• Tidak ada hasil yang ditemukan

UnizarLawReview Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UnizarLawReview Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

UnizarLawReview

Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: 2620-3839

Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index

Study KomparaSi (perbandingan) pelaKSanaan huKum wariS iSlam dan huKum wariS adat di deSa gili meno,

Kabupaten lomboK utara, nuSa tenggara barat COMPARATIVE STUDY (COMPARISON) OF THE IMPLEMENTATION

OF ISLAMIC INHERITANCE LAW AND CUSTOMARY INHERITANCE LAW IN GILI MENO VILLAGE, NORTH LOMBOK REGENCY, WEST NUSA

TENGGARA ruslan haerani

Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Email: [email protected]

abstrak

Di Indonesia hukum waris yang berlaku secara nasional hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW) sehingga menarik untuk mengkaji permasalahan dalam artikel ini yakni, Bagaimana keseimbangan antara hukum waris islam dan hukum waris adat, dan Bagaimana pelaksanaan hukum waris islam dan hukum waris adat di desa Gili Meno. Penelitian ini merupakan penelitian normative empiris. Penelitian hukum normative empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat dengan pendekatan studi kasus hukum yang tanpa konflik sehingga tidak ada campur tangan dengan pengadilan. Berdasarkan penelitian,maka dapat disimpulkan bahwa Keseimbangan antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat adalah sama-sama membicarakan tentang Pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup, dan masyarakat cenderung masih menggunakan cara Musyawarah Keluarga dan Musyawarah Adat untuk pembagian warisan. Pelaksanaan pembagian warisan adat Gili Meno cenderung membagikannya ketika salah satu pewaris atau kedua pewaris sudah meninggal dan bagiannya berimbang 1:1.

Kata kunci: PembagianWarisan, Hukum Adat dan Hukum Islam abstract

In Indonesia, inheritance law that applies nationally until now there are 3 (three) types of inheritance laws that are valid and accepted by the Indonesian people, namely inheritance law based on Islamic law, customary law and European civil law (BW), how is the balance between Islamic inheritance law and customary inheritance law?, and How is the implementation of Islamic inheritance law and customary inheritance law in Gili Meno village. This research is a normative empirical research. Empirical normative legal research is legal research on the application of normative legal provisions (codification, law or contract) in action at any particular legal event that occurs in society with a case study approach to law without conflict so that there is no interference with the court. Based on the research, it can be concluded that the balance between Islamic inheritance law and customary inheritance law is that both talk about the transfer of inheritance from a deceased person to a living heir, and the community tends to still use the Family Deliberative and Customary Deliberation method for distribution. legacy. The implementation of the distribution of Gili Meno traditional inheritance tends to distribute it when one of the heirs or both heirs has died and the share is equal to 1: 1.

(2)

a. pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. Sejalan dengan perwujudan diatas, maka di dalam rumusan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa : setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sedangkan Pasal 28 H ayat (4) menentukan bahwa : setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Manusia dalam hidupnya senantiasa terikat pada hukum untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik dari pada yang sebelumnya. Sebab kenyataan yang dihadapi peranan hukum menjadi penting mewujudkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.

Anwarul Yaqin1mengatakan bahwa “Law is a set of rules that govern the pattern of behaviour

in a given society. Something is law if it is authoritatively laid down or recognized as such within the legal system, it is binding and enforceable, though it may be bad law”. (Hukum adalah seperangkat aturan yang menentukan pola-pola perilaku di dalam suatu masyarakat tertentu. Sesuatu adalah hukum, jika ia berwenang untuk ditetapkan dan diakui sebagai sesuatu yang terdapat dalam system hukum. Ia mengikat dan bisa dilaksanakan, meskipun mungkin ia hukum yang buruk). Secara teoretik, suatu produk hukum yang baik, apabila muatan ide yang terkandung di dalamnya mempertimbangkan dengan seksama semua kepentingan yang ada ditengah-tengah 2komunitas masyarakat. Produk hukum tersebut, hendaknya mengacu

kepada terwujudnya tujuan hukum. Setiap produk hukum yang mempunyai kekurangan dan kelemahan, tidak dapat diharapkan merealisasikan tujuan hukum yang dicita-citakan. Tujuan hukum yang hendak diwujudkan, berorientasi pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum pada semua sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat. Tujuan hukum hanya dapat diwujudkan melalui pelaksanaan, penerapan dan penegakan hukum (law enforcement). Tujuan hukum dimaksud, berorientasi pada persamaan hak, kewajiban dan kedudukan di depan hukum (equality before the law), serta tidak diskriminatif.

Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan

1Achmad Ali.(2009). Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi Undang-Undang. Jakarta:

Ken-cana Perdana, hlm. 436

2Achmad Kuzari.(1996). Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan. Jakarta: PT. Raja Grafindo

(3)

hukum Perdata Eropa (BW)3. Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah

kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan), yang sesuai dengan bangsa Indonesa yang berfalsafah Pancasila dan sesuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat. Sehingga dapat dirumuskan beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, yakni bagaimana keseimbangan antara hukum Islam dan hukum Adat? Dan Bagaimana Pelaksanaan hukum waris islam dan hukum waris adat di Gili Meno?.

b. metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif empiris yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.4Penelitian hukum normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan system hukum dengan menggunakan data sekunder, diantaranya: asas, kaidah, norma dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan undangan dan peraturan lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.5 Penelitian hukum empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat secara langsung penerapan aturan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan penegakan hukum tersebut.

C. analiSiS dan pembahaSan

1. perbandingan Keseimbangan antara hukum waris islam dan hukum waris adat a. hukum waris islam (laki-laki dan perempuan)

Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum Kewarisan Islam adalah tentang hak

3 Fatchur Rahman.(1994). Ilmu Waris. Bandung: PT Alma‟arif, hlm. 50.

4Abdulkadir Muhammad.(2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 134. 5Soerjono Soekanto.(2006). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Peresada, hlm. 24.

(4)

sama-sama dan saling mewarisi antara laki laki dan perempuan serta perbandingan 2:1 (2 banding 1).6

Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya / ditunaikannya diantara para ahli waris7 karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia. Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai “keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan”,8 atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam. Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan9, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam10. Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tangguag jawab suaminya (laki-laki).

Sistem Pembagian warisa Islam terdiri dari 3 cara, yaitu: 1. Hibah

Ialah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan suatu barang/kekayaan tertentu kepada seorang tertentu, menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan hibah yang dilakukan antara orang-orang yang mempunyai hubungan hak mewarisi bernilai sebagai tindakan pewarisan. Hibah dilakukan waktu si pewaris masih hidup adalah untuk menghindari pertikaian atau perselisihan diantara para ahli waris setelah ia meninggal dunia. Tujuan harta warisan adalah untuk kelangsungan ahli waris dikemudian hari. Pewarisan juga mempunyai fungsi lain, yakni mengadakan koreksi yang diperlukan, terhadap hukum waris abinvestato menurut peratura-peraturan tradisional atau agama, yang dianggap tidak memuaskan bagi oleh peninggal warisan. Masyarakat suku Bugis di Kecamatan Enok melakukan penghibahan dengan cara Musyawarah Keluarga (Tudang Sipulung) dengan mengumpulkan seluruh ahli

6Eman Suparman.(2011). Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW. Yogyakarta: Refika Aditama,

hlm. 1.

7Ibid.

8DR. H. Idris Djakfar dan Taufik yahya.(1995). Kompilasi Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,

hlm.3-4.

9Muhammad Ali Ash-Shabuni.(1995). Pembagian Waris Menurut Islam, Penerjemah A.M. Basamalah, Gema Insani

Press, di akses dari http://www.kewarisan.com/artikel/accessed5oktober2020.

(5)

waris serta aparatur desa atau tokoh adat sebagai saksi. Seluruh keputusan mutlak di tangan orang tua yang hendak memberikan Hibah.

2. Wasiat

Wasiat yang menekankan tentang keharusan dan pantangan yang dilakukan agar tetap terpandang diIingkungan masyarakat. Bagi yang tidak mengindahkannya akan mendapat sanksi sosial yang berat sehingga namanya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah dan sukar meraih kembali nama baiknya dilingkungan masyarakat. Wasiat adalah suatu pembuatan penetapan kehendak terakhir atau pesan terakhir oleh sipewaris tentang harta warisan sebelum ia meninggal dunia. Pesan terakhir berisi pembagian atau menentukan bagian-bagian tertentu dari hartanya untuk ahli waris. Proses pembagian harta benda dilakukan setelah sipemberi wasiat meninggal dunia, dan pada pembagiannya wajib dihadiri oleh para ahli waris dan keluarga kerabat terdekat. Tujuan dengan diadakannya wasiat ini diantaranya yakni untuk mencegah terjadinya pertengkaran antar ahli waris dikemudian hari. Sehingga dengan adanya hibah wasiat ini11, diharapkan tidak ada cekcok, keributan, perselisihan yang terjadi antar ahli waris dikemudian hari. Dilakukannya pewarisan secara hibah wasiat ini pada dasarnya bertujuan:

a. Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris.

b. Untuk mencegah terjadinya perselisihan.

c. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara mengikat sifat-sifat dari barang-barang pusaka, barang-barang yang dipegang dengan hak sende (gadai), barang-barang yang disewa dan sebagainya.

3. Musyawarah (bicara )

Hukum adat tidak mentukan kapan waktu harta warisan itu dibagi atau kapan sebaiknya dibagi, menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah pewaris meninggal dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut waktu tujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus hari atau waktu seribu hari setelah pewaris wafat oleh karena pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul12. Hukum Islam telah meletakan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengansebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Sebab Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta , baik laki-laki maupun perempuan seperti perpindahan harta kepada ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.

Dalam hukum Islam pembagian harta peninggalan akan dibagi setelah bersih dari pengurusan jenazah, utang, zakat dan wasiat, sedangkan dalam hukum adat harta peninggalan tidak selamanya berupa aktiva atau keuntungan, tetapi juga dapat berupa utang-utang pewaris sebagai pasiva dari harta peninggalan. Begitu pula dalam hal bagian masing-masing ahli waris,

11Hasbi Ash-Shidieqy.(2005). Fiqhul Mawarits Hukum-Hukum Warisan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

hlm. 21

(6)

dalam hukum Islam membedakan bagian ahli waris antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam hukum adat pun berlaku pembagian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dengan ketentuan perbandingan 2:113. Terkadang laki-laki mendapat bagian dua sedangkan perempuan mendapat bagian satu, berdasarkan ketentuan adat masing-masing daerah.

b. hukum waris adat (laki-laki dan perempuan)

Pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, pembagiannya dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan harta warisan seorang anak perempuan. Namun, setelah masuknya agama Islam, pembagian harta warisan berubah mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 (dua) anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan ini di Indonesia ada tiga macam sistem kewarisan dalam hukum adat yaitu14: 1) Sistem Kewarisan Individual. Cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan

diantara para ahli waris seperti halnya pada Masyarakat Bilateral (Jawa, Batak, Sulawesi, dan lainnya).

2) Sistem Kewarisan Kolektif. Cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum, dimana harta tersebut sebagai Harta Pusaka tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti di dalam Masyarakat Matrilineal (Minangkabau). 3) Sistem Kewarisan Mayorat. Ciri lain dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta peninggalan

diwariskan keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari suatu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali dimana terdapat Hak Mayorat anak laki-laki yang tertua dandi Tanah Samendo (Sumatera Selatan/Lampung) dimana terdapat Hak Mayorat anak perempuan tertua.

Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem itu dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam suatu bentuk susunan masyarakat dimana dapat dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud.

Dalam hukum adat anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris menjadi tertutup.

13Habiburrahman.(2011). Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ctk. Pertama, Kementerian Agama RI, hlm.

228.

(7)

2. proses penyelesaian hukum waris islam dan hukum waris adat di desa gili meno a. pelaksanaan hukum waris islam

Dalam hukum acara Peradilan Agama sengketa waris diatur penyelesaiannya oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama pada Pasal 56 angka 2 yakni: “Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.” Intinya pada Pasal ini Pengadilan Agama dalam menyelesaikan suatu perkara harus melalui upaya damai (mediasi)”. Diharapkannya dengan mediasi suatu perkara dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa ada konflik yang terjadi dikemudian hari, karena dengan adanya mediasi semua perkara dapat diharapkan selesai dengan cepat, mudah, dan murah. Bagi Pewaris yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi pegangan adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Umum UU tersebut dinyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang harusnya menjadi pilihan hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun, ketentuan ini tidak mengikat karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas mengatur persoalan penyelesaian pembagian harta waris bagi Pewaris yang beragama Islam (personalitas Keislaman Pewaris) atau Non-Islam.

b. pelaksanaan hukum waris adat

Penyelesaian sengketa waris merupakan suatu penyelesaian masalah yang timbul dikarenakan adanya perbedaan pendapat atau adanya persengketaan mengenai harta warisan, baik harta warisan dalam wujud harta benda yang berwujud maupun yang tidak berwujud benda, melainkan berupa hak dan kewajiban, kedudukan, kehormatan, jabatan adat, gelar-gelar maupun sebagainya.

Menurut ustad Budiman selaku tokoh masyarakat di desa Gili Meno yang saya wawancarai pada tgl.20 Juni 2020 bertempatan di Kantor Desa Gili Meno mengatakan bahwa Proses Penyelesaian sengketa pembagian harta warisan bagi masyarakat Gili Meno dapat diselesaikan dengan dua cara yaitu:

1) Musyawarah Keluarga

Pembagian waris yang dilakukan secara Musyawarah keluarga, dapat dipimpin oleh anak laki-laki tertua, Paman atau Tokoh Adat. dalam proses Musyawarah keluarga ini anak laki-laki tertua akan mengumpulkan seluruh ahli waris, wali dan serta saksi-saksi, Setelah itu persoalan diutarakan dihadapan forum musyawarah dan anak laki-laki tertua akan memberikan jalan keluar terhadap sengketa warisan. Pemimpin Musyawarah memiliki tugas dan tanggung jawab menjaga harta warisan serta seluruh anggota keluarganya.

(8)

Pada tingkat Musyawarah Adat biasanya mediator merupakan orang yang dianggap mampu dan netral dalam mengambil keputusan, di desa Gili Meno sendiri, masyarakat menggunakan jasa tokoh adat sebagai pemimpin Musyawarah adat. Dalam proses Musyawarah, Tokoh adat akan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama dengan cara memanggil seluruh Ahli waris, serta Wali dan Waris untuk mencari jalan keluar yang dihasilkan lewat Musyawarah Adat. Peran tokoh adat sebagai mediator sangat penting untuk menyelesaikan berbagai hal baik mengenai pembagian warisan. meskipun tidak selalu menjadi masalah besar, persoalan warisan yang diselesaikan oleh tokoh adat selalu menjadi perhatian. Persoalan warisan muncul bukan hanya terkait dengan harta yang ditinggalkan, tetapi juga terkait dengan ahli waris mana yang berhak menerima warisan.

Tahapan yang dilalui dalam proses Musyawarah adat ini adalah: Tokoh adat akan mengumpulkan seluruh ahli waris, wali dan serta saksi-saksi, Setelah itu persoalan diutarakan dihadapan forum musyawarah dan tokoh adat akan memberikan jalan keluar terhadap sengketa warisan.

Berdasarkan penelitian pelaksanaan pembaian waris dapat tergambar dari contoh berikut: Pada pembagian waris pak H. Dahir di Gili Meno yang dilaksanakan pada tgl.1 agustus 2020 bertempat di Rumah Pewaris, yang dimana pak H. Dahir sebagai ahli waris laki-laki tertua dari 7 (tujuh) bersaudara yang ditinggalkan oleh orang tuanya yaitu H. Gafar dan Hj. Maeda selaku Pewaris yang sudah meninggal dunia pada tgl.10 maret 2019. Dalam proses pembagian waris ini pak H. Dahir selaku anak tertua mengumpulkan seluruh saudaranya yang terdiri dari empat laki-laki dan tiga perempuan yang juga sebagai ahli waris, dan juga menghadirkan saudara dari pewaris (paman dari ahli waris) yaitu pak Eko dan wak H. Haeruna yang sekaligus menjadi saksi dan juga ada H. Magadir sebagai mediator selaku tokoh adat di Gili Meno. Setelah terkumpulnya seluruh ahli waris, wali, dan saksi-saksi maka disini pak H. Dahir selaku anak laki-laki tertua mengutarakan persoalan yang dimana tanah dan penginapan (hotel) yang ditinggalkan oleh Pewaris untuk Ahli Waris sebagai warisan sering menjadi masalah sehingga mengusulkan untuk segera dibagikan, dan disini H. Magadir selaku tokoh adat yang menjadi mediator memberikan 2 pilihan cara untuk membagi warisan trsebut, pilihan yang pertama dengan menggunakan sistem islam yakni laki-laki mendapat dua dan perempuan mendapat satu (2:1) dan yang kedua yakni menggunakan sistem adat 1:1.

Pada akhirnya sistem yang disepakati oleh seluruh ahli waris adalah system adat yakni 1:1 dengan alasan menyamaratakan sehingga terciptanya keadilan, mengingat semasa hidup pewaris yang lebih banyak diurusi oleh anak perempuannya dan sekarang salah satu dari anak perempuannya sudah menjadi janda yang berarti tidak ada yang membiyayai hidupnya.

d. KeSimpulan

(9)

1. Keseimbangan antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat adalah sama-sama membicarakan tentang: a. Pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. b. Kedudukan dan menempatkan anak dan keturunannya sebagai ahli waris utama. c. Harta benda pewaris yang akan diwariskan kepada ahli waris, baik itu harta asal maupun harta bersama.

2. Proses Penyelesaian sengketa waris Adat yang terjadi di desa Gili Meno Tidak Pernah sampai kepada tingkat pengadilan. Masyarakat cenderung masih menggunakan cara Musyawarah Keluarga dan Musyawarah Adat dimana dalam musyawarah keluarga dan musyawarah adat, pembagian waris di selesaikan bersama oleh sesama anggota keluarga dan juga menggunakan tokoh adat. Saat pembagian warisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam masyarakat Gili Meno merupakan ahli waris yang utama. Bagian-bagian ahli waris antara anak laki-laki dan anak perempuan berimbang (1:1). Sedangkan untuk proses penyelesaian sengketa waris Islam, sengketa waris dapat diajukan ke Pengadilan Agama Bagi Pewaris yang beragama Islam, berdaasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

daftar puStaKa

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi

Undang-Undang, Kencana Perdana, Jakarta.

Achmad Kuzari, 1996, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

DR. H. Idris Djakfar dan Taufik yahya,1995, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Yogyakarta, 2011.

Fatchur Rahman, 1994, Ilmu Waris, PT Alma‟arif, Bandung.

Habiburrahman, 2011, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ctk. Pertama, Kementerian Agama RI.

Hasbi Ash-Shidieqy, 2005, Fiqhul Mawarits Hukum-Hukum Warisan dalam Syari’at Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Masjfuk Zuhdi, 1997, Masail Fiqhyah, Jakarta: PT. Gunung Agung.

Prof.Dr.H.Zainuddin Ali, M.A., 2010, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

(10)

B. Makalah

Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam, Penerjemah A.M. Basamalah, Gema Insani Press, di akses dari http://www.kewarisan.com/artikel/ accessed5oktober2020.

C. Peraturan Perundang-Undangan

UUD NRI Tahun 1945

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Referensi

Dokumen terkait

Gagasan ini dapat dilakukan secara efektif dengan mendesain kembali perubahan penguatan kelembagaan dan kewenangan DKPP untuk secara aktif menangani dugaan pelanggaran kode etik

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam hal ini Universitas Negeri Padang yang mempunyai Jurusan Ilmu Kesejahteraan Konsentrasi Tata Busana, yang mempunyai bidang ilmu

Berdasarkan hasil kegiatan anak-anak Panti Asuhan Al Falah maka dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukannya pelatihan dan sosialisasi tentang Pengelolaan Sampah RT

Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota vide pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang

Lembaga Arbitrase syariah nasional dibentuk seiring dengan dibentuknya Bank syariah dengan nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tanggal 23 Oktober 1993 dalam

12 Sir William Wade.( 2000). New York: Oxford University Press, hlm. General Principles Of Administrative Law. ed, Butterworth, hlm. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan

Adapun permasalahan hukum yang sering kali timbul dalam pelaksanaan perjanjian pinjama ialah WNI yang melakukan peralihan jual beli bidang tanah yang dibeli menggunakan dana milik

152 KESIMPULAN Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembagian harta waris dalam Hukum Islam yaitu proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal,