8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Pertumbuhan Ikan Betok
Rerata panjang baku (PB), pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, dan bobot per ekor ikan disajikan pada Tabel 1. Rerata panjang baku yang dimaksud merupakan rerata panjang baku pada akhir pemeliharaan. Rerata panjang baku tertinggi dicapai oleh perlakuan 3 mg/L (3,05±0,13 cm). Parameter lainnya berupa pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, dan rerata bobot per ekor tertinggi dicapai oleh perlakuan perendaman 6 mg/L (0,05±0,001 cm; 21,52±0,57 cm; dan 1,84±0,10 cm), sedangkan biomassa tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan perendaman rElGH dengan dosis 12 mg/L. Data hasil sampling disajikan pada Lampiran 3.
Tabel 1. Rerata panjang baku (PB), pertumbuhan harian (growth rate/GR), laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR), rerata bobot per ekor ikan, dan biomassa ikan yang direndam dengan rElGH dosis berbeda. Parameter Dosis rElGH (mg/L)
0 (Kontrol) 3 6 12
PB (cm) 2,92±0,040 3,05±0,13 3,00±0,08 2,96±0,06 Biomassa (g) 103,10±9.59 98,76±15,19 101,44±14,51 107,23±8.70 Rerata bobot (g/ekor) 1,54±0,20 1,80±0,23 1,87±0,29 1,76±0,10 GR (gram/hari) 0,04±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01 SGR (%) 20,93±0,43 21,45±0,44 21,52±0,57 21,40±0,20
Seperti yang ditunjukkan Tabel 1, nilai biomassa ikan uji cenderung meningkat pada perendaman dengan dosis 0 mg/L, 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L. Biomassa tertinggi dicapai oleh ikan dengan perlakuan perendaman rElGH sebanyak 12 mg/L, yakni sebesar 107,23 g. Perendaman dengan dosis 0 mg/L sebagai kontrol menunjukkan biomassa yang cukup tinggi (103,10 g) dibandingkan dengan perlakuan perendaman dosis rElGH 6 mg/L (101,44 g) dan 3 mg/L (98,76 g).
Gambar 1 menunjukkan tingkat keragaman ukuran ikan betok pada minggu ke-5. Seperti pada Tabel 1, ikan betok yang direndam dengan dosis 3 mg/L dan 6 mg/L menunjukkan tingkat keragaman ukuran dan biomassa yang
9 lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol dan ikan yang direndam dengan rElGHsebanyak 12 mg/L.
3.1.2 Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup ikan betok di antara perlakuan perendaman rElGH dengan dosis 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L cenderung meningkat seiring dengan kenaikan dosis rElGH melalui perendaman (Gambar 3). Di antara perlakuan perendaman tersebut, dosis perendaman 12 mg/L menunjukkan persentase tingkat kelangsungan hidup tertinggi, yakni sebesar 30,5%. Namun demikian, di antara semua uji dosis yang dilakukan, perendaman dengan dosis rElGH 0 mg/L (kontrol) menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, yakni sebesar 33,5%. Tingkat kelangsungan hidup ikan terendah ditunjukkan oleh ikan yang direndam rElGH dengan dosis 3 mg/L dan 6 mg/L, yaitu sebesar 28,17% dan 28,33%.
Gambar 1. Ikan betok hasil perendaman setelah 5 minggu pemeliharaan.
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan betok hingga akhir pemeliharaan.
10 3.2 Pembahasan
Berbagai jenis parameter telah diamati pada penelitian ini untuk menjawab tujuan. Salah satu jenis parameter yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup. Hingga akhir masa pemeliharaan, tingkat kelangsungan hidup ikan betok sebesar 28,17%-33,50% (Gambar 3) relatif lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Husna (2012) yang menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan betok hingga berumur 8 minggu mencapai 75%. Namun demikian, tingkat kelangsungan hidup ikan pada penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Morioka et al. (2009). Morioka et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan betok hingga umur 35 hari hanya mencapai 16,7%. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan pada penelitian ini diduga dapat terjadi akibat kanibalisme yang tinggi. Hal tersebut seperti yang dikatakan Morioka et al. (2009) bahwa salah satu penyebab rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan betok dapat diakibatkan oleh tingginya tingkat keragaman yang menyebabkan tingginya proses kanibalisme terutama saat ukuran ikan mencapai 0,5 cm. Pada saat pengambilan data awal, diketahui bahwa ikan uji yang digunakan memiliki rerata panjang tubuh sebesar 0,54 cm. Selain itu, ikan betok hasil perendaman pada penelitian ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Sehingga, peluang terjadinya proses kanibalisme pada penelitian sangat mungkin terjadi sejak awal perendaman. Perendaman ikan dengan rElGH sebanyak 12 mg/L diduga dapat memperkecil tingkat keragaman (Putra, 2011). Sehingga apabila dibandingkan dengan perlakuan perendaman dengan dosis 3 mg/L dan 6 mg/L, ikan yang direndam rElGH dosis 12 mg/L menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, yaitu sebesar 30,5%. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan kontrol, tingkat kelangsungan hidup tersebut lebih rendah. Lebih rendahnya tingkat kelangsungan hidup tersebut diduga terjadi akibat tingginya tingkat keragaman ikan yang direndam dengan rElGH dibandingkan dengan ikan yang direndam tanpa rElGH. Perbedaan penyerapan hormon pertumbuhan oleh ikan betok, diduga dapat menyebabkan tingkat keragaman ikan betok yang direndam lebih tinggi. Hal ini terjadi pula pada penelitian Maulana (2012), ikan kontrol tanpa rGH terlihat lebih seragam,
11 sehingga tingkat kelangsungan hidupnya tinggi, namun semakin sedikit hormon pertumbuhan yang diberikan untuk ikan, semakin besar pula tingkat keragamannya dan menyebabkan tingkat kelangsungan hidupnya lebih rendah dibandingkan ikan kontrol.
Selanjutnya adalah parameter panjang baku, pertumbuhan harian (GR), laju pertumbuhan spesifik (SGR), dan rerata bobot per ekor ikan. Seperti telah dikatakan sebelumnya, rerata panjang baku tertinggi dicapai oleh ikan betok dengan dosis perendaman 3 mg/L. Pada parameter pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, dan rerata bobot per ekor ikan yang tertinggi dicapai oleh ikan dengan perlakuan perendaman sebanyak 6 mg/L. Tingginya nilai pertumbuhan per ekor ikan dibandingkan dengan perlakuan lain diduga dapat terjadi akibat perbedaan tingkat kelangsungan hidup ikan betok yang menyebabkan padat tebar ikan menjadi berbeda. Menurut Effendi (2006) padat penebaran dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan, sehingga semakin rendah padat tebar ikan maka semakin besar pertumbuhan ikan per ekornya. Seperti yang ditunjukkan Gambar 3, tingkat kelangsungan hidup ikan betok dengan dosis perendaman 3 mg/L dan 6 mg/L merupakan tingkat kelangsungan hidup ikan terendah yaitu sebesar 28,17% dan 28,33%. Sehingga, pertumbuhan per ekor ikan tertinggi dicapai oleh ikan dengan kedua perlakuan perendaman tersebut.
Parameter lain yang diamati adalah biomassa. Biomassa dapat menunjukkan pengaruh dari perlakuan yang diberikan atau pengaruh dari parameter lain seperti tingkat kelangsungan hidup. Meskipun tingkat kelangsungan hidup ikan yang direndam dalam larutan rElGH dengan dosis 12 mg/L bukan merupakan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, namun bobot biomassanya mencapai 107,23 g yang merupakan nilai biomassa tertinggi diantara semua perlakuan yang diujikan termasuk kontrol. Biomassa ikan dengan perlakuan perendaman tersebut berbeda 4% dengan kontrol.
Terkait dengan hal tersebut, Husna (2012) menguji perendaman ikan betok menggunakan rElGH dengan dosis berbeda seperti pada penelitian ini, namun menggunakan ikan betok yang berumur 6 hari. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ikan yang direndam rElGH sebanyak 12 mg/L, merupakan perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik dengan tingkat kelangsungan hidup
12 tertinggi yaitu lebih dari 70% (24,11% lebih tinggi dari kontrol) dan biomassa tertinggi yaitu 529 g yang berbeda 27,11% dibandingkan kontrol. Perbedaan antara hasil penelitian Husna (2012) dengan hasil penelitian ini diduga terjadi karena perbedaan umur ikan yang digunakan. Menurut Ratnawati (2012) hormon pertumbuhan yang diberikan melalui perendaman dapat masuk melalui pori-pori tubuh dan insang melalui proses osmoregulasi akibat perlakuan shock salinity. Diduga, ikan yang berumur lebih muda pori-pori tubuh dan insangnya memiliki sifat permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang berumur lebih tua. Sehingga hasil yang lebih baik, ditunjukkan oleh ikan betok yang direndam pada umur 6 hari.
Untuk menerapkan teknologi hormon pertumbuhan rekombinan melalui perendaman yang efektif di lapangan, perlu dilakukan uji efektivitas dosis (seperti yang dilakukan pada penelitian ini), umur, frekuensi perendaman, dan jenis hormon yang digunakan. Frekuensi perendaman yang efektif untuk ikan gurame telah diteliti oleh Ratnawati (2012). Melalui penelitian tersebut dapat diketahui bahwa, frekuensi pemberian yang paling efektif untuk ikan gurame adalah sebanyak 1 kali perendaman. Acosta et al. (2007) melakukan perendaman untuk ikan nila sebanyak 5 kali dan hasilnya cukup signifikan. Untuk ikan betok, hingga saat ini belum diteliti frekuensi perendaman yang terbaik. Sehingga kemungkinan penambahan frekuensi perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dapat dikatakan berpeluang dalam meningkatkan pertumbuhan ikan betok secara signifikan. Keefektifan jenis hormon pertumbuhan rekombinan, telah dilaporkan oleh Putra (2011). Putra (2011) melaporkan bahwa bobot ikan gurame yang direndam dengan hormon pertumbuhan ikan gurame (OgGH) rekombinan menunjukkan peningkatan pertumbuhan 70% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrolnya. Mekanisme penyerapan hormon pertumbuhan rekombinan ke dalam tubuh ikan yang diberikan diduga dipengaruhi oleh jenis reseptor pada tubuh ikan, sehingga dengan jenis hormon yang sesuai dengan reseptor pada tubuh ikan diduga dapat memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap pertumbuhan ikan.