1. Pendahuluan
Sebagai seorang guru, guru bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan bacaan yang layak untuk siswanya merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Terlebih-lebih untuk guru bahasa Indonesia, karena pengajaran membaca secara formal dibebankan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia. Meskipun buku paket atau buku teks sebagai buku pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar yang ada.
Untuk pengajaran membaca, persoalan penyediaan bahan ajar membaca tidaklah terikat oleh ketentuan buku paket atau buku teks tertentu. Dalam kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk konsumsi baca ini terasa sangat kental. Bahan bacaan tersebut dapat berupa buku teks, buku ilmiah, surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain.Kesemua bahan bacaan tersebut berpeluang untuk dijadikan bahan ajar membaca atau mungkin untuk tugas membaca. Masalahnya, apakah semua bahan bacaan yang tersedia serta mudah didapat tersebut layak untuk konsumsi baca siswa kita? Bagaimana kita dapat menentukan kriteria kelayakan dimaksud? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaan yang layak baca untuk para siswanya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya memacu kita untuk mencari jawabnya. Pada bab ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi melalui bahasan "keterbacaan". Bahasan bab ini mudah-mudahan dapat membantu para guru bahasa untuk dapat menentukan tingkat keterbacaan wacana yang cocok untuk para siswanya.
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Melalui bab ini, anda akan kami ajak untuk mengenal berbagai konsep dan formula keterbacaan yang biasa digunakan untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan. Dengan demikian, setelah membaca bab ini, anda diharapkan dapat menggunakan berbagai formula keterbacaan untuk kepentingan penentuan tingkat keterbacaan berbagai ragam bacaan.
Secara rinci, diharapkan anda dapat:
(a)menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan;
(b)menjelaskan sekurang-kurangnya empat bentuk formula keterbacaan;
(c)menunjukkan perbedaan langkah/prosedur kerja pemakaian formula-formula keterbacaan;
(d)menggunakan formula-formula keterbacaan tersebut untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan.
2. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, "keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya.
Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi guru yang mempunyai perhatian terhadap metode pamberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang layak dibaca.
Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan.
Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor utama yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah.
Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale & Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
3. Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca
Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna, terutama bagi guru yang memiliki perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku teks atau bahan bacaan lainnya. Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu yang
dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak lain.
Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksi-koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat kabar, jurnal, pamflet-pamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh pihak sekolah melainkan oleh setiap kelas. Dengan demikian, setiap sekolah di samping harus memiliki perpustakaan sekolah juga harus memiliki perpuatakaan-perpustakaan kelas yang terletak di setiap sudut masing-masing kelas.
Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi bacaan yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat kelayakan dimaksud, tidak saja didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai (seperti nilai isi, manfaat, pendidikan, moral, estetika, etika, dan lain-lain) melainkan juga harus dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing materi cetak dimaksud. Bahan-bahan bacaan tersebut hendaknya memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan tuntutan dan karakteristik pembacanya.
Di samping hal-hal tersebut d atas, penggunaan rumus-rumus keterbacaan akan sangat bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan yang hendak diajarkannya. Meskipun bahan bacaan untuk kepentingan bahan ajar sudah tersedia banyak di luar, namun tuntutan bagi setiap guru untuk dapat berperan dan bertindak sebagai penulis tampaknya bukanlah pandangan yang keliru. Peran guru sebagai penulis tampak semakin jelas pada saat mereka dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan berikut, misalnya, mempersiapkan tes, membuat rencana
pengajaran, menyusun program pengajaran, membuat surat kepada orang tua siswa, atau kegiatan tulis-menulis lainnya.
Dalam mempersiapkan bahan-bahan seperti yang kita jelaskan tadi, guru hendaknya mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang ditulisnya itu. Bukankah si penulis (guru) berkeinginan hasil tulisannya tersebut terbaca pihak lain sebagai sasaran pembacanya.
Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki setiap guru. Pengubahan keterbacaan itu sendiri dapat dilakukan dengan jalan meninggikan taraf kesulitan wacananya atau mungkin sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan wacana tersebut. Kegiatan ini perlu dilakukan guru, jika guru memandang para siswanya wajib mengetahui isi konten (isi materi) dari wacana itu dan tidak menemukan sumber bacaan lain yang tingkat keterbacaan wacananya cocok dengan peringkat siswanya.
4. Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Formula-formula keterbacaan yang pemakaiannya dewasa ini tengah populer, di samping memiliki kelebihan juga mengandung kelemahan. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini mendasarkan formulanya pada dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kedua faktor yang menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan ini mengundang pertanyaan pada kita. Bagaimana dengan konsep-konsep yang terkandung dalam wacana yang bersangkutan? Bukankah konsep-konsep makna yang terkandung dalam suatu wacana yang tidak terjakau oleh pembacanya akan berdampak pada keterpahaman pembacanya. Sering kita dapati kasus, seseorang tidak
dapat memahami wacana yang dibacanya meskipun wacana tersebut telah memenuhi kriteria keterbacaan untuk peringkat pembaca yang bersangkutan. Mengapa hal itu terjadi?
Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala kita dihadapkan pada bahan bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang pendek-pendek, namun tingkat keterbacaan puisi justru malah menjadi rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa unsur semantis tidak dapat terjangkau oleh alat ukur keterbacaan yang ada.
Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbacaan? Bukankah jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah berbicara tentang makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan didasarkan atas unsur panjang-pendek kata yang bersangkutan. Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata
yang secara visual tampak pendek, maka kalimat atau kata yang bersangkutan tergolong mudah.
Mari kita perhatikan contoh-contoh kalimat berikut. A. Ini Budi.
Ini ibu Budi.
Ibu Budi sedang memasak. Ini Wati.
Wati kakak Budi.
Wati sedang menyiram bunga. Pak Ahmad ayah Budi.
Beliau sedang membaca koran.
Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu. tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.
B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan seorang perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan pekerjaan lain, yakni menyiram bunga; sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu yang letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya.
Mari kita bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh B. Ditinjau dari segi informasi/maksud kalimat, kedua contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud yang sama. Namun dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat,
seperti tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B menggunakan kalimat-kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang. Contoh wacana A lazim kita dapati pada buku-buku ajar (bahan ajar membaca) untuk peringkat pemula, atau terdapat pada buku-buku pelajaran kelas I sekolah dasar. Sementara contoh wacana B merupakan sajian bahan ajar untuk anak-anak sekolah dasar yang relatif lebih tinggi kelasnya (misalnya kelas 4-5 SD).
Bagaimana kesimpulan anda setelah melihat dan membaca kedua bentuk penyajian kalimat di atas? Contoh penyajian A yang menggunakan kalimat-kalimat yang pendek-pendek jauh lebih mudah ketimbang contoh penyajian B, bukan?Dengan kata lain, tingkat keterbacaan wacana pada wacana A tergolong tinggi bila dibandingkan dengan tingkat keterbacaan wacana B. Semakin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin mudah wacana tersebut. sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana semakin sukar wacana tersebut.
Untuk menolokukuri tingkat kesulitan sebuah kalimat dengan kriteria panjang_pendek kalimat tampaknya tidak mengundang masalah. Pada kenyatannya, kalimat kompleks jauh lebih sulit ketimbang kalimat sederhana atau kalimat tunggal. Bagaimanapun, kalimat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan konsep; sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan, sebuah konsep tertentu. Pada kalimat kompleks terjadi pemadatan konsep atau ide. Oleh karena itu, kalimat tersebut akan jauh lebih sukar ketimbang kalimat-kalimat tunggalnya.
Bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat dijadikan indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan. Mari kita perhatikan deretan kata-kata berikut.
A. - era B. - zaman - asa - harapan
- rona - cahaya/air muka - makar - muslihat
Bila kita bandingkan deretan kata pada contoh A dan deretan kata pada contoh B, manakah di antara kedua contoh deretan kata tersebut yang menurut anda memiliki tingkat kesulitan yang relatif lebih tinggi? Apa alasannya? Deretan kata-kata yang terdapat pada contoh B, tampaknya merupakan kata-kata yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari, dalam percakapan yang bersifat umum. Kosakata yang terdapat pada contoh B relatif akrab dengan kehidupan keseharian kita. Lain halnya dengan kosakata yang terdapat pada contoh A. Kata-kata tersebut rasanya tidak terlalu akrab dengan kehidupan keseharian kita. Oleh karenanya, kita merasa asing dengan kosakata tersebut. Akibatnya, ditinjau dari sudut semantisnya, deretan kata yang terdapat pada contoh A relatif lebih sulit ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B. Padahal dari segi bentuk, deretan kata yang terdapat pada contoh A jauh lebih pendek-pendek ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B.
Hal lain yang menjadi keterbatasan formula-formula keterbacaan terletak pada penggunaan slang, satir, makna ganda, atau minat pembaca. Formula keterbacaan itu, tampaknya tidak bisa digunakan untuk bacaan fiksi (karya sastra), terlebih-lebih pada
karya sastra berupa puisi. Puisi memiliki bentuk yang khas dengan struktur-struktur kalimat yang jauh bebeda dari struktur-struktur kalimat pada karya nonfiksi, seperti buku teks misalnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan kita pada saat menentukan tingkat keterbacaan wacana.
5. Penggunaan Formula-formula Keterbacaan
Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakan banyak waktu.
Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas ialah rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.
Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisional: panjang-pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Namun, kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (Grafik Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula Dale-Chall
berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu menunjukkan adanya keajegan rumus-rumus dan ketepercayaan penggunaan alat ukur yang diciptakannya.
5.1 Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry 5.1.1 Bagaimana Memahami Grafik Fry
Sekarang mari kita kenali formula keterbacaan dari Edward Fry yang kemudian kita kenal dengan sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah "Journal of Reading". Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.
Sebelum sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali dulu grafik dimaksud dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa, bahwa formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Silakan anda perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud, seperti tertera di bawah ini. Hal ini penting anda camkan agar pada saat mengenali grafik Fry, anda sudah paham cara menggunakannya. Hal ini akan menjadi dasar pertimbangan kita pada saat melakukan penafsiran terhadapnya. Berikut contoh grafiknya.
Grafik Fry
GRAFIK
(Lihat Copy aslinya)
Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik kita dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan dimaksud.
Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat.
Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain.
Ketika anda membaca keterangan "seratus perkataan" pada grafik tersebut, mungkin anda bertanya-tanya, mengapa demikian? Mengapa harus "seratus" perkataan? Angka tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil
dari halaman-halaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu.
Mungkin anda bertanya-tanya dalam hati, apakah pengukuran keterbacaan wacana yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100 perkataan itu hasilnya benar-benar dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara keseluruhan? Apalah artinya sepenggal wacana yang terdiri atas 100 perkataan bila dibandingkan dengan ketebalan sebuah buku yang tipis sekalipun? Sekarang mari kita bandingan proses pengukuran keterbacaan dimaksud dengan proses pengukuran suhu tubuh oleh para dokter. Jika para dokter mendeteksi suhu tubuh seseorang dengan stetoskop, dia hanya akan memilih bagian-bagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel. Misalnya saja, dokter akan memilih bagian ketiak atau mulut untuk dijadikan sampel pengukuran suhu tubuh seseorang. Meskipun begitu, hasil dari pengukuran dimaksud merupakan cerminan dari ukuran suhu tubuh si pasien secara keseluruhan. Untuk mengetahui suhu tubuh seseorang, dokter tidak perlu melakukan pengukuran suhu tubuh tersebut mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, melainkan memilih bagian-bagian tertentu dari tubuh tersebut yang dianggap dapat mewakili seluruh suhu tubuh. Dengan beranalogi pada proses kerja pengukuran suhu oleh para dokter, maka