• Tidak ada hasil yang ditemukan

UnizarLawReview Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UnizarLawReview Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

UnizarLawReview

Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: 2620-3839

Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index

PERLUASAN KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

DALAM PENGAWASAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG

PEJABAT ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

EXPANSION OF THE COMPETENCE OF STATE ADMINISTRATIVE

COURTS IN MONITORING THE ABUSE OF AUTHORITY OF

GOVERNMENT ADMINISTRATION OFFICIALS BASED ON

LAW NUMBER 30 OF 2014 CONCERNING GOVERNMENT

ADMINISTRATION

Sri Karyati

Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Email: srikaryati84@gmail.com

Abstrak

Perluasan kompetensi PTUN mengadili tindakan administrasi Negara tidak saja memberikan warna baru dalam khasanah hukum administrasi Negara, tetapi juga menimbulkan berbagai persoalan yang menarik untuk dikaji. Artikel ini bertujuan untukmengkaji apakah hakikat keberadaan perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan dalam Undang-undang admisitrasi pemerintrahan?, dan bagaimanakah konstruksi hukum perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan wewenang mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh administrasi Negara?. Penelitian ini merupakan penelitian normative yang mengedapankan kajian kepustakaan yakni menupas peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan kajian berbagai literature dan beberapa studi terdahulu, peneliti menyimpulkan bahwa Hakikat pengawasan penyalahgunaan wewenang pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan melalui pengadilan adalah implementasi dari prinsip Negara hukum dan perlindungan hak asasi manuisia warga Negara dari keputusan dan tindakan administrasi Negara pejabat pemerintahan yang merugikan warga Negara. PTUN hadir melakukan pengawasan dan mengembalikan hak-hak warga Negara yang telah dilanggar oleh pejabat administrasi pemerintahan. Selain itu Konstruksi hukum perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan wewenang oleh pejabat administrasi Negara adalah untuk menguji keabsahan tindak administrasi Negara dan melakukan pengawasan terhadap tindakan administrasi Negara.

Kata kunci: Kompetensi PTUN, Penyalahgunaan wewenang, administrasi pemerintahan. Abstract

The expansion of the PTUN’s competence in adjudicating State administrative actions not only gives a new color to the realm of State administrative law, but also raises various interesting issues to be studied. This article aims to examine whether the essence of the existence of the expansion of the PTUN’s competence in adjudicating abuse in the Government Administration Law? And how

(2)

is the legal construction of expanding the PTUN’s competence in adjudicating abuse of authority able to prevent abuse of authority by the State administration?. This research is a normative study that focuses on literature review, which examines laws and regulations, especially Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration. Based on a study of various literature and several previous studies, the researcher concludes that the essence of monitoring the abuse of government authority by government administration officials through the courts is the implementation of the principles of the rule of law and the protection of human rights of citizens from decisions and actions of the State administration of government officials that harm citizens. PTUN is present to supervise and restore the rights of citizens who have been violated by government administration officials. In addition, the legal construction of the expansion of the PTUN’s competence in adjudicating abuse of authority by State administrative officials is to test the legality of State administrative acts and to supervise actions of State administration.

Keywords: PTUN competence, abuse of authority, government administration A. PENDAHULUAN

Di dalam konsep negara kesejahteraan modern, peran negara tidak saja sekedar penjaga Negara penjaga malam (nachtwachterstaat) yang menghadirkan keamanan dan ketertiban bagi rakyatnya, tetapi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Itulah kemudian dalam negara kesejahteraan kekuasaan pemerintahan diberikan kewenangan begitu luas dibandingkan kekuasaan legislatif dan yudikatif. Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengurusi rakyatnya mulai dari lahir sampai meninggal dunia.

Konstitusi Indonesia, UUD NRI tahun 1945, kemudian meletakkan tujuan Negara dalam pembukaan UUD NRI 1945, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia dan ikut serta dalam ketertiban dunia. Cita bernegara itu kemudian dibebankan pemenuhannya kepada pemerintah. Sikap tindak pemerintah yang begitu luas ini menimbulkan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan yang makin meluas juga.

Kewenangan yang luas dimiliki administrasi pemerintahan karena administrasi Negara diberikan kewenangan berupa berbagai instrument pemerintahan seperti peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, keputusan tata usaha Negara/tindakan administrasi Negara, dan sanksi administrasi Negara. Ketika menggunakan instrument-instrumen administrasi pemerintahan dengan kewenangan luas tersebut terkadang terjadi penyalahgunaan kekuasaan maka diperlukan instrument hukum untuk melindungi warga Negara dari tindakan administrator pemerintahan dan melindungi administrasi pemerintahan itu sendiri. Keberadaan perlindungan warga Negara dari tindakan administrasi pemerintahan tersebut menjadi ciri pokok keberadaan Negara hukum menurut Julius Stahl.1

Hukum administrasi Negara kemudian menyediakan instrumen perlindungan hukum warga Negara melalui banding administrasi dan pengadilan administrasi Negara. Banding administrasi adalah mekanisme internal untuk mengawasi perbuatan pejabat administrasi yang merugikan warga Negara. Pengadilan administrasi adalah pengadilan yang disediakan untuk

(3)

menguji apakah keputusan dan tindakan administrasi Negara bertentangan dengan hukum atau tidak.

Hadirnya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang berfungsi keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan mengalami perkembangan yang menarik dalam sejarah kekuasaan kehakiman Indonesia terutama terkait kompetensi peradilan. Jika sebelumnya undang-undang nomor 5 tahun 1986 hanya memberikan kewenangan PTUN untuk mengadili keputusan tata usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final, maka undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan memberikan kompetensi PTUN untuk mengadili tindakan administrasi pemerintahan.

Perluasan kompetensi PTUN mengadili tindakan administrasi Negara tidak saja memberikan warna baru dalam khasanah hukum administrasi Negara, tetapi juga menimbulkan pertanyaan akademik yang perlu dijawab yakni pertama, apakah hakikat keberadaan perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan dalam Undang-undang admisitrasi pemerintrahan ? Kedua, bagaimanakah konstruksi hukum perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan wewenang mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh administrasi Negara ?

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat dua permasalahan yang hendak penulis kaji lebih lanjut, yaitu Sebagai berikut:

1. Bagaimana hakikat pengawasan penyalahgunaan wewenang pemerintahan melalui pengadilan tata usaha Negara?

2. Bagaimanakah konstruksi hukum perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan wewenang mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh administrasi Negara ?

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dikategorikan sebagai jenis penelitian hukum Normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengutamakan bahan hukum sekunder atau data studi pustaka (bahan hukum tertulis). Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang mengacu pada analisis secara yuridis terhadap peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif yang disajikan dalam bentuk uraian yang bersifat analisis berdasarkan logika berpikir dari deduktif ke induktif dan pada akhirnya ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan penelitian di muka.

(4)

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’2 atau ‘policy rules’ yang

berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

Selain itu, di dalam Negara hukum dicirikan dengan adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts

absolutely”3. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan

kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’4 dalam kedudukan yang

sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hampir semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya.

2Laica Marzuki.(2010).peraturan kebijakan (beleidsregel): hakikat serta fungsinya selaku sarana hukum pemerintahan dalam buku Hukum Admiinistrasi Dan Good Governance. Jakarta: Universitas Trisakti, hlm. 55.

3Muhammad Tahir Azhary.(1992). Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum

Is-lam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 98.

(5)

Selain itu ciri Negara hukum modern lainnya yakni adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum5. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim

tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

Karena idealnya hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar

(6)

driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas

aturan. Pembagian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dapat diuraikan sebagai berikut: a. Atribusi (absolut competentie atau attribute van rechtsmacht) yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dibedakan sebagai berikut : pertama, secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh ; Pengadilan Administrasi terhadap Pengadilan Negri (Umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer. Kedua, secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh ; Pengadilan Negri (Umum) terhadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

b. Distribusi (relative competentie atau distributie van rechtsmacht) yang berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) diantara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh ; antara Pengadilan Negri Bandung dengan Pengadilan antara lain di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai objek gugatan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.Menurut Philipus M Hadjon6, terdapat enam unsur dalam

Keputusan Tata Usaha Negara : 1. penetapan tertulis,

2. oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, 3. tindakan hukum Tata Usaha Negara,

4. bersifat konkret, individual, 5. final,

6. akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Selain memberikan batasan Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek sengketa, dalam UU PTUN ditentukan pula beberapa pengecualian untuk sejumlah KTUN yang tidak termasuk objek sengketa Tata Usaha Negara, yaitu :

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata, 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan,

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana,

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

6Philipus M Hadjon, et al.(1997). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative

(7)

5. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.

6. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Selain itu dari beberapa Keputusan Tata Usaha Negara tertentu juga dinyatakan bukan wewenang Badan Peradilan (pengadilan) dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara7 yaitu

keputusan yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau direhabilitasi. Dalam mengajukan gugatan yang diajukan pada Peradilan Tata Usaha Negara, ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk menggugat sekaligus sebagai dasar pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yakni : pertama, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

kedua, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum

pemerintahan yang baik.

Alasan menggugat menurut Philipus M Hadjon8menyangkut keabsahan suatu Keputusan

Tata Usaha Negara. Asas keabsahan memiliki tiga fungsi, yakni 9:

1. bagi aparat pemerintah, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan

(bestuurnormen),

2. bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap pemerintahan (beroepsgronden),bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindakan pemerintahan (toetsingsgronden).

E. PEMBAHASAN

1. Pengawasan Tindakan Administrasi Pemerintahan Melalui Pengadilan Tata Usaha Nega-ra

Mendiskusikan tindakan pengawasan administrasi pemerintahan melalui pengadilan tata usaha Negara tidak dapat dilepaskan dari konsep Negara hukum dan kedaulatan rakyat dalam konstitusi. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus

7Pasal 49 UU PTUN.

8Philipus M Hadjon, et.al., Pengantar Hukum... op.cit, hlm.330.

9Philipus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato pere-smian penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum, FH Universitas Airlangga, 10 Oktober 1994, hlm. 7.

(8)

berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri10.

Dalam Negara hukum demokratis penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.

Bila ditelusuri pada filosofi yang lebih jauh tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan Negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas Negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan amanat konstitus bahwa warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.

Kehadiran UU AP merupakan usaha mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/

(9)

atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah Negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya. Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga Masyarakat dalamsebuah negara tidak dengan sendirinya, baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud.

Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang bertujuan agar menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Sehungga warga masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang Admiinistrasi pemerintahan merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat.

AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah Negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang administrasi pemerintahan berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini. Undang-Undang administrasi pemerintahan menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang administrasi pemerintahan harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.

Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir,sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis,objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang administrasi pemerintahan merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Pengaturan ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga Sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.

Secara terminologis berdasarkan UU AP, tindakan Administrasi Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara Negara lainnya untuk melakukan dan/ atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

(10)

Keberadaan pengadilan administrasi dalam kerangka Negara hukum adalah dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, Undang-Undang AP memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang AP merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.

Perlunya pengawasan tindakan administrasi pemerintahan adalah dalam rangka memberikan pengawasan pejabat administrasi pemerintahan yang memiliki hak yang begitu luas sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) UU AP yaitu :

1) melaksanakan Kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;

2) menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki; 3) menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan; 4) menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda,dan/atau

membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan; 5) menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;

6) mendelegasikan dan memberikan Mandat kepada Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

7) menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki; 8) menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan; 9) menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda,dan/atau

membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan; 10) menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;

11) mendelegasikan dan memberikan Mandat kepada Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

12) memperoleh perlindungan hukum jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya; 13) memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya;

14) menyelesaikan Sengketa Kewenangan dilingkungan atau wilayah kewenangannya;

15) menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya;

16) menjatuhkan sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Tindakan administrasi pemerintahan pada prinsipnya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun pada perkembangannya pejabat administrasi pemerintahan memiliki kecenderungan bertindak atau membuat kebijakan yang melampaui kewenangannya atau bahkan cenderung sewenang-wenang sehingga menimbulkan kerugian bagi rakyat11. Tindakan atau kebijakan ini dikenal dengan maladministrasi yang menjadi bagian

penting daari perkembangan hukum administrasi dewasa ini.

11Ayu Putrianti, Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pandecta, Vol.10 Nomor 2, Desember 2015, http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/accessed 23 Septem-ber2020/., doi http:////dx.doi.org/10.15294/pandecta.vv10i2.

(11)

Maladministrasi tidak sekedar menjadi salah satu parameter ada tidaknya kesalahan pribadi atau kesalahan jabatan, akan tetapi juga untuk menentukan apakah maladministrasi dalam tindakan pemerintahan menjadi tanggungjawab pribadi atau menjadi tanggung jawab jabatan. Maladministrasi merupakan rumusan negatif dari perilaku yang menyimpang atau tidak mengindahkan norma-norma perilaku yang baik bagi aparat pemerintah12. Lebih lanjut, Skyes

mengemukakan tentang maladministrasi yang termasuk didalamnya meliputi bias, neglect,

delay, inattention, incompetence, ineptitude, perversity, turpitude and arbitrariness.13

Pengadilan tata usaha Negara menyelanggarakan fungsi peradilan terutama terkait dengan pentingnya asas legalitas yang menjadi dasar pengujian obyek sengketa. Pengujian obyek sengketa didasarkan pada dasar hukum yang dimiliki pejabat tata usaha Negara atau badan tata usaha Negara serta prosedur penerapannya. Dalam Negara hukum, asas legalitas menjadi dasar penyelenggaraan pemerintah yang memberikan kewenangan penyelenggaraan Negara14.

Fungsi pengawasan yang dilakukan PTUN dengan menguji legalitas meliputi kewenangan,prosedur dan substansi keputusan tata usaha Negara, penerapan hukum serta pelaksanaan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses pengawasan oleh lembaga peradilan agar dapat menjaga keserasian, keseimbangan kepentingan antara warga Negara, Negara dan individu15.

Perubahan di bidang perundang-undangan membawa perubahan yang sangat signifikan, Menurut Muchsan, pengawasan terhadap perbuatan pemerintah oleh kekuasaan kehakiman selalu dalam bentuk pengawasan represif, artinya pengawasan dilakukan setelah ada perbuatan konkret dari pemerintah yang dianggap merugikan pihak lawan.16

2. Konstruksi hukum Pencegahan penyalahgunaan wewenang oleh administrasi Negara me-lalui pengaturan pengawasan tindakan administrasi Negara.

Undang-undang administrasi pemerintahan dapat dikatakan sebagai kodifikasi berbagai norma dan praktek hukum administrasi Negara yang selama ini dirpaktekan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang ini disamping memberikan dasar hukum penggunaan kewenangan pemerintahan juga mengatur larangan penggunaan kewenangan pemerintahan.

Pasal 17 UU AP mengatur larangan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. Bentuk Larangan penyalahgunaan Wewenang meliputi: a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. Selanjutnya ketentuan Pasal 18 memberikan batasan hukum bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut. Kategori melampaui Wewenang adalah apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya

12Sir William Wade.( 2000). Administrative Law. New York: Oxford University Press, hlm. 97.

13E.I. Sykes, BA, et.al.(1989). General Principles Of Administrative Law. Sidney: third. ed, Butterworth, hlm. 379. 14Indoharto.(1991). Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: pustaka sinar harapan, hlm. 98.

15Aju Putijanti. Dkk.,Model Fungsi Pengawasan Oleh Pengadilan Tata usaha Negara Sebagai Upaya Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 2, Juni, 2017, hlm. 263-275.

16Muchsan.(2007). System Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty, hlm. 49.

(12)

Wewenang; dan/atau c.bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kategori mencampuradukan wewenang adalah kondisi apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenan yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. Kategori Badan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar Kesewenang-wenangan; dan/atau b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Konstruksi hukum yang dibangun dalam rangka menguji dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang berdasarkan UU AP adalah melalui pengujian di PTUN dan pengawasan melalui internal pemerintahan. Dalam konsruksi pengujian oleh PTUN bahwa pengujian penyalahgunaan wewenang oleh pejabat administrasi Negara tidak dilakukan secara otomatis batal demi hukum sebagaimana konstruksi hukum perdata dan dianggap bahwa perbuatan hukum tidak pernah ada, tetapi harus diuji melalui pengadilan. Berdasarkan konstruksi Pasal 19 untuk menguji penyalahgunaan wewenang dilakukan melalui pengadilan. Pasal 19 selengkapnya berbunyi “

1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian konstruksi pengawasan melampaui Wewenang dan mencampur adukkan wewenang dalam UU AP bertitik tolak dari asas praduga selalu benar yang dilakukan pejabat pemerintahan. Artinya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan selalu dianggap benar adanya (principle presumption of the truth) atau dikenal juga dengan asas praesumptio iustae causa17, sebelum diuji dan diputuskan oleh putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai keabsahan penyalahgunaan wewenang tersebut. Pengawasan melalui pengadilan dilakukan ternyata dilakukan setelah terjadinya penyalahgunaan wewenang (post-ante).

UU AP dalam pasal 20 mengkonstruksi Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah berupa: a. tidak terdapat kesalahan; b. terdapat kesalahan administratif; atau c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif18 maka dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi

17Philipus M. Hadjon.(1985). Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, stensilan, hlm. 25-26. 18Raynold Fubby Lofus, Hak dan Kewajiban Pejabat Pemerintahan Menurut UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminis-trasi Pemerintahan, Lex Administratum, VolVII/No.1/Jan-Mar/2019.

(13)

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara dilakukan pengembalian kerugian keuangan Negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan. Pengembalian kerugian negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang. Pengembalian kerugian negara dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administrative terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU AP, PTUN berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Selain itu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. Selain itu ditentukan bahwa Pengadilan wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan, dan terhadap putusan Pengadilan dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Terhadap permohonan banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bersifat final dan mengikat. Pada dasarnya pengawasan oleh PTUN dimulai sejak ada gugatan yang didaftarkan ke PTUN, yang bermakna fungsi pengawasan berjalan bersama dengan fungsi pengadilan.

F. KESIMPULAN

Hakikat pengawasan penyalahgunaan wewenang pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan melalui pengadilan adalah implementasi dari prinsip Negara hukum dan perlindungan hak asasi manuisia warga Negara dari keputusan dan tindakan administrasi Negara pejabat pemerintahan yang merugikan warga Negara. PTUN hadir melakukan pengawasan dan mengembalikan hak-hak warga Negara yang telah dilanggar oleh pejabat administrasi pemerintahan. Konstruksi hukum perluasan kompetensi PTUN dalam mengadili penyalahgunaan wewenang oleh pejabat administrasi Negara adalah untuk menguji keabsahan tindak administrasi Negara dan melakukan pengawasan terhadap tindakan administrasi Negara.

Daftar Pustaka a. Buku

Alexis de Tocqueville, edisi 1956, Democracy in America, A Vintage Book.

E.I. Sykes, BA, et.al., 1989, General Principles Of Administrative Law, third. ed, Butterworth, Sidney.

Indoharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pustaka sinar harapan, Jakarta.

(14)

Palgrave Macmillan.

Laica Marzuki, 2010, “peraturan kebijakan (beleidsregel): hakikat serta fungsinya selaku sarana hukum pemerintahan” dalam buku Hukum Admiinistrasi Dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Muchsan, 2007, System Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan

Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.

Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta.

Philipus M Hadjon, et al., 1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the

Indonesia Administrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Philipus M. Hadjon,1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, stensilan, hlm. 25-26.

Sir William Wade, 2000, Administrative Law, Oxford University Press, New York, hlm. 97.

b. Jurnal, Makalah

Aju Putijanti. Dkk., 2017, Model Fungsi Pengawasan Oleh Pengadilan Tata usaha Negara Sebagai Upaya Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 2, Juni.

Ayu Putrianti, Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pandecta, Vol.10 Nomor 2, Desember 2015, http:// journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/accessed 23 September2020/., doi http://// dx.doi.org/10.15294/pandecta.vv10i2.

Philipus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan

yang Bersih, Pidato peresmian penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum,

FH Universitas Airlangga, 10 Oktober 1994.

Raynold Fubby Lofus, Hak dan Kewajiban Pejabat Pemerintahan Menurut UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lex Administratum, VolVII/No.1/ Jan-Mar/2019.

c. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menjadi suatu kelemahan penulis karena penulis tidak memperhatikan waktu pelaksanaan tes dan kondisi fisik siswa saat melaksanakan tes, sehingga terdapat

Sedangkan histologi organ ginjal terjadi pada tikus pasca injeksi CsA selama tiga minggu mengalami kerusakan yang ditunjukkan pada bagian glomerolus dimana terlihat sel

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem pembacaan data RFID terhadap kartu tag RFID dengan menggunakan modul ID-12 sampai pada penyimpanan

Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pemangkasan dengan dosis zpt sodium nitrofenol berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah bunga tanaman -1 , berat

Berbeda dengan energi mekanik air laut, pemanfaatan energi panas air laut memerlukan fluida kerja dalam konversi energi panas yang digunakan untuk menggerakan turbin listrik..

Dapat saya sampaikan bahwa bidang tersebut telah saya geluti selama lebih dari tiga puluh tahun, bahkan dalam beberapa tahun terakhir, saya juga mendapat kesempatan

Tidak sesuai dengan minat saya Materi kuliah tidak sesuai dengan minat saya Materi kuliah terlalu sulit Materi kuliah tidak update Proses belajar mengajar kurang baik Lingkungan

Gagasan ini dapat dilakukan secara efektif dengan mendesain kembali perubahan penguatan kelembagaan dan kewenangan DKPP untuk secara aktif menangani dugaan pelanggaran kode etik