• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Konsep Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan didapat setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinganya. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

2. Indikator Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dan dapat dikelompokkan menjadi :

a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit, gejala atau tanda-tanda penyakit, cara pengobatan dan kemana mencari pengobatan, cara penularan dan cara pencegahan penyakit.

b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat meliputi jenis makanan-makanan bergizi, manfaat makanan bergizi bagi kesehatan, pentingnya olah-raga bagi kesehatan, bahaya merokok, minuman keras, narkoba, pentingnya istirahat yang cukup, relaksasi, rekreasi dan sebagainya bagi kesehatan.

c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan meliputi manfaat air bersih, cara pembuangan limbah yang sehat, manfaat pencahayaan, penerangan rumah yang sehat dan akibat yang ditimbulkan polusi bagi kesehatan.

(2)

Pada pencegahan demam tifoid, pengetahuan yang harus dimiliki oleh Ibu adalah : (1) pengetahuan tentang vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari penyakit ini dilakukan vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang disuntikan atau diminum dan dapat melindungi seseorang dalam waktu 3 tahun dan pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene, sanitasi, personal hygiene; dan (2) pengetahuan tentang penyediaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan, pembuangan kotoran manusia yang higienis, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap masakan dirumah dan penyajian pada penjual makanan (Zulkoni, 2010: 48).

3. Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yakni :

a. Tahu (know)

Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension)

Merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (aplication)

Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang benar.

(3)

d. Analisis (analysis)

Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, serta masuk ke dalam struktur organisasi tersebut. e. Sinthesis (synthesis)

Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan seperangkat alat tes/kuesioner tentang objek pengetahuan yang mau diukur, dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2010), faktor yang mempengaruhi pengetahuan dibagi menjadi dua faktor, yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor Intenal yang meliputi : 1) Intelegensia

Intelegensia merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Intelegensia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar.

(4)

2) Tingkat pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Pendidikan mempengaruhi proses belajar. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana seseorang dengan pendidikan tinggi akan semakin luas pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah. 3) Pengalaman

Pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk mengetahui kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Dalam hal ini, pengetahuan ibu dari anak yang pernah atau bahkan sering mengalami demam seharusnya lebih tinggi dari pengetahuan ibu dari anak yang belum pernah mengalami demam sebelumnya.

4) Umur

Semakin cukup umur, tingkat kemampuan dan kematangan seseorang akan lebih baik dalam berpikir dan menerima informasi. Namun perlu diketahui bahwa seseorang yang berumur lebih tua tidak mutlak memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang lebih muda.

5) Tempat tinggal

Tempat tinggal adalah tempat menetap responden sehari-hari. Seseorang yang tinggal di daerah rawan penyakit infeksi akan lebih

(5)

sering menemukan kasus demam, sehingga masyarakat di daerah tersebut memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.

6) Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Contohnya, seseorang yang bekerja sebagai tenaga medis akan lebih mengerti mengenai demam dan pengelolaannya daripada non tenaga medis.

7) Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Makin tinggi tingkat ekonomi, maka akan semakin mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi. b. Faktor Eksternal

Faktor Eksternal antara lain : 1) Faktor lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. Ibu yang di daerahnya sering mendapat penyuluhan kesehatan, tentu saja akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang tidak pernah menerima penyuluhan kesehatan.

2) Kepercayaan/tradisi

Kepercayaan/tradisi dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Kepercayaan/tradisi diantaranya

(6)

meliputi pandangan agama dan kelompok etnis. Hal ini dapat mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai keagamaan untuk memperkuat kepribadiannya.

3) Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, termasuk penyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pengetahuan seseorang.

B. Konsep Demam Tifoid 1. Definisi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella thyposa (food and water borne disease). Seseorang yang menderita penyakit tifus menandakan bahwa sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri. Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau Thypus tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam perut (Zulkoni, 2010: 42).

2. Epidemiologi

Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang dimana hygiene pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan, setempat dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini.WHO memperkirakan 70% kematian berada di Asia. Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800

(7)

penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun (Widoyono, 2011: 42).

Tifoid bersifat sporadis terutama berhubungandengan kegiatan wisata ke negara-negara maju yang sedang berkembang.Secara umum insiden tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun.Padaanak-anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan manifestasi klinik lebih ringan (Depkes RI, 2006: 6).

3. Etiologi

Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa atau Ebethella typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusiamaupun suhu yang sedikit lebih rendah serta mati pada suhu 700 C ataupun oleh antiseptic. Sampai saat ini, diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia (Rampengan, 2007: 47).

Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 630C. Organisme ini juga

mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu, sampah kering (misalnya : plastic, kertas, kaca dan kaleng) dan pakaian, mampu bertahan di sampah basah (misalnya : sisa makanan, guguran daun kering, buah dan sayuran) selama satu minggu dan dapat bertahan dan berkembang biak dalam susu, daging, telur atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya (Soegijanto, 2002: 2).

Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, terdapat di seluruh dunia dengan reservoir manusia pula. Salmonella keluar bersama tinja atau urine, memasuki lingkungan dan berkesempatan menyebar. Kuman typhus dapat bertahan cukup lama didalam lingkungan air (Soemirat, 2006: 96).

(8)

4. Sumber Penularan dan Cara Penularan

Sumber penularan demam tifoid atau thyfus tidak selalu harus penderita thyfus. Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh tetapi di dalam air seni dan kotorannya masih mengandung bakteri. Penderita ini disebut sebagai pembawa (carrier). Walaupun tidak lagi menderita penyakit tifus, orang ini masih dapat menularkan penyakit tifus pada orang lain. Penularan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih (Addin, 2009: 104).

Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas atau dengan pus penderita yang terinfeksi (Soegijanto, 2002). Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu atau produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi (James, 2006: 647).

Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap penularan (Widoyono, 2011: 44). Tifoid carrier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Mengingat carrier sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka

(9)

penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka kematian (Rampengan, 2007: 58).

Penularan tipes dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan Feses. Feses dan muntah dari penderita typhoid dapat menularkan Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui minuman terkontaminasi dan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit (Zulkoni, 2010: 43). Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan demam tifoid adalah :

a. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak. b. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada

penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buahbuahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak masak dan sebagainya.

c. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai. e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

(10)

5. Patogenesis

Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak payer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikulo endotelial system (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bekteremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatic (lipopolisakarida) yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhosa dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam (Rampengan, 2007: 47).

6. Gejala Klinis

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa : a. Anoreksia

b. Rasa malas

c. Sakit kepala bagian depan d. Nyeri otot

e. Lidah kotor

(11)

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.

Kemudian menyusul gejala klinis yang bisa ditemukan, yaitu : a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.Bersifat febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah, lidah ditutupi selaput lendir kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung, hati dan limpa membesar disertai nyeri pada pada perabaan. Biasanya didapati obstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran

Biasanya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Di samping gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya

(12)

ditemukan dalam minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah : a. Intra intestinal

1) Perforasi usus

Perforasi merupakan komplikasi pada 1-5% penderita yang dirawat, biasanya terjadi pada minggu ketiga tetapi bisa terjadi selama masa sakit. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum.

2) Perdarahan Usus

Pada plak payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Perdarahan hebat dapat menyebabkan syok tetapi biasanya sembuh spontan tanpa pembedahan.

b. Ekstra intestinal

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis yaitu meninggal, kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Pankreatitis merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Myokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid. Hepatitis tifosa merupakan komplikasi demam tifoid yang jarang ditemukan. Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri S.typhi melalui urin pada saat sakit maupun sembuh. Sehingga sistitis bahkan pielonefritis merupakan penyulit demam tifoid. Dilaporkan pula kasus dengan 15 komplikasi neuro psikiatrik. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma.

(13)

8. Tindakan Pencegahan

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini berlaku pula untuk tifoid, dimana kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa resiko yang membahayakan. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan yang ada dimasyarakat (KEMENKES, 2006). Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan, yaitu :

a. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid

b. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan c. Perlindungan dini agar tidak tertular

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S.typhi akan mati dalam air yang telah dipanaskan pada suhu setinggi

570C dalam beberapa menit atau bisa juga dengan prose iodinasi/klorinasi.

Vaksinasi atau imunisasi, memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid (Sumarmo dkk, 2002).

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S.typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Soegijanto, 2002).

1. Peningkatan Higiene dan Sanitasi a. Sanitasi Lingkungan

Salah satu upaya pencegahan penularan demam tifoid adalah perbaikan sanitasi lingkungan.

(14)

Dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor, mitra terkait serta peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat melalui :

1) Akses terhadap jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, yaitu tidak mencemari lingkungan, memutus kontak dengan vector dan tidak menyebarkan bau.

2) Perilaku cuci tangan pakai sabun dan air mengalir dengan benar. 3) Pengelolaan makanan dan minuman serta penyimpanan dengan benar. 4) Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang benar sehingga tidak

mencemari lingkungan.

5) Penyediaan air bersih untuk seluruh warga.

6) Kontrol dan pengawasan terhadap sanitasi lingkungan, terlaksana dengan baik dan berkesinambungan.

7) Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat serta selalu menjaga kondisi sanitasi dan lingkungan bersih.

2. Higiene dan Sanitasi Makanan

Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan makanan. Higiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang utama dalam pencegahan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain menerapkan prinsip hygiene dan sanitasi makanan dengan pengendalian titik kritis pada pengelolaan makanan, mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan matang, pengangkutan makanan matang dan penyajian makanan.

Peningkatan pengawasan dan pembinaan tempat-tempat pengelolaan makanan, yaitu jasa boga/catering, rumah makan, restauran, kantin, depot, warung makan, makanan jajanan siap saji dan depot air minum, mulai dari tempat bangunan, peralatan, penjamah makanan serta bahan dari makanannya.

(15)

3. Higiene perorangan

Higiene perorangan merupakan salah satu factor pencegahan dan perlindungan diri terhadap penularan demam tifoid. Oleh karena itu perilaku hidup bersih dan sehat harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap orang. Cuci tangan pakai air mengalir dan sabun harus dilakukan sesering mungkin, khususnya sebelum memegang makanan, setelah BAB, setelah keluar dari toilet, setelah melakukan kegiatan, setelah memegang binatang peliharaan, setelah mengganti popok bayi dan sebagainya.

Syarat utama bagi penjamah makanan adalah sehat jasmani dan rohani, tidak menderita penyakit menular serta berperilaku hidup bersih dan sehat. Pemeriksaan kesehatan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun dalam rangka pencegahan dan perlindungan terhadap penularan demam tifoid dan penyakit menular lainnya.

4. Pencegahan dengan Imunisasi

Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar perlindungan diri dari penularan tifoid. Sampai saat inivaksin tifoid baru diprioritaskan untuk pelancong, tenaga laboratorium mikrobiologis dan tenaga pemasak/penyaji makanan di restoran-restoran. Namun, mengingat demam tifoid dengan angka kesakitan cukup tinggi maka vaksinasi terhadap tifoid sudah harus dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak setelah mengenal jajanan yang tidak terjamin kebersihannya.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni :

a) Vaksin dengan Salmonella yang telah dimatikan (Tab Vaccine). Diberikan secara subkutan. Menurut evaluasi yang telah dilaksanakan, daya perlindungan vaksin ini terbatas dan adanya efek samping pada tempat suntikan.

(16)

b) Vaksin dengan Salmonella yang dilemahkan (T4 -212). Diberikan peroral, selang sehari 3 kali dosis. Daya lindung kurang lebih 6 tahun (pada anak).

c) Vaksin berisi komponen Vi basil Salmonella. Diberikan secara suntikan intra muskular dengan daya lindung 3 tahun dan efikasi diperkirakan 60-70%. Umur minimal untuk pemberian 2 tahun dan booster dilakukan setiap 3 tahun.

5. Pencegahan Karier

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan di masyarakat (KEMENKES, 2013).

9 Penatalaksanaan dan Perawatan

Penatalaksanaan demam tifoid ada tiga, yaitu: a. Pemberian antibiotik

Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Obat yang sering dipergunakan adalah :

1) Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari. 2) Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.

3) Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.

4) Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selam 6 hari; ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).

b. Istirahat dan perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan keadaan

(17)

penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan air kecil.

c. Terapi penunjang dan Diet

Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono, 2011: 44).

d Perawatan

Pada penderita demam tifoid dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat dirumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.

Tujuan perawatan adalah :

1. Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan. 2. Observasi terhadap perjalanan penyakit.

3. Minimalisasi komplikasi.

4. Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran atau kontaminasi.

C. Anak Usia Sekolah (6-12 tahun)

Anak usia sekolah adalah sebagai akhir masa kanak-kanak sejak usia 6 tahun atau mulai masuk sekolah dasar kelas 1, ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak, identitas dan konsep diri menjadi lebih kuat dan lebih individual (Potter & Perry, 2005). Masa pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembangan yang merentang dari usia 6-12 tahun (periode sekolah dasar), keterampilan pada masa ini :

1. Belajar kecakapan fisik.

(18)

3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya.

4. Menjalankan peranan yang disesuaikan dengan jenis kelaminnya. 5. Mengembangkan kecakapan membaca, menulis dan berhitung. 6. Mengembangkan kata hati dan norma-norma (Hulu, 2011). D. Kerangka Konsep

Setiadi (2007) menyebutkan bahwa kerangka konsep penelitian ini adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti.

Adapun kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut : Skema 2.1

Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan Ibu tentang demam tifoid dengan tindakan pencegahan penyakit pada anak usia sekolah di RSU Sari Mutiara Medan tahun 2014.

Pengetahuan Ibu Tentang Demam Tifoid

Tindakan Pencegahan Penyakit Demam Tifoid

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berdampak pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) siswa yang masih dalam kategori rendah.. Ditambahkan pula, bahwa proses pembelajaran yang berlangsung

Adapun batasan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi hasil produksi karet pada PT.. Perkebunan Nusantara III tahun

Gejala: Tidak diharapkan adanya gejala-gejala yang signifikan karena produk tidak terklasfikasi Bahaya: Tidak ditemukan adanya bahaya dalam penggunaan yang benar dan penanganan yang

Kreativitas dapat muncul melalui gabungan dari beberapa komponen yaitu (1) Pengetahuan ( Knowledge ), merupakan pemahaman yang relevan individual yang digunakan untuk

Hasil penelitian menunjukan sebagian besar peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam kategori sangat optimal yaitu sebanyak 52,2%.. Peran sebagai care provider

3abel adalah sebuah alat untuk menampilkan informasi dalam bentuk matrik. 3ampilan data atau informasi yang ada dalam tabel dibuat dalam bentuk baris dan kolom. 3abel

Jika data dalam penelitian ini tidak berkointegrasi atau nilai residual dari data penelitian yang telah terintegrasi pada derajat yang sama tidak stasioner di tingkat level, maka

Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki kesuburan tanah karena dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme dalam menyediakan unsur hara di dalam tanah sehingga