• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KUALITAS AIR MUARA SUNGAI CISADANE BAGIAN TAWAR DAN PAYAU DI KABUPATEN TANGERANG, BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK KUALITAS AIR MUARA SUNGAI CISADANE BAGIAN TAWAR DAN PAYAU DI KABUPATEN TANGERANG, BANTEN"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KUALITAS AIR MUARA SUNGAI

CISADANE BAGIAN TAWAR DAN PAYAU DI KABUPATEN

TANGERANG, BANTEN

HENRY KASMANHADI SAPUTRA C24104046

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN SIKAP MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Karakteristik

Kualitas Air Muara Sungai Cisadane Bagian Tawar dan Payau di Kabupaten Tangerang, Banten” adalah benar merupakan karya sendiri dan

belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telahdisebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2009

Henry Kasmanhadi Saputra

(3)

HENRY KASMANHADI SAPUTRA. Karakteristik Kualitas Air Muara Sungai Cisadane Bagian Tawar dan Payau di Kabupaten Tangerang, Banten. Dibimbing oleh Sigid Hariyadi dan Hefni Effendi

RINGKASAN

Sungai Cisadane memiliki luas wilayah 1100 km2, sungai ini merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Penurunan kualitas air tersebut dapat terjadi sehubungan dengan masuknya berbagai limbah yang masuk ke sungai yang cenderung meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik kualitas air (tingkat pencemaran) Sungai Cisadane pada daerah muara sungai bagian tawar dan payau untuk kepentingan pengelolaan Sungai Cisadane. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan Sungai Cisadane secara berkelanjutan. Dahuri (2003) mengatakan bahwa sirkulasi air di daerah estuaria sangat dipengaruhi oleh aliran tawar yang bersumber dari badan sungai di atasnya dan air pasang yang berasal dari laut.

Metode penelitian yang dilakukan adalah analisa laboratorium dan survey lapangan. Pengambilan contoh air sampel dilakukan di 2 stasiun yakni stasiun tawar yang berada di bagian tawar dari muara Sungai Cisadane (dekat Bandara Soekarno-Hatta), stasiun payau berada di bagian payau dekat pintu masuk muara Sungai Cisadane. Pengambilan sampel disesuaikan dengan saat kondisi air laut pasang dan surut. Analisis data meliputi perbandingan kualitas air permukaan dengan dasar, saat pasang dengan saat surut, dan stasiun tawar dengan staiun payau dengan uji statistik (uji t) untuk mengetahui pengaruh antara dua karakteristik kondisi (Walpole, 1995) pada air contoh muara Sungai Cisadane yang diuji. Kualitas air diketahui dengan menggunakan menggunakan Indeks Kualitas Air (IKA) STORET (Canter, 1977)dengan baku mutu PP No.82 tahun 2001 kelas 3.

Kualitas air muara Sungai Cisadane tercemar baik pada bagian tawar, bagian payau, saat pasang, saat surut, lapisan permukaan, dan lapisan dasar. Kualitas air muara Sungai Cisadane tercemar berat untuk baku mutu PP RI No. 82 Tahun 2001.

(4)

KARAKTERISTIK KUALITAS AIR MUARA SUNGAI CISADANE BAGIAN TAWAR DAN PAYAU DI KABUPATEN TANGERANG, BANTEN

HENRY KASMANHADI SAPUTRA C24104046

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR Bogor

(5)

SKRIPSI

Judul : Karakteristik Kualitas Air Muara Sungai Cisadane Bagian Tawar dan Payau di Kabupaten Tangerang, Banten

Nama Mahasiswa : Henry Kasmanhadi Saputra Nomor Pokok : C24104046

Program Studi : Manajemen Sumbedaya Perairan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002

Tanggal Lulus : 12 Mei 2009

Dr.Ir. Hefni Effendi, M.Phil NIP. 19640213 198903 1 014 Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta atas berkat rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ” Karakteristik Kualitas Air Muara Sungai Cisadane Bagian Tawar

dan Payau di Kabupaten Tangerang, Banten ”. Skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk memperbaiki usulan penelitian ini. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi rekan-rekan seprofesi khususnya serta bagi para pembaca umumnya.

Bogor, Mei 2009

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebagai ucapan rasa syukur kepada Alloh atas selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku pembimbing skripsi I dan II, atas bimbingan, saran, dan motivasi serta nasehat yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini 2. Dr.Ir.Yunizar Ernawati,MS selaku dosen penguji departemen dan Dr.Ir.Yusli

Wardiatno, M.Sc selaku dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

3. Bapak Ir. Zairion, M.Sc selaku pembimbing akademik (PA), atas bimbingan, doa, dan motivasinya selama penulis menjalankan studi

4. Kedua orang tua (Bapak Kasman dan Ibu Sulistyowati), Kakak (Dyan Ikawati Pusvita Rini), dan Adikku (Ayudyana Maya Desiska) yang telah memberi dan mencurahkan kebahagiaan dan semangat untuk survive dan berprestasi di IPB hingga terselesaikannya skripsi ini

5. Dr.Ir.Sulistiono,M.Sc (Kadep MSP) dan keluarga yang telah banyak membantu baik moral maupun materi dalam usaha penyelesaian skripsi ini baik langsung maupun tidak langsung

6. Dr. Rimbawan (Direktur Kemahasiswaan IPB) yang telah memberikan tips dalam perolehan gelar sarjana

7. Tim Pendekar Cisadane; mahasiswa MSP angkatan 39,40,42,43, dan 44; teman-teman UKM Pramuka IPB; FKM C IPB; UKM FORCES IPB; OMDA Kabupaten Lamongan IPB (Formala); rekan-rekan ASEAN Student Exchange

Programme 2008 Delegation dan seluruh pihak yang telah membantu

(8)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 1 1.3 Tujuan ... 2 1.4 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Keadaan Umum Sungai Cisadane ... 3

2.2 Pencemaran Perairan ... 4

2.3 Beberapa Karakteristik Kualitas Air ... 5

2.3.1 DO (Dissolved Oxygen), BOD3 (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) ... 5

2.3.2 Amonia (N-NH3), Nitrit (N-NO2), dan Nitrat (N-NO3) ... 7

2.3.3 pH ... 9

2.3.4 TSS (Total Suspended Solid) ... 10

2.3.5 Suhu ... 10

2.3.6 Salinitas ... 11

III. METODE PENELITIAN ... 13

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13

3.2 Alat dan Bahan ... 13

3.3 Prosedur Pengamatan ... 13

3.4 Analisis Data ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Karakteristik Kualitas Air ... 19

4.1.1 DO (Dissolved Oxygen), BOD3 (Biochemical Oxygen Demand) dan COD, (Chemical Oxygen Demand) ... 19

4.1.2 Amonia (N-NH3), Nitrit (N-NO2), dan Nitrat (N-NO3) ... 22

4.1.3 pH ... 25

4.1.4 TSS (Total Suspended Solid)... 26

4.1.5 Suhu ... 27

4.1.6 Salinitas ... 28

4.2 Tingkat Kualitas Air Menurut Indeks STORET ... 30

4.3 Upaya Pengelolaan Muara Sungai Cisadane ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

(9)

ii

DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN ... 38 RIWAYAT HIDUP ... 76

(10)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Pemanfaatan air baku di Kabupaten Tangerang ... 3

2. Parameter kualitas perairan yang diamati beserta alat, metode pengukuran dan referensinya ... 15

3. Matriks uji t untuk setiap karakteristik kualitas air ... 16

4. Klasifikasi mutu air ... 17

(11)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema alur rumusan masalah penelitian ... 2 2. Peta lokasi penelitian ... 14 3. Nilai rata-rata oksigen terlarut (DO) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan)

pada musim kemarau ... . 19 4.Nilai rata-rata Biochemical Oxygen Demand (BOD3) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut

(kanan) pada musim kemarau ... . 20 5. Nilai rata-rata Chemical Oxygen Demand (COD) dengan batas

nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat

pasang (kiri) dan surut (kanan) pada musim kemarau ... 21 6. Nilai rata-rata amonia (N-NH3) dengan batas nilai maksimum dan

minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut

(kanan) pada musim kemarau ... 22 7. Nilai rata-rata nitrit (N-NO2) pada stasiun tawar dan payau

di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan

surut (kanan) pada musim kemarau ... 23 8. Nilai rata-rata nitrat (N-NO3) pada stasiun tawar dan payau

di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri)

dan surut (kanan) pada musim kemarau... 24 9. Nilai rata-rata pH pada stasiun tawar dan payau di muara

Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut

(kanan) pada musim kemarau ... 25 10. Nilai rata-rata TSS (Total Suspended Solid) pada stasiun tawar

Dan payau di muara Cisadane payau pada saat pasang

(kiri) dan surut (kanan) pada musim kemarau ... 26 11. Kisaran suhu perairan secara temporal di muara

Sungai Cisadane stasiun tawar pada saat pasang (kiri)

dan surut (kanan) musim kemarau ... 27 Gambar

(12)

v

12. Kisaran suhu perairan secara temporal di muara Sungai Cisadane stasiun payau pada saat pasang (kiri)

dan surut (kanan) musim kemarau ... 28 13. Kisaran salinitas perairan secara temporal di muara

Sungai Cisadane stasiun tawar pada saat pasang (kiri)

dan surut (kanan) musim kemarau ... 28 14. Kisaran salinitas perairan secara temporal di muara

Sungai Cisadane stasiun payau pada saat pasang (kiri)

dan surut (kanan) musim kemarau ... 29 15.Tingkat pencemaran perairan (baku mutu kelas 3, PP No.82

Tahun 2001) berdasarkan indeks kualitas air STORET di muara Sungai Cisadane stasiun tawar dan payau pada saat

(13)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data lapangan ... 38 2. Matriks hasil uji t antar variabel pada taraf nyata 95%... 43 3. Indeks STORET dengan baku mutu PP No.82 Tahun 2001

(kelas 3) ... 44 4. Indeks STORET dengan baku mutu KEPMEN LH No.51

Tahun 2004 (biota laut) ... 47 5. Tingkat pencemaran perairan ( baku mutu bagi

peruntukan biota laut, Kepmen LH No. 51 tahun 2004) berdasarkan indeks kualitas air di muara Sungai Cisadane stasiun tawar dan stasiun pada saat surut pasang dan surut

pada musim kemarau……… 48 6. Hasil uji t karakteristik kualitas air muara Sungai Cisadane

dasar t-Test: Paired Two Sample for Means ... 49 7. Hasil uji t karakteristik kualitas air muara Sungai Cisadane

t-Test: Paired Two Sample for Means ... 57

8. Hasil uji uji t karakteristik kualitas air muara Sungai Cidadane

t-Test: Paired Two Sample for Means ... 65 9. Hasil uji statistik (uji t) stasiun tawar dan payau, saat pasang

dan surut, permukaan dengan stasiun tawar dan payau, saat pasang dan surut t-Test: Paired Two Sample for Means untuk

indeks pencemaran STORET (PP RI No.82 tahun 2001) ... 73 10. Hasil uji statistik (uji t) saat pasang dengan saat surut t-Test:

Paired Two Sample for Means untuk indeks pencemaran

STORET (Kepmen LH No.51 tahun 2004, biota laut) ... 74

11. Foto stasiun penelitian dan sekitarnya ... 75 Lampiran

(14)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai merupakan salah satu bentuk perairan yang dicirikan memiliki arus yang mengalir dari hulu ke hilir. Sungai oleh manusia digunakan sebagai sumber air minum, pengairan, pertanian dan berbagai kegiatan lainnya. Kualitas air sungai sangat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang mempengaruhi kondisi sungai misalnya hujan deras yang dapat meluap dan menjadi keruh, sedangkan faktor yang berasal dari manusia misalnya pembuangan limbah yang berasal dari industri, pertanian maupun domestik.

Sungai Cisadane memiliki luas wilayah 1100 km2 dan merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Sumbernya berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa melewati sebagian wilayah DKI Jakarta dan Tangerang, Banten (Umiyati, 2002). Bahan pencemar yang berasal dari pabrik, perumahan, tempat pembuangan sampah yang dekat dengan sungai, kegiatan pertanian dan tambak di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane dapat menyebabkan penurunan mutu kualitas air Sungai Cisadane. Hal ini karena sisa kegiatan produksi yang dihasilkan kemungkinan besar akan dibuang ke Sungai Cisadane. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diadakan pengkajian kualitas air Sungai Cisadane mengingat sungai ini berperan penting bagi masyarakat sekitar.

1.2 Rumusan Masalah

Sungai Cisadane berhulu di Bogor dan berakhir di Tangerang. Sebelum sampai ke muara, Sungai Cisadane melewati salah satu sumber pencemar yakni Kota Tangerang. Di Kota Tangerang terdapat industri-industri besar yang selain menghasilkan limbah ke perairan juga mengakibatkan urbanisasi ke kota yang lebih lanjut akan berdampak pada berdirinya pemukiman-pemukiman yang jumlahnya besar sehingga menyebabkan permasalahan baru yakni adanya limbah domestik. Kegiatan manusia yang terdapat di sekitar daerah aliran Sungai Cisadane dapat mempengaruhi penurunan kualitas air. Penurunan kualitas air perlu diwaspadai sehingga diperlukan pengamatan karakteristik kualitas air yang

(15)

2

nantinya diharapkan kedepannya diperoleh suatu rumusan bentuk rekomendasi pengelolaan muara Sungai Cisadane.

Gambar 1. Skema alur rumusan masalah penelitian

1.3 Tujuan

Mengetahui karakteristik kualitas air (tingkat pencemaran) Sungai Cisadane pada daerah muara sungai bagian tawar dan payau untuk kepentingan pengelolaan Sungai Cisadane.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan Sungai Cisadane secara berkelanjutan.

Kegiatan Manusia di DAS Cisadane, terutama di Kota Tangerang

Limbah

Industri dan Domestik

Kualitas Air Sungai / Muara

Pengamatan Karaktersitik Kualitas Air

(16)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Sungai Cisadane

Kabupaten Tangerang secara keseluruhan memiliki luas 111038 Ha. Setiap tahunnya Kota Tangerang mengalami peningkatan kegiatan industri, pertanian, pariwisata, perikanan, ekonomi dan jumlah penduduk (Departemen Lingkungan Hidup Provinsi Banten, 2007). Daerah aliran Sungai Cisadane dibatasi oleh sub DAS Cimanceuri di sebelah barat dan DAS Ciliwung di sebelah timur (Arwindrasti, 1997 in Anggoro, 2004). Sungai Cisadane memiliki panjang sungai dari hulu ke hilir ± 140 km, lebar ± 80 m. Air Sungai Cisadane dimanfaatkan untuk rumah tangga, industri, kantor pemerintahan, niaga, sosial dan air curah seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Pemanfaatan air baku di Kabupaten Tangerang

No. Pelanggan Jumlah Volume ( m3/ Tahun)

1 Rumah Tangga 88622 1958463 2 Industri 84 634434 3 Kantor Pemerintahan 92 156651 4 Niaga 282 803688 5 Sosial 734 770755 6 Air Curah 16 95605512

Sumber : Departemen Lingkungan Hidup, 2007

Kondisi perairan Sungai Cisadane pada bagian hilir (muara sungai) sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Muara merupakan bagian dari estuari yang mencakup sungai yang masih mendapat pengaruh laut. Muara Sungai Cisadane terdiri dari aluvium pantai dan aluvium sungai dengan luas 85% dari total keseluruhan luas muara Pada tahun 1994-1999 rata-rata daratan di depan muara Sungai Cisadane bertambah maju ke arah laut sejauh 25,22 m pertahun. Muara Sungai Cisadane termasuk dalam wilayah cekungan air tanah dimana air tanah payau berada di atas air tanah tawar (brackish water above fresh ground water) (Idawaty, 1999). Tinggi pasang semakin naik sejak hari pertama yang akan mencapai maksimum pada hari ke enam dan ke tujuh, kemudian akan turun pada ketinggian minimum di hari ke empat belas serta biasanya terjadi dua siklus

(17)

4

lengkap setiap bulan yang berhubungan dengan fase bulan (Hutabarat dan Evans, 1986). Salinitas pada saat pasang tertinggi (spring tide) di estuari dapat mencapai 1 PSU – 31 PSU (Clark, 1986). Daerah muara sungai merupakan tempat yang menjadi akhir aliran air sungai dari daerah hulu dan merupakan awal mula masuk ke laut, sehingga terdapat akumulasi bahan-bahan tertentu yang terdapat di sungai demikian pula dengan limbah.

Estuari merupakan daerah perairan yang mendapat pengaruh dari air laut dan air tawar (Larry, 1996). Odum (1996) menyatakan bahwa estuari merupakan bagian dari perairan pesisir yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelimpahan dan keanekaragaman yang cukup besar. Dahuri (2003) mengatakan bahwa sirkulasi air di daerah estuari sangat dipengaruhi oleh aliran tawar yang bersumber dari badan sungai di atasnya dan air pasang yang berasal dari laut. Besar atau kecilnya debit kedua aliran massa air tersebut akan mempengaruhi pola stratifikasi massa air berdasarkan salinitas. Sirkulasi air di muara sungai tergantung dari kisaran pasang surut, percampuran vertikal di antara air tawar dan air laut serta topografi dasar. Sifat khas dari estuari adalah dangkal dan gerak air turbulensi oksigen terlarut tinggi, meski di dasar oksigen rendah pengadukan massa air di estuari tidak menyeluruh dari permukaan ke dasar (Basmi, 1994). Estuari merupakan tempat sistem pembersih bahan pencemar (Knox dan Miyabara, 1984).

2.2 Pencemaran Perairan

Miller dan Connell (1995) mengatakan bahwa pencemaran perairan merupakan peristiwa masuknya senyawa-senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia ditambahkan ke lingkungan perairan, menyebabkan perubahan yang buruk terhadap kekhasan fisik, kimia, biologis dan estetis. Makhluk hidup memiliki berbagai reaksi mulai dari pengaruh yang sangat kecil sampai ke subletal seperti, berkurangnya pertumbuhan, perkembangbiakan pengaruh perilaku, atau kematian yang nyata. Sedangkan menurut (Williams, 1979) pencemaran merupakan keadaan perubahan dari kondisi normal, satu atau lebih parameter yang menyebabkan lingkungan terdegradasi.

(18)

5

Miller dan Connell (1995) mengatakan bahwa ekosistem alamiah yang rumit pada makhluk hidup merupakan suatu bagian integral dapat bereaksi dalam berbagai cara untuk mempengaruhi komponen makhluk hidup mulai dari sumber (pencemar) sampai dengan tanggapan dari populasi, komunitas dan ekosistem Kegiatan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sungai adalah untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukkannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya serta menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. Radojevic dan Bashkin (2007) mengatakan bahwa pencemar dapat berasal dari daerah khusus (point souirce) dan terdistribusi

(non-point source). Sumber pencemar (non-point source, misalnya: saluran buangan pabrik,

dan sumur pengeboran minyak. Sumber pencemar non-point source, misalnya: limpasan pestisida yang berasal dari sawah dan domestik.

Limbah organik dengan kadar yang tinggi akan menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut karena dalam perombakan limbah organik membutuhkan oksigen terlarut untuk proses perombakan (dekomposisi). Sumber limbah organik adalah limbah rumah tangga, food processing, perkotaan, lumpur sisa produksi industri (Radojevic dan Bashkin, 2007). Parameter yang umumnya digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran limbah organik yaitu padatan total, BOD, COD, nitrogen total, amonia-nitrogen, klorida, alkalinitas dan minyak dan lemak (Rump dan Krist, 1992 in Effendi, 2003). Pencemaran diperairan dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut secara tajam sehingga mengancam kehidupan biota perairan (Davis dan Masten, 2004; Radojevic dan Bashkin, 2007).

2.3 Beberapa Karakteristik Kualitas Air

2.3.1 DO (Dissolved Oxygen), BOD3 (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)

DO (Dissolved Oxygen) merupakan oksigen yang terlarut di perairan dipengaruhi oleh pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Boyd, 1990 ; Nemerow, 1991; Effendi, 2003). Nemerow (1974 dan 1991) mengatakan bahwa kadar oksigen terlarut dalam

(19)

6

perairan yang mencapai 0.5 mg/l termasuk perairan yang tercemar. Adanya dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik di suatu perairan dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga dapat mengganggu metabolisme organisme sungai. Populasi organisme di sungai yang meningkat berdampak pada peningkatan penggunaan oksigen terlarut sehingga mengurangi kadar oksigen terlarut di perairan (Williams, 1979). Kadar oksigen terlarut di perairan yang baik untuk kelangsungan hidup biota biasanya lebih dari 5 mg/l (Nemerow, 1974; Nybakken, 1992; Effendi, 2003; Radojevic dan Bashkin, 2007). Kadar oksigen yang rendah pada perairan akan membahayakan organisme akuatik karena akan meningkatkan toksisitas zinc, copper, lead, sianida, hydrogen sulfide, dan

ammonia. Masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuari yang

dangkal mendukung terpenuhinya kadar oksigen di kolom perairan. Kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, jumlah oksigen dalam air (Nybakken, 1992).

Pentingnya pengukuran oksigen terlarut di perairan adalah untuk mengetahui laju oksigen yang digunakan oleh organisme. Adanya laju yang sangat rendah akan mengindikasikan perairan yang bersih atau kemungkinan minimnya mikroorganisme untuk mengkonsumsi bahan organik yang tersedia di perairandan kemungkinan lainnya adalah mikroorganisme mati. Laju penggunaan oksigen umumnya disebut Biochemical Oxygen Demand (BOD). Nilai BOD di sungai dapat dipengaruhi oleh tiga variabel penting yang tidak konstan, yaitu : suhu, waktu, dan cahaya (Vesilind et al., 1993). BOD merupakan metode untuk mengetahui banyaknya kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk mendekomposisi bahan organik secara biologi (Biodegradable) di perairan dalam sebuah unit volume air dengan memanfaatkan mikroorganisme (Reid, 1961; Boyd, 1982; Davis dan Masten, 2004; Manahan, 2005; Radojevic dan Bashkin, 2007). Dekomposisi bahan organik dimulai saat limbah masuk ke sunga. BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi mikroba dalam proses respirasi aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi sekitar 200C, pada umumnya selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982). Bahan organik ini, yaitu : lemak, protein, kanji, glukosa, aldehida, dan ester (Effendi, 2003). Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan

(20)

7

organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Polii (1994) dan Ginting (2007) menyatakan bahwa pengukuran nilai BOD suatu perairan di daerah tropis dapat dilakukan pada suhu 300C selama 3 hari inkubasi setara dengan suhu 200C selama 5 hari (BOD5). Wilson dan Halcrow (1985) mengatakan bahwa BOD di perairan estuari dapat mencapai 1.5 mg/l.

Pengukuran bahan organik yang dilakukan dengan cara oksidasi secara kimia dapat menjadi lebih singkat. Oksidasi ini sering disebut dengan uji

Chemical Oxygen Demand (COD). Pengukuran COD pada suatu perairan

menggambarkan seberapa besar jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimiawi bahan organik yang biodegradable (terdegradasi secara biologi) maupun yang non-biodegradable (tidak terdegradasi secara biologi) menjadi CO2 dan H2O (Boyd, 1990; Boyd dan Tucker, 1992; Nemerow, 1991). Pada perairan yang tercemar biasanya memiliki nilai lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri mencapai 60000 mg/l (UNESCO / WHO / UNEP, 1992

in Effendi, 2003). Pengukuran COD didasarkan pada prinsip bahwa hampir semua

bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat K2Cr2O7 (kalium dikromat) dalam suasana asam. Oksidator ini diperkirakan dapat mengoksidasi bahan organik sekitar 95-100% (Effendi, 2003; Ginting, 2007).

2.3.2 Amonia (N-NH3), Nitrit (N-NO2), dan Nitrat (N-NO3)

Nitrogen di suatu perairan dapat berasal dari nitrogen dalam bentuk gas (N2) dan sebagian besar telah diubah oleh mikroorganisme melalui proses fiksasi biologi. Bentuk nitrogen di perairan antara lain amonia (NH3), nitrit (NO2), nitrat (NO3), amonium (NH4+) serta sebagian besar N yang berkaitan dalam organik komplek (Alaerts dan Santika, 1987). Senyawa nitrogen dalam perairan berasal dari luar (allochthonous) yaitu presipitasi tanah yang mengandung senyawa dan amonia, limpasan permukaan, limbah industri, rumah tangga dan pertanian. Senyawa nitrogen yang berasal dari dalam air (autochthonous) berawal dari proses perombakan yang dilakukan oleh bakteri (Pescod, 1973; Knox dan Miyabara, 1984). Pada dasar perairan kemungkinan terdapat amonia dalam jumlah

(21)

8

yang lebih banyak dibandingkan perairan di bagian atasnya karena oksigen terlarut pada bagian dasar relatif lebih kecil (Welch, 1952). Amonia merupakan salah satu bentuk nitrogen di alam yang dapat menyebabkan kematian ikan pada kisaran 0.4 mg/l-3.1 mg/l (Tchobanoglous, 1976 in Boyd, 1982). Semakin meningkat salinitas di perairan maka semakin meningkat prosentase amonia bebas di perairan. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan penurunan kadar oksigen terlarut, penigkatan pH, dan suhu. Kadar amonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pertanian, hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur (dikenal dengan istilah amonifikasi), hasil ekskresi dari biota akuatik, dan reduksi gas N2 yang berasal dari proses difusi udara atmosfir (Pescod, 1973). Daya racun amonia ini meningkat dengan konsentrasi CO2 yang rendah di perairan (Boyd, 1982).

Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) serta antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah sedikit di perairan dan bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Pada kondisi oksigen yang cukup (oksik) nitrit akan berubah menjadi nitrat, sedangkan pada kondisi kekurangan oksigen (anoksik) nitrit akan berubah menjadi amonia. Perubahan ini karena nitrit merupakan nitrogen yang tidak stabil (Novotny dan Olem, 1994). Nitrit akan cepat berubah menjadi nitrat melalui oksidasi. Nitrit merupakan gas beracun di perairan sehingga dapat membahayakan kehidupan ikan (Darmono, 2001). Kandungan nitrit dapat dikurangi ataupun dihilangkan dengan cara penggantian air, pemberian aerasi, penguapan, maupun reaksi kimia dengan oksigen. Nitrit merupakan senyawa tak stabil yang merupakan bentuk peralihan antara amonia dengan nitrat dengan bantuan bakteri (Basmi, 1994). Nitrit tidak diserap fitoplankton karena bersifat racun (Welch, 1952).

Ion nitrat (NO3-) merupakan bentuk senyawa nitrogen yang dominan. Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur dalam proses nitrifikasi sedangkan nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia yang berlangsung dalam kondisi

(22)

9

aerob. Oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter sp. Proses nitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keberadaan senyawa beracun dalam air, suhu, derajat keasaman (pH), kandungan oksigen terlarut dan salinitas. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi dari amonium (Novotny dan Olem, 1994). Kadar nitrat yang melebihi 0,5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran yang berasal aktivitas manusia dan tinja hewan. Nitrat merupakan produk akhir dari proses oksidasi biokimia amonia. Konsentrasi nitrat di perairan dikontrol dalam proses nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi senyawa amonia dalam kondisi aerob oleh bakteri autotrof. Pada perairan yang mengalami banjir kandungan nitratnya akan meningkat secara nyata (Hasan, 1993).

2.3.3 pH

Nilai pH menggambarkan keadaan ion hidrogen di suatu perairan (Boyd,1982). Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktivitas biologis (fotosintesis dan respirasi organisme), suhu, dan keberadaan ion-ion dalam perairan (Pescod, 1973). Perubahan asam atau basa di perairan laut dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Sebagian material yang bersifat racun akan meningkat toksisitasnya pada kondisi pH rendah (Williams, 1979). Vesilind

et al., (1993) mengatakan bahwa pH merupakan sebuah cara untuk mengukur

konsentrasi ion hidrogen pada suatu perairan. Fardiaz (1992) mengatakan bahwa nilai pH air yang terpolusi, misalnya air buangan berbeda-beda bergantung dari jenis buangannya. Sebagai contoh air buangan pabrik pengalengan mempunyai pH 6.2 – 7.6 , air buangan pabrik susu dan produk-produk susu biasanya mempunyai pH 5.3 – 7.8 , air buangan pabrik bir mempunyai pH 5.3 – 7.8 sedangkan air buangan pabrik pulp dan kertas biasanya mempunyai pH 7.6 – 9.5 . Pada industri makanan, peningkatan keasaman air buangan produksi umumnya disebabkan oleh kandungan asam-asam organik. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Nilai pH yang kurang dari 4 dan lebih dari 11 akan menyebabkan kematian ikan (Boyd, 1982). Pada perairan yang mendapatkan pengaruh dari laut (estuari), pH normal sekitar 8.0 .

(23)

10 2.3.4 TSS (Total Suspended Solid)

Residu di perairan dapat dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama penentuan residu ini sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas lain menghilang pada saat pemanasan tidak tercakup dalam nilai padatan total (Boyd, 1990; Effendi, 2003). Padatan Tersuspensi Total (TSS) dapat meningkatkan nilai kekeruhan sehingga akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air dan selanjutnya akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dan meningkatkan pasokan karbondioksida di perairan. Padatan tersuspensi merupakan bahan-bahan tersuspensi dan tidak larut dalam air serta tersaring pada kertas saring miliopore dengan ukuran pori-pori sebesar 0.45 µm (APHA; 1998). Einstein (1971) in Taufik (2003) berpendapat bahwa padatan tersuspensi yang hanyut di sungai memiliki banyak variasi ukuran, bentuk, kerapatan dan ketahanan terhadap perubahan kondisi sungai secara fisika dan kimia. Ia juga berpendapat bahwa ukuran partikel dapat berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam aliran sungai, misalnya: jumlah dan ukuran partikel besar dapat mengendap lebih cepat di dalam sungai. Nybakken (1992) mengatakan bahwa besarnya jumlah partikel tersuspensi yang terdapat di perairan estuari menyebabkan air sangat keruh pada waktu tertentu dalam setahun. Jumlah partikel tersuspensi minimum biasanya terdapat di dekat mulut sungai karena penuhnya air laut dan jumlah partikel tersuspensi maksimum biasanya terdapat di daerah pedalaman estuari. Air tawar, sungai, dan kali mengangkut partikel lumpur dalam bentuk suspensi sedangkan partikel di estuari pada umumnya dimanfaatkan oleh makhluk hidup khususnya partikel organik (Knox dan Miyabara, 1984).

2.3.5 Suhu

Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Semakin besar intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula suhu air (Fardiaz, 1992). Semakin bertambahnya kedalaman akan menurunkan

(24)

11

suhu perairan. Terjadinya kenaikan suhu juga sangat berpengaruh terhadap komposisi nitrogen yang ada dalam suatu perairan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula kandungan amonia karena tingginya suhu suatu perairan dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut sehingga proses amonifikasi yang terjadi adalah pada kondisi kurang oksigen dan dengan kondisi kurang oksigen tersebut maka kandungan nitrat mengalami penurunan konsentrasi (Welch, 1952). Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai proses industri. Air pendingin setelah digunakan akan mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya. Peningkatan suhu diikuti dengan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam perairan (Fardiaz, 1992).

Suhu air di estuari lebih bervariasi daripada di perairan pantai di dekatnya. Hal ini sebagian karena biasanya di estuari volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar, dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada air di estuari lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Air tawar di sungai lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut sehingga titik tertentu di estuari akan memperlihatkan variasi suhu yang besar sebagai fungsi dari perbedaan antara suhu air laut dan air sungai. Pada perairan estuari suhu perairannya dapat mencapai kisaran antara 240C - 340C (Eyre, 1993). Suhu air estuari yang bervariasi disebabkan juga karena adanya masukan air tawar. Kisaran suhu terbesar terdapat di daerah hulu estuari dan kisaran suhu terkecil terdapat di daerah hilir estuari. Suhu bervariasi secara vertikal. Perairan permukaan mempunyai kisaran yang terbesar, dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya lebih kecil (Nybakken, 1992). Hugh (1964) menyatakan bahwa di estuari dapat terjadi variasi relatif suhu yang luas dan terjadi dalam waktu yang singkat dengan interval waktu yang pendek.

2.3.6 Salinitas

Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas menunjukkan jumlah garam yang terlarut dalam 1 kilogram air laut. Salinitas di estuari berfluktuatif, pola gradien akan tampak pada suatu saat tertentu tetapi pola gradiennya bervariasi bergantung dengan musim, topografi estuari, pasang surut,

(25)

12

dan jumlah air tawar (Nybakken, 1992). Salinitas di perairan estuari dapat menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen termasuk yang terdapat pada badan sungai yang mendapat pengaruh dari perairan estuari. Seluruh organisme memiliki beberapa kisaran salinitas dan apabila kisaran tersebut terlampaui maka organisme tersebut akan mati atau pindah ke tempat lain (Williams, 1979). Secara definitif, suatu gradien salinitas pada perairan estuari akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah air tawar. Faktor yang paling mempengaruhi perubahan pola salinitas adalah pasang surut air laut. Tempat yang memiliki perbedaan pasang surut yang cukup besar, pasang naik mendorong air laut lebih jauh ke hulu estuari, menggeser isohalin ke hulu sehingga air bersalinitas maksimum (Dahuri, 2003). Hugh (1964) menyatakan bahwa di estuari dapat terjadi variasi relatif salinitas yang luas dan terjadi dalam waktu yang cepat dengan interval waktu yang pendek. Pada saat pasang turun, menggeser isohalin ke hilir sehingga air bersalinitas minimum. Akibatnya ada daerah di estuari yang salinitasnya berubah sesuai dengan keadaan pasang surut (Nybakken, 1992). Salinitas perairan tawar berkisar 0 PSU – 0.4 PSU dan salinitas estuari di Asia Tenggara berkisar antara 0.5 PSU sampai dengan 30 PSU (Boyd, 1990)

(26)

13

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian kualitas air di muara Sungai Cisadane dilakukan dengan cara survey lapang dan analisis di laboratorium. Penelitian dilaksanakan pada saat musim kemarau tahun 2007 (September – November) dan musim kemarau tahun 2008 (Juni-Agustus). Lokasi penelitian di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dan analisis karakteristik kualitas air di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah GPS Garmin

Clathe-USA, SCT meter Hach, injection tools dengan ketelitian 0.1 ml untuk

titrasi (sebagai pengganti buret), gelas erlenmeyer Pyrex volume (125 ml, 300 ml, dan 1 L), botol BOD Duran 250 ml, gelas ukur Pyrex volume 100 ml, corong kaca, ember kecil, jerigen plastik 1 L dan 600 ml, wadah sampel, perahu, pipet tetes kecil, boks pendingin Marina dan Igloo Cooler, botol semprot akuades, Van

Dorn sampler, Kemmerer sampler, Current meter, tali panjang, meteran

gulungan, DO meter digital TOA model DO-20A, botol BOD, dan pH Tester digital Waterproof dengan ketelitian 0.01 dan beberapa peralatan analisis air di laboratorium (Vacum pump Dry Vane Pump 200/200 Volt 50/60 Hz, lemari inkubasi, buret Assislent volume 25 ml dengan ketelitian 0.01 ml, pipet volumetrik Pyrex volume 50 ml dengan ketelitian 0.01 ml, pipet volumetrik Pyrex volume 25 ml dengan ketelitian 0.03 dsb.) . Bahan yang digunakan adalah MnSO4, sulfami acid, NaOHKI, K2Cr2O7, larutan FAS, brucine, phenol, sodium nitroprusit, alkaline hipoklorit, pereaksi warna, dan H2SO4.

3.3 Prosedur Pengamatan

Pengambilan contoh air sampel dilakukan di stasiun tawar dan payau pada saat pasang dan surut. Semula contoh air diambil pada tiga kedalaman tetapi, kenyataannya hanya dua bagian kedalaman yang sesuai, yakni : bagian

(27)

14

permukaan (20% kedalaman) dan bagian dasar (80% kedalaman). Pengambilan contoh air dilakukan di dua stasiun yakni stasiun tawar dari muara Sungai Cisadane (dekat Bandara Soekarno-Hatta), dan stasiun payau yang berada di bagian payau muara Sungai Cisadane. Antar kedua stasiun berjarak ± 5 km. Pengambilan sampel contoh air sebanyak 7 kali.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

Penentuan pengambilan contoh air dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan dengan mengetahui kadar salinitas pada sungai sehingga dapat diketahui bagian sungai yang termasuk air tawar dan salinitas payau. Pengamatan pada saat pasang dan surut dilakukan dengan menggunakan data pendukung pasang surut dari daftar pasang surut perairan Tanjung Burung Dinas Hidrooseanografi (Dishidros) TNI AL, sedangkan penentuan titik pengambilan sampel menggunakan alat GPS dengan stasiun tawar pada koordinat 106o 38' 06.0" BT - 06o 05' 45.4" LS dan stasiun payau 106o 38' 03.7" BT - 06o 02' 59.0" LS.

Pengamatan untuk beberapa karakteristik seperti suhu, DO, salinitas, dan pH langsung dilakukan di lapangan. Sebagian contoh air yang lain didinginkan

(28)

15

(untuk BOD3, TSS, nitrat, dan nitrit) dan diawetkan dengan menggunakan asam (H2SO4) untuk COD dan amonia, untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Pengukuran BOD di perairan tropis dilakukan dengan inkubasi air contoh selama 3 hari pada suhu 300C karena setara dengan pengukuran BOD dengan inkubasi air contoh sampel selama 5 hari pada suhu 200C (Polii, 1994). Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis dilakukan dengan mengikuti prosedur standar APHA (1998) seperti yang tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter kualitas perairan yang diamati berserta alat, metode pengukuran dan referensinya

Parameter Alat Unit Metode Keterangan Referensi

Suhu SCT meter 0C Elektrometri, sensor thermistor Lapangan APHA,1998 TSS timbangan, oven, peralatan gelas, filter mg/l Gravimetri (Penimbangan dan pengeringan 103-105 0C) Laboratorium APHA,1998

Salinitas SCT meter PSU Elektrometri Lapangan APHA,1998

pH pH tester - Elektrometri Lapangan APHA,1998

DO DO meter dan

peralatan titrasi mg/l

Elektrometri

dan iodometri Lapangan APHA,1998

BOD3

Botol BOD plastik gelap, dan peralatan titrasi mg/l Iodometri dan Inkubasi 3 hari suhu 300C Laboratorium APHA,1998 COD Gelas erlenmeyer,kaca arloji dan peralatan titrasi mg/l Titrimetri dengan oksidator K2Cr2O7 Laboratorium APHA,1998

Amonia Spektrofotometer mg/l Pencahayaan

(Phenate) Laboratorium APHA,1998

Nitrat Spektrofotometer mg/l Pencahayaan

(Brucine) Laboratorium APHA,1998

Nitrit Spektrofotometer mg/l Pencahayaan

(Sulfanilamide) Laboratorium APHA,1998

3.4 Analisis Data

Analisa data meliputi pembandingan nilai karakteristik kualitas air yang terukur dengan baku mutu, sedangkan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan menggunakan Indeks Kualitas Air (IKA) STORET (Canter, 1977). Baku

(29)

16

mutu yang digunakan dalam indeks STORET adalah PP RI No. 82 tahun 2001 kelas 3 (baku mutu air peruntukan budidaya perikanan). Uji statistik yang digunakan adalah uji t dan untuk mempermudah analisis uji t digunakanlah matriks (Tabel 3). Uji t digunakan untuk mengetahui beda nyata atau tidak pada dua kondisi yang diuji (Walpole, 1995) yang meliputi bagian permukaan dengan dasar, pasang dengan surut, dan stasiun tawar dengan stasiun payau.

Hipotesis H0

: µ

1

= µ

2

H1

: µ

1 ≠

µ

2

α : 0,05

Kesimpulan dan Keputusan

T Hit > T Tab : Tolak H0

,

terimaH1 sehingga nilai karakteristik kondisi A1 berbeda nyata dengan nilai karakteristik kondisi A2

T Hit < T Tab : Gagal tolak H0

,

terimaH0 sehingga nilai karakteristik kondisi A1 tidak berbeda nyata (sama dengan) nilai karakteristik kondisi A2

Tabel 3. Matriks uji t untuk setiap karakteristik kualitas air Uji t Permukaan dengan Dasar

B.Permukaan B.Dasar B.Permukaan B.Dasar B.Permukaan B.Dasar B.Permukaan B.Dasar

Stasiun Tawar Stasiun Payau Stasiun Tawar Stasiun Payau Saat Pasang Saat Surut

Teladan : uji t nilai karakteristik kondisi A1 (bagian permukaan, stasiun tawar, saat pasang) dengan nilai karakteristikkondisi A2 (bagian dasar,stasiun tawar,saat pasang )

Uji t Saat Pasang dengan Saat Surut Saat Pasang Saat

Surut Saat Pasang

Saat

Surut Saat Pasang

Saat

Surut Saat Pasang

Saat Surut B.Permukaan B.Dasar B.Permukaan B.Dasar

Stasiun Tawar Stasiun Payau

Teladan : uji t nilai karakteristik kondisi A1 (saat pasang,bagian permukaan, stasiun tawar) dengan nilai karakteristikkondisi A2 (saat surut, bagian permukaan, stasiun tawar)

Uji t Stasiun Tawar dengan Stasiun Payau Stasiun Tawar Stasiun Payau Stasiun Tawar Stasiun Payau Stasiun Tawar Stasiun Payau Stasiun Tawar Stasiun Payau B.Permukaan B.Dasar B.Permukaan B.Dasar

Saat Pasang Saat Surut

Teladan : uji t nilai karakteristikkondisi A1 (stasiun tawar, bagian permukaan, saat pasang) dengan nilai karakteristikkondisi A2 (stasiun payau, bagian permukaan, saat pasang)

Keterangan :

µ

1 : Nilai karakteristik kondisi A1

µ

2 : Nilai karakteristik kondisi A2

(30)

17

Menurut Kepmen LH Nomor 115 Tahun 2003 (www. bplhd. jakarta. go. id) salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu adalah metode STORET. Prinsip dari metode STORET adalah membandingkan data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas sebagaimana tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi mutu air

Skor Kelas Karakteristik Kualitas Air

0 A Baik sekali

-1 s/d -10 B Baik

-11 s/d -30 C Tercemar sedang

≤ -31 D Tercemar berat

Sumber : Canter (1977)

Penentuan status mutu air dengan menggunakan metode STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Hitung nilai maksimum, minimum dan rata-rata setiap parameter kualitas air yang diamati, kemudian cantumkan dalam satu tabel.

2. Bandingkan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari masing-masing parameter kualitas air tersebut dengan nilai baku mutu. 3. Jika nilai-nilai dari hasil pengukuran tersebut memenuhi nilai baku mutu

air, maka diberi skor 0 (nol).

4. Jika nilai-nilai tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor tertentu sebagai berikut (Tabel 4):

a. Bila jumlah data (pengamatan) kurang dari 10, maka untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata untuk parameter fisika berturut-turut diberi skor (-1,-1,-2) , untuk parameter kimia (-2,-2,-6) dan untuk parameter biologi (-3,-3,-9).

(31)

18

b. Bila jumlah data sama atau lebih dari 10, maka untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata untuk parameter fisika berturut-turut diberi skor (-2, 2,-6) , untuk parameter kimia (-4,-4,-12) , dan untuk parameter biologi (-6,-6,-18).

5. Nilai IKA STORET adalah nilai penjumlahan dari seluruh skor yang ada. 6. Berdasarkan nilai total skor tersebut kualitas perairan dapat digolongkan

apakah baik sekali, baik, tercemar sedang atau tercemar berat sebagaimana pada Tabel 5.

Tabel 5. Pemberian skor dalam penentuan indeks STORET

Jumlah Data Nilai Parameter

Fisika Kimia Biologi < 10 Maksimum -1 -2 -3 Minimum -1 -2 -3 Rata-rata -3 -6 -9 ≥ 10 Maksimum -2 -4 -6 Minimum -2 -4 -6 Rata-rata -6 -12 -18 Sumber : Canter (1977)

(32)

19

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Kualitas Air

4.1.1 DO (Dissolved Oxygen), BOD3 (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)

Nilai oksigen terlarut (dissolved oxygen) yang terukur di muara Sungai Cisadane kurang dari 3 mg/l (Gambar 3) sehingga tidak memenuhi baku mutu PP RI No.82 Tahun 2001 (Lampiran 3). Hasil uji t nilai DO menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) pada bagian permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 7) , saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05 , n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7). Nilai DO yang tidak berbeda nyata karena debit air muara Sungai Cisadane kecil dan pasang suurut yang ada tidak menyebabkan air berubah dengan baik.

Gambar 3. Nilai rata-rata oksigen terlarut (DO) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Nilai DO stasiun tawar bagian dasar relatif lebih tinggi daripada nilai DO stasiun payau bagian dasar. Keadaan ini dapat terjadi karena pengaruh dorongan dari bagian lebih hulu stasiun tawar dan juga di stasiun tawar memiliki dasar perairan berbatu dengan kemiringan yang tinggi daripada stasiun payau. Hal ini dapat menyebabkan peluang pengadukan perairan yang tinggi sehingga oksigen terlarut yang terbentuk relatif tinggi.

(33)

20

Nilai BOD3 yang terukur di muara Sungai Cisadane sebagian lebih dari 6 (Gambar 4) sehingga tidak memenuhi baku mutu PP RI No.82 Tahun 2001 (Lampiran 3). Hasil uji t nilai BOD3 menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) pada bagian permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 7), saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7). Nilai BOD3 secara statistik tidak berbeda nyata, meskipun demikian di stasiun tawar dan payau ada yang melebihi baku mutu.

Gambar 4. Nilai rata-rata Biochemical Oxygen Demand (BOD3) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Hal ini dapat disebabkan di stasiun tawar saat pasang terdapat bahan organik yang dalam jumlah besar yang berasal dari bagian sungai lebih hulu dan hidrologi sungai yang sebenarnya (debit air muara Sungai Cisadane kecil dan pasang surut yang ada tidak menyebabkan air sungai berubah dengan baik) menyebabkan massa air yang berada di muara sungai tidak mengalami fluktuasi yang signifikan. Nilai BOD3 stasiun payau saat surut relatif lebih tinggi daripada stasiun tawar. Hal ini dapat disebabkan oleh bahan organik yang relatif tinggi yang berasal dari limbah organik di sekitar stasiun payau (outlet pembuangan limbah kandang sapi) dan ketika masuk ke perairan cenderung bertahan di permukaan sungai sebagai akibat hidrologi sungai.

Nilai COD kurang dari 50 mg/l (Gambar 5) sehingga memenuhi baku mutu PP No.82 Tahun 2001 (Lampiran 3). Hasil uji t menunjukkan tidak berbeda

(34)

21

nyata (Lampiran 2,6,7,8) untuk nilai COD pada bagian permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 6), saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 6), dan pada stasiun tawar dengan stasiun (p ≤ 0.05, n : 6). Nilai COD lebih besar dari BOD karena dengan pengukuran COD dapat mendegradasi bahan organik secara biologis maupun yang sukar secara biologis, dan bahan yang stabil terhadap reaksi biologi (komposisi limbah organik yang yang berbeda dengan BOD). Pengukuran COD menggunakan oksidator kuat yakni kalium dikromat (K2Cr2O7) sehingga dengan pengukuran COD nilai limbah organik yang terukur mendekati keadaan limbah sebenarnya (Boyd, 1982; Fardiaz, 1992; Polii, 1994; Baird dan Cann, 2005; Ginting, 2007; Mukhtasor, 2007).

Gambar 5. Nilai rata-rata Chemical Oxygen Demand (COD) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Nilai COD lebih besar daripaa nilai BOD3 (Gambar 5), keadaan ini karena pada saat pengukuran BOD masih banyak mengandung bahan organik yang stabil terhadap reaksi biologis (fenol, tanin, selulosa, benzena, dll.) . Adanya fluktuasi debit air yang tidak signifikan menyebabkan nilai COD di setiap titik pengambilan sampel air tidak jauh berbeda. Penggunaan BOD dan COD sebagai indikator pendugaan pencemaran organik, didasarkan pada inti masalah pencemaran bahan organik, yaitu berhubungan dengan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk semua reaksi metabolik mikroba yang terjadi sebagai akibat masuknya bahan organik ke suatu perairan (Polii, 1994).

(35)

22

4.1.2 Amonia (N-NH3), Nitrit (N-NO2) dan Nitrat (N-NO3),

Nilai amonia yang terukur di muara sungai Sungai Cisadane terendah 0.81 mg/l dan tertinggi 3.39 mg/l (Gambar 6). Nilai amonia yang lebih dari 0.02 mg/l tidak memenuhi baku mutu PP No.82 tahun 2001 (Lampiran 3). Hasil uji t menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) pada saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7).

Gambar 6. Nilai rata-rata amonia (N- NH3) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Nilai amonia stasiun payau saat pasang bagian permukaan berbeda nyata sebesar 3.39 mg/l dengan stasiun payau saat surut bagian dasar sebesar 0.86 mg/l (p ≤ 0.05, n : 7). Hal ini karena limbah dari kotoran sapi berupa tinja dan urin yang berasal dari outlet pembuangan limbah sapi disekitar stasiun payau yang merupakan sumber amonia belum tercampur dengan bagian dasar perairan. Toksisitas amonia di perairan meningkat jika terjadi penurunan oksigen terlarut, peningkatan pH, dan temperatur (Boyd, 1990). Perairan muara Sungai Cisadane bagian tawar dan payau memiliki kadar oksigen terlarut yang tidak memenuhi baku mutu sehingga menyebabkan kadar amonia tinggi.

Nilai nitrit yang terukur di muara Sungai Cisadane terendah 0.04 mg/l dan tertinggi 0.41 mg/l. Sebagian besar nilai nitrit lebih dari 0.06 mg/l (Gambar 8)

(36)

23

sehingga tidak memenuhi baku mutu menurut PP No.82 tahun 2001 (Lampiran 3). Hasil uji t secara statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) tetapi pada bagian permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 7), saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7).

Gambar 7.Nilai rata-rata nitrit (N-NO2) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Meskipun secara statistik terlihat tidak berbeda nyata,tetapi dari data terlihat kecenderungan terjadi perbedaan sehingga melebihi baku mutu seperti nilai nitrit pada bagian permukaan lebih besar daripada bagian dasar, hal ini karena pada perairan payau dipengaruhi air tawar dan air laut . Air laut memiliki massa jenis air yang lebih besar daripada air tawar (adanya salinitas pada air laut) sehingga air laut cenderung tenggelam atau berada di bawah air tawar. Pada saat pengadukan terjadi air laut mendorong air tawar ke permukaan dari dasar perairan dan air tawar mendorong air laut ke dasar sehingga terbentuk putaran. Air tawar yang mendominasi bagian permukaan menyebabkan peluang untuk melarutkan bahan organik seperti nitrit besar sehingga bagian permukaan memiliki konsentrasi nitrit yang tinggi daripada bagian dasar karena air tawar mudah melarutkan bahan organik seperti nitrit daripada air laut (Boyd, 1982). Nilai nitrit pada stasiun tawar saat surut bagian permukaan lebih besar (0.41 mg/l) daripada

(37)

24

stasiun tawar saat surut bagian dasar (0.11 mg/l). Hal ini dapat disebabkan DO pada stasiun tawar saat surut bagian permukaan lebih rendah (1.37 mg/l) daripada DO stasiun tawar pada saat surut bagian dasar (2.39 mg/l) sehingga pembentukan nitrit lebih besar karena kadar DO rendah. Nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah (Effendi, 2003). Nilai nitrit stasiun payau saat pasang bagian permukaan (0.19 mg/l) lebih besar dari stasiun payau saat pasang bagian dasar (0.04 mg/l). Hal ini karena muara Sungai Cisadane termasuk estuari tercampur sebagian sehingga pada waktu tertentu (terutama saat pasang) air laut masuk ke sungai sampai jauh ke bagian lebih hulu dari stasiun tawar.

Nilai nitrat di muara Sungai Cisadane kurang dari 20 mg/l (PP No.82 Tahun 2001) dimana nilai nitrat terbesar pada stasiun tawar saat surut bagian permukaan sebesar 0.74 mg/l dan pada stasiun tawar saat surut bagian dasar sebesar 0.80 mg/l (Gambar 8) sehingga memenuhi baku mutu (Lampiran 3).

Gambar 8. Nilai rata-rata nitrat (N-NO3) dengan nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Hasil uji t nilai nitrat menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) pada permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 7), saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7). Nilai nitrat yang kecil ini disebabkan karena hidrologi perairan muara Sungai Cisadane

(38)

25

dimana sungai memiliki debit air kecil dan pasang surut yang tidak mampu berubah sehingga tidak terjadi pergerakan massa air yang signifikan.

4.1.3 pH

Nilai pH sekitar 6-9 (Gambar 9) pada suatu perairan tergolong perairan yang memenuhi baku mutu PP No.82 Tahun 2001 (Lampiran 3). Hasil uji t nilai pH menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) pada permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 7), saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7). Nilai pH di muara Sungai Cisadane semakin arah payau semakin besar antara 6.5-6.9 . Nilai pH pada stasiun tawar 6.54-6.58 dan stasiun payau 6.70-6.91 . Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa pH stasiun payau lebih tinggi daripada pH stasiun tawar. Semakin ke arah laut salinitas semakin tinggi dan pH semakin basa sedangkan nilai pH menurun (lebih asam) dapat terjadi karena bahan pencemar yang masuk ke perairan (Baird dan Cann, 2005).

Gambar 9. Nilai rata-rata pH dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Nilai pH juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktivitas biologis meliputi fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan keberadaan ion-ion yamg masuk ke perairan (Pescod, 1973).

(39)

26 4.1.4 TSS (Total Suspended Solid)

Nilai TSS yang terukur di muara Sungai Cisadane kurang dari 400 mg/l (Gambar 10) sehingga memenuhi baku mutu PP No.82 Tahun 2001 (Lampiran 3). Uji t nilai TSS menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 2,6,7,8) pada bagian permukaan dengan dasar (p ≤ 0.05, n : 7), saat pasang dengan saat surut (p ≤ 0.05, n : 7), dan pada stasiun tawar dengan stasiun payau (p ≤ 0.05, n : 7).

Gambar 10. Nilai rata-rata TSS (Total Suspended Solid) dengan batas nilai maksimum dan minimum pengamatan pada stasiun tawar dan payau di muara Sungai Cisadane pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Ott (1978) menyatakan bahwa suatu perairan tergolong tercemar jika memiliki konsentrasi TSS 100 mg/l atau lebih. Nilai TSS pada saat pasang di stasiun payau lebih besar dibandingkan stasiun tawar, hal ini karena terjadi akumulasi partikel tersuspensi dari bagian perairan yang lebih hulu dari stasiun tawar (Kota Tangerang). Nilai TSS yang tinggi berasal dari limbah kandang sapi di sekitar stasiun payau, erosi alamiah dari pinggir sungai, dan pengadukan air laut yang kuat pada saat pasang. Pada saat surut nilai TSS kecil dan hampir sama, hal ini karena pada saat surut TSS ikut terbawa sungai ke laut. TSS dapat terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa air sungai selain itu juga berasal dari limbah yang masuk ke sungai (Darmono, 2001).

(40)

27 4.1.5 Suhu

Kisaran suhu stasiun tawar 26.8 0C – 320C dan kisaran suhu stasiun payau 26.8 0C – 320C. Suhu perairan pada saat pengambilan contoh air relatif sama yakni berkisar antara 270C - 310C (Gambar 11). Knox dan Miyabara (1984) menyatakan bahwa suhu perairan Asia Tenggara bagian muara di daerah tropis umumnya berkisar antara 250C - 320C. Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perairan menjadi panas.

Gambar 11. Kisaran suhu perairan secara temporal di muara Sungai Cisadane stasiun tawar pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Proses ini berlangsung secara instensif pada lapisan permukaan sehingga memiliki suhu yang lebih tinggi daripada lapisan dasar. Pada tanggal 26-27 September 2007, 6-7 Oktober 2007 dan 19-21 Oktober 2007 di stasiun tawar saat pasang dan surut, suhu lapisan permukaan lebih besar daripada suhu lapisan dasar. Hal ini karena pengadukan pada saat pasang menyebabkan partikel tersuspensi bagian dasar terdorong ke permukaan sehingga dapat menyebabkan perairan keruh pada bagian permukaan dan menyerap panas . Pada tanggal 6-7 Oktober 2007 menunjukkan terjadi fluktuasi suhu yang cukup besar pada stasiun payau saat pasang bagian permukaan sebesar 320C dengan stasiun payau saat pasang bagian dasar sebesar 280C (Gambar 12). Hal ini karena pada saat pengambilan sampel pada saat sore hari yakni cuaca cerah dan cukup panas sekitar pukul 15.20-15.50 WIB.

(41)

28

Gambar 12. Kisaran suhu perairan secara temporal di muara Sungai Cisadane stasiun payau pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

Perbedaan suhu di perairan dapat disebabkan adanya perbedaan kemampuan menyerap panas dan kecepatan rambat suhu. Cepat rambat suhu ke dasar perairan yang rendah menyebabkan suhu di lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan dasar.

4.1.6 Salinitas

Salinitas pada stasiun tawar saat surut berkisar 0 PSU – 0,3 PSU dan salinitas stasiun tawar saat pasang berkisar 0 PSU – 10 PSU (Gambar 13).

Gambar 13. Kisaran salinitas perairan secara temporal di muara Sungai Cisadane stasiun tawar pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau.

(42)

29

Knox dan Miyabara (1983) menyatakan bahwa fluktuasi salinitas di perairan pesisir dipengaruhi oleh topografi pasang surut, dan jumlah air tawar. Boyd (1990) mengatakan bahwa salinitas air tawar berkisar 0 PSU – 0.4 PSU. Salinitas pada tanggal 06 Agustus 2008 di stasiun tawar pasang permukaan (9.5 PSU) dan stasiun tawar pasang dasar (10 PSU). Hal ini karena muara Sungai Cisadane termasuk estuari tercampur sebagian sehingga pada waktu tertentu air tawar air laut masuk ke muara sungai dalam jumlah besar. Air laut yang masuk ke sungai dalam jumlah besar menyebabkan air laut masuk ke sungai sampai bagian lebih hulu pada bagian tawar sehingga menyebabkan salinitas di stasiun tawar melebihi 0.5 PSU.

Salinitas stasiun payau pada saat pasang bagian permukaan berkisar antara 0 PSU – 31.8 PSU sedangkan salinitas stasiun payau pada saat pasang bagian dasar berkisar antara 0.1 PSU – 31.8 PSU (Gambar 14). Salinitas mendekati nol terjadi pada tanggal 26-27 September 2007 di stasiun payau baik saat saat pasang maupun surut. Hal ini karena pada waktu tersebut jumlah air tawar banyak masuk ke sungai.

Gambar 14. Kisaran salinitas perairan secara temporal di muara Sungai Cisadane stasiun payau pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan), pada musim kemarau

.

Pada tanggal 19-21 Oktober 2007 salinitas di stasiun payau saat pasang bagian permukaan mendekati nol. Hal ini disebabkan di bagian dasar sungai di dominasi oleh air laut yang mempunyai densitas lebih berat dibandingkan air

(43)

30

tawar sehingga air tawar bergerak ke atas dan mendominasi di permukaan. Pada tanggal 19 Juli 2008 di stasiun payau saat pasang bagian dasar mendekati nol. Hal ini disebabkan tipe muara Sungai Cisadane bertipe tercampur sebagian sehingga pada waktu tertentu air tawar mendominasi muara sehngga salinitas mendekati nol. Fluktuasi salinitas yang terjadi di muara Sungai Cisadane ini mengindikasikan tipe estuari tercampur sebagian dimana pengaruh dominan dari air tawar atau air laut pada waktu tertentu (Lauff, 1967).

4.2 Tingkat Kualitas Air Menurut Indeks STORET

Perairan muara Sungai Cisadane merupakan daerah paling hilir Sungai Cisadane sehingga memungkinkan bahan organik termasuk juga hasil buangan limbah domestik maupun non domestik dari aktivitas manusia dan industri di sekitar Tangerang terakumulasi dan terjadi pencemaran sungai. Indikasi adanya pencemaran tersebut perlu diuji kebenarannya sehingga dibutuhkan upaya untuk mengetahui tingkat pencemaran di muara sungai tersebut dengan menggunakan metode tertentu. Salah satu metode yang dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan menurut Canter (1977) adalah dengan menggunakan Indeks Kualitas Air (IKA) STORET.

Hasil uji t bagian permukaan dengan dasar pada stasiun tawar dan stasiun payau saat pasang dan surut menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 9) sehingga pada bagian permukaan dan dasar dirata-ratakan. Pada stasiun tawar, saat pasang dan surut nilainya -36 sedangkan pada stasiun payau saat pasang nilainya -32.5 dan saat surut nilainya -32. Pada stasiun payau berdasarkan baku mutu peruntukan biota laut, Kepmen LH no.52 tahun 2004 nilainya lebih kecil dari PP RI no.81 tahun 2001 yakni -43 dan -34 (Lampiran 5,10) sehingga termasuk tercemar berat. Faktor lain yang dapat mempengaruhi berkurangnya beban limbah adalah limbah yang masuk ke perairan bercampur dengan air sungai sehingga limbah yang masuk ke perairan tidak pekat atau lebih encer dan memudahkan mikroorganisme dalam mendekomposisi limbah dengan memanfaatkan air dan oksigen yang ada di perairan.

Tingkat pencemaran perairan muara Sungai Cisadane berdasarkan indeks kualitas air STORET dengan baku mutu PP No.82 Tahun 2001 (Gambar 15)

(44)

31

menunjukkan kualitas air muara Sungai Cisadane tercemar berat. Pada stasiun tawar tingkat pencemarannya lebih besar daripada stasiun payau karena di stasiun tawar air laut yang masuk sedikit sehingga salinitas rendah, dan sehingga bahan-bahan organik mudah larut di dalam air daripada stasiun payau.

Baik Sekali Baik Sedang Buruk

Gambar 15.Tingkat pencemaran perairan (terhadap baku mutu kelas 3, PP RI No.82 Tahun 2001) berdasarkan indeks kualitas air STORET di muara Sungai Cisadane stasiun tawar dan payau pada saat pasang dan surut pada musim kemarau.

4.3 Upaya Pengelolaan Muara Sungai Cisadane

Muara Sungai Cisadane merupakan hilir dari Sungai Cisadane yang mengalir dari hulu di wilayah Bogor hingga melalui daerah pemukiman di Bogor dan daerah perkotaan dan industri di Tangerang, Provinsi Banten. Secara umum kualitas air muara Sungai Cisadane termasuk tercemar. Beberapa parameter kualitas yang yang tidak memenuhi baku mutu, seperti DO, BOD3, amonia, dan nitrit, mengindikasikan terjadi pencemaran organik karena sebagian besar limbah yang dihasilkan berasal dari aktivitas manusia di sekitar sungai, seperti : MCK, pembuangan sampah, peternakan sapi, dan limbah buangan dari Kota Tangerang. Adanya bukti terdapatnya pencemaran di muara Sungai Cisadane mendorong perlunya alternatif solusi pemecahan. Beberapa upaya yang dapat dirumuskan

(45)

32

untuk menanggulangi permasalahan kualitas air muara Sungai Cisadane antara lain sebagai berikut :

a. Pembuatan dan pengawasan dalam penggunaan Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu (IPALT) dimana dalam satu kawasan industri yang sama terdapat satu tempat pengolahan limbah bersama.

b. Pembuatan dan sosialisasi penggunaan tempat MCK dengan tempat pengolahan limbahnya sebelum dibuang di sungai.

c. Pembuatan tempat pembuangan limbah organik yang berasal binatang ternak yang jauh dari sungai dan diupayakan pemanfaatan limbahnya untuk keperluan masyarakat, misalnya: pupuk organik,biogas, dan bahan pembuatan gerabah.

d. Sosialisasi kepada masyarakat sekitar sungai tentang pentingnya memelihara kebersihan sungai dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.

Gambar

Gambar 1. Skema alur rumusan masalah penelitian
Tabel 1. Pemanfaatan air baku di Kabupaten Tangerang
Gambar 2. Peta lokasi penelitian.
Tabel 2. Parameter  kualitas perairan yang diamati berserta alat, metode   pengukuran dan referensinya
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan mengenai pola permukiman madura, konsep ruang, konsep vegetasi, dan konsep sirkulasi maka konsep desain permukiman tradisional

 Dalam melanjutkan pengembangan Guidance for the Labelling of non-retail containers akan dibentuk elektronik Working Group (eWG) yang diketuai oleh India , dan

Source : Culture Supervisor Temon Sub-district Office of Kulon Progo Regency.. Source : Culture Supervisor Temon Sub-district Office of Kulon

 Kelompok yang memberikan andil/sumbangan inflasi pada Agustus 2015, yaitu kelompok bahan makanan 1,87 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,10

Jika sesudah lewat waktu yang ditentukan belum juga dipenuhi putusan tersebut, atau jika pihak yang dikalahkan tersebut, sesudah dipanggil dengan patut tidak juga

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa usaha manisan buah Kak Nong di Desa Teupin Punti Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten

Didalam mengatakan biaya produksi dalam pasar persaingan sempurna adalah paling minimum,tersirat (yang tidak dinyatakan)pemisalan bahwa biaya produksi tidak