• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan mangrove Pulau Panjang secara geografis masih terletak pada daerah tropis yang mengalami dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Perairan relatif terlindung dengan pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove, sedikit rataan karang dengan tubir yang tidak jelas. Pemanfaatan lahan antara lain sebagai pemukiman nelayan, pelabuhan lokal dengan dermaga tipe jeti tanpa tiang pancang. Budidaya rumput laut dan perikanan tangkap bagan ditemukan banyak disekitar perairan dangkal rataan terumbu.

Pulau Panjang mempunyai lokasi yang sangat strategis, karena terletak di dekat Pelabuhan Bojonegara, yaitu pada jalur laut yang melewati pelabuhan Bojonegara, sehingga akan menimbulkan dampak baik secara ekonomi, fisik, maupun sosial budaya.

Adapun batas-batas wilayah yang melingkupinya adalah : − Sebelah utara : Laut Jawa

− Sebelah barat : Kecamatan Bojonegara − Sebelah selatan : Teluk Banten

− Sebelah timur : Pulau Pamujan besar dan Pamujan kecil

Jumlah stasiun penelitian yang dilakukan di pulau Panjang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 1, 2 dan 3) dan masing-masing stasiun terdiri dari 3 subtasiun. Letak geografis ketiga stasiun pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Letak geografis lokasi pengamatan

Dengan luas wilayah sekitar ± 820 Ha, pulau panjang merupakan pulau terbesar di peraiaran Teluk Banten. Bila dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya, seperti Pulau Semut, gugusan Pulau Lima, Pulau Gedang, Pulau Kubur,

No. Lokasi Pengamatan Letak Geografis

Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS)

1. Stasiun 1 106009’29.113” 5056’32.55”

2. Stasiun 2 106009’42.45” 50

3.

56’23.15”

(2)

Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, Pulau Dua, Pulau Tarahan dan Pulau Kali yang rata-rata tidak berpenduduk.

Ekosistem mangrove pada lokasi pengamatan cukup bervariasi yaitu dengan ketebalan berkisar antara 100-250 meter. Hutan mangrove yang dekat dengan pemukiman relatif lebih tipis yaitu berkisar antara 100-150 meter dengan vegetasi cenderung homogen. Sedangkan pada area yang jauh dari pemukiman, hutan mangrove mencapai ketebalan 200-300 meter dan terdiri dari beberapa jenis vegetasi. Kondisi mangrove ketiga stasiun penelitian tersebut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Keadaan area hutan mangrove pada ketiga stasiun pengamatan, a)

hutan mangrove pada stasiun 1 dengan substrat dasar berlumpur, b) hutan mangrove bagian belakang pada stasiun 2 dengan substrat keras dari formasi terumbu yang timbul, c) hutan mangrove pada stasiun 3 yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

Substrat dasar perairan juga menunjukan kondisi yang berbeda dimana yang lebih dekat dengan pemukiman didominasi oleh lumpur dan sedikit patahan karang mati. Substrat keras berupa formasi terumbu yang masih utuh dan patahan karang mati mendominasi pada bagian belakang hutan mangrove yang jauh dari pemukiman dan tidak terendam saat surut terendah. Hasil informasi masyarakat formasi terumbu tersebut sebelumnya tidak ada dan muncul sekitar tahun 1950 an menghasilkan daratan yang cukup luas. Sedangkan pada area mangrove bagian

a

b c

(3)

depannya yang berhadapan langsung dengan laut terdiri dari substrat lunak berupa lumpur. Zonasi dengan karakter spesifik terlihat jelas pada ketiga stasiun.

4.2 Karakteristik Fisik-Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada tiap substasiun dilakukan dengan masing-masing 3 kali pengulangan. Ada 7 parameter fisika-kimia yang nilainya diukur, yaitu suhu, salinitas, DO, pH, DHL, TSS dan TOM. Ketujuh parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran mangrove, proses dekomposisi serasah dan produktifitas mangrove. Sebaran nilai parameter fisika-kimia perairan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap sub-stasiun disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 3. Nilai Parameter Fisika-Kimia Perairan Mangrove Pulau Panjang

Parameter

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

min max rerata ±

std min max rerata ± std min max rerata ± std Suhu (0 C) 30.00 32.10 31.42 ± 0.70 30.30 32.40 31.68 ± 0.77 31.90 34.30 33.08 ± 0.81 Salinitas (‰) 27.00 31.00 29.00 ± 1.41 28.00 32.00 29.78 ± 1.30 29.00 32.00 30.56 ± 1.13 DO (mg/l) 0.41 0.48 0.45 ± 0.02 5.11 5.22 5.18 ± 0.04 0.43 0.49 0.46 ± 0.02 pH 4.96 7.91 6.76 ± 1.02 5.07 7.53 6.69 ± 0.86 6.76 7.80 7.25 ± 0.40 DHL (µS/cm) 55300 62550 57666.67 ± 28240 54600 58600.0 0 56844.44 ± 1357.72 55200 64150 57850.00 ± 2852.52 TSS (mg/l) <4 2956.0 0 446.63 ± 1016.95 16.00 330.00 86.56 ± 103.83 35.00 620.00 124.56 ± 190.43 TOM (mg/l) 47.40 328.64 170.99 ± 86.88 41.08 227.52 126.05 ± 72.96 94.80 237.00 158.00 ± 50.16

Suhu perairan mangrove Pulau Panjang berkisar antara 30 sampai 34.30 0C, dimana di stasiun 1 memiliki suhu rata-rata 31.42 0C dan stasiun 2 mempunyai suhu rata-rata 31.68 0C. Sedangkan pada stasiun 3 suhu rata-ratanya mencapai 33.08 0C. Hal ini disebabkan oleh pengukuran suhu yang dilakukan

(4)

pada siang hari. Penyebab lainnya adalah wilayah pengambilan data merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya yang diterima tinggi.

Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksornkoe, 1993). Hasil dari pengukuran yang dilakukan diperoleh salinitas rata-rata tertinggi pada stasiun 3 dengan 30.56 ‰ dan terendah pada stasiun 1 sebesar 29 ‰. Bengen (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik habitat hutan mangrove adalah air bersalinitas payau (2-2 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).

Kandungan oksigen terlarut (DO) rata-rata lokasi penelitian berkisar antara 0.41 sampai dengan 5.22 mg/l. Kandungan oksigen ini tidak terlalu tinggi, yang diduga karena adanya pengaruh proses penguraian serasah di daerah mangrove yang membutuhkan oksigen.

Dari hasil pengukuran diperoleh derajat keasaman (pH) yang berbeda-beda untuk setiap stasiun, bahkan juga berbeda tiap substasiunnya. Bila dibandingkan diantara ketiga stasiun penelitian maka kisaran pH yang diperoleh tidak terlalu jauh berbeda. Dimana untuk stasiun 1 rata-rata pHnya 6.76; kemudian untuk stasiun 2 diperoleh rata-rata pH 6.69; sedangkan untuk stasiun 3 nilai rata pHnya sebesar 7.25. Hal ini diduga karena adanya kesetimbangan antara proses penguraian serasah mangrove yang cenderung menghasilkan kondisi asam dengan pengaruh kapasitas penyangga (buffer) oleh garam-garam karbonat dan bikarbonat pada air laut yang lebih basa.

Sedangkan untuk Kandungan Total Padatan Tersuspensi (TSS) dan bahan organik total (TOM) tertinggi pada stasiun 1 dengan masing-masing nilai 2956.00 mg/l dan 328.64 mg/l Tingginya TSS dan TOM di stasiun 1, karena pada daerah tersebut cenderung terjadi akumulasi sedimen dan bahan organik baik dari daratan maupun dari lautan, mengingat stasiun ini terletak dekat dengan pemukiman dan dermaga pelabuhan.

Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air

Untuk melihat sebaran karakteristik fisika-kimia perairan secara spesifik dikaji dengan menggunakan analisis komponen utama. Pendekatan PCA tersebut

(5)

digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi dalam bentuk matriks data. Berdasarkan analisis data principal component analysis diperoleh informasi bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 32.81%, dua komponen utama sebesar 55.01%, 3 komponen utama sebesar 75.74%. Untuk mencapai 100% ragam total maka jumlah komponen utama yang diperlukan adalah sebanyak tujuh komponen (sesuai dengan jumlah parameter yang dianalisis).

Akar ciri dari masing-masing sumbu faktorial berhubungan dengan jumlah inersia dari setiap sumbu. Selanjutnya vektor ciri akan berperan untuk menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan pereduksian) dalam persamaan linear yang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama. Akar ciri dan persentase ragam total dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 8. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air.

A. korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 2; B. sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2)

A

(6)

Gambar 9. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air.

A. korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 3; B. sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 3 (F1 dan F3)

Berdasarkan hasil analisis distribusi variabel fisika kimia perairan terhadap stasiun penelitian di lokasi Pulau Panjang menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA). Diperoleh hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan Pulau Panjang memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Gambar 8 dan 9 di atas menjelaskan bahwa stasiun 3 (3.3 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1) dikarakteristikkan oleh kandungan DO, Salinitas dan DHL yang tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.2) dan stasiun 2 (2.2) dicirikan oleh nilai pH yang cukup tinggi. Sedangkan stasiun 2 (2.3) memiliki ciri dengan kandungan TOM dan suhu tinggi dan secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove.

A

(7)

Stasiun penelitian dikelompokkan dalam tiga kelompok, dengan masing-masing stasiun terdiri atas 3 sub stasiun. Dimana stasiun 1 (terdiri atas sub stasiun 1.1, 1.2, dan 1.3) yang terletak disisi sebelah barat pulau, lokasi stasiun ini dekat dengan pemukiman dan dermaga. Kemudian stasiun 2 (terdiri atas sub stasiun 2.1, 2.2 dan 2.3) merupakan stasiun yang berada di sebelah timur pulau, stasiun ini berada pada daerah yang berkarang. Sedangkan untuk stasiun 3 (terdiri atas sub stasiun 3.1, 3.2 dan 3.3) merupakan stasiun yang berada tepat disebelah utara pulau, dimana stasiun berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

Data lengkap nilai akar ciri, persentase ragam, korelasi antar variabel, korelasi antara variabel terhadap sumbu utama serta grafik PCA secara lengkap disajikan di Lampiran 3 - 6.

4.3 Gambaran Umum Kondisi Ekosistem Mangrove

Data mengenai jenis vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian diperoleh dari pengamatan langsung dengan pemasangan transet/plot. Komposisi kekayaan jenis dan jumlah tegakan masing-masing vegatasi mangrove disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah tegakan tumbuhan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m

Stasiun Jenis Mangrove Jumlah Tegakan

Pohon Anakan Semai

Stasiun 1 Sonneratia alba 6 2 3 Rhizophora apiculata 121 70 37 Rhizophora stylosa 9 2 1 Bruguiera gymnorhiza 18 5 4 Total Tegakan 154 79 45

Stasiun 2 Rhizophora apiculata 116 36 26

Rhizophora stylosa 49 21 8 Total Tegakan 165 57 34 Stasiun 3 Sonneratia alba 4 2 2 Rhizophora apiculata 126 30 26 Rhizophora stylosa 51 21 5 Bruguiera gymnorhiza 6 6 1 Avicennia alba 4 1 - Lumnitzera racemosa 4 1 1 Aegiceras floridum 10 4 - Total Tegakan 205 65 35

Jenis mangrove yang paling banyak ditemukan di pulau Panjang adalah

(8)

Jumlah tegakan Rhizophora apiculata pada tingkat pohon yang ditemukan di Stasiun 1 adalah sebanyak 121 tegakan, yang paling sedikit adalah Sonneratia

alba dengan 6 tegakan. Dari 165 total tegakan pohon mangrove yang terdapat di

Stasiun 2, 116 tegakan diantarnya adalah jenis Rhizophora apiculata dan sisanya 49 tegakan adalah jenis Rhizophora stylosa. Stasiun 3 merupakan lokasi yang paling tinggi jumlah tegakan vegetasi pohon mangrove, yaitu sebanyak 205 tegakan. 165 diantaranya berasal dari jenis Rhizophora apiculata.

4.4 Analisa Vegetasi Mangrove

Kondisi mangrove di pulau Panjang digambarkan oleh beberapa indeks vegetasi mangrove, antara lain kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting. Masing-masing indeks tersebut memiliki peranan yang berbeda untuk menggambarkan kondisi vegetasi mangrove.

Nilai indeks vegetasi mangrove di pulau Panjang disajikan dalam Tabel 5a. Indeks nilai penting (IVi) merupakan akumulasi dari kerapatan relative jenis (RDi), frekuensi relative jenis (RFi) dan penutupan relative jenis (RCi). Indeks nilai penting berkisar antara 0-300. Indeks nilai penting memberikan gambaran mengenai pengaruh jenis atau peranan suatu jenis mangrove dalam suatu komunitas. Berdasarkan analisis data, indeks nilai penting pada 3 lokasi penelitian berkisar antara 7.96-230%. Hasil perhitungan IVi menunjukkan bahwa genera

Rhizophora memiliki nilai IVi tertinggi di tiap stasiun, khususnya jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa.

Jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa memiliki peranan penting dan paling mempengaruhi ekosistem mangrove di pulau Panjang, Banten. Hal ini terlihat dari nilai kerapatan jenisnya yang jauh lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa tumbuh subur dan memiliki penyebaran yang luas. Kualitas perairan dan substrat pesisir pulau Panjang sangat cocok untuk tumbuh dan berkembangnya jenis Rhizophora

(9)

Tabel 5a. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat pohon

Stasiun Spesies RDi (%) RFi (%) RCi (%) IVi (%)

Stasiun 1 Sonneratia alba 3.90 7.69 0.98 12.57 Rhizophora apiculata 78.57 61.54 90.46 230.57 Rhizophora stylosa 5.84 23.08 2.43 31.35 Bruguira gymnorhiza 11.69 7.69 6.13 25.51 Stasiun 2 Rhizophora apiculata 70.30 58.72 76.50 205.52 Rhizophora stylosa 29.70 41.28 23.50 94.48 Stasiun 3 Sonneratia alba 1.95 8.33 2.18 12.46 Rhizophora apiculata 61.46 37.50 63.42 162.38 Rhizophora stylosa 24.88 29.17 24.83 78.87 Bruguira gymnorhiza 2.93 8.33 2.52 13.78 Avicennia alba 1.95 4.17 1.85 7.96 Lumnitzera racemosa 1.95 4.17 1.94 8.05 Aegiceras floridum 4.88 8.33 3.27 16.48 Keterangan:

RDi = Kerapatan Relatif Jenis RCi = Penutupan Relatif Jenis RFi = Frekuensi Relatif Jenis IVi = Nilai Penting

Tabel 5b. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat anakan dan semai Stasiun Spesies

Anakan Semai

RDi (%) RFi (%) RDi (%) RFi (%)

Stasiun 1 Sonneratia alba 2.53 9.09 6.67 10.00 Rhizophora apiculata 88.61 72.73 82.22 70.00 Rhizophora stylosa 2.53 9.09 2.22 10.00 Bruguira gymnorhiza 6.33 9.09 8.89 10.00 Stasiun 2 Rhizophora apiculata 63.16 66.67 76.47 70.00 Rhizophora stylosa 36.84 33.33 23.53 30.00 Stasiun 3 Sonneratia alba 3.08 9.52 5.71 6.25 Rhizophora apiculata 46.15 33.33 74.29 50.00 Rhizophora stylosa 32.31 28.57 14.29 31.25 Bruguira gymnorhiza 9.23 9.52 2.86 6.25 Avicennia alba 1.54 4.76 2.86 6.25 Lumnitzera racemosa 1.54 4.76 5.71 6.25 Aegiceras floridum 6.15 9.52 74.29 50.00

(10)

Berdasarkan perhitungan tegakan mangrove pada 3 stasiun lokasi penelitian diperoleh hasil bahwa Stasiun 3 merupakan daerah yang memiliki jumlah tegakan pohon paling banyak, kerapatan total adalah 22.778 individu/ha. Lokasi yang memiliki kerapatan pohon terendah adalah Stasiun 1 dengan nilai k sebesar 17.111 individu/ha. Komposisi nilai kerapatan jenis mangrove pada tingkat pohon berbeda bila dibandingkan dengan tingkat anakan dan semai. Kerapatan jenis mangrove pada tingkat anakan dan semai paling tinggi terdapat pada Stasiun 1 dan terendah adalah pada Stasiun 2.

Kondisi daerah penelitian yang merupakan wilayah kepulauan sehingga berbatasan langsung dengan lautan mengakibatkan daerah ini sering mendapat masukan pasang dimana hanya tumbuhan mangrove yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap pasang yang dapat berkembang dengan baik. Bengen (2004) menyatakan bahwa salah satu tipe zonasi mangrove yang umum di Indonesia yakni untuk daerah yang dekat dengan laut sering ditumbuhi oleh Avicennia spp dan berasosiasi dengan Sonneratia spp.

4.5 Dekomposisi Serasah Daun Mangrove

Guguran daun mangrove yang terperangkap di sekitar ekosistem mangrove membutuhkan waktu yang lama untuk terdekomposisi. Lamanya waktu yang dibutuhkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jenis mangrove, jenis substrat dan parameter kualitas perairan (biologis, fisika dan kimia). Sejalan dengan itu Smith (1980) menyatakan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik.

Dalam penelitian ini, waktu pengamatan terhadap dekomposisi serasah hanya dilakukan selama 56 hari. Dari semua lokasi penelitian tidak ada stasiun yang serasah daunnya terdekomposisi 100%. Berat kering dari sisa daun mangrove yang terdekomposisi selama 56 hari disajikan pada Gambar 10. Terdapat perbedaan lamanya proses penghancuran serasah mangrove berdasarkan jenis mangrovenya sendiri. Hasil penelitian Pamudji (1986) bahwa serasah mangrove dari jenis A. marina membutuhkan waktu 182 hari untuk terurai secara

(11)

sempurna. Sedangkan menurut Soerojo (1984) menyatakan serasah dari jenis mangrove R. Apiculata membutuhkan waktu 132 hari untuk terurai secara sempurna atau 100%.

Gambar 10. Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 stasiun penelitian

Bobot kering sisa yang paling banyak pada hari ke-56 adalah pada Stasiun 3, yaitu 0.64 g dan paling sedikit adalah pada Stasiun 1 sebanyak 0.56 g. Bobot kering dari sisa serasah daun mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada Stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis mangrove dan substrat. Pada Stasiun 3 ada 7 jenis mangrove yang daunnya didekomposisi, perbedaan jenis tersebut akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi secara rata-rata. Perbedaan kandungan komposisi nitrogen masing-masing jenis mangrove lebih berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi. Semakin tinggi kandungan nitrogennya maka laju dekomposisi akan semakin cepat, karena nitrogen lebih mudah terurai oleh

decomposer. Faktor lain yang menyebabkan dekomposisi di Stasiun 1 lebih tinggi

dibandingkan stasiun lainnya adalah karakteristik substrat dan genangan air. Substrat di Stasiun 1 lebih didominasi oleh lumpur, Stasiun 2 lebih didominasi

(12)

oleh pasir, sedangkan substrat dasar pada Stasiun 3 banyak yang terdiri dari batu kapur/terumbu. Penempatan serasah di Stasiun 1 berada dalam kolom perairan karena habitatnya selalu tergenang air, sehingga pembusukan lebih cepat terjadi. Hal berbeda ditunjukkan oleh Stasiun 2 dan 3, dimana daerah yang menjadi tempat serasah lebih banyak yang tidak tergenang pada saat surut.

Tabel 6. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala

Stasiun

Rata-rata laju dekomposisi serasah (g/hari)

Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56

Stasiun 1 0.420 0.279 0.210 0.168

Stasiun 2 0.415 0.280 0.209 0.168

Stasiun 3 0.419 0.277 0.207 0.167

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa laju dekomposisi serasah daun tertinggi terjadi pada 14 hari pertama, hal ini terjadi pada semua stasiun penelitian. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa apapun jenis mangrovenya atau bagaimanapun karakteristik substrat dan kondisi perairannya, persentase serasah yang terurai lebih besar pada 14 hari pertama. Hal senada dikemukakan oleh Hodgkiss dan Leung (1986) menjelaskan bahwa aktifitas enzim selulotik fungi (fangal cellulolic enzym) yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi.

Penguraian atau penyederhanaan kandungan organik daun mangrove yang mudah terjadi ketika serasah gugur dan terperangkap di ekosistem mangrove. Bahan-bahan organik yang terdapat di dalam serasah akan dikonsumsi oleh

decomposer. Aktivitas tertinggi dari enzim selulotik fungi terjadi pada awal proses

dekomposisi. Laju dekomposisi serasah daun pada hari ke-28 sampai hari ke-42 relatif konstan, dengan kisaran 0.207 – 0.280 g/hari. Sedangkan untuk hari ke-56 terjadi penurunan yang signifikan terhadap laju dekomposisi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya bahan-bahan organik dan kandungan nitrogen yang terdapat dalam sisa daun. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove pada 14 hari pertama berkisar antara 0.415 – 0.420 g/hari.

(13)

Tabel 7. Konstanta laju dekomposisi serasah daun mangrove

Stasiun Sub Stasiun

Nilai konstanta laju dekomposisi (k) pada hari ke- Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56

Stasiun 1 1.1 0.064 0.055 0.050 0.051 1.2 0.066 0.056 0.054 0.050 1.3 0.059 0.052 0.049 0.053 Rata-rata 0.063 0.054 0.051 0.051 Stasiun 2 2.1 0.066 0.059 0.055 0.056 2.2 0.055 0.049 0.045 0.045 2.3 0.065 0.056 0.052 0.053 Rata-rata 0.062 0.055 0.050 0.051 Stasiun 3 3.1 0.066 0.058 0.054 0.053 3.2 0.059 0.050 0.045 0.046 3.3 0.063 0.053 0.049 0.047 Rata-rata 0.063 0.053 0.049 0.049

Tabel 7 di atas juga menunjukkan bahwa nilai k di stasiun I lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II dan stasiun III. Tingginya dekomposisi serasah di perairan disebabkan karena adanya penguraian secara biologis. Di perairan proses dekomposisinya juga dibantu oleh mekanisme fisik yakni pergerakan arus pasang dan penggenangan oleh air laut yang lebih lama. Mason (1977) menyatakan bahwa mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah (leaching) dapat disebabkan adanya hujan atau aliran air. Selain itu juga penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pengikisan serasah oleh pergerakan gelombang. Lingkungan yang selalu basah dan lembab menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung cepat (Manan, 1978).

Menurut Mason (1977) menyetakan bahwa terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah, yaitu :

1. Proses pelindihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air.

2. Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air.

3. Aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan dekomposisi.

(14)

4.6 Produktifitas Serasah Mangrove

Berdasarkan dari hasil pengukuran produktifitas serasah mangrove selaman 56 hari di lokasi penelitian diperoleh komposisi serasah yang terapung pada tiap-tiap jaring atau litter-trap yang terdiri dari serasah daun, ranting dan bunga-buah. Produktifitas serasah tiap jenis mangrove untuk masing-masing komponen serasah disajikan pada Tabel 8. Secara rinci produktifitas serasah selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 8. Nilai rata-rata produktifitas serasah mangrove di Pulau Panjang.

Stasiun Sub Stasiun

Produktifitas serasah (g/m2/hari) Daun Ranting &

Cabang Bunga & Buah Total

Stasiun 1 1.1 0.293 ± 0.043 0.035 ± 0.122 0.000 ± 0.000 0.328 ± 0.165 1.2 0.315 ± 0.087 0.000 ± 0.000 0.045 ± 0.083 0.360 ± 0.170 1.3 0.304 ± 0.077 0.000 ± 0.000 0.021 ± 0.072 0.325 ± 0.150 Rata-rata substasiun 0.304 ± 0.070 0.012 ± 0.070 0.022 ± 0.064 0.338 ± 0.205 Stasiun 2 2.1 0.297 ± 0.067 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.297 ± 0.067 2.2 0.366 ± 0.144 0.132 ± 0.210 0.011 ± 0.039 0.510 ± 0.393 2.3 0.317 ± 0.055 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.317 ± 0.055 Rata-rata substasiun 0.327 ± 0.099 0.044 ± 0.133 0.004 ± 0.023 0.375 ± 0.255 Stasiun 3 3.1 0.327 ± 0.059 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.327 ± 0.059 3.2 0.311 ± 0.064 0.000 ± 0.000 0.006 ± 0.021 0.317 ± 0.085 3.3 0.317 ± 0.130 0.000 ± 0.000 0.015 ± 0.052 0.332 ± 0.181 Rata-rata substasiun 0.318 ± 0.088 0.000 ± 0.000 0.007 ± 0.032 0.325 ± 0.120 Rata-rata 0.316 ± 0.086 0.019 ± 0.068 0.011 ± 0.040 0.346 ± 0.193

Berdasarkan Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa mangrove Pulau Panjang menghasilkan rata-rata serasah sebanyak 0.346 gram/m2/hari. Gambaran produktifitas serasah mangrove Pulau Panjang diantara beberapa produktifitas serasah mangrove di beberapa daerah yang berbeda disajikan pada Tabel berikut.

(15)

Tabel 9. Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian

No Sumber Lokasi Penelitian Jenis mangrove Produksi serasah (g/m2/hari) 1 Eong et al, 1882 Matang, Malaysia R. apiculata dan

Bruguierra spp 2.09 – 3.51

2 Asthon et al, 1999 Peninsular, Malaysia R. mucronata dan R.

apiculata 2.79

3 Soenarjo, 1999 Kaliuntu, Rembang Rhizopora spp dan A.

marina 2.08

4 Pribadi, 1998 Teluk Bintuni, Papua Rhizopora spp dan

Bruguierra spp 3.04

5 Kitamura, 1997 Teluk Benoa, Bali R. apiculata 3.81

6 Ulqodry, 2008 Tanjung Api-api, Sumatera Selatan

A. marina dan S.

caseolaris 2.99

7 Penelitian ini Pulau Panjang, Banten

S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. Gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A. floridum

0.346

Tabel 9 menunjukkan bahwa mangrove Pulau panjang menghasilkan rata-rata serasah sebesar 0.346 gram/m2/hari, kondisi tersebut memberikan produktifitas yang rendah bila dibandingkan dengan beberapa lokasi mangrove lainnya. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove di lokasi penelitian mempunyai kerapatan yang rendah pula, selain itu dari hasil pengamatan diketahui bahwa mangrovenya masih berumur mudah.

(16)

Stasiun 1 Daun; 90,06% Ranting & Cabang; 3,47% Bunga & Buah; 6,47% Stasiun 2 87,24%Daun; Ranting & Cabang; 11,76% Bunga & Buah; 1,01% Stasiun 3 Daun; 97,86% Bunga & Buah; 2,14% Ranting & Cabang; 0,00%

Dari keseluruhan total serasah yang dihasilkan, komponen serasah daun merupakan komponen terbesar, diikuti ranting dan bunga. Kondisi ini dijumpai pada semua stasiun pengamatan, lebih rinci disajikan pada Gambar12 berikut.

Gambar 12. Proporsi komponen serasah tiap stasiun

Tingginya kontribusi serasah daun dibandingkan organ lain karena secara biologis pembentukan daun lebih cepat dibandingkan organ reproduksi serta ranting dan cabang. Pembentukannya juga lebih kontiniu. Selain itu daun juga cenderung lebih mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan hujan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Affandi (1996), persentase guguran serasah daun mangrove sebesar 57% di kawasan sungai, 65% di kawasan tambak, dan 81% dikawasan rawa hutan payau RPH Tritih Cilacap.

Dalam kaitannya dengan salinitas, daun mangrove juga memegang peranan penting di dalam adaptasi mangrove terhadap kadar salinitas yang tinggi yakni dengan adanya sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, untuk selanjutnya digugurkan (Hogarth, 1999).

(17)

0,338 0,375 0,325 0,300 0,320 0,340 0,360 0,380 pr odukt ifi tas se rasa h ( g/ m 2/ har i)

Stas iun 1 Stas iun 1 Stas iun 1

`

Dilihat dari karakteristik stasiun pengamatan yang berbeda, yakni pada daerah dekat laut menunjukkan nilai produktifitas serasah yang bervariasi seperti disajikan pada Gambar 13 di bawah ini.

Gambar 13. Perbandingan produktifitas serasah antar stasiun

Berdasarkan Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan produktifitas di stasiun 2 lebih besar dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Hal ini dapat terjadi karena pada stasiun 2 tersebut mendapat pengaruh angin yang lebih besar dan penetrasi pasang yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Brown (1984) menyatakan bahwa salah satu faktor mekanik yang mempengaruhi produktifitas serasah adalah angin bersama-sama dengan hujan. Penetrasi pasang yang lebih baik di stasiun 2 juga menghasilkan pertumbuhan mangrove yang lebih baik sehingga jumlah serasah yang dihasilkan juga lebih banyak.

4.7 Produksi Potensial Unsur Hara (C, N dan P)

Besarnya produksi potensial unsur hara serasah atau potensi unsur hara yang dapat dimanfaatkan (litterfall nutrient accession) di perairan mangrove Pulau Panjang disajikan pada Tabel 10. Kandungan unsur hara serasah dari tiap

0,300 0,320 0,340 0,360 0,380

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

0,338 0,375 0,325 pr oduk ti fi tas s er as ah (g/ m 2/ har i) `

(18)

stasiun di lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 8 serta rincian sumbangan produksi potensial unsur hara serasah disajikan pada Lampiran 9.

Tabel 10. Produksi potensial unsur hara pada gugur serasah (g/m2/hari)

Stasiun Komponen serasah

Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari

C N P

St 1

Daun 0.462 ± 0.049 0.003 ± 0.002 0.00068 ± 0.00019

Ranting & Cabang 0.016 ± 0.032 0.0003 ± 0.0005 0.00002 ± 0.00004 Bunga & Buah 0.025 ± 0.020 0.0002 ± 0.0001 0.00010 ± 0.00013 Total 0.503 ± 0.101 0.004 ± 0.003 0.00080 ± 0.00036

St 2

Daun 0.508 ± 0.069 0.004 ± 0.003 0.00062 ± 0.00026

Ranting & Cabang 0.066 ± 0.061 0.0006 ± 0.0008 0.00009 ± 0.00007 Bunga & Buah 0.002 ± 0.004 0.00006 ± 0.0001 0.00001 ± 0.00003 Total 0.576 ± 0.134 0.004 ± 0.003 0.00073 ± 0.00036

St 3

Daun 0.496 ± 0.090 0.003 ± 0.002 0.00071 ± 0.00035

Ranting & Cabang 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.00000 ± 0.00000 Bunga & Buah 0.010 ± 0.012 0.0001 ± 0.0002 0.00002 ± 0.00003 Total 0.506 ± 0.103 0.003 ± 0.002 0.00073 ± 0.00038 Rata-rata 0.528 ± 0.112 0.004 ± 0.003 0.00076 ± 0.00037

Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa mangrove Pulau Panjang memiliki produksi potensial unsur hara serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0.528 g-C/m2/hari; 0.00353 g-N/m2/hari dan 0.00076 g-P/m2/hari. Terlihat bahwa kandungan unsur hara karbon (C) pada serasah mangrove jauh lebih besar dari kandungan nitrogen (N) maupun posfor (P). Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa pada daun A. marina mengandung unsur hara karbon 47.93, nitrogen 0.35, fosfor 0.083, kalium 0.81 dan magnesium 0.49 (Arief, 2003). Gambaran kontribusi produktifitas potensial unsur hara serasah mangrove Pulau Panjang diantara beberapa kawasan mangrove lainnya disajikan pada Tabel berikut.

(19)

1 2 3 P N C 0,503 0,576 0,506 0,003 0,004 0,003 0,0008 0,0007 0,0007 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 p ro d u ksi u n su r h ar a ser asah ( g /m 2/ h ar i) S t a s i u n

Tabel 11. Kontribusi produksi potensial unsir hara serasah mangrove Pulau

Panjang dan beberapa kawasan mangrove lainnya. Sumber Lokasi Penelitian Jenis mangrove

Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari

C N P

Djamaluddin, 1995 Likupang, Minahasa R. apiculata dan S.

Caseolaris - 0.0029 0.00038

Pribadi, 1998 Teluk Bintuni, Papua Rhizopora spp dan

Bruguierra spp - 0.0658 0.0017

Foster, 1982 Catalangan, Filipina R. apiculata dan A.

Marina 1.38 - -

Khoon et al, 1984 Matang Malaysia R. apiculata - 0.0128 0.0013 Ulqodry, 2008 Tanjung Api-api,

Sumatera Selatan

A. marina dan S.

caseolaris 0.788 0.0225 0.0022

Penelitian ini Pulau Panjang, Banten

S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. Gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A. floridum 0.528 0.0035 0.0007

Perbandingan produksi potensial unsur hara serasah untuk masing-masing stasiun di lingkungan mangrove Pulau Panjang disajikan pada Gambar berikut.

Gambar 14. Potensi unsur hara serasah antar stasiun pengamatan

Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa serasah mangrove di stasiun 2 memiliki kontribusi potensi unsur hara C, N dan P yang lebih besar bila dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya (stasiun 1 dan stasiun 2). Hal ini

(20)

disebabkan oleh tingginya produktifitas serasah pada stasiun 1 dibandingkan dengan stasiun lainnya serta diduga karena substrat mangrove di stasiun tersebut lebih banyak mendapat unsur hara dari air melalui mekanisme pasang yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga menyebabkan terjadinya guguran serasah. Eong et al, 1982 mengemukakan bahwa unsur-unsur hara yang ada di dalam kolom air juga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove melalui penetrasi air laut yang juga mengandung unsur hara di saat pasang.

4.8 Bobot Serasah yang Dihasilkan dan yang Terdekomposisi

Banyaknya guguran daun mangrove yang diamati selama 56 hari pengamatan bervariasi secara spasial dan temporal. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi gugurnya daun dari pohon mangrove, antara lain usia pohon, musim dan kesehatan pohon. Moller dalam Soeroyo (2003) menyatakan bahwa kerapatan pohon mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon maka semakin rendah produksi serasahnya. Selain tingkat kerapatan, laju produksi serasah juga dipengaruhi oleh jenis mangrove dan umurnya.

Jenis mangrove yang sama dengan umur berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001),

R. apiculata memiliki serasah daun yang lebih banyak pada jenis mangrove yang

lebih tua atau optimum. Apabila umur mangrove melebihi titik optimum, maka serasah yang jatuh akan berkurang, karena pada batang mangrove tua, bagian dalamnya mulai keropos sehingga tajuk pohon mulai menyempit, dan produksi serasah berkurang. Penelitian Sediadi (1991) pada tegakan Rhizophora menunjukkan jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum akan didapat pada usia 10 tahun, dikatakan bahwa tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata.

Berat kering serasah daun mangrove yang gugur di ekosistem mangrove pulau Panjang, Banten disajikan pada Tabel 12.

(21)

Tabel 12. Bobot kering serasah daun mangrove selama penelitian

Stasiun Bobot kering serasah daun mangrove yang diperoleh (gram) Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56 Total

Stasiun 1 136.60 125.00 128.80 122.80 513.20

Stasiun 2 134.90 134.10 125.00 130.70 524.70

Stasiun 3 140.30 124.00 129.70 126.40 520.40

Bobot total kering serasah daun mangrove yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 513.20-524.70 gram/56 hari atau 9.16-9.37 g/hari. Stasiun 2 merupakan wilayah penghasil serasah daun paling tinggi dan yang terendah adalah Stasiun 1.

Persentase daun yang terdekomposisi pada hari ke-56 pada Stasiun 1 adalah 94.44%, maka bobot daun yang terurai di akhir penelitian adalah sebesar 484.67 gram. Dengan persentase dekomposisi sebesar 94.33% pada Stasiun 2, bobot daun yang terurai adalah sebesar 494.95 gram. Sedangkan sumbangsih daun yang terdekomposisi pada Stasiun 3 adalah sebesar 486.89 gram. Penyebaran bobot serasah daun yang terdekomposisi berdasarkan hari pengamatan disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Sebaran bobot daun yang terurai di ekosistem mangrove pulau

Panjang, Banten

1

2 3

(22)

4.9 Keterkaitan antar Parameter

Produksifitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove serta produksi potensial unsur hara (C,N dan P) di perairan pulau panjang selain dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti angin, hujan, pemangsaan serasah oleh organisme laut disekitar mangrove juga sangat dipegaruhi oleh karakteristik lingkungan dalam hal ini kondisi fisika kimia perairan dan juga adanya faktor biologi dari mangrove itu sendiri seperti jenis, kerapatan, kelimpahan, penutupan dan indeks nilai pentingnya. Untuk melihat keterkaitan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 13. Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan karakteristik

fisika kimia perairan dan biologi mangrove.

Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Fisika-Kimia - Suhu (0 - Salinitas ( C) 0/ 00 - DO (mg/l) ) - pH - DHL (µS/cm) - TSS (mg/l) - TOM (mg/l) 30.0 – 32.1 27.0 – 31.0 0.41 – 0.45 5 – 8 55300 – 62550 <4 – 2956 47.4 – 328.7 30.3 – 32.4 28.0 – 32.0 5.11 – 5.22 5 – 8 54600 – 58600 16 – 330 41.1 – 227.5 31.9 – 34.3 29.0 – 32.0 0.43 – 0.49 7 – 8 55200 – 64150 35 – 620 94.8 – 237.0 Biologi - Jumlah jenis - Kerapatan relatif (%) - Frekuensi relatif (%) - Penutupan relatif (%) - Indeks nilai penting (%)

4 R. apiculata (78.57) S. alba (3.90) R. apiculata (61.54) S. alba, B. gymnorhiza (7.69) R. apiculata (90.46) S. alba (0.98) R. apiculata (230.57) S. alba (12.57) 2 R. apiculata (70.30) R. stylosa (29.70) R. apiculata (58.72) R. stylosa (41.28) R. apiculata (76.50) R. stylosa (23.40) R. apiculata (205.52) R. stylosa (94.48) 7 R. apiculata (61.46) S. alba, A. alba, L.racemosa (1.95) R. apiculata (37.50) A. alba, L.racemosa (4.17) R. apiculata (63.42) A. alba (1.85) R. apiculata (162.38) A. alba (7.96) Produksi serasah (g/m2

Laju dekomposisi (g/hari) /hari) Bobot kering sisa (gram) Unsur hara (C,N,P) - Karbon (C) - Nitrat (N) - Posfor (P) 0.338 0.168 0.56 0.503 0.003 0.0008 0.375 0.168 0.57 0.576 0.004 0.0007 0.325 0.167 0.64 0.506 0.003 0.0007

Berdasarkan Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa pada Stasiun 2 diperoleh produktifitas serasah tertinggi yaitu sebesar 0.375 g/m2/hari, dimana produksi juga memberikan konstribusi yang besar terhadap produksi potensial unsur hara (C,N dan P) pada stasiun tersebut, diperoleh produksi potensial unsur hara tertinggi juga pada stasiun 2. Kondisi pada stasiun tersebut mempelihatkan jenis mangrove yang

(23)

ditemukan lebih sedikit yaitu hanya 2 jenis mangrove antara lain R. apiculata dan

R. stylosa, hal tersebut yang diduga menyebabkan tingginya tingkat produktifitas

serasah pada stasiun ini. Sehingga nilai kisaran dari kerapatan, frekuensi, penutupan relatif dan indeks nilai penting dari kedua jenis mangrove yang ditemukan pada Stasiun 2 ini memiliki kisaran yang sempit. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa magrove pada Stasiun 2 lebih seragam dan lebih didominasi oleh jenis R. apiculata. Kemudian kondisi stasiun ini juga memiliki karakteristik perairan dengan nilai DO yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, namun diperoleh nilai TSS dan TOM yang lebih kecil.

Laju dekomposisi serasah daun mangrove terendah diperoleh pada Stasiun 3 yaitu sebesar 0.167 gram/hari, indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat laju dekomposisi adalah bobot kering sisa daun mangrove, dimana pada Stasiun 3 diperoleh bobot kering sisa yang paling banyak yaitu seberat 0,64 gram. Kondisi tersebut diduga karena pada Stasiun 3 ini ditemukan jenis mangrove yang paling banyak yaitu terdapat 7 jenis mangrove, sehingga tingkat keragaman yang tinggi menyebabkan proses dekomposisi menjadi lebih lambat. Dimana diketahui bahwa masing-masing jenis mangrove memiliki laju dekomposisi serasah yang berbeda. Kemudian kondisi stasiun ini juga memiliki karakteristik perairan dengan nilai salinitas dan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan Wijiyono (2009) menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam proses laju dekomposisi pada tingkat salinitas yang berbeda, dimana ditemukan jenis dan jumlah bakteri yang berbeda pada tingkat salinitas berbeda.

Gambar

Gambar  7.  Keadaan area hutan mangrove pada ketiga stasiun pengamatan, a)   hutan mangrove pada stasiun 1 dengan substrat dasar berlumpur,  b)  hutan mangrove bagian belakang pada stasiun 2 dengan substrat keras  dari formasi terumbu yang timbul, c) hutan
Gambar 8. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air.
Gambar 9. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air.
Gambar 10. Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 stasiun penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Refined Kano , identifikasi langkah yang sesuai (dari kerangka kerja 4 langkah Blue Ocean Strategy ) untuk tiap kategori tersebut, dan mengembangkan produk baru yang

Dari beberapa uraian di atas dibuat kesimpulan sederhana bahwa sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah

Dosis pupuk kandang sapi yang diaplikasikan tidak berpengaruh nyata terhadap dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar, namun terdapat kecenderungan

User dapat melihat live streaming dan melakukan konfigurasi pada IP camera serta dapat melihat video hasil rekaman IP camera yang disimpan kedalam server pada jaringan router

Demplot Pengendalian OPT Nilam (Budok, Nematoda, Ulat/Kutu Daun dll).. a) Penggunaan pestisida nabati bubuk biji nimba, dosis 5 kg/ha/aplikasi. Aplikasi dilakukan 3

Letak kann dalam kalimat berada atas, terlihat bahwa satuan modalitas können pada posisi kedua, sedangkan plaudern berada 'dapat' sejajar dengan satuan bisa, mampu dan di

bakteri lokal), keadaan klinis pasien pada onset demam, risiko yang dihubungkan dengan perkembangan infeksi, komplikasi medis yang serius, terapi antibiotik sebelumnya,

Analisa SWOT dalam penerapan basis data clustering sebagai salah satu cara optimalisasi terhadap sistem yang telah diterapkan dan digunakan pada saat ini