• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAKIKAT MEMBACA. (Proses Membaca) Penyebaran informasi melalui media cetak dewasa ini makin mendapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAKIKAT MEMBACA. (Proses Membaca) Penyebaran informasi melalui media cetak dewasa ini makin mendapat"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

HAKIKAT MEMBACA (Proses Membaca)

PENDAHULUAN

Penyebaran informasi melalui media cetak dewasa ini makin mendapat perhatian, baik dari kalangan masyarakat intelektual maupun dari kalangan masyarakat biasa. Kemampuan memperoleh informasi melalui media cetak makin penting dalam masyarakat yang tumbuh menjadi masayarakat yang kompleks. Teknologi canggih menuntut tingkat pendidikan yang tinggi yang pada umumnya bergantung pada adanya media cetak. Hal ini berarti bahwa kemampuan membaca yang layak merupakan hal yang sangat vital. Anggota masyarakat yang “iliterat”, atau anggota masyarakat yang tidak mampu membaca, akan senantiasa terpencil dan merasa dipencilkan, karena tidak terjangkau dan tidak mampu menjangkau informasi yang seharusnya miliki.

Kemampuan membaca mempunyai makna yang sangat penting baik dalam kehidupan akademis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami iklan dalam surat kabar misalnya, diperlukan kemampuan membaca peringkat enam dan tujuh. Petunjuk yang ada dalam berbagai pembungkus obat hanya dapat dipahami oleh pembaca peringkat sepuluh, dan materi bacaan yang tertera dalam borang yang harus diisi oleh wajib pajak, surat perjanjian, petunjuk dalam buku tabanas, dan sebagainya, menghendaki pembaca yang menduduki peringkat dua belas.

Bila dibandingkan dengan media komunikasi lainnya, media cetak mempunyai kelebihan khusus. Dari media cetak, pembaca memperoleh informasi secara leluasa,

(2)

baik informasi masa lalu, maupun informasi masa kini, bahkan masa mendatang. Media cetak bisa diperoleh dan dibawa dengan cara yang sangat mudah. Informasi yang dikandungnya dapat dinikmati sesuai dengan kehendak pembaca, kapan dan di mana saja. Membawa-bawa radio jelas lebih merepotkan daripada membawa-bawa surat kabar; membawa majalah jauh lebih mudah daripada membawa-bawa TV,meski yang terkecil ukurannya. Fleksibilitas kegiatan membaca memberikan jaminan kelangsungan nilai-nilai yang dikandung dalam bacaan itu, baik untuk keperluan pendidikan maupun untuk keperluan hiburan.

Pengetahuan mengenai proses membaca ini perlu untuk anda maupun untuk murid anda. Pengetahuan tentang membaca sebagai gabungan berbagai proses bisa berdampak positif terhadap strategi mengajar maupun strategi belajar. Oleh karenanya, sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari buku ini, anda dituntut pula untuk dapat menyampaikan kemampuan itu kepada anak didik anda. Pemahaman tentang kegiatan membaca sebagai multi proses harus dicamkan sejak dini, baik oleh guru maupun oleh siswa.

Setelah membaca Buku 1 ini, anda diharapkan dapat:

a) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses psikologis; b) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses sensoris; c) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perseptual; d) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perkembangan; e) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perkembangan

keterampilan.

Pada bagian ini kami akan mengajak anda untuk berbincang-bincang tentang hakikat membaca yang merupakan perwujudan atau kesatuan berbagai macam proses. Hal yang perlu dicamkan pada kegiatan belajar mengajar membaca ialah

(3)

bahwa membaca itu merupakan proses. Pada waktu berupaya mendeskripsikan hal-hal yang terjadi ketika seseorang membaca, kita sering menggunakan istilah "proses

membaca". Istilah ini sesungguhnya kurang tepat. Istilah yang lebih baik tepat ialah

"proses-proses membaca", sebab membaca bukanlah proses tunggal melainkan sintesis dari berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan tunggal. Hal ini berarti bahwa kita harus memandang membaca sebagai suatu pengalaman yang aktif, ialah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Tentu saja, pengalaman anak didik pun ikut berperan sebagai unsur penting dalam perbuatan membaca itu. Manifestasi terakhir penyatuan berbagai proses tersebut dinyatakan dalam satu perbuatan tunggal, ialah membaca.

Berdasar pada pemikiran di atas itu, pada bab ini akan diuraikan ihwal proses membaca secara singkat, ialah proses psikologis, sensoris, dan perseptual. Pada bagian proses psikologis dibicarakan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan membaca. Sesudah itu dibicarakan pula hal-hal yang berhubungan dengan "skemata" yang mempunyai kaitan erat dengan proses membaca.

Sesudah membaca uraian tentang proses membaca dan skemata ini, anda diharapkan dapat menjelaskan arti membaca sebagai proses psikologis, sensoris, perseptual, perkembangan, dan perkembangan keterampilan. Di samping hal-hal tersebut, anda diharapkan pula memahami makna skemata serta pemanfaatannya dalam proses membaca. Bagi anda yang mempunyai keinginan memperdalam ihwal proses membaca dan skemata, disediakan daftar nama buku pada bagian akhir buku ini yang relevan dengan kebutuhan anda.

Seperti telah dikemukakan dalam pengantar, membaca merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan kita. Melalui media cetak kita dapat menyerap berbagai informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang

(4)

belum dapat kita jawab dengan baik ialah bagaimana cara atau upaya yang harus kita lakukan untuk menjadikan dunia kita ini menjadi dunia baca. “Dunia Baca” yang ideal memang belum pernah ada. Masyarakat negara-negara yang sudah maju sekalipun, seperti Amerika dan Rusia, belum mampu menciptakannya. Di negara mereka pun masih saja ada orang yang aliterat, ialah orang-orang yang mampu membaca, tetapi memilih untuk tidak membaca. Mereka lebih suka mengerjakan pekerjaan kegiatan lain daripada membaca. Dengan kata lain, mereka tergolong orang yang masih malas membaca.

Kita sering mendengar bahkan membaca berita tentang kurangnya minat baca di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pelajar, padahal minat baca itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kemampuan membaca. Menurut hasil-hasil penelitian yang terakhir, kemampuan membaca lebih banyak ditentukan oleh intensitas membaca daripada oleh IQ seseorang. Makin banyak seseorang melakukan aktivitas membaca, akan makin meningkat pula kemampuan membacanya.

Seseorang akan banyak membaca secara mandiri jika minat bacanya tinggi. Oleh karena itu, guru bidang studi apa pun dituntut untuk meningkatkan minat baca para siswanya. Dengan demikian kemampuan membaca para siswa itu pun akan meningkat dengan sendirinya.

Membaca merupakan kemampuan yang kompleks. Membaca bukanlah kegiatan memandangi lambang-lambang tertulis semata-mata. Bermacam-macam kemampuan dikerahkan oleh seorang pembaca agar dia mampu memahami materi yang dibacanya. Pembaca berupaya supaya lambang-lambang yang dilihatnya itu menjadi lambang-lambang yang bermakna baginya.

Membaca merupakan interaksi antara pembaca dan penulis. Interaksi tersebut terjadi secara tidak langsung, namun bersifat komunikatif. Komunikasi antara

(5)

pembaca dan penulis akan semakin baik jika pembaca mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memahami maksud penulisnya. Pembaca berkomunikasi dengan penulis melalui karya tulis yang digunakan penulis sebagai media untuk menyampaikan gagasan, perasaan, dan pengalamannya. Dengan demikian, pembaca harus mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam kalimat-kalimat yang disajikan oleh penulis/pengarang sesuai dengan konsep yang terdapat pada diri pembaca.

Pembaca dapat menyusun pengertian-pengertian tersebut dengan berbagai konsep pada suatu saat tertentu yang selanjutnya secara berangsur-angsur menjadi dasar baginya untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara lebih luas dan mendalam. Hal tersebut menunjukkan bahwa membaca bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan suatu sintesis berbagai proses yang tergabung ke dalam suatu sikap, ialah sikap pembaca yang aktif.

Membaca sering kali pula dianggap sebagai kegiatan yang pasif. Sebenarnya, pada peringkat yang lebih tinggi, membaca itu bukan sekedar memahami lambang-lambang tertulis, melainkan berarti pula memahami, menerima, menolak, membandingkan, atau meyakini pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh pengarang/penulis. Kemampuan membaca seseorang banyak dipengaruhi pula oleh tingkat kematangan dan pengalamannya.

Unsur-unsur apakah yang terlibat dalam setiap kegiatan membaca itu? Ketidakhadiran salah satu unsur tersebut akan berpengaruh terhadap kompetensi membaca yang dimiliki seseorang. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa hal yang berkenaan dengan proses membaca.

(6)

Kehidupan dan pertumbuhan manusia senantiasa dipengaruhi oleh kegiatan belajar. Karenanya, banyak hal yang kita kuasai diperoleh melalui proses belajar. Begitu pula halnya dengan kemampuan membaca.

Ada berbagai hal yang mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam kegiatan membaca. Hal-hal tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan proses membaca. Hal yang berikut ini merupakan sebahagian kecil saja dari sekian banyak faktor yang telah diketahui sebagai faktor yang memiliki kaitan yang erat dengan proses membaca, yakni:

1) intelegensi, 2) usia mental, 3) jenis kelamin,

4) tingkat sosial ekonomi, 5) bahasa,

6) ras,

7) kepribadian, 8) sikap,

9) pertumbuhan fisik,

10)kemampuan persepsi, dan 11)tingkat kemampuan membaca.

Dari faktor-faktor (yang hanya merupakan bahagian kecil ) tersebut, hanya beberapa buah saja yang akan dibicarakan dalam bab ini.

(7)

Faktor Intelegensi

Anda pernah mendengar kata "intelegensi" bukan? Ya, bahkan sangat sering. Tahukah anda makna kata tersebut? Anda tahu benar arti kata itu, tetapi teman-teman Anda masih banyak yang belum memahaminya. Banyak orang mungkin merasa sudah sangat akrab dengan istilah tersebut, namun belum mengetahui maknanya yang sesungguhnya, karena tidak pernah berkeinginan untuk mempelajarinya dengan sebaik-baiknya melalui buku sumbernya.

Anda sudah mengetahui bahwa kata intelligent(intelegensi) sering bergandengan dengan kata quotient dan disingkat menjadi IQ. Di samping IQ Anda mengenal pula MA (mental age), ialah usia mental. Untuk apa orang membuat kedua istilah tersebut? Ya, benar, IQ dan MA biasa digunakan untuk menyatakan hasil tes intelegensi umum. IQ seorang anak yang berusia enam tahun menunjukkan rasio antara skor tertentu yang diperolehnya dalam suatu tes intelegensi dan skor yang akan diperoleh oleh anak-anak lain pada umumnya (rata-rata), yang berusia kronologis sama dengan anak tersebut, untuk tes yang sama pula.

Untuk membedakan IQ dan MA, anda boleh mendefinisikan IQ sebagai

ukuran pertumbuhan mental, sedangkan MA sebagai ukuran kedewasaan mental.

Meski ada keistimewaan-keistimewaan yang bisa terjadi, IQ dapat dianggap sebagai suatu ukuran yang relatif stabil, sedangkan MA mempunyai pertumbuhan berlanjut sampai pada usia pertengahan adolesensi. Rumus-rumus yang berikut ini mungkin dapat menolong menjelaskan hubungan antara usia kronologis (Chronological Age) yang disingkat CA, dengan MA dan IQ.

IQ x CA MA = _______

(8)

MA

IQ = --- x 100 CA

Kita dapat menurunkan MA seorang anak yang IQ-nya 110 dan yang CA-nya 6,0 dengan cara berikut ini.

110 x 6,0 (tahun) MA = --- 100 110 x 72 (bulan) = --- 100 = 79,2 79,2 = --- = 6,6 12

(9)

Jika MA dan CA diketahui (6,6 dan 6,0), dengan cara yang sama Anda akandapat mencari IQ.

MA IQ = --- x 100 CA 6,6 = --- x 100 6,0 = 110

Walaupun banyak faktor yang mempengaruhi dan berkaitan erat dengan kesiapan dan kemampuan membaca, namun yang paling banyak dan paling konsisten diteliti dan dipelajari ialah faktor intelegensi. Para ahli sependapat bahwa intelegensi merupakan faktor yang penting, tetapi batas-batas kepentingannya belum juga dapat dijelaskan. Kenyataan yang menunjukkan adanya perbedaan informasi tentang kepentingan intelegensi itu mempunyai kecenderungan mengaburkan permasalahan, bukan menjelaskannya.

Harris (1970), umpamanya, berpendapat bahwa faktor terpenting dalam masalah kesiapan membaca ialah inteligensi umum. Karena faktor tersebut merupakan angka rata-rata perkembangan mental, yang banyak tingkatannya itu, maka kaitannya dengan faktor-faktor lainnya sangatlah jelas.

(10)

Witty dan Kopel(1970) pun mempunyai pendapat yang serupa. Mereka berkesimpulan bahwa seseorang yang memiliki skor IQ menurut Binet di bawah 25, biasanya tidak pernah mencapai kematangan mental yang layak untuk belajar membaca. Anak yang skor IQ-nya di bawah 50 akan mengalami kesulitan dalam memahami materi bacaan yang abstrak dan materi-materi lainnya yang sukar. Adapun mereka yang skor IQ-nya ada di antara 50 dan 70 akhirnya akan mampu juga membaca, tetapi kemampuannya itu tidak akan melebihi kemampuan membaca peringkat empat.

Studi tentang intelegensi dan kesiapan membaca yang dilakukan oleh Morphett dan Washburne (1931) mungkin merupakan studi yang paling dikenal. Selama bertahun-tahun hasil penelitian mereka mendominasi keyakinan tentang intelegensi itu. Namun demikian, semenjak itu, dikenal pula hal yang sama pentingnya, bahkan mungkin lebih penting. Penelitian Gates (1937) telah mengubah sikap terhadap masalah intelegensi itu. Penelitian yang dilakukannya dalam kelas menunjukkan bahwa usia mental itu mempunyai kegunaan yang relatif; ada faktor lain yang juga menentukan keberhasilan pencapaian kemampuan membaca. Ditunjukkannya bahwa besarnya kelas, prosedur dan metode mengajar, memberikan kemungkinan kepada anak untuk mampu membaca pada usia empat setengah tahun; sedangkan bentuk pengajaran lainnya baru berhasil memberikan kemampuan membaca pada usia tujuh tahun.

Gray (1956) memberikan saran agar anak mulai diajari membaca jika MA-nya mencapai angka enam. Namun, dia pun mengakui materi yang digunakan dalam pengajaran, prosedur mengajar, dan faktor-faktor lainnya yang cukup banyak jumlahnya itu mempunyai peranan yang lebih penting daripada usia mental. Dia

(11)

menunjukkan kenyataan di Skotlandia dan negara-negara Eropa lainnya yang berhasil membina pembaca-pembaca yang baik pada usia mental lima.

Ada lagi dua orang ahli, Smith dan Dechant (1961) yang melaporkan adanya kaitan yang erat antara kesiapan membaca dan kemampuan membaca. Mereka membuktikan korelasi antara sekor tes kesiapan membaca dan usia mental itu merentang antara 0,35 dan 0,80. Kesimpulan mereka berbunyi bahwa pada umumnya tes kemampuan membaca, kesiapan membaca, dan intelegensi itu mengukur faktor-faktor yang sama.

Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai sifat hubungan yang sebenarnya antara IQ dan MA terhadap membaca, ternyata persamaan-persamaannya pun masih ada, seperti yang tertera di bawah ini.

1) IQ dan MA merupakan alat ramal yang baik untuk menentukan tingkat minimal kemampuan anak.

2) Kebanyakan anak yang gagal belajar membaca di kelas satu mempunyai usia mental di bawah enam tahun.

3) Meskipun IQ dan MA merupakan faktor-faktor yang penting, faktor-faktor lain seperti jumlah anak dalam kelas, prosedur, motivasi, serta proses belajar-mengajar merupakan faktor-faktor yang sama pentingnya untuk mencapai kemampuan membaca yang baik.

4) Meskipun IQ dan MA merupakan prediktor yang baik dalam banyak hal, namun keduanya tidak boleh digunakan secara terpisah dari faktor-faktor lainnya dalam menentukan perkiraan yang akan dilaksanakan. Anak kelas satu yang mempunyai IQ 130 belum tentu dapat lebih berhasil dalam kegiatan membaca bila dibandingkan dengan seorang anak yang ber-IQ 80.

(12)

5) Korelasi antara IQ dan skor membaca cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan kelas. Skor IQ yang tinggi di kelas enam merupakan prediktor kemampuan membaca yang lebih baik daripada skor IQ yang sama tingginya yang diperolehnya di kelas satu.

Tes Formatif 1

1. Harris berpendapat bahwa faktor terpenting yang ikut menentukan kesiapan membaca ialah:

A intelegensi umum B usia mental C usia kronologis D intelegensi khusus

2. Jika diketahui bahwa usia mental 7,8 dan usia kronologis 6,0 maka dapat diketahui bahwa tingginya IQ adalah …

A. 110 B. 120 C. 130 D. > 130

3. Witty da Kopel berpendapat bahwa anak yang ber-IQ 90 akan … A. dapat membaca 50 kpm

B. mengalami kesulitan memahami materi bacaan yang abstrak C. mampu membaca sampai peringkat empat saja

(13)

4. Gates menemukan data bahwa besarnya kelas, prosedur dan metode membaca memberikan kemungkinan kepada anak untuk dapat membaca pada usia…

A. dua tahun B. tiga tahun

C. tiga setengah tahun D. empat setengah tahun

5. Gray menyarankan agar anak mulai diajari membaca pada usia … A. empat setengah tahun

B. lima tahun C. enam tahun

D. enam setengah tahun

6. Smith dan Decant memperoleh data yang menyatakan bahwa anak yang gagal belajar membaca di kelas satu mempunyai usia mental …

A. enam setengah tahun B. enam tahun

C. antara enam dan enam setengah tahun D. di bawah enam tahun

Di muka telah dikatakan bahwa faktor penting yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca bukan IQ dan MA saja. Masih banyak faktor lain yang sama

(14)

pentingnya. Di bawah ini akan diuraikan peranan faktor sosial ekonomi dalam pemerolehan kemampuan membaca.

Faktor Sosial-Ekonomi

Pada masa sekarang, yang sering kali dikaitkan dengan masalah kemampuan membaca ialah faktor sosial ekonomi. Status sosial-ekonomi ternyata mempunyai kaitan yang jelas dengan kemampuan membaca. Riessman (1962) mengutip catatan yang menyatakan pada umumnya 15 sampai 20 persen anak-anak sekolah di Amerika menunjukkan batas-batas ketidakmampuan membaca. Dia memperkirakan adanya angka persen yang lebih besar di kalangan masyarakat yang bersosial ekonomi rendah, sampai 50%. Perkiraan lain dibuat oleh Benson (1969) yang menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari masyarakat kelas sosial-ekonomi menengah dapat membaca lebih baik daripada anak-anak yang bersosial-ekonomi rendah (10 - 20%), sedangkan yang tidak mampu membaca adalah anak-anak yang bersosial ekonomi-rendah bisa (80%).

Meskipun temuan mereka itu cukup mengkhawatirkan, namun sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan, sebab jauh sebelumnya, yakni tahun 1940, Coleman sudah melihat adanya hubungan yang jelas antara status sosial-ekonomi dengan kemampuan membaca. Dengan jalan mempelajari suatu sampel nasional dari tiga kelompok siswa yang berstatus sosial-ekonomi yang berbeda tingkatannya itu, ditemukan bukti bahwa tingkat sosial ekonomi siswa itu ada kaitannya dengan kemampuan mereka dalam berbagai mata pelajaran.

Hasil yang sama diperoleh Gough (1946) dari penelitiannya atas murid-murid kelas enam yang berstatus tinggi, menengah, dan rendah, berdasarkan kemampuan sosial-ekonominya. Ada berbagai faktor yang menjadi alasan kenyataan tersebut. Yang jelas di antaranya ialah kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang rendah,

(15)

kepadatan lingkungan, tempat kediaman yang tidak stabil, dan tekanan ekonomi. Di sisi lain, masih ada alasan yang menyebabkan rendahnya kemampuan membaca itu yang sesungguhnya masih ada kaitannya dengan status sosial- ekonomi, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yakni latar belakang pengalaman; tingkat motivasi; dan bahasa.

Anda sering mendengar bahwa latar belakang pengalaman anak-anak yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah itu sangat kerdil. Pernyataan seperti itu sudah tentu tidak benar. Semua anak mempunyai latar belakang pengalaman. Kenyataan bahwa latar belakang pengalaman mereka itu tidak sama dengan yang dimiliki anak-anak kelas menengah jadi tidaklah sepantasnya jika ditafsirkan bahwa anak-anak itu sama sekali tidak berpengalaman. Haruslah ditafsirkan bahwa pengalaman mereka itulah yang harus mereka camkan. Sayang sekali, banyak guru yang menyepelekan kenyataan itu.

Di pihak lain, sungguh tidak realistik jika dikatakan bahwa anak-anak tertentu tidak mengalami rintangan yang disebabkan oleh latar belakang pengalamannya. Karena sistem pendidikan diarahkan pada standar sosial kelas menengah dengan menggunakan mata pelajaran dan kosakata kelas menengah, maka anak yang tidak mempunyai pengalaman tentang hal tersebut sesungguhnya akan mengalami hambatan. Anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak berada mempunyai kurang memiliki kesempatan untuk bepergian, membaca buku dan majalah, atau bertemu dengan orang-orang di luar lingkungannya. Disebabkan oleh lingkungan sosial yang sempit dan kemampuan ekonomi yang terbatas itulah kesempatan-kesempatan untuk pengayaan itu menjadi tertutup. Kedua orang tua bekerja dari pagi sampai sore sehingga tidak berkesempatan untuk ikut memperluas wawasan anak dan memberi peluang untuk terciptanya berbagai kesempatan yang memungkinkan anak

(16)

memiliki pengalaman yang luas. Dengan alasan tekanan ekonomi, banyak orang tua yang melalaikan tugas yang demikian itu. Akibatnya, anak tidak siap untuk menerima perubahan-perubahan dalam mengikuti kegiatan sekolah.

Anggapan yang menyatakan bahwa semua anak mempunyai keinginan untuk belajar membaca merupakan anggapan yang naif dan tidak realistis. Kenyataan menunjukkan banyak anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, tidak mau membaca. Motivasi mereka untuk belajar membaca sangat kurang. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin sekali, apa yang dilihat dan dialaminya di seputar lingkungan terdekatnya (lingkungan keluarga dan tetangga) tidak mampu memberikan pengalaman yang dapat merangsangnya untuk melakukan aktivitas membaca. Mereka tidak pernah melihat orang tua mereka, atau pun anggota keluarga lainnya menunjukkan perhatian yang layak terhadap membaca. Kakak-kakak mereka, teman-teman, dan tetangga sepergaulan dengan mereka itu pun jarang atau bahkan tidak berkesempatan untuk membaca buku, majalah, atau surat kabar di rumah. Mereka tidak pernah mendapat dorongan atau alasan untuk belajar membaca.

Alasan lain yang menyebabkan anak tidak mempunyai motivasi untuk belajar membaca ialah langkanya atau bahkan tiadanya kesempatan bagi mereka untuk menikmati pengalaman indah dan berguna dari kegiatan membaca itu. Disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan latar belakang dan kesiapan mereka yang serba kurang itulah, mereka datang ke sekolah dengan kesiapan yang tidak layak. Karena mereka tidak memiliki kesiapan kegagalan pun menimpa, dan kegagalan itu sering kali diukur oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca. Tidak seorang pun menyukai kegagalan, karenanya tidaklah mengherankan jika asosiasi-asosiasi negatif pun menimbuni kehidupan mereka. Kegagalan yang berlangsung secara

(17)

terus-menerus itu, tak dapat menumbuhkan memotivasi mereka untuk membaca, bahkan sebaliknya, mendorong mereka untuk segera meninggalkan sekolah.

Faktor lain yang menyebabkan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu itu gagal ialah faktor fasilitas bahasa. Anak yang memiliki kemampuan berbahasa yang layak untuk berkomunikasi dengan keluarganya ternyata tidak berarti memiliki bahasa yang layak untuk bersekolah. Bahasa rumah dan bahasa lingkungan (masyarakat) belum tentu merupakan bahasa sekolah. Patin (1964) menunjukkan bukti bahwa sering kali anak yang memiliki bahasa masyarakat yang layak, tidak mampu berbahasa formal. Bahasa sehari-harinya layak untuk menerima dan menyampaikan informasi yang sederhana, meminta sesuatu, menyatakan persetujuan atau penolakan. Bahasa mereka ditandai oleh sifat kesederhanaan, deklaratif, dan imperatif. Struktur yang kompleks, klause-klause terikat, dan pola kalimat yang lebih luas jarang ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Karena bahasa sekolah itu merupakan bahasa formal, sering kali anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu itu sudah mengalami kegagalan semenjak langkahnya yang pertama di sekolah.

Temuan-temuan tersebut itu bersesuaian dengan temuan Thomas (1964). Di daerah penelitiannya yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu, dia memperoleh bukti bahwa anak-anak di daerah itu hanya memiliki 50% dari jumlah kosakata yang biasa digunakan di sekolah. Mereka tidak dapat memahami dua puluh sampai lima puluh persen kata-kata yang digunakan dalam buku-buku di tingkat permulaan. Kondisi seperti itu akan merupakan awal kegagalan tumbuhnya minat baca, sebab jika di antara 100 kata yang harus dibaca terdapat tiga buah (3%) kata saja yang

(18)

3. Membaca Sebagai Suatu Proses Sensoris

Pada bagian 1.2 anda telah mempelajari kegiatan membaca sebagai proses psikologis. Dalam kegiatan ini akan dibicarakan kegiatan membaca sebagai proses sensoris.

Apa pun yang dapat kita katakan tentang membaca tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pada awalnya membaca itu merupakan proses sensoris. Isyarat dan rangsangan untuk kegiatan membaca itu masuk lewat telinga dan mata, sedangkan rangsangan huruf Braille masuk lewat syaraf-syaraf jari. Betapa pun cerdas, mantap, dan siapnya jiwa seorang anak, tidaklah mungkin bisa belajar membaca jika dia tidak mampu mengenali rangsangan materi cetak. Penjelasan tersebut tidak berarti bahwa anak-anak yang cacat tidak akan dapat belajar membaca. Anak-anak mempunyai alat kompensasi yang sangat banyak. Tidak pula dapat dikatakan bahwa ketunanetraan dan ketunarunguan semata-matalah yang merupakan penyebab kegagalan membaca. Pernyataan "membaca sebagai proses sensoris" tidak berarti memandang kegiatan membaca itu sebagai proses sensoris semata-mata. Banyak hal yang terlibat dalam proses membaca itu, dan ketidakmampuan membaca bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang bisa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja secara serempak. Kepenatan, kegelisahan, kebimbangan, ketidakpercayaan terhadap diri sendiri merupakan faktor-aktor yang sering kali berbaur dengan cacat yang diderita seseorang, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan dalam mencapai kemampuan membaca.

Kegiatan membaca dimulai dengan proses melihat. Stimulus masuk lewat indra penglihatan, mata. Pada tingkat awal, anak menunjukkan kemampuan yang secara umum disebut membaca. Pada saat permulaan itu anak mulai sadar bahwa tanda dan lambang-lambang tertentu menunjukkan nama atau benda tertentu pula. Kemudian secara berangsur, mereka mulai sadar bahwa jika lambang-lambang itu

(19)

dirangkai akan tersusun suatu pembicaraan; tersusun suatu pesan. Kapankah anak-anak itu siap untuk membaca buku? Dengan kata lain, kapankah penglihatannya itu siap untuk diperkenalkan dengan lambang-lambang tulis?

Berbagai penelitian membuktikan bahwa pada umumnya anak mempunyai kesiapan penglihatan untuk membaca pada usia 5-6 tahun. Pada usia tersebut anak memiliki kompetensi koordinasi binakular, persepsi yang dalam, pemokusan pengaturan, dan pengubahan perasaan secara bebas. Tetapi, pada usia tersebut anak pun sudah berpenyakit pandangan jauh. Akan tetapi, karena anak itu merupakan pribadi-pribadi dengan pola kepribadian yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangannya, anda seyogianya memiliki pengetahuan yang layak tentang hal-hal yang pantas diperhatikan.

Kelemahan penglihatan yang umum diderita anak ialah "kekeliruan kesiapan" (refractive error), yang berarti tidak lain dari kondisi mata yang tidak terpusat. Salah satu jenis keliru sipi ialah hipermetropia, atau pandangan jauh. Untuk mengetahui kelemahan ini, idealnya di setiap sekolah harus disediakan alat uji penglihatan. Jalan lain untuk mengatasi hal tersebut ialah bahwa siswa secara teratur dibawa ke poliklinik terdekat untuk memeriksakan kesehatan penglihatannya atau mendatangkan pihak kesehatan ke sekolah. Guru yang berpengalaman tidak akan memberi tugas kepada anak-anak yang mempunyai kelemahan seperti itu untuk membaca benda-benda yang terlalu dekat atau menyuruhnya membaca dalam waktu yang terlalu lama secara terus-menenerus.

Jenis keliru sipi yang kedua adalah miopia, atau pandangan dekat. Penderita miopia tidak sebanyak penderita hipermetropia pada permulaan pengajaran membaca. Akibatnya pun tidak terlalu parah. Bahkan, penderita miopia yang moderat memperlihatkan kesukaan terhadap kegiatan membaca.

(20)

Eror refraktif jenis ketiga ialah astigmatisme. Penderita cacat penglihatan ini mempunyai jarak pandang yang tidak sama untuk kedua matanya; miopik atau hipermetropik untuk salah satu matanya atau campuran antara keduanya. Meskipun penyakit-penyakit tersebut tidak pernah dimasukkan ke dalam faktor penyebab ketidakmampuan membaca, namun jelaslah peranannya sebagai faktor yang turut serta menimbulkan ketidakmampuan membaca harus kita akui bersama. Eror refraktif dapat menyebabkan ketidakbetahan, ketegangan, dan kekurangminatan terhadap bahan bacaan.

Dapatkah anda menyebutkan faktor-faktor lain yang anda anggap sebagai kendala dalam proses membaca? Ya, memang banyak. Untuk mengetahui adanya gangguan tersebut, sebelas macam gejala yang berikut ini seyogianya anda perhatikan baik-baik:

1) gerakan-gerakan muka,

2) mendekatkan bacaan ke muka,

3) ketegangan waktu melakukan aktivitas visual, 4) memencengkan kepala,

5) mendorong kepala ke depan,

6) badan ditegangkan tatkala melihat objek yang jauh, 7) sikap duduk yang tidak baik,

8) seringkali menggerak-gerakkan kepala, 9) sering menggosok-gosok mata,

10) menghindari pekerjaan visual yang rapat, dan 11) kehilangan tempat/batas waktu membaca.

(21)

Gejala-gejala yang tampak seperti indikator-indikator di atas bila digabungkan dengan hasil tes mata merupakan prediktor yang baik untuk mengetahui cacat penglihatan.

Jika kegiatan membaca dikatakan bermula dari proses melihat, maka secara umum, kesiapan membaca dimulai dari mendengarkan. Persiapan auditoris anak dimulai dari rumah dalam bentuk pembinaan kosakata, menyimak efektif, dan keterampilan membeda-bedakan ujaran. Jika seorang anak mendapat pengaruh jelek dari cacat tubuh atau kondisi sosialnya, maka pengalamannya pun terbatas. Akibat keterbatasan pengalaman itu akan segera tampak pada tingkat awal dalam upayanya belajar membaca. Jika di rumahnya seorang anak menemukan kesulitan dalam membeda-bedakan bunyi yang mirip, atau tidak dapat mengenali pelafalan tertentu untuk sebuah kata, kita boleh percaya bahwa di sekolahnya pun dia akan menghadapi kesulitan yang sama.

Anak-anak sebagai pembaca pemula harus mampu mendengar kesamaan di antara bunyi-bunyi huruf yang ada dalam suatu kata, mendeteksi kata-kata yang diawali dan dirakhiri oleh bunyi yang sama, dan mampu mendeteksi irama. Dalam banyak kejadian, anak-anak yang tidak mampu melakukan hal tersebut dapat dilatih untuk melakukannya. Jika pelatihan seperti itu tidak berhasil, maka latihan pengenalan bunyi yang lebih berat seyogianya tidak diberikan kepadanya.

Hal yang perlu dicamkan oleh guru ialah bahwa bila seorang anak kehilangan daya dengarnya namun masih mempunyai motivasi untuk belajar membaca, dia tidak akan menemui kesulitan dalam penguasaan bacaannya itu sepanjang bahan ajar dan proses pengajarannya diselaraskan dengan keadaan anak yang bersangkutan. Kalaupun ada kesulitan, hal tersebut tidak akan menjadi rintangan baginya untuk belajar membaca. Sebaliknya, seorang anak yang mempunyai cacat pendengaran yang tidak seberapa bisa menemui kegagalan dalam penguasaan membaca jika dia tidak

(22)

memiliki motivasi, tidak percaya diri, dan tidak mendapatkan pengajaran yang layak dan selaras dengan keadaannya.

4. Membaca Sebagai Proses Perseptual

Proses perseptual mempunyai kaitan erat dengan proses sensoris. Anda harus waspada untuk tidak mempertukarkannya. Seperti dalam proses sensoris, secara umum persepsi dimulai dengan melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan meraba. Namun, dalam kegiatan membaca kita cukup memperhatikan dua hal yang pertama saja, yakni melihat dan mendengar. Bertalian dengan hal tersebut banyak orang yang secara keliru mencampurbaurkan penangkapan gelombang udara, gelombang cahaya, dan gelombang rasa itu dengan keseluruhan proses persepsi.

Vernon (1962) memberikan penjelasan bahwa proses perseptual dalam membaca itu terdiri atas empat bagian, yaitu: 1) kesadaran akan rangsangan visual; 2) kesadaran akan persamaan pokok untuk mengadakan klasifikasi umum kata-kata; 3) klasifikasi lambang-lambang visual untuk kata-kata yang ada di dalam kelas yang umum; dan

4) indentifikasi kata-kata, yang dilakukan dengan jalan menyebutkannya.

Meskipun Vernon bermaksud memperuntukkan langkah-langkah tersebut bagi proses membaca, namun hal tersebut dapat pula diterapkan pada persepsi auditoris. Pada umumnya orang sepakat bahwa persepsi itu mengandung stimulus, asosiasi makna dan interpretasinya berdasarkan pengalaman tentang stimulus itu, serta respon yang menghubungkan makna dengan stimulus atau lambang.

Seperti telah disinggung di muka, langkah pertama, yaitu stimulus, sering kali disalahartikan sebagai keseluruhan persepsi. Kekeliruan seperti itu mudah dikenal

(23)

dengan jalan mencamkan bahwa stimulus itu sendiri sesungguhnya tidak mempunyai makna. Kita tidak memperoleh makna dari lambang atau bunyi itu, tetapi kita membawa makna kepadanya. Sebagai contoh, kalau kita melihat sebuah titik hitam pada selembar kertas, maka titik hitam itu tidak mempunyai makna apa-apa bagi anda. Akan tetapi, jika titik hitam itu tampak di akhir deretan kata-kata yang berbentuk kalimat, maka titik hitam itu mempunyai arti tanda berhenti di ujung kalimat. Jika titik hitam itu tampak pada sebuah peta, maka anda boleh menginterpretasikannya sebagai perlambang sebuah kota. Dalam konteks lain titik hitam itu bisa diberi makna yang sama dengan lambang /e/ dalam kode Morse, atau sebagai tanda vokal dalam bahasa orang Yahudi. Jika kita tidak pernah mengasosiasikan titik hitam itu dengan makna apa pun, maka titik itu tidak akan pernah bermakna apa-apa.

Fungsi utama suatu stimulus atau rangsangan, sesuai dengan namanya, ialah meminta. Bagian terpenting stimulus ialah kemampuannya mengisolasikan dan membedakan berbagai stimuli. Sebelum seorang anak dapat merespon perbedaan antara /b/ dan /d/, ia harus terlebih dahulu dapat membedakan kedua lambang itu. Sebaliknya, pengenalan terhadap /b/ yang berbeda dengan /d/, atau bunyi /be/ yang berbeda dengan bunyi /de/, tidaklah memberikan makna apa pun. Meskipun yang demikian itu merupakan persepsi, bagi anak hal tersebut hanyalah merupakan masukan permulaan yang mempermudah proses pengenalan dan identifikasi.

Langkah kedua dalam persepsi, yakni asosiasi antara makna dan stimulus mempunyai kaitan yang erat dan jelas dengan langkah pertama yang merupakan isolasi stimulus. Sesungguhnya kedua langkah tersebut bersifat komplementer. Semakin mudah kita dapat mengisolasikan dan mengidentifikasikan suatu stimulus, semakin mudah pulalah bagi kita untuk mengasosiasikan makna dengan stimulus itu. Semakin banyak makna yang dapat kita berikan kepada stimulus, maka semakin

(24)

mudah pulalah bagi kita untuk mengenalinya. Bagian terpenting dari diskriminasi stimuli meliputi adanya alasan untuk melakukan diskriminasi. Meskipun /T/ dan /H/ berbeda karena perbedaan yang tampak pada garis-garis yang horizontal dan yang vertikal yang tampak pada keduanya, perbedaan itu tidak akan menjadi jelas sebelum anak mengetahui bahwa kedua huruf tersebut mempunyai bunyi yang berbeda dan bahwa jika digabungkan dengan huruf-huruf lain dapat membentuk kata tertentu. Sama halnya, jika anak tidak mempunyai pengalaman mengenai perbedaan antara bang dan bank, kesadaran atas perbedaan antara keduanya itu akan tetap tinggal pada tingkat stimulus dan tidak mengubah persepsinya mengenai makna yang dinyatakan oleh kedua kata tersebut.

Sampai di sini kita baru membicarakan persepsi stimuli dalam bentuk huruf dan kata. Sesungguhnya, persepsi stimuli itu mempunyai sifat yang sama untuk bentukan-bentukan yang berupa kalimat, paragraf, bab, bahkan cerita. Makna perseptual itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman lalu, latar belakang budaya, dan asosiasi emosional dan fisik.

Anak-anak berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Anak yang banyak dibacakan bacaan oleh orang tuanya dan dikelilingi tumpukan buku dan majalah serta diteladani oleh orang tua dan saudara yang cinta membaca, akan mempunyai persepsi yang berbeda terhadap membaca dengan persepsi anak yang tidak memiliki latar belakang seperti itu. Anak yang pernah mengikuti pendidikan TK (Taman Kanak-kanak), banyak berkunjung ke toko buku, banyak berdarma wisata, yang berkesempatan untuk berbicara secara bebas dengan orang tuanya dan teman-temannya, mempunyai persepsi yang berbeda dengan anak-anak yang sama sekali tidak pernah mengenal latar belakang kehidupan seperti itu.

(25)

Hal lain yang tidak boleh diremehkan dalam proses perseptual ialah faktor emosional dan faktor fisik. Kedua-duanya mungkin sekali mempunyai pengaruh yang besar terhadap persepsi anak dan terhadap kata atau kejadian tertentu. Anak yang tidak merasa betah karena gangguan emosi dan fisik yang dialaminya tidak akan dapat berfungsi pada tingkatan potensi yang semestinya. Pengalaman yang dibawanya pada saat dia berpersepsi itu mungkin menjadi terbatas dan terkendala. Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa meskipun kebutaan dan kepekakan tidak perlu menjadi penyebab kegagalan, namun keduanya bisa berbaur dengan faktor-faktor lainnya sehingga menjadi sumber utama kegagalan. Anak yang merasakan kegiatan membaca itu sebagai pengalaman yang meresahkan dan menakutkan boleh dipastikan akan menjadi pembaca yang ogah-ogahan.

Sifat dan intensitas pengalaman emosional yang dibawa seorang anak dallam menghadapi sebuah kata atau suatu kejadian t ertentu dapat memberi warna atau menodai makna kata atau kejadian yang dihadapinya itu. Anak yang mempunyai tikus piaraan akan mempunyai persepsi yang sangat berbeda dengan persepsi anak yang dibesarkan dalam keluarga Yahudi di daerah minoritas di tengah kota kalau kepada keduanya disajikan sebuah cerita tentang tikus. Kata salju mungkin akan memberikan bayangan suasana yang gembira ria, berpacu meluncur di salju, mungkin pula memberikan bayangan yang membosankan, kedinginan, dan kesengsaraan. Kadang-kadang bisa terjadi bahwa rasa berlebihan terhadap sebuah kata itu mengubah makna kata tersebut secara berlebihan pula sehingga maknanya berubah sama sekali.

Untuk mengembangkan kemampuan membaca, anak harus pula dapat memodifikasi dan menghubungkan pengalamannya dengan stimulus-stimulus yang ada dalam konteks dan lingkungan yang sedang dialaminya dalam membaca. Dengan kata lain, pada setiap anak haruslah terjadi semacam mediasi pengalihan pengalaman.

(26)

Persepsi itu sesungguhnya merentang di antara batas-batas daerah yang sangat luas, mulai dari daerah-daerah yang konkret, sangat nyata dan khusus, sampai pada hal-hal yang abstrak dan generik. Pada batas-batas terakhir yang bersifat abstrak dan generik itulah konseptualisasi terjadi. Pada daerah itulah anak dituntut berkemampuan untuk menggeneralisasikan, menganalisis, dan menyintesis, dan sebagainya.

Meski betapapun luasnya pengalaman seorang anak, dia masih akan menyadari banyaknya konsep yang belum diketahuinya. Meskipun dia sudah mengetahui sejumlah konsep, namun banyak pula di antara konsep yang sudah diketahuinya itu yang belum bisa diangkatnya sampai pada taraf konseptualisasi yang jelas dan berarti. Dengan kata lain, keterbatasan anak itu tidak disebabkan oleh keterbatasan pengalamannya semata-mata, tetapi juga oleh tingkat kemampuan mentalitasnya.

Anak biasanya terlebih dahulu mempelajari konsep-konsep yang konkret dan spesifik. Burung adalah merpati yang pernah dilihatnya dalam sebuah sangkar milik kakaknya; bunga adalah mawar yang tumbuh dalam sebuah pot kecil di serambi rumahnya. Lama sesudah itu barulah dia tahu bahwa burung itu bermacam-macam, ada merpati, ada balam, ada perkutut, punai, dan sebagainya. Demikian juga dengan kata bunga. Bunga itu bermacam-macam warnanya, ukurannya, bentuknya, wanginya, jenisnya, dan sebagainya. Setelah pengalamannya berkembang, dia pun akan belajar bahwa orang tidak hanya minum dari sebuah cangkir besar. Orang bisa minum dengan menggunakan cangkir kecil, macam-macam gelas, bahkan minum dengan sedotan dari sebuah kotak karton. Anak akan mampu pula mengembangkan konsepnya tentang cangkir. Sewaktu bermain rumah-rumahan, anak akan menggunakan benda-benda tertentu sebagai cangkir.

(27)

Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa anak seyogianya sudah berpengalaman banyak sebelum dia untuk pertama kalinya mengenal huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat dalam wacana. Semakin luas dan bervariasi pengalaman seorang anak, semakin luas pulalah terbuka kesempatan baginya untuk mengembangkan konsep-konsep dan memperbaiki persepsinya. Melalui berbagai kegiatan seperti karya wisata, permainan, dan berbagai kegiatan kelas, guru akan dapat membekali murid-muridnya dengan pengalaman yang bermanfaat. Penampilan audio-visual, cerita, gambar, dan nyanyian pun dapat menambah pengalaman anak. Oleh karenanya, waktu khusus untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seperti itu tidak hanya penting tetapi juga sangat esensial.

Dari pembicaraan sekilas mengenai membaca sebagai proses perseptual seperti yang diuraikan di atas itu pun kita dapat menyadari bahwa membaca itu sangat kompleks. Persepsi itu berpengaruh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang jumlahnya itu banyak dalam membaca. Kita lihat bahwa proses persepsi itu tidak hanya dipengaruhi oleh pikiran, tetapi oleh kebudayaan, pengalaman, emosi, kematangan, dan bahkan kepribadian juga. Meskipun persepsi seorang anak bisa merapuh sebagai akibat dari adanya berbagai faktor perusak, guru dapat mengurangi bahkan mengatasi kerapuhan itu dengan jalan memberikan berbagai pengalaman kepada murid-muridnya itu. Guru dapat mengadaptasi dan memodifikasi berbagai pengalaman sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, sehingga kesempatan untuk mengembangkan persepsi itu bisa berlangsung dengan sebaik-baiknya.

5. Membaca Sebagai Proses Perkembangan

Membaca itu pada dasarnya merupakan suatu proses perkembangan yang terjadi sepanjang hayat seseorang. Kita tidak tahu kapan perkembangan itu dimulai,

(28)

dan bilamana berakhir. Namun, kita tahu bahwa kesehatan seorang ibu yang rawan waktu mengandung atau berbagai komplikasi yang terjadi waktu bayi itu lahir pasti berakibat buruk terhadap kemampuan membaca anak itu kelak. Kita tahu bahwa anak-anak tertentu mempunyai kesiapan belajar membaca lebih cepat daripada anak-anak-anak-anak lainnya, dan ada pula anak-anak yang memiliki kesiapan yang sangat dini, pada usia empat bahkan tiga tahun. Kita juga tahu bahwa anak-anak yang lain bisa membaca baru pada usia enam atau tujuh tahun. Setiap orang mempunyai kecepatan perkembangan kemampuan membaca seumur hidupnya dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pendek kata, membaca itu merupakan proses yang berkelanjutan dan berubah.

Seberapa pun kemampuan membaca seseorang, kemampuannya itu selalu dapat diperbaiki dengan berbagai upaya. Seseorang yang telah menamatkan sekolahnya akan merasa perlu meningkatkan kemampuan membacanya itu jika orang tersebut mempunyai hasrat untuk mempertahankan hidupnya itu secara layak. Seseorang yang memilih lapangan kerja tertentu akan dituntut untuk mengembangkan keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaannya itu. Seorang operator telepon dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk membaca nomor-nomor telepon dan angka-angka digital dengan cepat; seorang arsitek harus mapu membaca gambar cetak biru secara baik dan cekatan, kalau dia tidak mau tersesat, demikian seterusnya. Pekerjaan baru, tanggung jawab perorangan dan tanggung jawab sosial yang baru, suasana hidup yang baru, semuanya menuntut suatu perkembangan yang berlanjut dalam bidang membaca.

Meski membaca itu merupakan proses perkembangan, geraknya tidaklah berada dalam jarak-jarak yang beraturan dan tidak pula tertentu waktunya. Seorang anak bisa berdiri pada usia tujuh bulan, berjalan pada usia delapan bulan, dan lari

(29)

pada usia sembilan bulan. Kemampuan yang demikian teratur jaraknya itu tidak dapat kita harapkan terjadi pada setiap anak. Demikian juga untuk perkembangan kemampuan membaca, guru harus mempunyai kejelian dalam memperhatikan kemajuan setiap anak didiknya. Kemajuan kemampuan membaca pada umumnya memang bergerak teratur, namun keistimewaan-keistimewaan tertentu bisa terjadi pada setiap anak. Masalah yang dihadapi anak ada yang bersifat problematik dan ada pula yang bersifat alami. Anak yang tidak dapat membaca karena belum cukup matang, akan menuntut kesabaran guru untuk menanti dia sampai pada tingkat kematangannya. Kesiapan anak didik itu harus dikembangkan pada setiap taraf perkembangan kemampuannya. Setiap perkembangan baru itu sesungguhnya merupakan kelanjutan dari perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kesiapan anak pada tingkat perkembangan yang berikutnya, guru harus betul-betul menyiapkan kesiapan anak tersebut pada taraf sebelumnya.

Dalam upaya mencamkan membaca sebagai proses perkembangan, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian guru. Pertama, guru harus selalu sadar bahwa membaca merupakan sesuatu yang diajarkan/dilatihkan dan bukan sesuatu yang terjadi secara insidental. Tidak ada seorang anak yang dapat membaca dengan jalan menonton orang lain membaca. Sebagian besar yang terjadi dalam membaca itu tidak dapat dilihat. Membaca bukanlah proses instinktif. Membaca merupakan proses yang dipelajari dan bergantung pada pemerolehan keterampilan dan prosedur tertentu. Anak boleh memahami membaca sebagai suatu jenis komunikasi dan bahwa lambang-lambang tertentu itu berupa kata. Namun, dia belum boleh dikatakan membaca sebelum guru mengajarinya mendekod atau mengubah dan mengidentifikasi lambang-lambang itu dengan konsep-konsep tertentu dan dengan pengalamannya sedemikian rupa sehingga dia memperoleh pengertian yang tepat.

(30)

Hal yang kedua yang patut diperhatikan ialah keyakinan bahwa membaca bukanlah suatu subjek melainkan suatu proses. Guru tidak boleh memandang mata pelajaran yang dikelolanya itu sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Mata pelajarannya harus menarik dan layak. Proses itu dapat digeneralisasikan terhadap tingkatan-tingkatan lain yang lebih tinggi dan terhadap mata pelajaran lainnya.

Peran membaca sebagai tugas menurun tajam pada peringkat sekolah menengah pertama dan menengah atas. Oleh karena itu, pengajaran membaca terus berlangsung dalam jamjam pelajaran bahasa. Pengajaran membaca bisa juga berupa pengajaran membaca untuk makna, pengembangan kosakata, membaca pemahaman, dan pelajaran keterampilan. Akhirnya membaca itu harus dipandang sebagai alat dan bukan sebagai tugas. Anak yang mampu menguasai berbagai tingkatan proses membaca akan merasakan membaca sebagai sumber pertolongan terpenting dalam menghadapi segala persoalan dalam kehidupannya sehari-hari.

6. Membaca Sebagai Proses Perkembangan Keterampilan

Telah dilukiskan secara panjang lebar bahwa membaca itu merupakan latihan yang sangat kompleks, dan sangat tergantung pada bermacam-macam faktor. Sifat proses perkembangan keterampilan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Keterampilan itu objektif.

Salah satu hal yang mula-mula kita sadari waktu meneliti proses perkembangan keterampilan membaca ialah bahwa perkembangan keterampilan membaca itu bersifat objektif. Hal tersebut dipandang objektif karena dalam perkembangannya tidak bergantung kepada materi, metode, atau pun tingkatan-tingkatan akademis.

(31)

Salah satu bagian terpenting dari proses perkembangan itu ialah identifikasi keterampilan yang akan diajarkan. Jika keterampilan tertentu sudah dapat diidentifikasi, maka guru dapat menggunakan salah satu metode yang dianggap paling cocok dari sekian banyak metode yang ada serta memilih dan menentukan materi bacaan yang cocok pula dengan kebutuhan anak didiknya. Seorang anak mungkin menghendaki pembelajaran melalui program visual, sedangkan anak yang lain akan merasa lebih mudah belajar membaca itu melalui pendengaran, dan yang lain lagi melalui latihan kinestetik. Meskipun buku bacaan permulaan menyajikan materi yang layak, anda mungkin mempunyai keinginan untuk menggunakan surat kabar, majalah, dan katalog untuk mengajarkan membaca kepada pembaca dewasa.

Anda tahu bahwa perkembangan keterampilan itu tidak terikat pada materi dan metode tertentu atau pun pada tingkatan kelas. Pada hakikatnya, keterampilan itu adalah keterampilan. Kita tidak mengenal keterampilan anak peringkat satu atau anak kelas enam atau kelas delapan. Berdasarkan hal tersebut, anda sebagai guru dituntut untuk menyadari seluruh keterampilan. Supaya sampai pada faktor-faktor yang diperlukan anak pada suatu tingkatan perorangan, anda harus mengetahui keterampilan yang mana yang mendahului keterampilan yang sedang diajarkan itu, dan keterampilan mana yang mengikutinya.

2) Keterampilan itu mempunyai sifat berlanjut.

Meskipun keterampilan itu tidak terikat pada tingkatan kelas anak, namun kaitannya tetap tampak. Ini tidak berarti bahwa anda harus mengajarkan konsonan awal sebelum mengajarkan konsonan akhir, tanda titik sebelum tanda tanya, atau membaca fakta sebelum membaca untuk mencari ide utama. Anak akan mampu mencari materi sumber secara mandiri setelah menguasai keterampilan-keterampilan prasyarat.

(32)

3) Keterampilan itu bisa digeneralisasikan.

Di samping objektif dan bertahap, keterampilan itu bersifat tergeneralisasikan. Keterampilan dasar dalam membaca dapat digeneralisasikan sehingga anak yang telah menguasai keterampilan tersebut dituntut untuk dapat menerapkannya kapan saja dan di mana saja jika situasinya menghendaki penggeneralisasian hal itu. Jika anak telah menguasai cara memahami kata secara mandiri, baginya tidak akan merupakan masalah di mana pun kata itu berada, baik dalam teks matematika, buku latihan geografi, atau pun di dalam sebuah novel. Penggunaan konteks kalimat dalam upaya memahami makna kata merupakan keterampilan yang sama dan tidak terikat pada mata pelajaran yang mana pun.

Dalam perkembangan keterampilan dikenal tahapan-tahapan, atau tingkatan-tingkatan. Kata tahapan atau tingkatan dalam pembicaraan tentang proses perkembangan keterampilan tidak mempunyai arti tingkat-tingkat yang berlainan makna. Seorang anak tidak perlu berhenti berkembang untuk keterampilan tertentu karena dia harus mulai mengembangkan keterampilan lainnya.

a) Dasar proses perkembangan keterampilan ialah perkembangan konsep. Hal tersebut dimulai dengan pengalaman anak yang pertama kali yang terus berkembang seumur hidupnya. Perkembangan konsep itu merupakan prasyarat untuk membaca, sama juga halnya untuk menyimak dan berbicara. Pengembangan konsep itu merupakan bank pengetahuan yang bagi anak berfungsi sebagai tempat menyimpan dan mengambil informasi secara terus-menerus. Dalam pertumbuhannya itu anak-anak tumbuh dan berubah, demikian juga perbendaharaan konsepnya akan terus tumbuh dan berubah-ubah.

(33)

Pertumbuhan dan perubahan konsep anak banyak bergantung pada latar belakang pengalamannya. Anak yang mempunyai satu macam lingkungan saja, tingkat komunikasi yang itu-itu juga, serta pengalaman yang sejenis, akan terhambat perkembangan kosakatanya. Anak mengenal makna kata-kata itu melalui penyimakan penggunaannya dan upaya penggunaannya sendiri.

b) Tahap perkembangan yang kedua merupakan pengenalan dan identifikasi. Pada waktu anak membina dasar-dasar konsep yang pertama, dia mulai pula menghubungkan konsep-konsepnya itu dengan stimuli tertentu. Contoh yang jelas mengenai hal ini dalam kegiatan membaca, misalnya terjadi pada pengenalan huruf dan kata. Dia belajar menghubungkan huruf dan kata atau kombinasi huruf dan kombinasi kata itu dengan konsep-konsep yang bermakna baginya. Jika dia berhasil mengombinasikan keduanya, yakni stimulus dan konsep, maka dia pun memperoleh makna dari pengalamannya itu.

c) Tahapan ketiga, perkembangan itu merupakan interpretasi mengenai informasi. Anda tentu tahu bahwa anak sudah mulai melakukan kegiatan penginterpretasian informasi itu sejak awal proses, meskipun upayanya itu belum jelas. Dalam hal ini, kita perlu membedakan dua macam interpretasi, yakni yang literal dan yang inferensial. Interpretasi literal ialah interpretasi fakta ketika fakta itu dihadapkan. Contoh interpretasi literal yang merupakan keterampilan pemahaman tampak pada kalimat dan pertanyaan di bawah ini.

Columbus menemukan benua Amerika tanggal 12 Oktober 1492. (1) Siapakah yang menemukan Amerika?

(2) Kapankah Columbus menemukan Amerika? (3) Negeri apakah yang ditemukan Columbus?

(34)

Meski contoh itu terlalu disederhanakan, bentuknya sama dengan tes untuk mengetahui interpretasi literal. Anda melihat bahwa tugas tersebut tidak lebih dari sebuah suruhan untuk mencocokkan fakta dengan pertanyaan. Jika anak tidak diizinkan melihat kembali kalimat-kalimat stimulus tadi, berarti kita telah memasukkan unsur ingatan ke dalamnya.

Pernyataan stimulus yang sama boleh digunakan sebagai dasar pertanyaan yang bersifat inferensial, misalnya, Menurut pikiranmu, bagaimana kira-kira perasaan Columbus saat melihat Amerika untuk pertama kali? Pertanyaan yang terakhir ini mengubah isi harapan; oleh sebab itu, mengubah pula isi penugasan.

Perbedaan utama antara interpretasi literal dan interpretasi inferensial terletak pada harapan siswa itu sendiri. Sifat ekstrinsik seperti yang tampak pada ketiga pertanyaan pertama dan sifat intrinsik seperti yang tampak pada pernyataan yang terakhir merupakan hal yang perlu dipahami. Untuk melukiskan perbedaan antara interpretasi literal dan inferensial cobalah perhatikan paragraf berikut ini dan pertanyaan-pertanyaan yang mengikutinya yang bersifat inferensial.

Joko menaruh sepeda barunya di trotoar persis di depan rumah Kino. Kino melihat-lihat sepeda itu. Dia ingin benar memiliki sepeda baru seperti itu. Kepunyaannya sudah tidak keruan catnya, bunyi-bunyi berdenyit dan gemertak pun terdengar jika Kino menaikinya. Akan tetapi, sepeda baru sangat mahal sekarang, sedangkan Kino sangat miskin.

Pertanyaan

(1) Bagaimana kamu tahu bahwa Kino tidak mempunyai sepeda baru? (2) Di manakah cerita itu terjadi?

(35)

B. di kota

C. di daerah perkebunan

(3) Menurut pikiranmu, apa sebabnya Joko mau supaya Kino melihat sepeda barunya itu?

Bagaimana pendapat anda mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas? Untuk menjawab ketiga pertanyaan itu diperlukan tiga macam informasi. Ada tiga macam informasi untuk menjawab pertanyaan yang pertama: (1) Kino ingin sekali sepeda baru; (2) Sepeda Kino sudah berbunyi-bunyi dan tidak keruan lagi catnya; dan (3) Kino sangat miskin.

Untuk menjawab pertanyaan kedua, hanya ada satu informasi yang bisa digunakan, yaitu "Baik di desa maupun di perkebunan tidak ada trotoar". Oleh sebab itu, dapatlah dipastikan bahwa kejadian itu berlangsung di kota.

Terhadap pertanyaan ketiga tidak ada jawaban yang benar yang bisa diberikan. Kita tidak mempunyai fakta sebagai dasar jawaban kita. Dalam hal ini setiap jawaban yang logis haruslah dianggap benar. Jawaban kita mungkin mencerminkan pengalaman yang mempunyai kesamaan dengan alasan untuk menunjukkan benda baru yang kita miliki.

Dengan demikian inferensi itu meliputi interpretasi dan kombinasi fakta dan pengalaman apa pun yang kita miliki yang dapat kita gunakan untuk memenuhi harapan kita. Pada satu waktu tertentu inferensi itu bisa meliputi analogi, pengenalan, penginterpretasian, dan penerjemahan atas suatu fakta. Pada waktu yang lain lagi inferensi itu bisa menuntut kita untuk memintasi pengalaman pribadi pada waktu berupaya untuk mengidentifikasi secercah informasi yang mempunyai relevansi dengan harapan.

(36)

d) Tahap proses perkembangan keterampilan yang keempat ialah aplikasi dan generalisasi. Meskipun sudah memiliki dasar konsep yang boleh dikatakan layak dan menguasai keterampilan-keterampilan yang terlibat ke dalam rekognisi atau pengenalan, pengidentifikasian, dan penginterpretasian informasi, namun prosesnya belum tentu lengkap. Dia boleh jadi belum memiliki kemampuan untuk menerapkan dan menggeneralisasikan keterampilan dan informasi yang diperolehnya itu. Dia tidak akan sampai pada taraf pembaca yang mandiri sebelum memiliki kemampuan tersebut.

Kita dapat melihat contoh-contoh penerapan dan penggeneralisasian itu pada setiap tahapan proses perkembangan. Generalisasi dan interpretasi itu merentang dari pengenalan, seperti pengenalan ciri-ciri melati, ros, dan kenanga sebagai bunga, /c/ kecil, /C/ kapital, dan /c/ tulisan tangan itu dibunyikan sama. Kemampuan anak itu belum cukup jika berhenti pada sebatas pengenalan semata. Dia baru boleh dianggap menguasai informasi itu jika sesudah mengenalinya, dia mampu pula mengaplikasikannya dan menggeneralisasikannya.

RANGKUMAN

Dalam bab ini telah diuraikan secara ringkas mengenai proses membaca. Proses membaca dimaksud merupakan proses psikologis, proses sensoris, proses perseptual, proses perkembangan, dan proses perkembangan keterampilan. Tekanan utama pembicaraan diletakkan pada keyakinan yang menyatakan bahwa membaca merupakan proses yang berorientasi individual. Setiap anak merupakan pribadi yang unik dan kompleks, yang mempunyai hubungan yang kompleks dengan membaca.

(37)

Hanya dengan jalan memahami semuanya itu dan mencamkannya dalam kegiatan belajar mengajar, anak akan dapat kita tolong untuk mencapai potensi membacanya. Perlu anda maklumi bahwa bab ini tidak sekali-kali dimaksudkan untuk melukiskan proses membaca itu secara pasti. Dengan membaca dan memahami isi bab ini, anda diharapkan memiliki pandangan yang terarah pada masalah yang mungkin anda hadapi dalam tugas anda. Denagn jalan melihat proses itu dari berbagai sudut pandang, anda akan mempunyai pengertian yang lebih baik mengenai hakikat membaca. Anda boleh yakin bahwa dengan memiliki pengertian yang lebih baik akan dapat membekali setiap anak dalam kelas dengan pengalaman yang lebih berarti.

(38)

SEKAPUR SIRIH

MODUL 1: HAKIKAT MEMBACA

PENDAHULUAN

Kegiatan Belajar 1: Membaca sebagai Proses Psikologis Rangkuman

Latihan

Tes Formatif 1

Kegiatan Belajar 2: Membaca sebagai Proses Sensoris Rangkuman

Latihan

Tes Formatif 2

Kegiatan Belajar 3: Membaca sebagai Proses Perseptual Rangkuman

Latihan

Tes Formatif 3

Kegiatan Belajar 4: Membaca sebagai Proses Perkembangan Rangkuman

Latihan

(39)

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF DAFTAR PUSTAKA

(40)

MODEL-MODEL MEMBACA

( Teori dan Praktek dalam Pengajaran Membaca)

PENDAHULUAN

Sampai sekarang di kalangan guru sekolah masih hidup suatu keyakinan, bahwa pandangan seseorang terhadap suatu teori tertentu akan melandasinya dalam bersikap dan bertindak. Pandangan ini disitir dari pernyataan Wardhaugh (1969), yang berarti kira-kira "sesungguhnya bagi guru sekolah tidak ada yang lebih praktis daripada suatu teori yang baik". Pengajaran yang baik ialah pengajaran yang didasari oleh suatu pemahaman dan pengertian teoretis yang baik terhadap suatu teori tertentu.

Teori adalah penjelasan yang abstrak tentang suatu kejadian tertentu atau tentang seperangkat fenomena. Sebagai contoh, ambillah teori kinetik tentang gas yang menjelaskan pola gas di alam ini. Teori itu menganut pandangan bahwa gas itu tersusun atas partikel-partikel yang bergerak terus-menerus. Istilah teori mempunyai kedekatan makna dengan istilah model. Model dapat diartikan sebagai definisi operasional tentang suatu teori tertentu.

Kembali kepada contoh kita tentang teori kinetik. Teori kinetik mengenai gas mempunyai banyak model. Namun, tidak selayaknya dibicarakan di sini semuanya. Untuk memahami arti kata "model" baiklah kita ambil satu contoh saja. Model yang paling umum diterima adalah model yang menyatakan bahwa pola gas itu merupakan suatu fungsi efek tekanan, panas, dan volume terhadap molekul-molekul gas tertentu. Teori kinetik untuk gas itu, baik teorinya sendiri maupun modelnya, kedua-duanya mempunyai sifat yang formal, cermat, dan spesifik, meliputi sejumlah hukum yang valid, yang biasa dinyatakan dengan rumus yang dikenal dan bisa dipahami oleh siswa tingkat lanjutan atas.

(41)

Dalam bab ini anda akan memperoleh keterangan tentang teori dan model membaca yang mempunyai sifat yang tidak sama dengan teori dan model yang telah disinggung di atas tentang teori kinetik itu. Model-model membaca tersebut mempunyai pengruh yang penting terhadap pengajaran membaca. Karenanya anda perlu mempelajarinya dengan baik. Sayang, uraian mengenai hal ini belum ada yng ditulis dalam bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dengan mempelajari bab ini anda akan memperoleh gambaran yang cukup baik tentang model-model membaca.

Secara lebih khusus, anda diharapkan dapat memahami model-model membaca yang terpenting, yang meliputi:

a) menjelaskan "model membaca bawah-atas"; b) menjelaskan "model membaca atas-bawah"; c) menjelaskan "model membaca interaktif";

d) mengidentifikasi komponen-komponen model membaca;

e) mengaplikasikan model pengajaran membaca yang berlandaskan teori tertentu.

2. Model Membaca Bawah-Atas (MMBA)

Model membaca sangat berkaitan dengan proses membaca. Studi yang sistematis tentang proses membaca dimulai sejak tahun 1880-an. Pada waktu itu proses membaca merupakan pusat perhatian para ahli psikologi eksperimental. Di antara tahun 1950-an dan tahun 1960-an perhatian para ahli diarahkan pada definisi dan penjelasan tentang membaca. Semenjak tahun 1970-an timbul model-model dan teori membaca yang bertitik tolak dari pandangan ahli psikologi perkembangan dan psikologi kognitif, proses informasi, psikolinguistik dan linguistik.

Para ahli membaca mencari penjelasan yang lebih terinci mengenai proses membaca dan penjelasan teoretisnya mengenai hal tersebut. Model membaca itu

(42)

ternyata tidak hanya satu melainkan banyak model. Namun, model-model proses membaca tersebut tampaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi model, yakni:

1) Model Membaca Bawah-Atas (MMBA) atau bottom-up; 2) Model Membaca Atas-Bawah (MMAB) atau top-down; dan 3) Model Membaca Timbal Balik (MMTB) atau interactive.

Sebelum membaca penjelasan tentang ketiga model tersebut, sebaiknya Anda mencamkan bahwa tidak satu pun di antara ketiga model itu dapat diterima sebagai model yang terbaik. Setiap model mempunyai titik berat perhatian terhadap aspek-aspek tertentu. Tidak ada model yang membicarakan fase-fase proses membaca itu secara keseluruhan.

Gambar di bawah ini melukiskan perbedaan pokok antara MMBA dan MMAB.

(43)

Pada MMBA struktur-struktur yang ada dalam teks itu di anggap sebagai unsur yang memainkan peran utama. Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peranan utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder.

MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekode dan enkode. Dekode ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Enkode ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambang-lambang. Peristiwa dekoding tampak pada pihak penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca (dalam peristiwa

Memori Jangka Panjang MMAB (Top down) Memori Jangka Pendek Memori Ikonik Pemahaman (Makna) Kode Bunyi (Pola Bunyi) Kode Visual (Pola Visual) MMBA (Bottom Up)

(44)

komunikasi tulis). Sementara kegiatan enkoding terjadi pada para pembicara (untuk peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis).

Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu. Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekode dalam bahasa batin. Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti yang terjadi pada waktu menyimak.

Jika kita lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Informasi dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk diidentifikasi dan dincari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya.

Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai bidang profesi, seperti: Flesch (jurnalistik , Gagne (psikologi), dan Gough (teori proses informasi) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu tunduk kepada aturan bahasa lisan.

Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-satunya dalam proses membaca model bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama dan utama dalam membaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu

(45)

diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya dengan isi bacaan.

Definisi-definisi membaca yang dibuat oleh Rudolf Flesch dan C.C. Fries yang tertera di bawah ini menunjukkan model membaca bawah-atas.

Fries (1962), mendefinisikan membaca sebagai kegiatan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan merespon seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang grafis.

Model-model pemikiran yang sejalan dengan MMBA itu melahirkan metode pengajaran membaca tertentu. Para guru membaca akan memilih metode-metode pengajaran tertentu sesuai dengan pandangan teoretis yang dianutnya. Inilah yang oleh Wardaugh disebut sebagai pandangan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap teori tertentu yang dianutnya. Metode-metode pengajaran membaca yang dipandang sebagai cerminan dari pandangan MMBA antara lain, metode Alfabet, metode Fonik, metode Kata Kunci, metode Silabik, dan sebagainya.

Metode Alfabet merupakan metode pengajaran membaca yang tertua. Dalam zaman keemasan Yunani dan Roma orang mengajarkan membaca denagn Metode Alfabet. Dalam Metode ini, huruf-huruf yang akan diajarkan itu diucapkan sama dengan ucapan alfabetisnya. Dengan demikian huruf "D" diucapkan /de/; huruf "K" diucapkan /ka/, huruf "L" diucapkan /el/; huruf "M" diucapkan /em/ dan selanjutnya.

Menghubungkan ucapan "k" /ka/ dan "i" /i/ menjadi "ki" /ki/ ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca. Itulah sebabnya dalam metode Fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti ucapan Alfabet. Huruf "K" tidak diucapkan /ka/, tetapi /kh/atau /ek/; huruf "D" tidak

Gambar

Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa semakin banyak informasi  nonvisual  dimiliki  dan  dimanfaatkan  seseorang  dalam  kegiatan  membaca,  maka  kebutuhan  akan  informasi  visual  akan  semakin  berkurang
Tabel Latihan KEM

Referensi

Dokumen terkait