( Teori dan Praktek dalam Pengajaran Membaca)
PENDAHULUAN
Sampai sekarang di kalangan guru sekolah masih hidup suatu keyakinan, bahwa pandangan seseorang terhadap suatu teori tertentu akan melandasinya dalam bersikap dan bertindak. Pandangan ini disitir dari pernyataan Wardhaugh (1969), yang berarti kira-kira "sesungguhnya bagi guru sekolah tidak ada yang lebih praktis daripada suatu teori yang baik". Pengajaran yang baik ialah pengajaran yang didasari oleh suatu pemahaman dan pengertian teoretis yang baik terhadap suatu teori tertentu.
Teori adalah penjelasan yang abstrak tentang suatu kejadian tertentu atau tentang seperangkat fenomena. Sebagai contoh, ambillah teori kinetik tentang gas yang menjelaskan pola gas di alam ini. Teori itu menganut pandangan bahwa gas itu tersusun atas partikel-partikel yang bergerak terus-menerus. Istilah teori mempunyai kedekatan makna dengan istilah model. Model dapat diartikan sebagai definisi operasional tentang suatu teori tertentu.
Kembali kepada contoh kita tentang teori kinetik. Teori kinetik mengenai gas mempunyai banyak model. Namun, tidak selayaknya dibicarakan di sini semuanya. Untuk memahami arti kata "model" baiklah kita ambil satu contoh saja. Model yang paling umum diterima adalah model yang menyatakan bahwa pola gas itu merupakan suatu fungsi efek tekanan, panas, dan volume terhadap molekul-molekul gas tertentu. Teori kinetik untuk gas itu, baik teorinya sendiri maupun modelnya, kedua-duanya mempunyai sifat yang formal, cermat, dan spesifik, meliputi sejumlah hukum yang valid, yang biasa dinyatakan dengan rumus yang dikenal dan bisa dipahami oleh siswa tingkat lanjutan atas.
Dalam bab ini anda akan memperoleh keterangan tentang teori dan model membaca yang mempunyai sifat yang tidak sama dengan teori dan model yang telah disinggung di atas tentang teori kinetik itu. Model-model membaca tersebut mempunyai pengruh yang penting terhadap pengajaran membaca. Karenanya anda perlu mempelajarinya dengan baik. Sayang, uraian mengenai hal ini belum ada yng ditulis dalam bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dengan mempelajari bab ini anda akan memperoleh gambaran yang cukup baik tentang model-model membaca.
Secara lebih khusus, anda diharapkan dapat memahami model-model membaca yang terpenting, yang meliputi:
a) menjelaskan "model membaca bawah-atas"; b) menjelaskan "model membaca atas-bawah"; c) menjelaskan "model membaca interaktif";
d) mengidentifikasi komponen-komponen model membaca;
e) mengaplikasikan model pengajaran membaca yang berlandaskan teori tertentu.
2. Model Membaca Bawah-Atas (MMBA)
Model membaca sangat berkaitan dengan proses membaca. Studi yang sistematis tentang proses membaca dimulai sejak tahun 1880-an. Pada waktu itu proses membaca merupakan pusat perhatian para ahli psikologi eksperimental. Di antara tahun 1950-an dan tahun 1960-an perhatian para ahli diarahkan pada definisi dan penjelasan tentang membaca. Semenjak tahun 1970-an timbul model-model dan teori membaca yang bertitik tolak dari pandangan ahli psikologi perkembangan dan psikologi kognitif, proses informasi, psikolinguistik dan linguistik.
Para ahli membaca mencari penjelasan yang lebih terinci mengenai proses membaca dan penjelasan teoretisnya mengenai hal tersebut. Model membaca itu
ternyata tidak hanya satu melainkan banyak model. Namun, model-model proses membaca tersebut tampaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi model, yakni:
1) Model Membaca Bawah-Atas (MMBA) atau bottom-up; 2) Model Membaca Atas-Bawah (MMAB) atau top-down; dan 3) Model Membaca Timbal Balik (MMTB) atau interactive.
Sebelum membaca penjelasan tentang ketiga model tersebut, sebaiknya Anda mencamkan bahwa tidak satu pun di antara ketiga model itu dapat diterima sebagai model yang terbaik. Setiap model mempunyai titik berat perhatian terhadap aspek-aspek tertentu. Tidak ada model yang membicarakan fase-fase proses membaca itu secara keseluruhan.
Gambar di bawah ini melukiskan perbedaan pokok antara MMBA dan MMAB.
Pada MMBA struktur-struktur yang ada dalam teks itu di anggap sebagai unsur yang memainkan peran utama. Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peranan utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder.
MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekode dan enkode. Dekode ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Enkode ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambang-lambang. Peristiwa dekoding tampak pada pihak penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca (dalam peristiwa
Memori Jangka Panjang MMAB (Top down) Memori Jangka Pendek Memori Ikonik Pemahaman (Makna) Kode Bunyi (Pola Bunyi) Kode Visual (Pola Visual) MMBA (Bottom Up)
komunikasi tulis). Sementara kegiatan enkoding terjadi pada para pembicara (untuk peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis).
Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu. Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekode dalam bahasa batin. Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti yang terjadi pada waktu menyimak.
Jika kita lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Informasi dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk diidentifikasi dan dincari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai bidang profesi, seperti: Flesch (jurnalistik , Gagne (psikologi), dan Gough (teori proses informasi) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu tunduk kepada aturan bahasa lisan.
Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-satunya dalam proses membaca model bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama dan utama dalam membaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu
diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya dengan isi bacaan.
Definisi-definisi membaca yang dibuat oleh Rudolf Flesch dan C.C. Fries yang tertera di bawah ini menunjukkan model membaca bawah-atas.
Fries (1962), mendefinisikan membaca sebagai kegiatan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan merespon seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang grafis.
Model-model pemikiran yang sejalan dengan MMBA itu melahirkan metode pengajaran membaca tertentu. Para guru membaca akan memilih metode-metode pengajaran tertentu sesuai dengan pandangan teoretis yang dianutnya. Inilah yang oleh Wardaugh disebut sebagai pandangan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap teori tertentu yang dianutnya. Metode-metode pengajaran membaca yang dipandang sebagai cerminan dari pandangan MMBA antara lain, metode Alfabet, metode Fonik, metode Kata Kunci, metode Silabik, dan sebagainya.
Metode Alfabet merupakan metode pengajaran membaca yang tertua. Dalam zaman keemasan Yunani dan Roma orang mengajarkan membaca denagn Metode Alfabet. Dalam Metode ini, huruf-huruf yang akan diajarkan itu diucapkan sama dengan ucapan alfabetisnya. Dengan demikian huruf "D" diucapkan /de/; huruf "K" diucapkan /ka/, huruf "L" diucapkan /el/; huruf "M" diucapkan /em/ dan selanjutnya.
Menghubungkan ucapan "k" /ka/ dan "i" /i/ menjadi "ki" /ki/ ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca. Itulah sebabnya dalam metode Fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti ucapan Alfabet. Huruf "K" tidak diucapkan /ka/, tetapi /kh/atau /ek/; huruf "D" tidak
diucapkan /de/. tetapi /dh/ atau /ed/. Demikian seterusnya, setiap lambang diucapkan berdasarkan bunyinya, berdasarkan bagaimana bunyi itu seharusnya diucapkan.
Langkah metode Fonik ini serupa benar dengan metode Alfabet dalam pengajaran membaca permulaan. Pengucapan suatu lambang bunyi tertentu diikuti oleh kegiatan menghubungkan bunyi itu dengan huruf-huruf yang melambanginya. Dengan demikian, para pemula melakukan proses belajar membaca permulaannya dimulai dari pengenalan dan pengidentfikasian lambang cetak dari teks. Dengan bantuan alat visualnya, para pembaca pemula akan menarik lambang-lambang yang dilihatnya ke dalam memori untuk ditafsirkan (dalam hal ini: diingat-ingat). Oleh karena itu, metode-metode pengajaran tersebut digolongkan ke dalam metode yang menganut pandangan MMBA dalam proses membaca.
Salah seorang tokoh MMBA, Gough (1972) mencoba menunjukkan proses membaca itu dalam sebuah model berurut-lanjut, tidak interaktif. Menurut pendapatnya, proses tersebut meliputi urutan-urutan seperti berikut ini.
(1)Informasi grafemik diserap melalui sistem visual dan disimpan secara singkat di dalam "ikon".
(2)Pesan tersebut dikilas dan diolah di dalam perlengkapan pengenal pola yang dapat mengenali huruf-huruf.
(3)Huruf-huruf ini kemudian dikirim ke pencatat huruf yang menahan huruf-huruf itu, sementara pendekod mengubah huruf-huruf tersebut menjadi gambaran fonem. (4)Gambaran fonem ini masuk ke dalam "librarian" yang mencarikan leksikon, dan
mencocokkan untaian fonemik dengan entri yang sudah ada dalam leksikon. (5)Untaian leksikal yang dihasilkan oleh librarian itu masuk ke dalam memori
(6)Memori pertama itu dapat menangkap satuan leksikal itu sampai lima buah, dan hal ini merupakan masukan bagi "merlin".
(7)Merlin menggunakan pengetahuannya tentang sintaksis dan sematik untuk menentukan "struktur dalam" atau mungkin makna masukan itu.
(8)Akhirnya, struktur dalam atau pernyataan-pernyataan tentang makna itu masuk ke dalam "Tempat Tujuan Kalimat-kalimat (TTKSMD), setelah maknanya dipahami.
Dengan demikian, kegiatan membaca itu selesai setelah semua masukan teks itu dapat melewati sederetan transformasi dan mencapai TTKSMD.
Gambaran di bawah ini membantu menjelaskan proses membaca menurut MMBA.
3. Model Membaca Atas-Bawah (MMAB)
Dalam uraian terdahulu kita telah membicarakan ihwal MMBA yang dalam pelaksanaan proses membacanya mengutamakan struktur yang tampak pada bahan
Masukan Grafemik IKON Sistem Visual Pencatat Huruf Pemin- tasl Perekam Fonemik Penyandi Memori Awal Pustaka- wan Merlin Pengenal Pola Buku Sandi Leksikon
bacaan. Oleh karena itu, model tersebut diistilahkan dengan model membaca bawah-atas, karena proses yang dilaluinya bermula dari bawah, yakni dari bacaan, bukan dari otak pembacanya.
MMAB mengajukan hal lain. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa mempunyai peran pertama dan utama dalam penyusunan makna dari materi cetak dalam proses membaca. Kebanyakan model MMAB ini berpijak pada teori psikolinguistik, yakni pandangan tentang interaksi antara pikiran dan bahasa.
Goodman (1967) yang melukiskan kegiatan membaca sebagai "permainan menebak dalam psikolinguistik", berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan atau menerka. Ketika informasi itu diproses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan tersebut. Berlainan dengan MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat viasual menangkap lambang-lambang cetak. Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan mata, jika tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya.
Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari sistem isyarat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik atau grafofonemik diturunkan dari materi cetak. Isyarat-isyarat lainnya berasal dari kompetensi kebahasaan pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya. Pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna. Setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang
pula tingkat keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik samping yang lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik juga, serta telah memiliki perbendaharaan konsep-konsep yang lebih kaya.
Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam materi cetak yang sedang dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui penggunaan strategi-strategi konfirmasi. Jika prakiraan itu tidak cermat, maka digunakanlah strategi pengoreksian yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan.
Berbeda dengan model-model "membaca sebagai terjemahan", para ahli MMAB berpendapat bahwa pembaca yang terampil selalu melangkah langsung dari kata-kata tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam ujaran. Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata secara cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler (koakakata) atau sintaksis yang tidak mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima. Hal ini disebabkan pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman terhadap bacaannya itu.
Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka pada pengajaran keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara berurutan. Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses behavioral (hubungan huruf- bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca pemula. Setelah pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin mengarah pada strategi-strategi kognitif.
Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegiatan membaca dengan model ini. Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya dilandasi oleh sebuah
asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan bahwa jika seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak negatif terhadap keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap kerja mata, semakin sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu memfokuskan perhatian terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat megalami kebutaan sementara. Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak bertuliskan apa-apa.
Salah satu kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah seringnya mereka tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang. Dengan MMAB, kendala tersebut dapat diatasi dengan jalan melakukan prediksi (prakiraan). Mungkin, pembaca hanya butuh melihat beberapa huruf dari kelompok huruf yang seharusnya dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman yang sama seperti jika dia melihat seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf tersebut. Dengan bantuan prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi berkurang.
Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam kegiatan membaca. Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau dalam keadaan gelap. Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini.
"Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil indicate that boreal spruce forest similar to the existing taiga in Canada was present on the northern Plains at the same time".
Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di atas dapat menolong kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan menjawab "tidak"?
Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata tidaklah cukup untuk memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang bersangkutan. Untuk memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan bekal dasar yang lain. Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban dengan bidang pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam kegiatan membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami isi wacana yang bagaimana pun bentuknya. Hal-hal tersebut dapat kita golongkan ke dalam golongan informasi nonvisual.
Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan pendapat Nutall (1989) dan Goodman(1967). Mereka melukiskan proses pemahaman bacaan itu sebagai "psycholinguistic guessing game". Kemampuan memahami bacaan dilukiskan bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna. Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran skema/skemata dalam proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seseorang. Inilah yang disebut Smith (1986) sebagai informasi nonvisual.
Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh melalui informasi visual dan informasi nonvisual.
Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual dengan informasi nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi visual akan/bisa hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang. Informasi nonvisual ada di dalam pikiran setiap pembaca, dibelakang matanya. Informasi visual dan informasi
nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal-balik antara kedua informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa semakin banyak informasi nonvisual dimiliki dan dimanfaatkan seseorang dalam kegiatan membaca, maka kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang. Sebaliknya, semakin sedikit informasi nonvisual yang dimiliki seseorang, semakin banyaklah informasi visual yang diperlukannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa semakin banyak pengetahuan siap pembaca sebelumnya, semakin berkuranglah hal-hal yang harus dicari dan ditemukannya dalam bacaan.
Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat saling menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatasi bacaan yang sulit, pembaca tidak dapat mengurangi kecepatan bacanya dan mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak itu ada bottleneck. Mengenai hal ini dapat dilukiskan melalui gambar berikut. Gambar ini
Informasi Visual
Informasi Nonvisual
memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana otak dapat menampung informasi dari informasi visual yang tampak dalam materi cetak.
Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual sehingga kemampuan untuk melihat menjadi sangat tebatas bahkan bisa berhenti sejenak. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan menggunakan informasi nonvisual secara maksimum, dan mengurangi sebanyak-banyaknya informasi melalui mata.
Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang dapat melihat segala sesuatu yang ada di depan matanya, asalkan orang tersebut berada di tempat terang dengan mata terbuka. Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa penglihatan itu bersifat langsung. Kita melihat sesuatu, seketika itu pula penglihatan kita terarah kepada sesuatu itu. Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa matalah yang bekerja dan bertanggung jawab untuk benda-benda yang kita lihat itu. Namun sesungguhnya, mata kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak lebih dari sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk berkas-berkas cahaya dan mengubahnya menjadi energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf optik, kemudian masuk ke dalam otak. Yang kita lihat sesungguhnya adalah interpretasi otak terhadap pesan,
Informasi Visual
Informasi Nonvisual
kesan, berita yang masuk melalui syaraf. Dengan kata lain, otaklah yang melihat, sedangkan mata hanyalah "memandang" atas perintah otak.
Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di depan mata. Oleh karena itu, sering kali otak itu pun berbuat salah atau bahkan dapat melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata kita. Inilah yang disebut kegiatan "memprediksi", kegiatan memperkirakan. Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan bisa juga salah. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang tidak sependapat dengan pandangan MMAB.
Dengan kata lain, persepsi visual itu meliputi keputusan-keputusan yang terjadi dalam otak. Waktu kita melihat seekor kuda di sebrang lapangan, otaklah yang menentukan bahwa yang kita lihat itu adalah seekor kuda. Kita pun akan melihat kuda meski otak membuat kekeliruan. Jika kita diberi alamat oleh seseorang dengan tulisan seperti yang tertera di bawah ini
JALAN M1OS IO
Yang kita lihat adalah dua kata, Jalan mios dan angka sepuluh. Padahal, jika kita teliti kembali lambang yang dipakai untuk menyatakan bilangan sepuluh itu sama benar dengan huruf yang menyatakan bunyi/i/ dan /o/. Informasi visual yang sama itu diinterpretasikan dalam otak sebagai lambang yang berbeda. Dengan demikian, jelaslah bahwa otak mempunyai peranan penting dalam kegiatan membaca. Thorndike berkata bahwa membaca adalah berpikir.
Banyak ahli berpendapat bahwa kegiatan membaca itu harus berdasarkan fonik. Bagi mereka, orang dapat membaca karena dimungkinkan oleh fonik. Bagaimana mungkin orang mengenali kata-kata tanpa menyuarakannya?
Terhadap pertanyaan itu kita dapat memberikan jawaban bahwa kita mengenali kata-kata itu dengan cara yang sama dengan cara mengenali objek-objek lainnya, seperti pepohonan, binatang, awan, gunung, kapal terbang, mobil, kereta api, meja, kursi, nasi, roti, dan sebagainya, ialah dengan sekali pandang. Tidak ada