• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LEVEL SUB-DAS: STUDI PADA DUA DAS IDENTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LEVEL SUB-DAS: STUDI PADA DUA DAS IDENTIK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

117

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LEVEL SUB-DAS: STUDI PADA DUA DAS IDENTIK

Mapping of Soil Erosion Level at Sub Watershed Level: Study on Two IdenticalWatersheds

Ika Kartika1), Indarto Indarto1)*, Muharyo Pudjojono1), Hamid Ahmad1) 1)

Dept. of Agricultural Engineering, FTP, Universitas Jember Jalan Kalimantan No. 37 Kampus Tegalboto Jember 68121.

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT

This research deals with the prediction of erosion level by means of USLE and GIS software. USLE was used to calculate the erosion level at the watershed level, then the result was classified and mapped on the top of ArcGIS. Two similar sub-watersheds (Kloposawit and Rawatamtu) in the eastern part of East Java were used for this study. Input data consist of: (1) ASTER GDEM2 (resolution pixel ± 30m), (2) soil map layer, (3) land uses map, (4) rainfall data, and (5) ground control points. Research procedures include (1) data inventory, (2) analysis using excel and ArcGIS, (3) calculation of erosion level, (4) field survey using GPS, and (5) interpretation. The research result shows that about 56,4 km2 (7,8%) area of Kloposawit sub-watersheds is classified as high and very high erosion level rate. This area cover 8 districts at Bondowoso Regency. Furthermore, at Rawatamtu sub-watershed, high and very high erosion level cover 7 districts in Jember Regency.

Keywords: erosion rate, USLE, erosion map, watershed

PENDAHULUAN

Erosi tanah merupakan suatu proses hilangnya lapisan permukan tanah bagian atas atau top soil, baik yang disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Erosi dalam jumlah besar dapat merusak struktur saluran air. Apabila ini terjadi pada saat musim penghujan dengan intensitas hujan yang besar, air dapat meluap dan menyebabkan banjir.

USLE (Universal Soil Loss Equation) merupakan model yang sering digunakan untuk pendugaan erosi. Arsyad (1989:248) mengatakan bahwa, model ini juga sangat cocok digunakan di Indonesia yang beriklim tropis dan faktor penyebab utama erosi adalah hujan dan aliran permukaan.

Persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), dibuat pada awal 1960 an dan digunakan awalnya untuk tanaman semusim (cropland) (Wischmeier and Smith, 1965). Selanjutnya, persamaan tersebut digunakan untuk jenis peruntukan lahan lain (Wischmeier and Smith 1978,

Dissmeyer and Foster 1980). Formulasi USLE dikemukan oleh Wischmeier dan Smith (1965)sebagai berikut:

P C S L K R A      ...1) Keterangan :

A : Besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton.ha-1.thn-1), R : Erosivitas curah hujan tahunan

rata-rata (MJ.cm/ha.jam.tahun), K : Erodibilitas tanah (ton.jam/MJ.cm), L : Faktor panjang lereng,

S : Faktor kemiringan lereng, C : Faktor pengelolaan tanaman, P : Faktor tindakan konservasi tanah.

USLE sudah diterapkan di berbagai belahan dunia, misalnya dapat dijumpai dalam literatur: Moore dan Burch (1986), Mongkolsawat, dkk (2004), Blanco dan Nadaoka (2006), Kinnell (2008), Gitas et al. (2009), dan Ha (2011). Foster (1980) telah mengevaluasi perbedaan USLE dan model turunann-nya (RUSLE1, RUSLE2)

(2)

118

dan memberikan rekomendasi

kemungkinan aplikasi dan justifikasi bagaimana menginterpretasikan hasil perhitungan dari persamaan-persamaan tersebut.

Artikel ini memaparkan hasil perhitungan dan pemetaan tingkat bahaya

erosi dengan mengkombinasikan

persamaan USLE dan SIG (Sistem Informasi Geografis). Penelitian bertujuan untuk: (1) mengevaluasi kemungkinan penggunaan USLE dan ArcGIS untuk memetakan tingkat-bahaya-erosi (TBE) secara kasar untuk cakupan wilayah yang cukup luas (level DAS), (2) menghitung besarnya erosi berbasis pixel-pixel di dalam SIG, dan (3) memetakan TBE untuk wilayah DAS Kloposawit dan sub-DAS Rawatamtu. Harapannya, pemetaan TBE dengan menggunakan USLE dan SIG ini, dapat menyediakan informasi spasial tentang tingkat erosi dan sebagai bahan

pertimbangan dalam perencanaan

penggunaan lahan dan konservasi lahan di daerah penelitian.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Sub-DAS Kloposawit (Kabupaten Bondowoso) dan

Sub-DAS Rawatamtu (Kabupaten

Jember). Sub-DAS Kloposawit

merupakan bagian dari DAS Sampean yang termasuk dalam wilayah kerja Balai PSAWS Sampean Baru. Sub-DAS Rawatamtu merupakan bagian dari DAS Bedadung yang termasuk dalam wilayah kerja Balai PSAWS Bondoyudo Mayang (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian

Kedua sub-DAS relatif identik dari aspek bentuknya (Kloposawit ke arah Utara/atas dan Rawatamtu ke Bawah). Pada gambar juga terlihat, distribusi lokasi stasiun hujan yang digunakan, lokasi outlet, jaringan sungai, batas kabupaten, dan lokasi titik-titik kontrol untuk penelitian.

Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri dari: (1) GPS untuk pengambilan koordinat lokasi titik-titik kontrol; (2) Mobil Mapping Unit (MMU) dan kamera digital untuk mendokumentasikan lokasi penelitian; (3) ASTER GDEM 2 sebagai input untuk Digital Elevation Model (DEM) dengan ketelitian spasial per pixel = (30 m x 30m); (4) Software ArcGIS 10 untuk pengolahan data; (5) data hujan harian pada ke dua sub-DAS, dengan panjang periode rekaman data dari th 1996 sd th 2005); (6) Peta digital peruntukan lahan, peta dihasilkan dari digitalisasi peta RBI 1:25.000. Peta ini digunakan untuk menentukan jenis peruntukan lahan; (7) peta digital tanah, dan (8) 1 set PC untuk pengolahan data.

(3)

119 Tahapan Penelitian

Tahap penelitian dapat dibedakan menjadi: (1) inventariasi data, (2) pengolahan data, (3) survei pada lokasi penelitian, dan (4) interpretasi hasil pemetaan.

Inventarisasi data

Data masukan untuk USLE berupa: (1) data DEM, (3) data hujan harian, (4) data peruntukan lahan, (5) data tanah, dan (6) data GPS. Data DEM diperoleh dari ASTER GDEM2, dengan mendownload dari internet (http://www.astergdem2, 2012). Data DEM tersebut memiliki ketelitian spasial (30m x 30m) per pixel nya. Data hujan harian diperoleh dari 16 stasiun hujan yang tersebar pada ke dua wilayah sub-DAS. Data peruntukan lahan diperoleh dari digitalisasi peta RBI. Data lapisan tanah diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah Bogor semua data tersebut telah tersedia pada lab. TPKL – FTP UNEJ. Data titik-titik kontrol penelitian diperoleh melalui survei lapangan menggunakan Mobil Mapping Unit (MMU).

Metode untuk perhitungan komponen USLE

Prosedur perhitungan menggunakan USLE dan ArcGIS, pada prinsipnya dapat dibagi ke dalam beberapa langkah, yaitu: (1) menghitung faktor erosivitas Hujan (R), (2) memperoleh faktor erodibilitas tanah (K), (3) menghitung nilai LS dari pengolahan data DEM, (4) memperoleh faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman serta konservasi tanah (CP). Berikut penjelasan masing-masing langkah tsb:

Tahap 1: Erosivitas hujan (R)

Pada studi ini, besarnya erosivitas hujan dihitung menggunakan persamaan Bols (1978), sebagai berikut:

     0,53 m 0,47 m 1,21 m

m 6,119 RAIN DAYS MAXP

R      ... (2)

dimana :

Rm : Erosivitas hujan bulanan rata-rata

(cm/tahun),

(RAIN) m : Curah hujan bulanan rata-rata

(cm),

(DAYS) m : jumlah hari hujan bulanan

rata-rata,

(MAXP) m : Curah hujan maksimum 24

jam bulanan rata-rata (cm), Selanjutnya, nilai R dihitung, sbb:

) ( 12 1 m m R R

... (3) dimana :

R : Erosivitas curah hujan tahunan rata-rata = jumlah Rm selama 12 bulan.

Tahap 2: Erodibilitas tanah (K)

Pada penelitian ini data erodibilitas didapat dari peta erodibilitas tanah di DAS Sampean dan di DAS Bedadung (Tabel 1). Tabel 1. Nilai erodibilitas tanah (K) untuk beberapa jenis tanah DAS Sampean dan DAS Bedadung

Jenis tanah Erodibilitas

(K)

Tingkat Erodibilitas Latasol coklat kemerahan 0,11 Rendah Asosiasi andosol dan regosol

coklat kekuningan

0,09 Sangat rendah Regosol coklat kekelabuan 0,12 Rendah Komplek regosol kelabu dan

litosol

0,12 Rendah Komplek regosol dan litosol 0,09 Sangat rendah Latosol coklat dan regosol

kelabu

0,1 Rendah Aluvial coklat kekelabuan 0,16 Agak rendah Komplek latosol coklat

kekuningan dan litosol

0,1 Rendah Komplek mediteran merah

dan litosol

0,1 Rendah Komplek regosol kelabu dan

latosol

0,09 Sangat rendah Latosol coklat kemerahan

volkan basis

0,1 Rendah Regosol coklat kekuningan 0,09 Sangat rendah Regosol coklat kemerahan 0,09 Sangat rendah

Regosol kelabu 0,12 Rendah

Regosol coklat 0,12 Rendah

(4)

120 Panjang Lereng (L) dan Kemiringan

Lereng (S)

Aplikasi SIG memerlukan data Digital Elevation Model (DEM) untuk dapat menghasilkan faktor LS yang lebih spesifik pada setiap pixelnya (Blanco dan Nadaoka, 2006). Menghitung faktor panjang lereng (L) menjadi masalah yang cukup rumit di dalam SIG yang berbasis pixel (Kinnell, 2008:2). Pada penelitian ini, faktor LS dihitung dengan persamaan Moore and Burch (1986), sebagai berikut:

3 , 1 5 , 0 ) 0896 , 0 / ( ) 13 , 22 / (X CZ SinLS   ...(4) dimana :

LS : faktor lereng, X : akumulasi aliran (flow accumulation), CZ : ukuran pixel θ : kemiringan lereng (slope) (º).

Faktor vegetasi (C) dan Tindakan Konservasi Tanah (P)

Faktor CP didapat dari studi literatur yang selanjutnya disesuaikan dengan peruntukan lahan di daerah penelitian (Tabel 2).

Tabel 2. Prakiraan faktor CP pada berbagai jenis penggunaan lahan

No. Konservasi dan pengelolaan tanaman

Nilai CP 1 Hutan:

a. Tidak terganggu

b. Tanpa tumbuhan bawah, dengan serasah

c. Tanpa tumbuhan, tanpa serasah 0,01 0,05 0,50 2 Semak: a. Tidak terganggu b. Sebagian rumput 0,01 0,10 3 Kebun: a. Kebun campuran b. Kebun-pekarangan 0,02 0,20 4 Perkebunan:

a. Penutupan tanah sempurna b. Penutupan tanah sebagian

0,01 0,07 5 Rerumputan:

a. Penutupan tanah sempurna b. Penutupan tanah sebagian,

ditumbuhi alang-alang c. Alang-alang: pembakaran sekali setahun d. Serai wangi 0,01 0,02 0,06 0,65 6 Tanaman pertanian a. Umbi-umbian b. Biji-bijian c. Kacang-kacangan d. Campuran e. Padi irigasi 0,51 0,51 0,36 0,43 0,02 7 Perladangan:

a. 1 tahun tanam, 1 tahun bero b. 1 tahun tanam, 2 tahun bero

0,28 0,19 8 Pertanian dengan konservasi:

a. Mulsa b. Teras bangku c. Countour cropping 0,14 0,04 0,14 Sumber: Asdak (2004: 376)

Penentuan Tingkat Erosi

Tingkat bahaya erosi merupakan perkiraan jumlah maksimum tanah yang akan hilang pada suatu lahan, bila pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Jumlah maksimum tanah hilang harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui

proses pembentukan tanah agar

produktivitas lahan tetap tinggi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007: 117-118). Kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Tabel 3.

(5)

121 Tabel 3. Klasifikasi tingkat bahaya erosi

Kelas Tingkat Erosi (Ton/ha/th) Klasifikasi I 0-15 Sangat ringan II 15-60 Ringan III 60-180 Sedang IV 180-480 Berat V >480 Sangat berat

Sumber: Departemen Kehutanan (1986: 52) Survei GPS

Data titik-titik kontrol penelitian berfungsi untuk evaluasi kualitatif hasil peta terhadap kenyataan yang ada di lapang. Data ini diperoleh dengan

menggunakan alat GPS (Global

Positioning System) yang ada pada Mobil Mapping Unit (MMU). Pengambilan titik kontrol dimulai dari daerah yang cukup landai hingga daerah yang curam. Titik kontrol diambil pada setiap peruntukan lahan yang berbeda. Lokasi yang landai diambil pada beberapa titik di wilayah perkotaan. Sedangkan wilayah yang curam diambil di beberapa titik di wilayah Kecamatan Grujugan, Curah Dami, Panti dan Arjasa.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan Komponen USLE

Gambar 2 menampilkan hasil perhitungan nilai erosivitas hujan (R).

Gambar 3 menampilkan hasil

perhitungan faktor erodibilitas tanah (K). Gambar 4 menampilkan hasil perhitungan faktor LS, dan Gambar 5 menampilkan peta hasil perhitungan faktor CP pada kedua sub-DAS.

Erosivitas Hujan (R)

Nilai erosivitas bervariasi tergantung curah hujan bulanan rerata di tiap stasiun pengamat hujan. Semakin tinggi curah hujan, maka semakin tinggi nilai erosivitas yang dihasilkan. Erosivitas yang tinggi

akan berpengaruh besar terhadap daya penghancur agregat tanah dan dan aliran permukaan. Erosivitas yang tinggi belum tentu menyebabkan erosi yang tinggi jika terjadi pada tanah yang mempunyai nilai erodibilitas rendah, terletak pada daerah kelerengan rendah (landai) serta manajemen lahan yang baik.

Erodibilitas Tanah (K)

Erodibilitas termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi proses terjadinya erosi. Pada intensitas hujan yang sama, tanah dengan erodibilitas tinggi akan tererosi lebih cepat dibandingkan dengan yang nilai erodibilitas-nya rendah (Kartasapoetra, 1988: 21-22).

Lahan pada ke dua Sub-DAS didominasi oleh tingkat erodibilitas yang sangat rendah hingga agak rendah. Pada Sub-DAS Kloposawit dan Rawatamtu tanah yang memiliki tingkat erodibilitas sangat rendah adalah asosiasi andosol dan regosol coklat kekuningan dan komplek regosol dan litosol yaitu 0,09. Jenis tanah pada Sub-DAS Kloposawit yang memiliki tingkat erodibilitas rendah adalah jenis tanah regosol yaitu 0,12. Pada Sub-DAS Rawatamtu jenis tanah yang memiliki tingkat erodibilitas agak rendah adalah jenis tanah aluvial. Tanah yang mempunyai erodibilitas tinggi pada kondisi curah hujan yang sama maka akan lebih mudah tererosi dibandingkan dengan tanah yang memiliki erodibilitas rendah. Namun tanah dengan tingkat erodibilitas yang rendah belum tentu menghasilkan erosi yang rendah juga apabila tanah tersebut terletak pada kemiringan lereng yang curam dan panjang serta curah hujan dengan intensitas yang selalu tinggi, dan sebaliknya.

(6)

122

Gambar 2. Faktor erosivitas hujan Gambar 4. Faktor LS

Gambar 2. Faktor erodibilitas tanah

Gambar 4. Faktor CP

Faktor Vegetasi Penutup Tanah dan

Pengelolaan Tanaman (C) dan

Tindakan Konservasi Tanah (P)

Faktor CP di daerah penelitian berkisar antara 0 – 0,51 yaitu terdiri dari pemukiman yang memiliki faktor CP 0 dengan asumsi tanah 100% tertutup. Selanjutnya sungai dan bendungan memiliki faktor CP 0 dengan asumsi tidak ada faktor pengelolaan tanaman dan faktor konservasi tanah, kebun yang memiliki faktor CP 0,02 dengan asumsi kebun yang dikelola adalah jenis kebun talun. Sawah irigasi yang memiliki faktor CP 0,02 dengan asumsi faktor pengelolaan tanaman padi irigasi, tanah kosong/padang rumput memiliki faktor CP 0,02 dengan asumsi faktor pengelolaan tanaman dan faktor konservasi penutupan tanah sebagian

ditumbuhi alang-alang. Penggunaan lahan semak belukar memiliki faktor CP 0,1 dengan asumsi pengelolaan tanaman sebagian berumput, sawah tadah hujan memiliki faktor CP 0,28 dengan asumsi 1 tahun tanam dan 1 tahun bero. Hutan memiliki faktor CP 0,5 dengan asumsi faktor pengelolaan tanaman dan konservasi lingkungan yang dilakukan adalah hutan tanpa tumbuhan bawah dan tumbuhan seresah, serta ladang yang memiliki faktor CP 0,51 dengan asumsi faktor pengelolaan tanaman pertanian yaitu biji-bijian.

Hasil Perhitungan Erosi dan Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi

Dengan bantuan software ArcGIS 10.0, perhitungan erosi dengan pemodelan

(7)

123 USLE sesuai Persamaan 2.1 dilakukan setelah super posisi (overlay) dari peta-peta spasial yang telah diubah menjadi format raster yaitu peta faktor erosivitas hujan (R), peta faktor erodibilitas tanah (K), peta faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), peta faktor vegetasi penutup tanah dan faktor pengelolaan tanaman serta faktor konservasi tanah (CP). Perhitungan erosi dihitung menggunakan raster calculator dalam software ArcGIS 10.0 .

Erosi yang terjadi di Sub-DAS Kloposawit yaitu dari 0 – 94960,3 ton/ha/tahun. Nilai batas bawah erosi yang terjadi adalah 0 ton/ha/tahun dan Jika ditinjau dengan peristiwa di lapang, Kecamatan Panti pernah mengalami banjir bandang pada tanggal 4 Maret 2011 (Kompas, 2011). Dapat disimpulkan bahwa terjadinya bencana pada daerah-daerah tersebut disebabkan erosi yang tinggi akibat tata guna lahan yang kurang baik.

Gambar 6. Erosi

Batas atas 94960,3 ton/ha/tahun yang merupakan potensi longsor. Potensi longsor sebesar 94960,3 ton/ha/tahun terjadi pada 1 pixel atau seluas 0,09 ha. Erosi yang terjadi di Sub-DAS Rawatamtu yaitu dari 0 – 76160,2 ton/ha/tahun. Nilai batas bawah erosi yang terjadi adalah 0 ton/ha/tahun dan batas atas 76160,2 ton/ha/tahun yang merupakan potensi longsor. Potensi longsor sebesar 76160,2

ton/ha/tahun terjadi pada 1 pixel atau seluas 0,09 ha. Erosi yang terjadi pada kedua Sub-DAS didominasi oleh erosi sebesar 0 – 15 ton/ha/tahun yaitu 509,2 km2 atau 70,6% dari luas total Sub-DAS Kloposawit dan 522,1 km2 atau 66,9% dari luas total Sub-DAS Rawatamtu.

Gambar 7. Tingkat bahaya erosi

Sub-DAS Rawatamtu memiliki erosi sangat tinggi yang lebih luas dibandingkan dengan Sub-DAS Kloposawit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor LS, faktor erodibilitas tanah, faktor erosivitas hujan, dan faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman serta faktor konservasi tanah.

Nilai erosivitas pada Sub-DAS Rawatamtu cenderung lebih besar daripada nilai erosivitas di Sub-DAS Kloposawit. Erosivitas ini akan berhubungan langsung dengan tanah, apabila tidak ada vegetasi penutup tanah, pengelolaan tanaman dan konservasi tanah (CP) yang baik karena CP ini berguna melindungi tanah dari daya hancur hujan selain kepekaan tanah itu sendiri.

Daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi berat dan sangat berat pada Sub-DAS Kloposawit tersebar di beberapa kecamatan yaitu kecamatan Curah Dami, Pakem, Wringin, Grujugan, Tegal Ampel, Tlogo Sari, sebagian kecil kecamatan Klabang, dan Maesan. Pada Sub-DAS Rawatamtu daerah yang memiliki tingkat

(8)

124 bahaya erosi berat dan sangat berat tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Panti, Jelbuk, Sumber Jambe,

Bangsal Sari, Arjasa dan Sukorambi.

Observasi Lapang dan Pengambilan Titik-Titik Kontrol

Observasi lapang ini juga

dimaksudkan untuk mengetahui

kesesuaian daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi sangat berat dan daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi ringan dari peta yang dihasilkan dengan keadaan di

lapang. Pengambilan titik-titik kontrol ini menggunakan GPS (Global Positioning System) berupa titik koordinat dan juga gambar lokasi. Penentuan titik-titik kontrol dimulai dari perkotaan yang dianggap memiliki tingkat bahaya erosi ringan sampai daerah pegunungan yang memiliki kelerengan curam.

Tabel 4. Persentase tingkat bahaya erosi Erosi

(ton/ha/tahun)

Kloposawit Luas Rawatamtu Tingkat Bahaya Erosi

(km2) % (km2) % 0-15 509,2 70,6 522,1 66,9 Sangat Ringan 15-60 40,3 5,6 39,9 5,1 Ringan 60-80 53,8 7,5 35,8 4,6 Sedang 80-480 56,4 7,8 48,5 6,2 Berat > 480 61,7 8,5 134,3 17,2 Sangat Berat 721,4 100 780,6 100

(9)

125 Pada Gambar 8 terlihat bahwa daerah yang memiliki TBE sangat berat merupakan daerah dengan kelerengan yang sangat curam. Tanah dengan lereng sangat curam tersebut merupakan hutan jati tanpa vegetasi penutup tanah yang rapat sehingga air hujan akan mudah untuk menghancurkan agregat tanah dan menghanyutkannya (Gambar 8.a).

Dari (Gambar 8.e) terlihat bahwa adanya konservasi tanah yang kurang tepat pada lahan tersebut. Lahan dengan kelerengan curam dan faktor pengelolaan tanaman pisang yang tidak memiliki akar kuat untuk menahan tanah. Tidak adanya terasering penahan erosi dan vegetasi penutup tanah menyebabkan hujan akan

mudah menghancurkan tanah dan

menghanyutkannya. Seharusnya tanah Gambar 8. Data kualitatif di lapang dengan hasil pemetaan (Sub-DAS Kloposawit): (a) Hutan jati; (b)

Sawah irigasi; (c) Pemukiman; (d) Tingkat bahaya erosi; (e) Kebun pisang; (f) Tebing curam (Sumber: Data primer diolah, 2012)

(c)

(b)

(d)

(e) (f)

(10)

126 yang memiliki kelerengan sangat curam ditanami dengan pohon-pohon yang memiliki akar kuat dan vegetasi peneutup tanah yang cukup rapat, serta konservasi tanah yang tepat guna mengurangi besar

erosi yang terjadi. Pada daerah perkotaan seperti Kecamatan Tapen, Wonosari, Tenggarang memiliki tingkat bahaya erosi yang ringan karena mayoritas merupakan lahan sawah irigasi dan pemukiman.

Gambar 9. Data kualitatif di lapang dengan hasil pemetaan (Sub-DAS Rawatamtu): (a) Bekas longsor; (b) Bekas longsor; (c) Bekas longsor ditanami kacang tanah; (d) Tingkat bahaya erosi; (e)Tanah kosong; (f) Sawah irigasi.

Sumber: (Data primer diolah, 2012)

(a)

(c)

(e) (f)

(d)

(11)

127 Lahan sawah irigasi memiliki tingkat bahaya erosi ringan karena faktor pengelolaan tanaman yang sesuai yaitu padi irigasi yang memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi, sehingga air hujan tidak langsung menyentuh tanah, dan air yang mengalir akan diserap oleh tanaman. Pada daerah pemukiman tanah 100% tertutup oleh bangunan sehingga air tidak jatuh langsung ke tanah, kecepatan jatuh hujan juga akan berkurang karena terhalang oleh bangunan.

Pada Gambar 9.a terlihat bahwa daerah yang memiliki TBE sangat tinggi seperti kecamatan Panti merupakan daerah yang pernah mengalami longsor. Pada Gambar 9.a juga terlihat sisa-sisa dari peristiwa longsor. Daerah tersebut memiliki kelerengan >65% yaitu kondisi lereng sangat curam. Faktor pengelolaan tanaman dan konservasi tanah di daerah tersebut belum sesuai karena pada daerah-daerah yang pernah mengalami longsor, kembali ditanami dengan tanaman pisang dan kacang tanah tanpa vegetasi penutup dan konservasi tanah yang baik.

Seharusnya lahan-lahan dengan

kemiringan sangat curam tersebut ditanami vegetasi penutup tanah yang baik dan konservasi tanah yang tepat, seperti pembangunan teras gulud, penanaman rumput penguat teras, penanaman searah garis kontur, serta ditanami vegetasi penutup tanah dengan kerapatan tinggi dan pohon-pohon yang memiliki akar kuat atau dijadikan hutan lindung. Pada daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi sangat ringan dan ringan merupakan daerah pemukiman dan sawah irigasi.

Pemodelan USLE ini hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah dari erosi lembar dan erosi alur. Namun pemodelan ini tidak dapat mempredikisi

pengendapan sedimen dan tidak

menghitung hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai, dan dasar sungai. Pemodelan USLE dengan memanfaatkan SIG ini juga tidak mempertimbangkan keberadaan saluran atau sungai yang

merupakan batas paling bawah dari

panjang suatu lereng sehingga

mengakibatkan besar erosi di sungai bisa terlihat tinggi dari keadaan sebenarnya.

Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis ini bisa menggambarkan kondisi besaran erosi yang rinci dalam waktu yang cepat. Kondisi seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih rinci mengenai tingkat bahaya erosi yang terjadi sehingga perencanaan tindakan konservasi tanah dan air yang disarankan bisa lebih spesifik, terutama mengenai lokasi yang harus dilakukan tindakan konservasi. Dengan penyediaan data spasial mengenai erosi ini dapat dilakukan tindakan konservasi yang sesuai dengan kondisi tempat tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa erosi yang dihitung menggunakan USLE yang dijalankan di atas Software ArcGIS 10 memiliki nilai batas atas yang sangat besar yaitu di Sub-DAS Kloposawit 94960,3 ton/ha/tahun dan Sub-DAS Rawatamtu yaitu dari 0 – 76160,2 ton/ha/tahun. Nilai tersebut termasuk tingkat bahaya erosi yang sangat tinggi. Nilai tersebut merupakan potensi longsor. Erosi dengan nilai batas atas tersebut terjadi pada satu pixel atau 0,09 ha. Sub-DAS Kloposawit memiliki tingkat bahaya erosi berat dan sangat berat, yaitu masing-masing seluas 56,4 km2 dan 61,7 km2. Daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi berat dan sangat berat, yaitu tersebar di Kecamatan Curah Dami, Pakem, Wringin, Grujugan, Tegal Ampel, Tlogo Sari, dan sebagian kecil Kecamatan Klabang, dan Maesan. Sub-DAS Rawatamtu memiliki tingkat bahaya erosi berat dan erosi sangat berat dengan luas masing-masing 48,5 km2 dan 134,3 km2. Daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi berat dan sangat berat, yaitu tersebar di Kecamatan Panti, Jelbuk, Sumber Jambe, Bangsal Sari, Arjasa, dan Sukorambi.

(12)

128 DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan Ketiga. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press, Yogyakarta.

Blanco, A.C. dan Nadaoka, K. 2006. A comparative assessment and estimation of relative soil erosion rates and patterns in Laguna Lake watershed using three models: Towards development of an erosion index system for integrated watershed-lake management. Proc. of the Symposium on Infrastructure Development and the Environment. Departemen Kehutanan. 1986. Petunjuk

Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Dissmeyer, G.E., and G.R. Foster. 1980. A guide for predicting sheet and rill erosion on forestland. U.S.Department of Agriculture, Forest Service, Technical Publication SA-TP-11. Kartasapoetra, G. 1988. Kerusakan Tanah

Pertanian dan Usaha untuk Merehabilitasnya. Bina Aksara, Jakarta. Kinnell, P.I.A. 2008. The Miscalculation of The USLE Topographic Factors in GIS. Faculty of science University of Canberra. Canberra, Australia.

Kompas. 2011. Banjir Bandang Jember. http://regional.kompas.com/read/2011/0 3/05/08310861/Banjir.Bandang.di.Jemb er.Puluhan.Warga.Mengungsi. [Diakses tanggal 15 Mei 2012].

Media Indonesia. 2011. Penyebab Banjir

Bandang Jember.

http://www.mediaindonesia.com/read/2 011/03/07/208218/125/101/Pembalakan

-Liar-Diduga-Penyebab-Banjir-Bandang-di-Jember. [Diakses tanggal 15 Mei 2012].

Renard, K.G., G.R. Foster, G.A. Weesies, D.K. McCool, and D.C. Yoder. 1997. Predicting soil erosion by water. U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service, Agriculture Handbook 703.

Tempo. 2002. Banjir Bandang Bondowoso. http://www.tempo.online.com/mbm.200 20211. DH76975/Banjir-dan-Longsor-38-Nyawa-Melayang/ . [Diakses tanggal 15 Mei 2012].

Toy, T.E., and G.R. Foster. 1998. Use of the Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE1) on Mined Lands, Construction Sites, and Reclaimed Lands. U.S. Department of Interior, Office of Surface Mining, Reclamation, and Regulation.

Toy, T.E., G.R. Foster, and K.G. Renard. 2002. Soil Erosion. John Wiley & Sons, New York. U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service, National Sediment Laboratory (USDA-ARS-NSL). 2003. RUSLE1.06c

and RUSLE2.

http://www.sedlab.olemiss.edu/rusle. Wischmeier, W.H. 1975. Estimating the soil

loss equation’s cover and management factor for undisturbed lands. In Present and prospective technology for predicting sediment yields and sources, pp. 118-125. U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service, ARS-S- 40.

Wischmeier, W.H., and D.D. Smith. 1965. Predictingrainfall-erosion losses from cropland east of the Rocky Mountains. U.S. Department of Agriculture, Agricultural

Research Service, Agriculture Handbook 282. Wischmeier, W.H., and D.D. Smith. 1978.

Predicting rainfall erosion losses. U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service, Agriculture Handbook 537.

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian
Gambar 2. Faktor erosivitas hujan  Gambar 4. Faktor LS
Gambar 6. Erosi
Gambar  8.    Data  kualitatif  di  lapang  dengan  hasil  pemetaan  (Sub-DAS  Kloposawit):    (a)  Hutan  jati;  (b)  Sawah irigasi; (c) Pemukiman; (d) Tingkat bahaya erosi; (e) Kebun pisang; (f) Tebing curam   (Sumber: Data primer diolah, 2012)
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

The researcher/technician chooses the value of the reconstruction step, based on the type of plan to be realized. As gsd decreases, resolution increases, along with the

[r]

After a short illustration of the background project and its fi nalities, we present the data acquisition through triangulation-based laser scanning and the post-processing

Pemegang Saham atau kuasa Pemegang Saham yang akan menghadiri Rapat, diminta dengan hormat untuk membawa dan menyerahkan fotokopi Surat Kolektif Saham dan

[r]

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011, Trento,

Untuk barang berharga jual rendah (low-involvement) proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mudah, sedangkan untuk barang berharga jual tinggi