• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan. Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku (etnis). Masingmasing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan. Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku (etnis). Masingmasing"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya suatu bangsa adalah gambaran cara hidup masyarakat dari bangsa yang bersangkutan. Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku (etnis). Masing-masing suku memiliki nilai budaya tersendiri, yang dapat membedakan ciri suku yang satu dengan yang lainya. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya

daerah yang dipandang sebagai satu cara hidup dan dianut pada setiap kelompok. Bangsa Indonesia terdiri dari aneka ragam suku (etnis) yang mempunyai latar

belakang budaya yang beraneka ragam, sehingga bangsa Indonesia terkenal dengan kaya akan budaya, dan dari keanekaragaman tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda pula, setiap suku memiliki ciri khas budaya sendiri.

Tanah Karo berada di Propinsi Sumatera Utara, jaraknya dari kotamadya Medan lebih kurang dari 63 km. Tanah Karo adalah suatu dataran tinggi dengan ketinggian 725 – 1400 meter dari permukan laut dan dikelilingi oleh dua buah gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Tinggi rendahnya budaya suatu bangsa, tercermin dari materi-materi yang ada pada bangsa itu. Suku Karo sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, pada masa lampau telah memiliki budaya yang cukup tinggi.

Kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyrakat yang dijadikan milik diri manusia

(2)

dengan cara belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun nilai - nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam bermasayrakat, tetapi suatu konsep nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan biasanya sangat sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan tidak kongkret, maka nilai budaya dalam satu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan yang bersangkutan. Dan budaya memiliki ungsur yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem relegi, dan kesenian. (Koentjaraninggrat 1959: 217)

Bahasa dan aksara Karo merupakan karya budaya yang memiliki nilai budaya yang tak ternilai harganya. Semua suku di Indonesia diperkirakam lebih dari 300-an suku memiliki bahasa. Bahasa Karo dipergunakan oleh masyrakat Karo terutama dalam pergaulan sehari – hari dan begitu juga dalam upacara adat Pada umumnya tulisan atau aksara Karo pada tempo dulu digunakan untuk untuk menuliskan ramuan obat, mantera, dan cerita. Tulisan itu dibuat pada kulit kayu, bambu, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat dilipat- lipat, sedangkan huruf pada umumnya dibuat dengan ujung pisau dimana setelah dibuat lalu dihitami dengan bahan baku tertentu. Di dalam bahasa Karo dijumpai tiga dialek (Tarigan 1979:3). Pertama Dialek Gunung – gunung, disebut cakap Karo Gunung – gunung, dialek Gunung – gunung ini biasanya digunakan di kecamatan Munte, Juhar, Tiga Binaga, Kuta Buluh dan Mardinding. Kedua dialek Kabanjahe,

(3)

daerah kecamatan Kabanjahe, Tiga Panah, Barus Jahe, Simpang Empat dan Payung. Dan yang Ketiga adalah dialek Jahe –Jahe, dialek ini dipakai di kecamatan Sibolangit, Panjurbatu, Biru – Biru, dan daerah Namo Rambe.

Sistem pengetahuan merupaka sebuah hasrat naluri manusia akan sebuah keindahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990), ilmu adalah: ”Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersitem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk dapat menerangkan gejala-gejala tertentu terutama di dalam bidang pengetahuan itu. Misalnya pada dulu masyrakat Karo dalam membersihkan ladangnya hanya menggunakan tajak – tajak, sekin, cangkul, cuan dan tenggala. Tapi setelah sistem penggetahuan berkembang maka masyarakat Karo telah mengenal adanya traktor, maka traktor inilah yang dipakai dalam menggerjakan ladang, karena cara kerja traktor ini lebih cepat dari alat- alat pertanian yang lainya.

Organisasi sosial masyrakat Karo sudah ada pada saat dulu, misalnya, sistem kekerabatan dalam acara adat perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dan upacara guro- guro aron, ataupun tatanan kehidupan masyrakat Karo

yang terikat dalam satu sistem yaitu merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Dan sampai pada saat sekarang ini organisasi sosial masyrakat Karo ini masih ada.

Sistem peralatan hidup dan teknologi pada masyrakat Karo seperti yang telah disebutkan di atas maka pada saat dulu masyrakat Karo hanya menggunakan cangkul sedangkan pada saat sekarang dikenal dengan adanya alat pertanian yang lebih moderen yaitu traktor. Dan pada saat dulu masyarakat Karo dalam hal memasak menggunakan kayu api, tapi setelah masuknya teknologi sebagian

(4)

masyrakat Karo dalam hal memasak sudah tidak menggunakan kayu api tapi dengan memakai kompor gas.

Sesuai dengan keadan alamnya sistem mata pencaharian hidup masyarakat Karo pada umumnya adalah pertanian. Walaupun pada saat sekarang ini masyarakat Karo memiliki jenis- jenis tanaman yang bermacam- macam ditanam di ladang. Sedangkan pada saat dulu hasil pertanian masyarakat Karo hanya padi dan jagung.

Religi adalah salah satu unsur kebudayaan, produk ide/gagasan yang percaya akan adanya Sang penguasa kekuatan alam dan jagad raya, namun tidak berwujud (adi kodrati). Religi berfungsi membangun kekuatan melalui pengolahan rasa di dalam diri manusia. Sejak masa lampau masyarakat petani telah menggantungkan hasil panennya terhadap kekuatan religi. Selama tahapan-tahapan kegiatan pertanian dari masa tanam hingga masa panen, petani selalu dihadapkan rasa was-was terhadap kegagalan panen tanaman mereka. Pada saat seperti itulah, kekuatan religi berperan penting. Berbagai bentuk aktivitas religipun tercipta seperti ritual-ritual upacara penyembahan kepada Sang penguasa alam di setiap tahapan-tahapan pertanian. Kuat dugaan aktivitas religi tersebut telah ada sejak masa prasejarah. Dalam paham lama padi memiliki roh dan ritus - ritus tersebut dilakukan dalam arti du et des yang artinya Si beru dayang . Si beru dayang dipahami sebagai dewa yang disuruh Tuhan memberi benih padi dan sekaligus mengajar manusia untuk menanam padi untuk makananya sehari - hari. Tahap kebudayaan sudah semakin mencerminkan hidup berladang dan lebih menetap untuk tetap tingal di kampung.

(5)

Sehubungan dengan budaya menanam tersebut terdapat mithe penanaman padi yang terkait saat merdang (waktu menanam), saat padi bunting, saat panen dan seterusnya harus melihat hari - hari yang baik untuk perkerjaan tersebut dan tujuanya adalah supaya mendapatkan hasil yang baik juga. Karena Si beru dayang tidak selamanya disuruh Tuhan datang ke dunia ini maka kalimbubu menjadi Dibata ni idah ( Tuhan yang nampak ). Maka kalimbubu dalam tahapan menanam padi merupakan orang atau tempat untuk meminta benih. Bila menghormati kalimbubu berarti menghormati page ( padi ) dan sekaligus menghormati Si beru dayang. Gintings (1999 : 176) ada beberapa perayaan sehubungan dengan bagian-bagian pertumbuhan benih tersebut antara lain adalah:

1. Benih padi sewaktu dalam lebeng ( tanah dilobangi dan ditaruh benih ) disebut Beru dayang ragun – ragun

2. Benih dalam tanah disebut Beru dayangbuniken

3. Benih menjelang tumbuh disebut Beru dayang melembing 4. Benih mulai berdaun disebut Beru dayang meduk – eduk 5. Benih sudah bunting disebut Beru dayang rumencet

6. Benih sudah mulai tua disebut ( masak \ padi menguning) disebut Beru dayang printe - rinte atau pedolan - dolan.

7. Benih menjelang dimasukan ke lumbung disebut Beru dayang pegun – gun.

Pesta - pesta tersebut ada hubunganya dengan phase perkembangan page ( padi) tersebut. Pada saat dulu sebelum benih padi ditanam ke tanah menjelang musim menanam padi di ladang, maka di dalam kehidupan desa dahulu biasanya kalimbubu diharapkan dulu untuk memulai menanam padi dan diikuti oleh anak

(6)

beru yang tujuanya adalah supaya padinya tumbuh bagus. Pada saat dulu benih padi yang akan ditanam harus diminta kepada kalimbubu . Sebelum benih ditanam, benih tersebut diletakan terlebih dulu di tempat perbenihen ( tempat menanam ) yang sudah dikasih lau simalem - malem ( air yang bersih dan sudah didoakan ). Benih yang akan ditanam tersebut isemburi alu belo entabeh sebagai suatu tanda doa dan pengharapan. Sesudah agama masuk ke Tanah Karo menjadi dialamatkan kepada Tuhan. Dan pada saat sekarang maka hal seperti tersebut tidak dilakukan lagi.

Dan hingga kini dapat dijumpai dalam model-model yang terindikasi telah mengalami transformasi. Transformasi adalah perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya (Partanto, 2001:758). Parameter tersebut adalah wujud kebudayaan itu sendiri, yaitu: wujud ide/gagasan, wujud aktivitas/tingkah laku, dan wujud kebendaan/artefak. Bertahannya pelaksanaan sebuah tradisi disebabkan adanya kemampuan adaptasi terhadap situasi dan kondisi budaya masyarakat yang sifatnya dinamis.

Guro-guro aron pada masyarakat Karo merupakan tradisi kebudayaan religi yang bertahan, terlaksana secara terus-menerus, dan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Walaupun sebagai tradisi yang bertahan, parameter religi yang dipakai sebagai pembanding antara acara guro- guro aron di masa lampau dan di masa kini, mengindikasikan kalau tradisi ini telah mengalami transformasi. Wujud ide/gagasan yang teramati pada penyelenggaran guro-guro aron pada masa kini terkait dengan masalah pemaknaan dan fungsi upacara. Dimasa lampau pemaknaan yang semula adalah sesuai dengan ajaran pemena (agama asli Masyarakat Karo), yaitu permohonan dan ucapan syukur kepada Beraspati Taneh

(7)

(salah satu konsep dewa dipercaya berkuasa atas tanah) berkaitan dengan tanaman pertanian mereka dapat tumbuh subur, dan hasilnya diharapkan akan melimpah. Beraspati adalah berbagai macam konsep dewa-dewa yang memiliki kekuasaan masing-masing. Selain Beraspati Taneh, juga dikenal Beraspati Lau (inti kehidupan air), Beraspati Rumah (inti kehidupan rumah),dan sebagainya. Hal ini yang menjadi dasar setiap guru (sebutan untuk para pemuka dalam ajarana pemena) selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada Beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan (Sembiring,1992:4). Namun sesudah Agama Islam dan Kristen masuk, ajaran pemena menjadi tidak lagi rasional bagi masyarakat Karo. Hal ini diperkuat dengan perubahan mata pencaharian mereka dari bertani menjadi bermata pencaharian yang sangat heterogen dimasa sekarang. Nilai religiusitas pemaknaan dari acara guro- guro aron tersebut pun bergeser menjadi sebuah cara untuk tetap saling mempererat ikatan kekerabatan keluarga dalam sebuah tradisi tahunan.

Kesenian tradisional karo terdiri dari gendang dan pakaian adat, acara gendang ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti acara adat perkawinan, kematian, dan mbengket rumah (memasuki rumah baru). Gendang karo terdiri dari gong, penganak, kecapi, serune, surdam sedangkan pakaian adat karo secara lengkap dapat dilihat ketika pesta adat perkawinan yang terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang dan lain sebagainya. Adat istiadat yang paling melekat dalam orang karo adalah (musyawarah dan mufakat). Runggu ini dilaksanakan dalam acara prosesi adat karo, pada setiap acara harus ada proses runggu.

(8)

Karateristik orang Karo sangat banyak dipengaruhi oleh lingkungan alam yang mengitarinya. Sebagai masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Karo, ternyata sebagai sebuah komunitas, dan terbentuk sebuah budaya, bagi masyarakat karo dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, alam beserta isinya dan khususnya hubungan antara masyarakat di dalamnya. Kesemuanya pola hubungan tersebut tertuang dalam sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur yang disebut dengan budaya. Aspek budaya, yang mana menurut Singarimbun (1989), merupakan indentitas masyarakat karo, yaitu terdapat empat identitas yaitu: Merga, Bahasa, Kesenian dan Adat Istiadat.

Merga adalah identitas bagi masyarakat Karo. Setiap orang Karo mempunyai merga, ataupun disebut dengan Merga Silima, yang terdiri dari: Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan. Merga bagi masyarakat Karo adalah hal yang paling utama dalam identitasnya. Dalam setiap perkenalan di dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanya adalah merga. Merga berasal dari kata meherga yang berarti mahal, mahal dalam konteks budaya karo berarti penting

Nilai budaya suatu suku bangsa dapat dilihat melalui unsur kebudayan yang dimilikinya. Kebudayaan suku Karo merupakan gagasan yang kita miliki dan telah diwariskan oleh nenek moyang kita dan kita sebagai generasi muda adalah sebagai penerusnya harus kita melestarikannya dengan cara menjaga budaya tersebut sebaik-baik mungkin. Kebudayaan yang dimaksud di sini adalah adat istiadat yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, yang mana adat istiadat tidak terlepas dari sistem kekerabatan masyarakat Karo yang tercermin dari kata

(9)

telu si dalanen yang terdiri dari kalimbubu, sembuyak dan anak beru atau bisa juga disebut dengan rakut sitelu.

Dengan mengenal adanya sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo dan dikenal dengan kata ertutur. Merga berasal dari bahasa sang sansekerta yang artinya jalan atau satu arah, satu keturunan sedarah ataupun bisa dikatakan masih ada hubungan keluarga. Jadi, merga adalah anggota atau bagian suku batak.

Dalam skripsi ini penulis memakai kajian folklor. Menurut Arief Budiman (1979 : 1) pengertian folklor adalah sebagian kebudayaan atau suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara teradisional dan versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh gerak isyarat atau alat pembantu pengigat. Kata folklor terdiri dari dua kata yaitu folk dan lore, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujut, warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencarian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama dan agama yang sama. Sedangkan yang dimaksut dengan lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaanya,yang diwariskan secara turun temurun secara lisan maupun tulisan.

Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainya, kita harus mengetahui dahulu ciri-ciri pengenal utama folklor pada umunya, yaitu:

a. Penyebaraan dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaknik disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat dari satu genesari ke generasi berikutnya.

b. Folklor bersifat tradisional, yaknik disebarkan dalam bentuk relative tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.

(10)

c. Folklor ada dalam versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda, hal ini disebabkan karena penyebaranya dari mulut ke mulut atau secara lisan.

d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui lagi. e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, misalnya

seperti cerita rakyat.

f. Folklor mempunyai kegunaan,misalnya cerita rakyat mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik,pelipur lara,protes sosial,dan proyeksi keinginan terpendam.

g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini berlaku bagi folklor lisan maupun dan sebagian lisan.

h. Folklor menjadi milik bersama,hal ini disebabkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap orang merasa memilikinya.

i. Folklor pada umunya bersifat polos atau lugu sehingga sering sekali kelihatannya kasar , terlalu sepontan.

Sedangkan menurut James Dananjaya (1979 : 13) berpendapat tentang folklor sebagai berikut:

Sebagian dari kebudayaan yang tersebut dan diwariskan secara turun – temurun dan tradisional diantara anggota – anggota kelompok apa saja, dalam versi yang berbeda – beda baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan perbuatan. Melalui folklor dapat diketahui kebudayaanya masyarakat pada waktu berkenaan (zamanya) baik dari segi pikiran, latar belakang masyarakat, maupaun konsepnya serta keinginan mereka. Juga melalui folklor masyarakat lama menyampaikan bagaimana leluhur nenek moyang dahulu. Pikiran dan perasaanya tidak menggambarkan secara terbuka seperti sekarang namun disampaikan dengan cara tersirat dan halus sekali. Begitulah pribadi masyarakat dulu yang banyak menampilkan nilai – nilai kehidupan yang menyangkut moral dan sebagainya.

James Dananjaya (1984 : 21) mengutip pendapat Jan Harold Brunvand membagi folklor dalam tiga kelompok besar yaitu:

(11)

1. Folklor lisan adalah folkor yang bentuknya memang murni lisan. Contohnya; bahasa rakyat, ungkapan tradisional, prtanyaan tradisional, cerita prosa rakyat dan lain sebagainya.

2. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan.contohnya; kepercayaan rakyat atau yang sering disebut dengan takhayul, permainan rakyat, teather rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain sebagainya.

3. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun pembuatanya diajarkan secara lisan. Contohnya ; arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh ada pun, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Kajian folklor yang digunakan dalam penelitian ini adalah folklor sebagian lisan.

Sebuah etnik (suku) tidak bisa terlepas dari unsur keseniannya. Kesatuan alam, budaya dan seni merupakan perwujudan menyeluruh dari sebuah etnik. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan ragam etnik juga mempunyai keragaman kesenian yang dimiliki masing-masing etnik tersebut. Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan kesenian suku Karo inilah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya. Tapi potensi dan pengembangan kesenian Karo tidak bisa terlepaskan dari bagaimana masyarakat Karo dalam mengapresiasikan kesenian Karo itu sendiri

Guro-guro aron adalah sebuah aktivitas religi masyarakat petani sub etnis Karo yang diselenggarakan setahun sekali atau merupakan kebudayaan Karo yang dilestarikan sampai sekarang. Pada masa kini, pelaksanaan guro –guro aron ini berbeda-beda di berbagai daerah di Tanah Karo.

(12)

Kain adat tradisional Karo (Uis Adat Karo) merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan budaya misalnya dalam acara guro – guro aron dan dalam acara pesta adat. Uis Karo memiliki warna dan motif yang berhubungan dengan penggunaannya atau dengan pelaksanaan kegiatan budaya. Pada umumnya Uis Adat Karo dibuat dari bahan kapas, dipintal dan ditenun secara manual dan menggunakan zat pewarna alami (tidak menggunakan bahan kimia pabrikan). Namun ada juga beberapa diantaranya menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai) dengan memakai pewarna alami dan dijadikan kain adat Karo. Beberapa diantara uis Adat Karo tersebut sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya digunakan dalam kegiatan ritual budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi.

Dan berikut adalah jenis –jenis pakaian yang dipakai dalam upah cara adat Karo:

1. Uis nipes

Untuk tudung, maneh-maneh (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat. Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain -kain lainya dan bermacam – macam motifnya dan warnanya merah, coklat, hijau, ungu dan lain sebagaimnya. Dan dipakai sebagai selendang wanita.

(13)

Kain ini tebal seperti kain jongkit\ gatip, warnanya hitam kebiru –biruan dan ujungnya berumbai. Untuk sarung dalam upacara adat, maneh-maneh, untuk mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.

3. Gatip gewang

Warnanya hitam bercorak putih kainya agak tebal. Fungsinya untuk menggendong bayi bagi perempuan dan “abit” (sarung) bagi laki-laki.

4. Gatip jongkit

Warnanya dan bahanya sama dengan kain gatip gewang hanya kain ini memakai benang emas – emas di tengah dan motifnya melintang –lintang pada kain tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Dan dipakai untuk “gonje” (sarung) upacara adat bagi laki-laki dan selimut bagi “kalimbubu” (paman).

5. Gatip cukcak.

Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.

6. Uis pementing.

Warna dasarnya hitam bercorak putih dan agak tebal agak abu –abu dan kain lebih kecil dari kain biasa dan dipakai untuk ikat pinggang bagi laki-laki.

(14)

Untuk tudung bagi anak gadis pada pesta guro-guro aron. Boleh juga dipakai laki-laki, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.

8. Uis arinteneng

Warnanya hitam agak pekat, karena kain ini dibuat dari benang kapas yang dicelup dengan sejenis bahan yang warnanya hitam. Kain ini dipergunakan sebagai alas waktu menjalankan mas kawin dan alas piring tempat makan pada waktu “mukul” (acara makan pada saat memasuki pelaminan), untuk memanggil roh, untuk “lanam” (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah tendi” (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi dan alas bibit padi.

9 . Uis kelam-kelam

Warnanya hitam pekat bahan kainya lebih tipis dan polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa hanya kain ini lebih keras karena proses pembutanya masih tradisional. Dan dipakai untuk tudung orang tua, untuk morah-morah (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.

10. Uis cobar dibata

Untuk upacara kepercayaan, seperti uis jinujung, (memangil roh yang sudah mati) erpangir (cuci kepala ke sungai) dan ngelandekken galuh (menari sambil menjunjung pisang).

(15)

11. Uis beka buluh.

Warna dasar kain ini warna merah cerah, bagian tengah bergaris kuning, unggu, putih, dan pada tepian kain bermotif – motif Karo dengan benang emas demikian pula pada ujung kain.Pemakaiannya untuk bulang-bulang” di ikatkan di kepala laki-laki pada upacara adat, dan dipakai juga sebagai cekok – cekok

(diletakan dibahu) dan kain bisa juga diletakan diatas tudung wanita

12. Uis gara.

Warnanya merah tua, dan ada juga yang bergaris – garis kecil warnanya putih ditengah, tepian kain ini warnanya merah tua dan ujungnya berumbai, dan

sebagian kain memakai benang emas, kain ini jenisnya agak tebal dan sekarang sudah banyak motif yang baru. Dipakai untuk penggendong anak-anak, tudung untuk orang tua dan anak gadis.

13. Uis jujung-jujungen.

Warnanya merah bersulamkan benang emas dan kedua ujungnya berumbai benang emas, kain ini tidak selebar kain lainnya. Dipakai untuk melapisi bagian atas tudung bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat dan rumbainya terletak disebelah depan.

(16)

1.2

Rumusan Masalah

Membicarakan suatu masalah atau rumusan masalah supaya masalah- masalah dapat dibahas secara terarah. Masalah merupakan suatu bentuk pernyataan yang memerlukan penyelesaian atau membuat jalan keluarnya. Permasalahaan merupakan rintangan yang harus diselesaikan. Bentuk perumusan masalah biasanya berbentuk kalimat pertanyaan dan kalimat pernyataan yang bisa mengguga h perhatian orang lain. Perumusan pokok permasalahan sebenarnya merupakan batasan-batasan dari ruang lingkup topik yang akan diteliti.

Adapun rumusan masalah dalam topik ini adalah :

1. Apa yang dimaksut dengan guro- guro aron pada masyarakat Karo ? 2. Apa Fungsi guro-guro aron Pada Masyarakat Karo ?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui pengertian guro-guro aron pada masyarakat Karo. 2. Untuk mengetahui fungsi guro-guro aron pada masyarakat Karo.

1.4

Manfaat penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam ilmu kesenian khususnya mengenai fungsi guro-guro aron, dan mudah-mudahan

(17)

bermanfaat bagi masyarakat Karo. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah :

a. Meningkatkan budaya Karo khususnya tentang guro-guro aron.

b. Menunjang program pendidikan mengenai perkembangan budaya Karo. c. Bagi masyarakat awam khususnya yang belum mengerti tentang

guro-guro aron bisa lebih mengerti lagi. d. Untuk mendukung kebudayaan Karo.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pehitungan yang telah dilakukan pada penelitian Analisis Hubungan antara Tingkat Kemudahan Pelaksanaan dan Hambatan dalam Penerapan Kriteris Green Construction

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kasus akuisisi Bank Jasa Arta oleh BRI terdapat tiga perbuatan perusahaan (corporate action), yaitu akuisisi,

Dalam ajaran agama Hindu, Aswin (Sanskerta: ஸஸஸஸஸஸ , Latin: aśvin , dibaca: As-win) adalah Dewa kembar yang bergelar sebagai 'dokter para Dewa'.. Mereka merupakan putera

Pengguna hak pilih dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)/pengguna KTP dan KK/Nama sejenis lainnyta.. Jumlah seluruh pengguna Hak

Investasi, belanja modal, infrastruktur jalan, dan infrastruktur listrik merupakan variabel indepnden dalam penelitian ini dimana variable tersebut berpengaruh

Perubahan karakteristik hubungan tripusat pendidikan tersebut antara lain: (1) menitikberatkan perhatian pada siswa secara keseluruhan, baik aspek akademis maupun

Glositis atrofi atau hunter glossitis adalah suatu kondisi yang ditandai oleh lidah mengkilap halus dan nyeri yang disebabkan oleh atrofi dari papila lingual (depapillation)..

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kehandalan merupakan kemampuan dalam memberikan layanan secara tepat dan akurat. Dalam hal ini guru BK berusaha untuk dapat