• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGENAAN PAJAK UMKM SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018 (STUDI KASUS DI KANTOR PAJAK PRATAMA PAMEKASAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI PENGENAAN PAJAK UMKM SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018 (STUDI KASUS DI KANTOR PAJAK PRATAMA PAMEKASAN)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

231 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

EVALUASI PENGENAAN PAJAK UMKM SEBELUM DAN SESUDAH

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018 (STUDI KASUS

DI KANTOR PAJAK PRATAMA PAMEKASAN)

Moh. Sohefuddin¹, Evi Malia², Imam Agus Faisol³

¹[email protected] ²[email protected] ³[email protected]

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Madura

ABSTRACT

This research aims to find out the differences of UMKM taxation after the implementation of PP No. 23 2018. This research was descriptive qualitative research. The results showed that the taxation of UMKM is better than before, because the implementation of the regulation has influence many taxpayers to understand about the taxation of UMKM. This regulation aims to provide convenience and simplicity of tax obligations with the time limit given to taxpayers to obey the Regulation. Nevertheless, there are still taxpayers who do not understand how to count, pay, and report the tax. But after the implementation of the regulation, the number of taxpayers and the amount of tax revenue in the Pamekasan Tax Office increased until 2018.

Key words: UMKM, PP. No 23 of 2018, Tax Imposition. ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengenaan pajak UMKM sebelum dan sesudah diterapkannya PP. No 23 Tahun 2018. Jenis metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Sumber data yang diperlukan adalah data sekunder dan data primer. Dengan metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengenaan pajak UMKM dengan PP 23 ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Pasalnya, setelah diberlakukannya PP No. 23, pemahaman Wajib Pajak di KPP Pratama Pamekasan sudah banyak yang paham. Peraturan ini bertujuan memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Dengan batasan waktu yang diberikan kepada WP untuk memanfaatkan Peraturan ini. Meskipun demikian, masih ada WP yang kurang memahami hitung, setor, dan lapornya. Namun setelah penerapan PP ini, Jumlah WP dan Jumlah penerimaan pajak di KPP Pratama Pamekasan meningkat hingga 2018.

Kata kunci:

UMKM, PP. No 23 Tahun 2018, Pengenaan Pajak.

PENDAHULUAN

Pada bulan juli 2018 pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 23 Tahun 2018 untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan ini tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto

tertentu. Tarif yang dibawa oleh PP No. 23 Tahun 2018 ini sebesar 0,5% dari omset per 1 tahun pajak.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Berdasarkan penelitian Yusuf (2016) didapatkan hasil

(2)

232 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

bahwa mayoritas wajib pajak mengatakan bahwa mereka merasakan ketidakadilan, peraturan tersebut kurang tepat bagi UMKM, kurang adanya kepastian hukum dan tarifnya memberatkan.

Penyebaran UMKM di Kabupaten Pamekasan tercatat sebanyak 195.999 dengan berbagai macam jenis diantaranya ada Usaha peracangan, pertokoan, usaha tani Lombok, usaha tani tembakau, usaha batik dan lain-lain (www.depkop.go.id). Hal ini menunjukkan bahwa peran dari sektor UMKM di Indonesia khususnya di Kabupaten Pamekasan memang sangat mendominasi perekonomian bangsa ini. Penurunan tarif pajak UMKM dari PP No. 46 Tahun 2013 sebesar 1% menjadi PP No. 23 Tahun 2018 0,5% menimbulkan daya tarik tersendiri untuk diteliti. Karena menurut Muhammad Yusuf (2016) yang menunjukkan hasil bahwa tarif PP No. 46 Tahun 2013 itu memberatkan pada pelaku UMKM karena jika setelah satu tahun pajak ternyata Wajib Pajak menderita kerugian atas usahanya, maka tarif 1% itu tetap berlaku. Dalam penurunan tarif dari 1% menjadi 0,5% ini tentunya sudah berpatokan terhadap evaluasi dari PP sebelumnya. Dari adanya fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul

“Evaluasi Pengenaan Pajak UMKM Sebelum dan Sesudah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018”. TINJAUAN TEORETIS

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Subhan, Cahyo (2018) dengan judul Analisis Penerimaan PPh Pasal 4 ayat 2 Sebelum dan Sesudah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Hasil Penelitian Menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 4,71% yang cukup signifikan dilihat dari rata-rata pertumbuhan perbulannya sebelum dan sesudah penerapan PP No. 46 Tahun 2013 yang awalnya rata-rata pertumbuhannya sekitar 12,01% dari bulan januari 2012- desember 2013 menjadi 16,72% dari

bulan januari 2014 sampai desember 2015 berdasarkan pada data dari tahun 2012 sampai dengan 2015.

Berbeda dengan peneitian yang dilakukan oleh Yusuf (2016) dengan judul analisis pengenaan pajak final terhadap wajib pajak tertentu. Berdasarkan analisis didapatkan hasil bahwa mayoritas wajib pajak mengatakan bahwa mereka merasakan ketidakadilan, peraturan tersebut kurang tepat bagi UMKM, kurang adanya kepastian hukum, tarifnya memberatkan.

Susilo, Sirajuddin (2013). Mengatakan lain dalam penelitiannya yang berjudul Pemahaman Wajib pajak terhadap Peraturan Pemerintah Nomor. 46 Tahun 2013 tentang pajak UKM. Dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 masih sangat minim dan upaya pengenalan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang dilakukan pemerintah belum maksimal.

Menurut Supramono dan Damayanti (2010:2) Pajak didefinisikan sebagai iuran tidak mendapat jasa imbal (kotraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak adalah negara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran yang dibayarkan berupa uang, bukan barang. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Sifat pemungutan pajak adalah dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang beserta aturan pelaksanaannya. Pajak juga tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam pembayaran pajak. Serta digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Dari adanya penjelasan tentang pengertian pajak, sangat jelas bahwa pajak dalam Negara ini mempunyai peranan penting dalam hal penerimaan Negara.

(3)

233 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

Menurut Supramono dan Damayanti (2010;2) Dalam kaitannya dengan fungsi budgetair, pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan penerimaan negara yang ditempuh melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Ekstensifikasi ditempuh melalui perluasan, baik obyek maupun subyek pajak, sedangkan intensifikasi ditempuh melalui peningkatan kepatuhan subjek pajak yang telah ada. Pemungutan pajak yang dilaksanakan oleh suatu negara khususnya Indonesia didasarkan atas beberapa teori. Teori-teori tersebut seperti Teori asuransi, Teori kepentingan, Teori daya pikul, Teori bakti, dan Teori asas daya beli

Menurut Supramono dan Damayanti (2010:3) dalam Subhan (2015) Pelaksanaan pemungutan pajak harus sesuai dengan asas-asas yang melandasi pemungutan pajak. Dalam bukunya yang berjudul An Ingquiri into the Natural and Causes of Wealt of Nation, Adam smith menyatakan bahwa pemungutan pajak seharusnya didasarkan atas asas yang ada. Asas equality, Harus terdapat keadilan, serta persamaan hak dan kewajiban di antara Wajib Pajak dalam suatu negara. Persamaan hak dan kewajiban berarti tidak boleh ada diskriminasi di antara Wajib Pajak. Keadilan dalam pemungutan pajak ini dibedakan menjadi dua, antara lain yaitu : Keadilan Horizontal dan Keadilan Vertical. Sedangkan asas certainty, Penetapan pajak harus jelas, tidak dilakukan secara sewenang-wenang, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak terutang, kapan harus dibayar, dan batas waktu pembayaran. Pemungutan pajak yang jelas akan memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak sehingga akan meningkatkan kesadaran Wajib Pajak. Selanjutnya asas convenience, Pemungutan pajak harus memperhatikan kenyamanan (Convenience) dari Wajib Pajak, dalam arti pajak harus dibayar oleh Wajib Pajak

pada saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, yaitu pada saat memperoleh penghasilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini mengatur ketentuan mengenai penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final. Serta memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan, dalam Peraturan Pemerintah ini Wajib Pajak dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atatu Pasal 3lE Undang-Undang Pajak Penghasilan. Untuk menyempurnakan ketentuan Pajak Penghasilan final atas penghasilan dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, maka dipandang perlu untuk mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 ini.

Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final pada ayat (1) adalah sebesar 0,5 % (nol koma lima persen). Dalam hal ini, terdapat beberapa obejek yang berhak atau termasuk sebagai wajib pajak atau yang dikenakan pajak PPh final 0,5% dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Dimana terdapat objek tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan ada yang tidak termasuk Wajib Pajak. Selain itu, terdapat jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang diberikan pemerintah bagi Wajib Pajak yang ingin memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% paling lama yaitu 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi, 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma, dan 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT). Jangka waktu

(4)

234 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final ini terhitung sejak tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dan tahun Pajak beriakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Setelah batas waktu tersebut berakhir, maka WP akan kembali menggunakan skema normal seperti diatur oleh pasal 17 UU Nomor 36.

Cara penyetoran, pelaporan, pemungutan, dan pemotongan pajak PP No. 23 Tahun 2018 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018. Pemotong atau Pemungut Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan atas pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan pada ayat (7) ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong atau Pemungut Pajak terdaftar paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Jenis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan fenomena-fenomena sosial yang ada dengan mengembangkan konsep dan fakta. Tujuan dari penelitian ini untuk menghasilkan temuan-temuan yang tidak bisa dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara pengukuran lain untuk membuat deskriptif, gambaran, lukisan secara sistematis, fakta, dan sifat serta hubungan antar kejadian atau fenomena yang dihadapi. Sugiono (2012) Menurut Sugiyono (2012:224) pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Untuk memperoleh data penelitian, maka peneliti menggunakan sebuah metode dalam pengumpulan datanya yaitu dengan cara Wawancara dan Dokumentasi.

Wawancara merupakan proses tanya jawab secara lisan dan diskusi langsung dengan pihak objek penelitian. Tujuan dari wawancara disini untuk mengetahui lebih dalam tentang responden, dan juga untuk memperkuat data yang di peroleh oleh peneliti.

Objek yang akan di wawancara adalah petugas KPP yang bersangkutan dengan pengelolaan data penerimaan pajak dan pertumbuhan wajib pajak (WP OP dan WP Badan). Dalam hal ini penulis menetapkan informan penting yang terdiri dari informan Kunci yang dalam hal ini ditujukan kepada petugas KPP serta informan pendukung yang ditujukan kepada Wajib Pajak (WP). Pertanyaan yang akan di layangkan adalah seputar alasan pemerintah menerapkan PP. No. 23 Tahun 2018 dan perkembangan data penerimaan pajak dan data pertumbuhan wajib pajak OP dan Badan mulai dari PP 46 Tahun 2013 sampai PP 23 Tahun 2018. Selamjutnya adalah dokumentasi, dimana metode ini merupakan metode pengumpulan data dengan cara mempelajari catatan yang sudah ada. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen dan data mengenai data perkembangan penerimaan dan pertumbuhan wajib pajak sebelum dan sesudah PP. No.23 Tahun 2018 yang disajiakan dalam tulisan atau gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Melalui pengumpulan data dengan mengunakan metode Wawancara dan Dokumentasi, serta kesediaanya dari pihak fikskus dan beberapa wajib pajak untuk dimintai keterangan. Berhasil diperoleh informasi terkait Pemahaman dari Wajib Pajak, Tujuan Peraturan Pemerintah, Perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak, batasan waktu penggunaan PP (Pasal 5), Jumlah Wajib Pajak, serta Jumlah Penerimaan Pajak dari pihak fiskus atau petugas KPP dan juga dari

(5)

235 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

informan Wajib Pajak pengguna Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Pemahaman dari Wajib Pajak ini akan berdampak positif bagi KPP Pratama Pamekasan dalam hal tingkat penerimaan dan jumlah pembayar. Dari jumlah keseluruhan pengguna PP No. 23 Tahun 2018 yang terdaftar di KPP Pratama Pamekasan sudah banyak yang paham terkait peraturan yang baru ini bahwa Wajib Pajak akan dikenai tarif pajak 0,5% dari peredaran bruto mereka. Selai itu, wajib pajak juga paham kalau adanya peraturan ini dianjurkan untuk beralih ke sistem pembukuan serta kebebasan yang Wajib Pajak peroleh. Tetapi ada yang belum paham terkait peraturan ini, Hal ini disampaikan oleh Bpk. Prima

“Yaa banyak yang sudah paham, tapi ada yang belum paham, belum pahamnya tuh gini, mereka kadang-kadang itu membayar pajak bukan berdasarkan realita. Seharusnyakan kalau PP 23 kan 0,5% dari omset, kadang mereka tuh bayarnya semau mereka, mau mereka tuh aah bayar 100 ribu lah, kenapa mereka begitu, krn mereka menganggapnya pertahunnya tuh sama.”.

Adanya pernyataan demikian dari fiskus, dapat digambarkan bahwa sedemikian banyaknya wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Pamekasan yang dikenakan tarif PPh final 0,5% dari penghasilan bruto, para wajib pajak belum selurunya paham terkait adanya peraturan pemerintah yang baru dirilis Juli 2018 kemarin sebagai ganti dari PPh Final 1%. Adanya hal demikian disebabkan oleh beberapa hal di antaranya kurangnya kesadaran dari wajib pajak terhadap pentingnya perpajakan. Ditambah dengan paradigma yang tergolong masih kurang milenial dengan menganggap pajak yang akan mereka bayarkan setiap tahunya adalah sama. tidak pahamnya Wajib Pajak ini karena pemahaman dari Wajib Pajak tidak berbanding lurus dengan kesadaran para Wajib Pajak. Jika Wajib Pajak sudah

berasumsi seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa perilaku ketidakpatuhan ini akan berdampak pada penerimaan pajak yang tidak sesuai dengan jumlah Wajib Pajak saat ini. Hal ini sangat disayangkan oleh pihak fiskus sehingga perlu adanya tindak pengedukasian kepada masyarakat terkait perpajakan. Tindakan sosialisi perpajakan bukannya tidak dilakukan oleh petugas pajak. Namun, kurangnya kesadaran dan keingintahuan terhadap pentingnya perpajakan inilah yang menjadi pemicu, seperti yang disampaikan langsung oleh wajib pajak saat penulis wawancarai namun sangat disayangkan beliau kurang berkenan disebutkan entitasnya.

“saya hanya sekilas mendengarnya, biasanya ada surat edaran tapi terkadang saya tidak menerima. Terus sebelum ini ada semacam pertemuan yang diadakan koperasi, perdagangan. Iya tidak pernah mendatangkan perpajakan yang tujuannya untuk mensosialisasikan peraturan ini.”

Diturunkannya tarif pajak untuk UMKM dari 1% menjadi 0,5% merupakan langkah awal pemerintah dalam memberikan kesederhanaan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Jika dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 wajib pajak tidak dapat memilih pengenaan pajaknya, maka lain dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 yang memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam mentaati kewajibannya. Seperti yang disampaikan oleh pihak fiskus tentang tujuan penerunan tarif pajak.

“UMKM kan ya memang klo kita meliat ke UMKM sendiri 1% tuh berat, kadang-kadang tuh untung mereka tuh kadang-kadang kebanyakan kecil, tapi gak semuanya yaa. Makanya pemerintah menurunkan dari 1% ke 0,5% untuk mengangkat desanya dan masyarakat UMKM agar bisa mengembangkan usahanya.”

(6)

236 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

Informasi tersebut memberikan kita pandangan tentang tujuan diberlakukannya PPh final 0,5% ini, dari sisi perpajakan sudah jelas bahwa pemerintah menurunkan tariff PPh final ini untuk lebih memperhatikan para pelaku UMKM khusunya. Selain itu, pemerintah juga ingin mengajak para pengguna PPh final ini untuk lebih giat dan lebih sadar dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dengan memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam membayar pajak seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018, dan juga memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha untuk membenahi sistem keuangan mereka dengan menggunakan pembukuan. Diharapkan dari adanya hal ini para pelaku usaha bisa mengembangkan usahanya.

Dilihat dari salah satu evaluasi tentang batasan waktu yang juga diberikan oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini. Tidak hanya sampai disitu peran pemerintah untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan yang dimaksud dalam PP Nomor 23 Tahun 2018. Diberikannya batasan waktu kepada wajib pajak ini dimaksudkan agar Wajib Pajak pelan-pelan bisa beralih dari metode pencatatan keuangan ke pembukuan. Wajib Pajak diberikan tenggang waktu selama 7 Tahun untuk Wajib Pajak Pribadi (WP OP), 4 Tahun untuk Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma, dan 3 tahun untuk Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT).

“Seperti yang saya bilang, pencatatan dan pembukuan tadi. Nah kita untuk pencatatan yang badan sama OP kan dikasih jangka waktu beberapa tahun untuk mengganti dari pencatatan ke pembukuan. Ya karena tadi, kita memberikan waktu pada wajib pajak untuk belajar proses imigrasi antara pencatatan ke pembukuan, pembukuan sebenarnya

gak terlalu sulit, tapi gak semua orang bisa. Jadi kita memberikan waktu kepada beliau-beliau itu untuk membenahi sistem pembukuannya, sistem keuangannya. Kan kalo dari PP 23 yang melakukan pencatatan, kalo mereka rugi tetep bayar pajak tapi kalo pembukuan, jika mereka rugi ya gak kena pajak (Nihil).

Seperti penjelasan sebelumnya pada tujuan pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah dari PP No. 46 ke PP No. 23 yaitu salah satunya memberikan batasan waktu kepada Wajib Pajak. Batasan waktu tersebut memang diberikan kepada wajib pajak agar mereka mau belajar membenahi sistem keuangan mereka dari yang awalnya menggunakan pencatatan untuk berubah ke pembukuan. Sehingga wajib pajak dapat memilih pengenaan tarif dengan menggunakan 0,5% atau memilih Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 3lE Undang-undang Pajak Penghasilan. Dengan Wajib Pajak tetap memilih menggunakan pengenaan tarif PPh final 0,5%, maka jika di akhir periode pelaku usaha mengalami penghasilan yang minim ataupun rugi, kewajiban perpajakan tetap akan berlaku. Beda halnya jika pelaku usaha sudah memilih dikenakan Pasal 17 ayat (1) huruf a, pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E pelaku usaha yang mengalami penghasilan minim ataupun rugi, maka pelaku usaha kemungkinan besar akan bebas dari kewajiban perpajakan (Nihil).

Selanjutnya, jika dipandang dari evaluasi perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak, peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini juga menganut sistem self assessment seperti peraturan sebelumnya. Artinya Wajib Pajak melakukan sendiri proses perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak terutang mereka. Pihak KPP Pratama Pamekasan sebagai pemungut pajak hanyalah mengawasi melalui serangkaian tindakan pengawasan maupun penegakan hukum lainnya.

(7)

237 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

Evaluasi dari jumlah Wajib Pajak, Semakin tinggi tingkat pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya, maka dapat dipastikan jumlah Wajib Pajak akan meningkat. Pihak fiskus menyampaikan informasi terkait hal ini dengan santai.

“Wajib pajak berhak untuk menghitung sendiri pajaknya yang terutang berapa (Self Assesment), Kalau pelaporan tidak ada perbedaan cuma tarifnya ya mas ya, dari 1% ke 0,5%. Kemudian, di PP 23 2018 dimungkinkan adanya pilihan kepada wajib pajak. Klo di PP 46 2013 kan wajib pajak untuk mencatat ya (pencatatan), klo di PP 23 kan wajib pajak diperbolehkan untuk memilih antara pencatatan atau pembukuan”

“Jadi kebanyakan tidak paham saat bicara masalah pajak, sedangkan orang ini diwajibkan untuk punya NPWP Pribadi dan lain sebagainya, masalahnya untuk memahami tentang pajak cara bayar, setor dan lapornya, tidak tau saya. Ada penyuluhan tentang ini, cuma terkadang saat datang ke penyuluhan tersebut, pas tidak paham apa yang dijelaskan.”

Keterangan dari hasil wawancara tersebut, ada kaitannya dengan penjelasan awal yaitu evaluasi pemhaman wajib pajak akan berdampak pada kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Perhitungan, penyetoran dan pelaporan disini juga mennjadi kunci dari besar atau sesuainya penerimaan pajak dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar. Namun di KPP Pratsma Pamekasan sesuai dengan hasil wawancara yang didapat, wajib pajak belum sepenuhnya paham dengan isi dari PP No. 23 Tahun 2018 diantaranya cara perhitungan, penyetoran dan pelaporannya. Padahal, dalam PP No. 23 ini wajib pajak wajib menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Pihak KPP tugasnya hanya

memeriksa kesesuaian dari yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan keadaan yang sebenarnya. Bagi Wajib Pajak yang belum paham sepenuhnya pada peraturan ini, memungkinkan wajib pajak melalaikan kewajiban pajaknya. Karena tidak begitu memahami tentang cara perhitungan, penyetoran dan pelaporannya, sehingga memicu timbulnya paradigma untuk tidak patuh terhadap kewajiban perpajakan.

Peningkatan jumlah Wajib Pajak dari tahun 2017 ke tahun 2018 di KPP Pratama Pamekasan sebesar 11.736 atau 11% jumlah Wajib Pajak dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 140.053. Selain itu, jika ditinjau dari jumlah penerimaan pajak yang akan diterima di KPP Pratama Pamekasan. Semakin tinggi tingkat pemahaman dan kesadaran dari Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya juga akan berdampak pula pada jumlah penerimaan pajak. Berdasarkan data jumlah pembayar pajak PP 23 Tahun 2018 yang terdaftar di KPP Pratama Pamekasan saat ini, jumlah penerimaan pajak akan mendapatkan jumlah yang relatif tinggi dari tahun sebelumnya. Dan hal itu terbukti dengan jumlah penerimaan pajak yang diperoleh dari seluruh pembayar PP 23 sebesar Rp 686.049.678,00.

“Kepatuhannya ya meningkat, yang saya bilang tadi, dari segi jumlah pembayar pajaknya memang meningkat tapi ya tetep aja tidak bisa semuanya dari sekian banyak wajib pajak yang terdapat di KPP pamekasan masih sedikitlah dari sekian ribu yang terdaftar masih sedikit yang membayar. Yaa tugas kita untuk mengedukasi mereka meskipun bertambah dan bertambah tapi belum sampai merata. Contohnnya di plosok-plosok.” “Klo penerimaan UMKM klo dibagian saya sendiri Alhamdulillah meningkat kok kira-kira 5-10%”

(8)

238 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

Hal ini juga dikuatkan oleh hasil dokumentasi yang berhasil di ambil dari fiskus.

Gambar 1. Sejarah KPP, jumlah WP dan Penerimaan Pajak.

Semua ini membuktikan bahwa tujuan dari pemerintah mengeluarkan dan menurunkan tarif Pajak UMKM dari 1% ke 0,5% sudah mendapat respons positif dari Wajib Pajak. Tinggal bagaimana pihak fiskus untuk mengedukasi wajib pajak untuk lebih sadar dan paham akan pentingnya kewajiban perpajakan. Sesuai dengan yang disampainkan oleh fiskus. Meskipun semakin bertambahnya Jumlah Wajib Pajak maupun Jumlah Penerimaan Pajak di KPP Pratama Pamekasan. Tidak ada target khusus dari pihak KPP Pratama Pamekasan sendiri. Karena target dari segi jumlah Wajib Pajak maupun penerimaan pajak pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 selalu bergantung pada APBN.

Dilansir dalam (www.kemenkeu.go.id) penerimaan APBN Tahun 2018 dari sektor perpajakan, dapat diketahui bahwa jumlah

penerimaan sebesar Rp

1.618.100.000.000. jika target APBN di sektor perpajakan tahun 2018 senilai itu, maka KPP Pratama Pamekasan di tahun 2018 sejak diturunkan PP No. 23 Tahun 2018 ini sudah berhasil menyumbang 0,04% dari jumlah keseluruhan APBN dari sektor perpajakan di tahun 2018. Informasi terkait Jumlah Wajib Pajak dan Jumlah penerimaan pajak ini merujuk pada data yang disajiakan oleh DDTC News yang memberikan informasi bahwa DJP mencatat banyak peminat dari fasilitas tarif pajak penghasilan (PPh) final 0,5% untuk UMKM pada tahun 2019. Wajib Pajak orang pribadi menjadi

penerima fasilitas fiskal paling banyak. Direktur Potensi, kepatuhan, dan penerimaan pajak DJP yaitu Yon Arsal mengatakan porsi Wajib Pajak Orang Pribadi lebih besar ketimbang Wajib Pajak Badan sebagai penerima manfaat insensif pajak. Jutaan Wajib Pajak Orang Pribadi tercatat sudah memanfaatkan skema PPh final 0,5% ini. Dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tercatat hingga akhir Juli 2019 sebanyak 1,39 juta Wajib Pajak, mereka menyetor pajak senilai Rp. 1,67 triliun.

Sementara itu, untuk Wajib Pajak Badan yang menggunakan skema PPh final 0,5% terpantau sebanyak 213.000 Wajib Pajak. Adapun nominal pembayaran yang dilakukan mencapai Rp. 1,18 triliun hingga akhir juli 2019. Fasilitas pajak ini berlaku untuk Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto (omset) sampai tahun pajak. Skema PPh final ini juga terdapat batasan waktu pemanfaatan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya (IV), maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemahaman Wajib Pajak, pemahaman

Wajib Pajak di KPP Pratama Pamekasan sudah banyak yang paham terkait Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

2. Tujuan Penurunan Tarif, untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. jika dalam PP No. 46 Tahun 2013 tarif 1% tidak memendang laba/rugi dari wajib pajak, dengan tarif 0,5% diberikan kesempatan untuk beralih ke sistem pembukuan agar bisa memilih tarif pengenaan pajak sesuai pasal 17 ayat 1 (a), 17 ayat (2b), atau 31E UU Perpajakan.

3. Batas Waktu pemanfaatan Peratutan Pemerintah, Wajib Pajak diberikan batas waktu selama 7 Tahun untuk

(9)

239 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

Wajib Pajak Pribadi (WP OP), 4 Tahun untuk Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma, dan 3 tahun untuk Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT) untuk beralih ke sistem pembukuan.

4. Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan. masih terdapat Wajib Pajak yang belum paham terkait perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Sehingga wajib pajak perlu mendapatkan sosialisasi lebih lanjut.

5. Jumlah Wajib Pajak, dari tahun 2017 ke tahun 2018 di KPP Pratama Pamekasan meningkat sebesar 11.736 atau 11% hal ini menunjukkan bahwa penurunan tarif ini sudah mendapat respon yang positif dari masyarakat. 6. Jumlah Penerimaan Pajak, sementara

dari penerimaan pajak di KPP Pratama Pamekasan yang diperoleh dari seluruh pembayar PPh Final PP 23 Tahun 2018 sebesar Rp 686.049.678,00. Dan berhasil menyumbang 0,04% dari jumlah keseluruhan APBN dari sektor perpajakan di tahun 2018.

DAFTAR PUSTAKA

Diana Sari. (2013). Konsep Dasar

Perpajakan,

PT.

Fefika

Aditama.

Farid

Syahril.

(2013).

Pengaruh

tingkat pemahaman wajib

pajak dan kualitas pelayanan

fiskus

terhadap

tingkat

kepatuhan wajib pajak pph

orang pribadi.

Herriyanto, Marisa., dan Agus Arianto

Toly.

(2013).

Pengaruh

Kesadaran

Wajib

Pajak,

Kegiatan

Sosialisai

Perpajakan, dan Pemeriksaan

Pajak Terhadap Penerimaan

Pajak Penghasilan di KPP

Pratama Surabaya Sawahan.

https://jdih.esdm.go.id

https://news.ddtc.co.id/ini-jumlah-

umkm-yang-sudah-pakai-tarif-pph-final-0,5-16658

https://www.depkop.go.id

https://www.depkop.go.id/data-umkm

https://www.online-pajak.com/7-poin-

penting-dalam-pp-232018-tentang-PPh-final-0,5

https://www.kemenkeu.go.id/apbn201

8

https://www.pajak.go.id

https://www.pajak.go.id/peraturan-

pemerintah-nomor-23-tahun-2018

https://www.pajak.go.id/peraturan-

pemerintah-nomor-46-tahun-2013

https://www.pajak.go.id/id/wajib-pajak-dan-npwp

https://www.peraturan-menteri-

keuangan-nomor-99/pmk.03/2018.go.id

Lestari, puji. (2010). Analisis tingkat

pemahaman

terhadap

pelaksanaan self assessment

system. Media keuangan Vol.

II No. 17 Tahun 2010

Murdiasmo (2002), Perpajakan, Andi

Offset, Yogyakarta.

M. Yusuf. (2016). analisis pengenaan

pajak final terhadap wajib

pajak tertentu. Jurnal lentera

akuntansi.Vol. 2, No. 1:

Politeknik LP3I Jakarta.

Rawun, dkk. (2015). Penerapan PP

Nomor. 46 tahun 2013 atas

pembayaran pajak oleh wajib

pajak KPP Pratama Manado.

Jurnal Riset Akuntansi dan

Auditing.Vol. 6, No. 2.

Sri Rustiyaningsih. (2011).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Kepatuhan

Wajib

Pajak.

(10)

240 | Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (SINEMA)

ISSN : 2656-2952

Widya warta No.02 Tahun

XXXV.

Subhan, FD Cahyo. (2018). Analisis

Penerimaan PPh Pasal 4 Ayat

2 Sebelum dan Sesudah

Penerapan PP No. 46 Tahun

2013. Universitas Madura.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian

Kuantitaif

Kualitatif

dan

R&D, Bandung: Alfabeta

Supramono, Damayanti W Theresia.

(2010).

Perpajakan

Indonesia Mekanisme dan

Perhitungan; Penerbit ANDI.

Yogyakarta.

Susilo EJ, dkk. (2014). Pemehaman

Wajib

pajak

terhadap

Peraturan

Pemerintah

Nomor.46

Tahun

2013

tentang pajak UKM.

Gambar

Gambar 1. Sejarah KPP, jumlah WP dan  Penerimaan Pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Wendeya Sisca dengan judul penelitian Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Tentang Inisiasi Menyusui Dini di Wilayah

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat Beliau, penulis dapat menyelesaikan skripsi penulis yang berjudul “Peranan The Green

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang, Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Banyuasin dan

WP yang memiliki peredaran bruto tertentu dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Kolonialisme berarti sebuah sistem politik yang bertujuan untuk menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar.. Berbeda dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto

Data hasil pengukuran debit air dan tinggi efektif pada penelitian ini agar dapat menjadi referensi untuk membangun kembali Pembangkit Listrik Tenaga Mikro

Dalam penelitian ini daya antihelmintik diukur menurut Lanson dan Brown (1935) yaitu dengan merendam cacing dalam 25 ml larutan yang akan diteliti, kemudian