• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN SAINS DALAM PEMIKIRAN IAN G. BARBOUR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STUDI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN SAINS DALAM PEMIKIRAN IAN G. BARBOUR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STUDI ISLAM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract

This paper discusses the views of Ian G. Barbour on the relationship between religion and science. Barbour found that many consider religion and science are extremely opposing to each other. He classifies the perspectives on the relationship between the two into four typologies, namely: conflictual, independence, dialogical and integrative. He argues that the fourth perspective is the best one. He proposes a philosophical approach that connect religion and science through integration in which empirical elements of science are integrated into textual and metaphysical aspect of religion. This requires academician to develop an open attitude and intelligent and health dialogical awareness.

Keywords: religion, science, integration

Pendahuluan: sekilas mengungkap ‘aib’ sejarah

Dalam realitas kehidupan terdapat relasi yang kuat antar manusia, namun dalam praktik keilmuan yang dikembangkannya tidak selalu berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari adanya pengelompokan-pengelompokan dalam bidang keilmuan sehingga tampak benar tidak saling menyapa. Apalagi ketika pengelompokan itu tampak sebagai sebuah upaya pemisahan.

Pemisahan yang dimaksud di atas seperti halnya pemisahan yang bertolak dari paradigma ilmu yang dikembangkan di Barat, yaitu knowledge for power, sementara pada sisi lain agamawan berparadigma knowledge for

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN SAINS

DALAM PEMIKIRAN

IAN G. BARBOUR DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP STUDI ISLAM

Moh. Mizan Habibi

Dosen Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Email: habibimizan@yahoo.co.id

(2)

living. Dua paradigma itu kemudian melahirkan dua wajah peradaban yang berbeda. Paradigma pertama telah menjadikan ilmu sebagai ‘tandingan Tuhan’ atau ‘Tuhan Baru” yang memperlakukan obyeknya dengan semena-mena, sementara paradigma kedua lebih menekankan ilmu sebagai media untuk hidup lebih baik secara berdampingan. Pemisahan seperti itu pada akhirnya menghasilkan tragedi dan krisis kemanusiaan dan lingkungan hidup. Ilmu yang semula diciptakan manusia untuk kemaslahatan dan memudahkan hidupnya berubah menjadi faktor yang menentukan arah hidup manusia. Maka pada titik inilah dirasakan bahwa ilmu tidak menjadi solusi, tapi menjadi bagian dari problem (Samsul Anwar, 2007: vii). Karena nampaknya ini juga sering ‘menggangu’ hubungan antara sains dan agama.

Barbour menemukan banyak fenomena bahwa kebanyakan penulis-penulis saat ini melihat bahwa ilmu pengetahuan dan agama sebagai dua kutub yang bertolak belakang yang pada dasarnya tidak berhubungan satu sama lain. Alasan itu didasarkan pada temuannya dalam perbedaan teori pada sejarah abad modern tentang peristiwa ketika adanya pemimpin gereja yang mengecam teori Galileo tentang sistem tata surya atau teori Darwin tentang evolusi yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan tentang isu ilmiah, padahal mereka sebagai pimpinan gereja tidak mempunyai kompetensi untuk memberikan penilaiannya atas isu sains tersebut. Sebaliknya, Newton dan ilmuwan lainnya menggunakan kehendak Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam penjelasan ilmiah mereka hingga peran Tuhan sebagai pengisi kekosongan tidak diperlukan lagi (Barbour, 2006: 1). Hal ini menunjukkan adanya ‘gap’ antara sains dan agama yang seolah-olah saling bertolak belakang.

Maka dari beberapa argumen di atas, Barbour memberikan tawaran metodologis dengan pendekatan filosofis yang akan menghubungkan antara sains dan agama. Upaya ini dilakukan untuk memberikan pencerahan bagi para penjelajah ilmu agar mempunyai peta pemikiran non-dikotomik yang komprehensif dan utuh, sehingga tidak terjebak pada satu sisi dan mempunyai pikiran beku.

Kajian tentang sains dan agama merupakan satu hal yang harus benar-benar ditelaah secara mendalam. Sebagai kaum yang tidak hanya berpatokan pada sesuatu yang bersifat empiris, perbincangan tentang persoalan agama menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan. Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa sains dan agama merupakan satu

(3)

kesatuan yang saling mengisi, dan terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa sains adalah bagian dari agama. Begitu pula sebaliknya, sains dalam beberapa hal bisa menjadi bukti kebenaran tentang agama. Maka kajian ini menjadi penting untuk diperbincangkan, biar tidak terjadi stigma bahwa sains dan agama menuai dikotomi keilmuan yang saling bertentangan.

Dalam pengantarnya pada buku terjemahan “Isu Dalam Sains dan Agama” karya Ian G. Barbour, Amin Abdullah yang kala itu menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa perlu adanya proses untuk selalu bergelut mendialogkan tradisi agama dan ilmu pengetahuan, serta melakukan pembahasan dan penyelidikan yang saling melengkapi dan mendukung mengenai kedua hal tersebut, tanpa menutup kemungkinan saling menyapa dan mengkritik dalam format antar disiplin keilmuan yang konstruktif. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang saling mengisi dan berdialektika antara ilmu pengetahuan secara umum dan agama.

Kerangka Teori

Tipologi hubungan antara sains dan agama

a. Konflik

Tipologi konflik ini muncul pada masa pemikiran Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker serta Stephen Hawking pada abad ke-19. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya, keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.

Konflik antara agama dengan sains bisa dicontohkan dalam kasus hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei tentang teori tata surya atas aspek pemikirannya yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19 (Barbour, 2006: 1).

(4)

dan dirumuskan dengan hubunagn matematis. Maka penganut tipologi ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.

Barbour merespon hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama (Barbour, 2005: 224).

b. Independensi

Beberapa ilmuan menganut independensi dengan memisahkan sains dan agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan eksistensi sains dan agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan.

Para ilmuan yang menganut tipologi ini di antaranya adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath dan Langdon Gilkey. Barbour mengungkapkan pandangan Karl Bath tentang independensi, bahwa: Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan

(5)

diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi (Barbour, 2002: 66).

c. Dialog

Tipologi ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih dinamis daripada tipologi konflik dan independensi. Asumsi di atas dilandaskan bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.

Barbour memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya (Barbour, 2005:32). Dari pertanyaan itulah, ilmuwan dan kaum agamawan dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.

Penganut tipologi dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Barbour,

(6)

2005:80). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.

d. Integrasi

Tipologi ini melahirkan hubungan yang lebih konstruktif daripada pendekatan dialog. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman. Dalam pandangan ini, hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih besar yang mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis.

Menurut Barbour, tardapat dua pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filsafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. (Barbour, 2002:42).

Dalam tipologi integrasi ini, tercatat ada beberapa tindakan yang harus dilakukan untuk memadukan atau mempertautkan antara sains dan agama sebagai dua titik yang mempunyai hubungan komplementer. Pertama adalah semipermeable. Tindakan ini dilakukan dengan saling melakukan evaluasi dan interaksi yang mendalam antara sains dan agama, maupun ilmuan dan agamawan untuk menghindari perilaku blik atau arogansi keilmuan. Kedua adalah intersubjective testibility, yang digunakan sebagai ‘alat’ untuk menguji kebenaran dari masing-masing unsur subjective (agama/ agamawan) dan objective (sains/ilmuan). Dan ketiga adalah creative

(7)

imagination. Tindakan ini dilakukan untuk melihat sisi-sisi objektifitas, guna melakukan penyesuaian diri dengan bermodalkan tindakan semipermeable dan intersubjetive testibility.

Metode dalam Sains dan Agama

Pada bagian pendahuluan dalam buku ‘Isu dalam Sains dan Agama’, disebutkan bahwa agama memiliki metode yang berbeda dengan prosedur ilmu pengetahuan. Menurut beberapa ahli teologi,pengetahuan agama seluruhnya berasal dari pengungkapan diri Tuhan melalui wahyu sejarah, bukan dari penemuan manusia, kita harus melihat peristiwa-peristiwa tertentu ketika Tuhan mengungkapkan diri-Nya, dan peristiwa-peristiwa tersebut tidak bersinggungan dengan ilmu pengetahuan. Menurut beberapa ahli teologi lain, persoalan-persoalan agama muncul dalam individualis pribadi, bukan dalam wilayah objektivitas non-pribadi yang dikaji ilmu pengetahuan (Barbour, 2006:2). Dengan demikian, ajaran agama bersumber sepenuhnya dari Tuhan, sehingga hal ini mempunyai konsekuensi, bahwa keyakinan merupakan bagian awal untuk merespon pengetahuan agama. Maka hal ini juga berimplikasi terhadap keterlibatan pribadi secara langsung dan fundamental, yang sangat berbeda dari perilaku tidak bias dan objektif para ilmuwan.

Di sisi lain, pemisahan lingkup pengetahuan dan agama telah diperkuat oleh pandangan banyak ilmuwan bahwa ilmu penngetahuan menyediakan pengetahuan teknis untuk bidang-bidang tertentu, dan bukannya filosofi total tentang kehidupan. Argumen tersebut juga dipaparkan oleh pandangan positivistic, bahwa ilmu pengetahuan (sains) hanya memberikan pengetahuan terbatas mengenal masalah teknis. Sehingga kita tidak boleh mengharapkan ilmu pengetahuan melakukan fungsi lain, seperti halnya memberikan pandangan tentang semua kehidupan yang menyeluruh atau filosofi kehidupan (Barbour, 2006:2). Pandangan tersebut merupakan implikasi dari sumber ilmu pengetahuan (sains) yang berasal dari observasi (penelitian) yang dilajutkan menjadi sebuah teori dan kesimpulan.

Selanjutnya adalah pengaruh analisis bahasa, para analisis linguistic mengarahkan perhatiannya pada fungsi berbagai macam bahasa yang digunakan dalam kehidupan manusia. Di antara fungsi karakteristik yang dianggap berasal dari agama adalah ungkapan dan ingatan tentang ibadah dan komitmen diri tentang cara hidup. Sedangkan fungsi bahasa ilmiah

(8)

adalah sebagai prediksi dan kontrol atas fenomena yang kelihatan secara umum, fenomena yang bisa berulang. Komunitas agama menggunakan bahasa aktor, sedangkan komunitas ilmiah menggukan menggunakan bahasa pengamat. Maka agama dan ilmu pengetahuan adalah bahasa yang komplementer (Barbour, 2006:4). Dengan menggunakan pendekatan bahasa komplemeter diharapkan para ilmuwan dan ahli teologi memiliki kerendahan hati untuk mampu menahan diri para pandangan subyektivitas atas kebenaran yang diperoleh. Hal ini membawa konsekuensi kepada masing-masing komunitas untuk mampu berdialog secara sehat.

Terdapat teori lain yang memaparkan bahwa metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan menggabungkan observasi, teori, dan kesimpulan. Implementasinya adalah pengagabungan itu dimulai dengan penemuan sebuah teori (hipotesis) yang berasal dari fakta-fakta, selanjutnya diikuti dengan pengemabilan kesimpulan “sementara”, kemudian dihubungkan lagi dengan observasi-observasi untuk memperkuat atau bahkan menyangkal teori, dan untuk menghasilkan teori yang direvisi, yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan baru, yang mendiskusikan kembali fakta-fakta tersebut. Model ini disebut dengan model hipotesis-deduktif (Roston III, 2006:2). Dari pemaparan di atas, dapat di asumsikan bahwa ilmu pengetahuan (sains) berorientasi pada “produksi” yang bersifat empiris berdasarkan tamuan-temuan baru akibat adanya anomaly dan “keraguan”.

Agama juga menggabungkan pengalaman, teori, dan kesimpulan secara metodis. Dalam agama sering kali dijumpai konsepsi tentang wahyu dan inspirasi yang bersifat otoritas-normatif yang tidak dapat dengan mudah didamaikan dengan prosedur ilmu pengetahuan. Keyakinan tidak sesingkat teori ilmiah dan banyak elemen non-kognitif di dalam agama yang tidak ada di dalam ilmu pengetahuan. Namun, dengan cara yang umum keyakinan agama berkembang selama beberapa pengalaman diputuskan sebagai kepentingan pokok, seperti penderitaan atau kesenangan, dosa dan keselamatan, kesucian dan moral. Menurut pemikiran ahli teologi, ada konsepsi kognitif dan teoritis yang mengusungkan beberapa hukum spiritual universal, yang menghasilkan suatu kondisi realitas pokok yang mendasari di dalam dan di luar dunia yang memadai untuk menjelaskan tentang pengalaman-pengelaman tersebut. Tuhan, Brahma, atau sunyata (kekosongan) kemudian digunakan untuk menafsirkan pengalaman secara terus-menerus (Roston III, 2006:9). Dari sini menunjukkan bahwa

(9)

sumber teori yang ada dalam agama berasal dari wahyu, yang kemudian dibuktikan oleh pengalaman-pengalaman secara nyata.

Dengan beberapa perbedaan yang ada dalam medote ilmu pengetahuan dan agama, menjadikan keduanya tidak bisa berhenti pada pemisahan yang terjadi, namun harus ada kemungkinan untuk melakukan proses dialog. Berikut beberapa pertimbangan-pertimbangan yang akan menuntun terjadinya proses dialog (Barbour, 2006:5-7):

Pertama, meskipun dua bidang tersebut berbeda, ada juga kesejajaran signifikan pada metodenya, bahwa terdapat kesamaan pada interaksi pengalaman dan penafsiran, model dan analogi, dan pada peran komunitas penyelidikan di kedua bidang tersebut. Meskipun tingkat keterlibatan pribadi dalam ilmu pengetahuan dan agama berbeda, tetapi tidak ada dikotomi “objektivitas” mutlak versus “subjektivitas”.

Kedua, bahwa kita ditekankan untuk mencari pandangan tentang semua kehidupan yang terintegrasi. “Perspektif komplementer” adalah perspektif pada dunia tunggal. Pencarian kesatuan ini didorong olehkeinginan terhadap keherensi pemikiran yang menggantikan pemisahan dan isolaasi intelektual yang memutus dialog.

Ketiga, kita akan mempertahankan teologi alam. Meskipun teologi memang dimulai dari wahyu historis dan bidang keberadaan pribadi, teologi tidak berhenti disini. Misalnya, diskusi mengenai petunjuk Tuhan kebanyakn mengacu pada tindakan Tuhan dalam sejarah, namun tidak membahas tindakan-Nya di alam. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memandang keteraturan alam dalam kerangka kerja ide-ide teologi yang terutama berasal dari penafsiran wahyu historis dan pengalaman religious.

Keempat, dari sisi ilmiah, sebuah pandangan baru tentang alam memaksa kita untuk mengakaji kembali ide-ide kita tentang hubungan Tuhan dengan dunia. Pertumbuhan dan perkembangan alam semesta yang dinamis dan temporal harus disikapi secara serius dalam teologi.

Keempat pertimbangan di atas bermuara kepada terjadinya sebuah dialog antara komunitas agama dan ilmiah, masing-masing harus menghormati integritas yang lainnya dan menahan dorongan untuk memaksakan kategori pemikirannya sendiri pada kategori pemikiran yang lain.

(10)

filosofi agama dan filosofi ilmu pengetahuan, yakni persoalan komparatif tentang epistimologi, metafisika, dan analisis bahasa pada kedua bidang. Ilmuwan dn ahli teologi biasanya telah mencoba untuk mengkaitkan ilmu pengetahuan secara langsung dengan agama, meskipun pengabaian kontribusi filosofi dapat mengklarifikasi persoalan. Di lain pihak para ahli filosofi professional mempunyai hubungan dengan komunitas ilmiah dan agama, dan formulasi abstrak mereka kadang-kadang menyerupai apa yang sebenarnya dilakukan oleh para ahli ilmuwan dan teologi (Barbour, 2006:15). Secara sederhana, proses ini memberikan stimulus kepada kita untuk melakukan proses integrasi antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama. Agar tidak tejebak dalam satu mindset berfikir.

Implikasi dalam Studi Keislaman; Pertautan melalui Semipermiable,

Intersubjective Tetibility, dan Creative Imagination.

Albert Einstein pernah mengungkapkan bahwa “Religion without science is blind: science without religion is lame“. Agama akan buta tanpa sains, dan sains akan lumpuh tanpa agama. Berangkat dari ungkapan di atas, hal ini sesuai dengan argument yang berpendapat bahwa jika kerja-kerja ilmiah yang berjalan linier dan sendirian, maka produk yang dihasilkan adalah budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan prisip humanisme universal dan etika sosial serta agama yang menjadi pegangan masyarakat dunia. Dengan demikian tragedi kemanusiaan, dan lingkungan hidup dapat muncul karena tidak adanya jaringan dan kerjasama antar elemen pengembang ilmu (Anwar, 2007: ix).

Salah satu upaya integrasi yang dilakukan adalah bukannya tanpa pijakan atau dasar yang kuat dalam tradisi Islam. Ide utama yang membentuk gagasan tersebut adalah doktrin metafisika keesaan Tuhan yang berkonsekuensi pada dua hal, yaitu adanya prinsip kesatuan kosmis, khususnya kesatuan dunia alam, dan prinsip kesatuan pengetahuan dan sains (Anwar, 2007: ix-x). Maka dengan pendekatan integrasi, terdapat upaya mensintesakan dua hal yang selama ini dianggap tidak bisa bersatu, termasuk sains dan agama. Upaya integrasi ini dilakukan dengan menggunakan tiga tindakan seperti halnya yang telah dipaparkan di atas, yakni semipermeable, intersubjektive testibility, dan creative imagination.

Dalam studi keislaman, pendekatan integrasi dimaknai sebagai kajian yang menggunakan cara pandang dan/atau cara analisis yang menyatu dan terpadu. Analisis integrasi dapat dikelompokkan menjadi

(11)

dua. Pertama, integrasi antara seluruh nash yang terkait dengan masalah yang sedang dikupas atau dibahas. Kedua, integrasi antara nash dengan ilmu lain yang terkait dengan masalah yang sedang dibahas (Nasution, 2009:230) (dalam kajian ini adalah nash agama dan sains). Pada praktknya, tindakan semipermeable digunakan untuk mempertemukan dan saling mengisi kekosongan-kekosongan di antara nash agama dengan penemuan-penemuan sains. Selanjutnya, intersubjective testibility digunakan untuk saling menguji kebenaran antara subjektivitas kaum agamawan dan objektivitas kaum ilmuan. Sementara creative imagination digunakan untuk menggunakan potensi akal dan daya imajinasi menautkan antara unsur subjetivitas dan unsur obejektivitas atau unsur agama dan unsur sains.

Dengan demikian prosedur yang digunakan dalam penggunaan pendekatan integrasi antara nash agama dan sains adalah memadukan penemuan-penemuan sainstifik yang diperoleh dari observasi secara empirik dengan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan atau menerangkan penemuan sains yang dibahas.

(12)

Sebuah ilustrasi:

Nash agama sebagai pengisi kekosongan (gap) sains.

(13)

2. Integrasi sains dan agama1

Refleksi

“Masalah-masalah besar kemanusiaan jangan diserahkan hanya kepada para ahli teknologi yang tidak tahu apa-apa tentang agama dan etika, atau hanya kepada kaum agamawan dan etikawan yang tidak tahu apa-apa tentang teknologi”. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa proses integrasi merupakan sebuah keniscayaan.

Dengan proses integrasi, seharusnya membuka kesadaran bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang unik dan tidak selalu bersifat universal. Sintesis dapat terjadi antara sains dan agama. Maka membutuhan sikap keberanian dan keterbukaan serta kerjasama untuk melakukan integrasi. Tanpa adanya sikap demikian, upaya itu tidak akan berhasil. Karena itu, tidak boleh adanya pemaksaan-pemaksaan ideologi ilmu tertentu atas ilmu lainnya.

Pada sisi lain, secara nilai, integrasi bukan hanya terkait dengan hubungan antar disiplin ilmu (agama dan sains) sebagaimana dikemukakan di atas, namun juga antar tradisi, antar budaya, dan antar peradaban. Dengan ini pada akhirnya seorang akademisi dan intelektual tidak terkurung pada satu paradigma, namun mempunyai kemampuan untuk mengintegrasikan antar bidang secara komprehensif.

1 Catatan kuliah oleh Amin Abdullah pada mata kuliah Filsafat Ilmu: Topik-topik Episti-mogi27 Oktober 2013.

(14)

Daftar Pustaka

Anwar, Syamsul, dkk, Kriteria Keilmuan Integrasi dan Interkoneksi; Bidang Agama, Sosial, dan Kealaman, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2007.

Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, Terj. Damayanti, Yogyakarta: Suka Press, 2006.

____________, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Mizan, 2005.

____________, Juru Bicara Tuhan Antara Sains Dan Agama, Bandung:

Mizan,2002.

Catatan kuliah oleh Amin Abdullah pada mata kuliah Filsafat Ilmu: Topik-topik Epistimogi, kelas I PAI-A, Selasa, 27 Oktober 2013.

Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: AkdemiaTazzafa, 2009.

Roston, Holmes, III, Ilmu dan Agama; Sebuah Survei Kritis, Terj. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Terlihat pada kolom signifikan diketahui nilai probilitas untuk citra merek (Variabel X1) adalah 0,000 dan Kualitas Produk (Variabel X2) adalah 0.000 atau nilai

Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu wawancara (terstruktur), observasi dan dokumentasi.Sedangkan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi,

sepenuhnya oleh PDAM. Oleh karena itu, penentuan alokasi sumber air baku disesuaikan dengan program pengembangan sumber air baku PDAM. Berdasarkan data dari PDAM Tirta

Dari sudut sistem informasi akuntansi, cek merupakan dokumen yang digunakan untuk memerintahkan bank melakukan pembayaran sejumlah uang kepada orang atau organisasi yang

Karena nilai dugaan KTG pada pendugaan tidak langsung dengan metode bootstrap parametrik cenderung lebih kecil daripada nilai dugaan KTG pada pendugaan langsung, secara

Peran penting UK di PPUW sejauh ini telah dianggap mampu berfungsi dengan baik dan sesuai dengan tujuan, yaitu membantu perkembangan santri, yang sejatinya adalah merupakan

Jika pernyataan “Persamaan matematika tersebut dibuat dengan kurang dari atau sama dengan 15 batang tusuk gigi.” diubah menjadi “Persamaan matematika tersebut dibuat dengan

Karena tidak terdapat aturan yang ketat dalam menghias nisan, hiasan patung Chi Lin pada jaman dahulu dapat menandakan individu yang dimakamkan memiliki kemampuan