Indonesia memang pernah dilakukan penelitian mengenai lesbi maupun coming out, namun sejauh yang peneliti ketahui belum ada penelitian yang secara spesifik yang melihat faktor-faktor yang menghambat lesbi khususnya lesbi femme dalam melakukan coming out

(10)

yang menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi baik di Indonesia, khususnya di Bali.

Adapun beberapa penelitian yang digunakan sebagai tinjauan dalam penelitian ini, dan sebagai bahan pertimbangan dalam hal keaslian penelitian untuk dapat memiliki perbedaan mendasar dari beberapa penelitian sebelumnya di Indonesia.

Beberapa penelitian sebelumnya yang peneliti temukan terkait dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian oleh Sutanto (2010), yang meneliti tentang self disclosure lesbi kepada sahabat (heteroseksual) mengenai orientasi seksualnya. Penelitian ini membahas mengenai kesulitan kaum lesbi untuk mengungkapkan dengan hasil penelitian diketahui bahwa pengungkapan orientasi seksualnya sebagai lesbi tidak mudah dan mempunyai tahapan yang berbeda-beda.

2. Penelitian oleh Budiarty (2011) dengan judul: “Gaya Hidup Lesbi (Studi Kasus di Kota Makassar)”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lesbi dalam menjalani hidupnya sehari-hari hampir sama dengan orang-orang yang normal pada umumnya, yang membedakan hanyalah perilaku seksual sebagai lesbi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penampilan dan gaya hidup lesbi butch berbeda dengan lesbi femme.

3. Penelitian oleh Ika (2009), yang meneliti tentang perilaku komunikasi interpersonal dalam perjalanan hidup lesbi di Sidoarjo. Penelitian ini menggali tentang pengalaman hidup yang dialami seorang lesbi dan mengamati perilaku komunikasi interpersonal dalam perjalanan hidup seorang lesbi yang bisa dilihat dari diri partisipan, keterbukaan, dialog, dan pengalaman partisipan tersebut.

4. Penelitian oleh Olivia (2012) dengan judul: “Perbedaan Proses Coming Out Antara Gay dan Lesbi”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

(11)

proses coming out antara gay dan lesbi, dan menunjukkan bahwa varians dari kedua kelompok adalah sama atau tidak terdapat perbedaan.

5. Penelitian yang dibuat oleh Constanti (2012) dengan judul; “Hubungan Penerimaan Diri dan Proses Coming out pada Gay Di Jakarta. Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan positif antara penerimaan diri dengan coming out, semakin seorang gay memiliki penerimaan diri yang tinggi semakin tinggi pula proses coming out. Selain itu dalam penelitian ini ditemukan prediktor terpenting dalam proses coming out adalah acceptance dan prediktor terpenting dalam penerimaan diri adalah awareness.

6. Penelitian yang dilakukan oleh Trida Cynthia (2005) dengan judul: “Gambaran Kebutuhan Afeksi (Need of Affection) dan Proses Coming out pada Wanita Lesbi. Hasil penelitian menemukan bahwa wanita lesbi membutuhkan kehadiran rasa percaya, kelembutan, afeksi dan penerimaan diri sebagai lesbi yang akan mempengaruhi coming out pada keluarga dan orang lain.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pengungkapan diri (coming out) pada lesbi femme di Bali.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu dan menambah literatur penelitian studi psikologi khusus psikologi sosial mengenai fenomena lesbi terkait faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi di Bali.

(12)

b. Penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan minat dikalangan akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai homoseksual khususnya lesbi yang ditinjau dari bidang ilmu lainnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi responden yang telah diwawancarai nantinya dapat mengetahui kesulitan atau hambatan-hambatan yang dialami dalam coming out, sehingga nantinya ketika responden memutuskan untuk melakukan coming out dapat mengetahui risiko maupun solusi dari hambatan yang dialaminya.

b. Bagi kaum lesbi lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi mengenai faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi.

c. Bagi masyarakat umum, sebagai informasi dan pengetahuan mengenai kondisi kaum lesbi bahwa banyak faktor yang membuat seseorang menjadi lesbi, sehingga diharapkan masyarakat bisa terbuka dan tidak memberikan diskriminasi mengenai keberadaan kaum lesbi yang berkembang di lingkungan masyarakat.

d. Bagi para praktisi yang berkecimpung dalam bidang psikologi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau referensi untuk melakukan analisa dalam penelitian yang akan datang pada bidang yang ada kaitannya dengan penelitian ini, yaitu faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu LKS ber- basis KPS pada materi asam-basa efektif dalam meningkatkan KPS siswa dibandingkan dengan LKS konvensional, tidak

Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang,

Sasaran dialokasikan kepada teritori berdasarkan persentase penjualan total perusahaan yang dikontribusikan oleh teritori pada tahun yang lalu. Sehingga setiap setiap

Sedangkan, peserta didik dengan kemampuan tinggi sering merasa bosan karena materi terlalu sering diulang (Putra & Subhan, 2018). Pembelajaran berbasis flipped classroom

Berdasarkan hasil uji coba dari operasi date implementasi SQL dari database Nilai Mahasiswa dapat disimpulkan sebagai berikut: 1). Operasi date yang digunakan