• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal pengaruh akupunktur terhadap leuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal pengaruh akupunktur terhadap leuk"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Penjaruman Titik Zusanli (ST36) terhadap Penurunan

Hitung Leukosit pada Mencit (Mus musculus) Model Sepsis Akibat

Paparan Cecal Inokulum

Effect of Acupuncture Zusanli point (ST36) To Decrease The Number of Leukocytes in Mice (Mus musculus) Model of Sepsis Exposure Due Cecal

inoculum

Esty Jayanti, Balgis, R.Aj Sri Wulandari Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret

ABSTRACT

Esty Jayanti, G0011086, 2014. Effect of Acupuncture Zusanli point (ST36) To Decrease The Number of Leukocytes in Mice (Mus musculus) Model of Sepsis Exposure Due Cecal inoculum. Mini Thesis. Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret, Surakarta.

Background: The incidence of sepsis in the Dr. Moewardi Hospital at the end of 2007 still showed a mortality rate of 50.2 % (115 deaths from 229 patient with sepsis). Associated with sepsis treatment therapy, the use of low-dose corticosteroids in the early stages of sepsis is still debated. WHO suggests that acupuncture can stimulate corticosteroid. This stimulation effects researchers wanted to know whether there was an acupuncture effect of Zusanli Point ( ST36 ) to decrease the number of leukocytes in mice (Mus musculus) model of sepsis caused by exposure to cecal inoculum.

Methods: This study is an experimental laboratory with post - test only control group designs. The samples were 28 mice were divided by simple random sampling into a control group (KK), Sepsis Group 1 (KS1), Sepsis Group 2 (KS2), and Sepsis Group 3 (KS3). Sepsis group made sepsis with give cecal inoculum exposure at a dose of 0.1 mg/mouse/day injected intraperitoneally for 7 days. During the 10 days after exposure to sepsis, KS1 was not given any treatment, KS2 treated with corticosteroid therapy, and KS3 given acupuncture therapy. The low dose corticosteroids used was Methyl prednisolone at a dose of 0.05 mg/mice that injected intraperitoneally 2 times a day. Acupuncture was given at the Zusanli point (ST36) with a duration of 15 minutes. Blood samples were taken at day 24. The data of leukocyte count were analyzed with One Way ANOVA test (p<0.05) and followed by the Bonferroni post hoc test (p>0.005).

Results: Test One Way ANOVA found significant differences between groups with significance level (p) of 0.000 (p<0.05). Bonferroni post hoc test showed a significant difference between KS1-KK (p=0.000), KS1-KS2 (p=0.000), KS1-KS3 (p=0.000). But did not show differences in KK-KS2 (p=1.000), KK-K3 (p=0.999), and KS2-KS3 (p=1.000).

(2)

Keywords: Acupuncture, Zusanli point (ST36), leukocyte count, Sepsis .

PENDAHULUAN

Sepsis adalah suatu kondisi medis yang terjadi akibat adanya interaksi antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi, dan jalur koagulasi (Kristine et al., 2007)

yang menyebabkan adanya

ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi dengan sitokin antiinflamasi ditandai oleh adanya perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardi, dan takipnea (Elena et al., 2006).

Penelitian sepsis yang dilakukan di bagian Perinatal Intensive Care Unit/Neonatal Intensive Care Unit (PICU/ NICU) Rumah Sakit Dr. Moewardi selama Januari 2006-Desember 2007 menyatakan terdapat angka kejadian akibat sepsis sebesar 33,5% (229 dari 683 kasus), dengan mortalitas sebesar 50,2% (115 kematian dari 229 sepsis) (Pudjiastuti, 2008).

Pengobatan sepsis yang dikatakan dalam sebuah penelitian Randomized Control Trials (RCTs), mengemukakan bahwa obat yang sering dipakai dalam mengobatan sepsis antara lain adalah kortikosteroid dosis tinggi (Russel, 2006). Namun ada kontroversi pada penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi tidak efektif dalam mengatasi

sepsis dan justru sebaliknya kortikosteroid dosis rendahlah yang justru bisa memberikan perbaikan pada pasien sepsis (Annane dan Caillon, 2003; Cavaliere et al., 2004; Van den Berg et al., 2011).

WHO juga mengeluarkan sebuah review yang mengatakan bahwa akupunktur juga dapat menstimulasi kortikosteroid. Karena adanya manfaat akupunktur dalam menstimulasi kortikosteroid maka akupunktur bisa menjadi salah satu terapi adjuvant dalam dunia medis. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti apakah efek kortikosteroid yang distimulasi oleh akupunktur mempunyai pengaruh terhadap perbaikan keseimbangan sistem imun pada mencit (Mus musculus) yang dibuat sepsis dengan paparan cecal inokulum.

SUBJEK DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan post-test only control grup designs.

(3)

adalah Simple Random Sampling dengan kriteria inklusi kelamin jantan, berat 20-40, umur 6-8 minggu dan kriteria eksklusi adalah kondisi psikologis mencit diluar paparan cecal inokulum. Subjek dibagi menjadi 4 kelompok yaitu Kelompok Kontrol (KK), Kelompok Sepsis 1 (KS1), Kelompok Sepsis 2 (KS2), dan Kelompok Sepsis 3 (KS3).

Kelompok sepsis dibuat sepsis dengan memberi paparan cecal inokulum dengan dosis 0,1 mg/mencit/hari disuntikkan secara intraperitoneal selama 7 hari. Selama 10 hari setelah paparan sepsis, KS 1 tidak diberikan terapi apapun, KS2 diberikan terapi kortikosteroid, dan KS3 diberikan terapi akupunktur. Kortikosteroid yang digunakan adalah Methyl prednisolone dengan dosis 0.05 mg/mencit disuntikkan 2 kali sehari secara intraperitoneal. Akupunktur diberikan pada titik Zusanli (ST36) dengan durasi 15 menit dengan menggunakan jarum HuanQiu dengan ukuran 0.20 x 13 mm.

Pada hari ke 24, subjek diterminasi untuk diambil sampel darah dengan mikrohematokrit yang digoreskan pada medial canthus mata di bawah bola mata ke arah foramen opticus diputar sampai melukai plexus vena retroorbitalis sebanyak 2 cc lalu ditampung dalam

tabung yang berisi antikoagulan yaitu EDTA.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah titik Zusanli (ST36). Titik Zusanli (ST 36) terletak 3 cun dibawah ST 35 yaitu satu jari ke lateral dari krista anterior tibia, atau didalam musculus tibialis anterior. Bisa juga dilakukan di 3 cun dibawah tuberositas tibia, disisi lateral dari musculus tibialis anterior (Wignyomartono, 2012). Skala pengukuran variabel ini adalah nominal.

Variabel terikat pada penelitian ini adalah Hitung jumlah leukosit. Hitung jumlah leukosit adalah menghitung total jumlah total leukosit yang dilakukan dengan teknik bilik hitung naubuer, hasil dari perhitungan berupa nominal dengan satuan hitung U/L. Skala pengukuran variabel ini adalah rasio.

Variabel luar pada penelitian ini terbagi menjadi terkendali dan tidak terkendali. Variabel terkendali pada penelitian ini, yaitu: jenis kelamin, berat badan, umur, suhu ruangan, kelembapan relatif, kandang, kualitas dan kuantitas makan. Variabel tidak terkendali, yaitu: kondisi psikologis mencit diluar paparan cecal inokulum.

(4)

dan dilanjutkan dengan uji post hoc Bonferroni (p>0,005).

HASIL

Sebelum penelitian dilakukan untuk mengetahui rata-rata berat badan, maka dilakukan penimbangan pada semua subjek. Berikut tabel rata-rata berat badan mencit:

Tabel 1 Rata-Rata Berat Badan Mencit

BB (gram) p (CI:95%) KK

(n=6 ekor)

28,29 ± 1,02

0.683 KS1

(n=6 ekor)

28,29 ± 1,02

KS2 (n=6 ekor)

28,29 ± 1,02

KS3 (n=6 ekor)

28,29 ± 1,02

Ket. BB: berat badan; KK: kelompok kontrol; KS1: kelompok sepsis 1 (tanpa terapi); KS2: kelompok sepsis 2 (terapi kortikosteroid); KS3:

kelompok sepsis 3 (terapi akupunktur)

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa rata-rata berat badan mencit paling besar adalah kelompok akupunktur yaitu 30,00 ± 1,40 gram dan rata-rata berat badan terkecil terdapat pada kelompok kortikosteroid yaitu 28,14 ± 1,46 gram. Dilihat dari hasil uji normalitas, distribusi data adalah normal dan data homogen dibuktikan dengan analisis data menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Berikut adalah hasil uji Shapiro-Wilk:

(5)

badan antar kelompok subjek penelitian, sehingga diharapkan berat badan mencit tidak mempengaruhi hasil akhir penelitian.

Kemudian dari data hitung leukosit dilakukan pengujian distribusi data dengan uji Shapiro Wilk. Berikut hasil uji distribusi data hitung leukosit:

Tabel 4 Hasil Uji Shapiro Wilk Hitung Leukosit

Dari uji distribusi data didapatkan data terdistribusi normal dengan nilai kemaknaan (p) > 0.05 pada semua kelompok. Hasil uji One Way ANOVA yang telah dilakukan menunjukkan tingkat kemaknaan (p) sebesar 0.000 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa diantara kelompok yang diuji terdapat perbedaan hitung leukosit yang bermakna secara signifikan. Kelompok yang memiliki perbedaan yang signifikan dilihat dengan uji post hoc

Bonferroni. Dari uji ini, didapatkan kelompok yang berbeda secara signifikan adalah antara kelompok sepsis dengan kelompok lainnya. Hal ini dibuktikan dengan uji post hoc Bonferroni (lampiran 2) yang menunjukkan tingkat kemaknaan (p) sebesar 0.000 (p<0.001). Berarti bisa dikatakan bahwa ada perbedaan hitung leukosit antara kelompok sepsis dengan semua kelompok. Berikut adalah hasil rata-rata hitung leukosit:

Tabel 5 Hasil Rata-Rata Hitung Leukosit

Rata-rata (U/L) p

Ket. KK: kelompok kontrol; KS1: kelompok sepsis 1 (tanpa terapi); KS2: kelompok sepsis 2 (terapi kortikosteroid); KS3: kelompok sepsis 3

(terapi akupunktur)

(6)

hitung leukosit yang paling rendah adalah kelompok akupunktur yaitu 6275,00 ± 298,51 U/L. Dari data diatas juga terbukti bahwa pada pemberian kortikosteroid ataupun akupunktur bisa menurunkan jumlah leukosit pada mencit sepsis.

PEMBAHASAN

Data diuji menggunakan uji one way ANOVA (α = 0.05). Sebelumnya data diuji distribusinya, yaitu dilihat dengan uji Shapiro-Wilk dan didapat nilai kemaknaan dari semua data adalah bermakna (p> 0.05), sehingga data terbukti terdistribusi normal, atau data tersebar normal. Setelah itu diuji homogenitas varian dengan uji one way ANOVA dan diperoleh bahwa data homogen atau varian sama dengan p=0.112 (p>0.05). Setelah syarat uji one way ANOVA terpenuhi maka dilakukan uji one way ANOVA. Dari uji ini didapat nilai p=0.000 (p>0.05). Jadi didapatkan adanya perbedaan yang bermakna pada tiap kelompok, sehingga diperlukan uji tambahan untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan yang signifikan atau bermakna. Adapun uji tersebut peneliti memilih menggunakan uji one way ANOVA dengan post hoc Bonferroni. Uji analisis ini dipilih karena memenuhi syaratnya yaitu data yang diuji homogen dan memiliki varian sama. Dari analisis post hoc Bonferroni ini

didapatkan hasil kelompok yang memiliki perbedaan yang signifikan adalah antara kelompok sepsis 1 dengan semua kelompok.

Kelompok sepsis 1 (KS1) dengan kelompok kontrol (KK) memiliki perbedaan yang signifikan dengan p=0.000 (p<0.001). Kemaknaan ini menunjukkan adanya perbedaan antara KS1 dengan KK dilihat dari hasil perhitungan rata-rata hitung leukosit pada KS1 adalah 17217,86 ± 1896,09 U/L dan hitung leukosit pada KK adalah 7314,29 ± 1262,67 U/L. Hitung leukosit pada kelompok sepsis menunjukkan bahwa proses pembuatan sepsis telah berhasil. Hal ini dikarenakan pada kelompok sepsis terjadi stimulasi imun berlebih yang menyebabkan peningkatan hitung leukosit lebih tinggi dibanding kelompok normal. Dalam sebuah penelitian yang menyatakan terjadinya leukositosis pada penderita DM dengan sepsis sebesar 74,1 % (21 orang). Sedangkan leukosit normal dijumpai pada 25,9 % (6 orang) yang diyakini terjadi karena adanya terapi antibiotik yang didapat oleh 6 pasien ini (Chodijah dkk., 2013). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pada penderita sepsis, lebih sering dijumpai lekositosis.

(7)

dengan kelompok sepsis 2 (KS2) yaitu dengan kemaknaan p=0.000 (p<0.001). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis rendah terbukti bisa menurunkan hitung leukosit pada mencit model sepsis yang dipapar cecal inokulum. Efek kortikosteroid dosis rendah ini adalah mengurangi pembentukan sitokin proinflamasi, pembentukan pembentukan mediator inflamasi dan menurunkan adhesi leukosit pada endothel (Guntur., et al, 2011).

Analisis Bonferroni yang menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu pada KS1 dengan kelompok sepsis 3 (KS3), dimana kemaknaan (p)=0.000 (p<0.001). Dari hasil ini, menunjukkan bahwa akupunktur pada titik Zusanli (ST36) terbukti bisa menurunkan hitung leukosit bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima terapi sepsis apapun. Efek menurunkan leukosit ini didapatkan dari keluarnya kortisol yang secara tidak langsung distimulasi oleh akupunktur di titik Zusanli (ST36). Pada tikus, stimulasi ST36 akan menyebabkan terjadinya pengeblokan pada stres pemicu peningkatan pada Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) aksis. Dalam penelitian ini juga menyebutkan pada titik ST36 akan meningkatkan kortikosteron dalam plasma

yang diukur dengan radioimunnoassay (RIA) 20 menit setelah diberikannya akupunktur (Zhao et al., 2014).

Pada hasil uji lainnya, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan, yaitu seperti pada KK dengan KS2. Kemaknaan dari perbandingan dua kelompok ini yaitu p=1.000 (p<0.001). Adanya persamaan ini menunjukkan bahwa KS2 memiliki hitung leukosit yang hampir sama atau tidak berbeda signifikan dengan KK. Hal ini membuktikan bahwa kortikosteroid bisa menurunkan hitung leukosit yang berlebihan saat sepsis akut terjadi, hingga hampir sama dengan hitung leukosit saat normal.

Perbedaan yang tidak signifikan juga terjadi pada KK dengan KS3 yaitu dengan p=0.999 (p<0.001). Dari hasil uji ini didapatkan hitung leukosit tidak berbeda signifikan, berarti akupunktur mampu menurunkan hitung leukosit mencit sepsis yang distimulasi penjaruman di titik Zusanli (ST36) hampir mendekati atau bahkan sama dengan hitung leukosit pada KK. Hitung leukosit KK ini diharapkan bisa mencerminkan kondisi imun mencit normal.

(8)

proinflamasi seperti IL-4, IL-5, IL-13 dan IgE. IL-4 menginduksi pergantian dan adhesi pada eosinofil yang beredar ke sel endotel. IL-5 merupakan sitokin Th2 yang mempromosikan perekrutan dan aktivasi eosinofil. IL-5 merangsang pelepasan mediator kimia dari eosinofil.

Akupunktur yang diberikan dari kombinasi titik GV-14, BL-13, LU-1, CV-17, ST-36 and SP-6 terbukti bisa menurunkan infiltrat eosinofil dan deposisi dari kolagen serta menunjukkan adanya kadar kortikosteron dalam plasma yang sama pada semua kelompok yang diteliti baik kelompok akupunktur ataupun kelompok kontrol (Katsuya et al., 2009; Carneiro et al., 2005).

Kelompok sepsis 2 (KS2) dengan KS3 juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan p=1.000 (p<0.001). Hasil ini bisa diartikan bahwa terapi kortikosteroid dengan terapi akupunktur memiliki efek yang hampir sama / bahkan sama pada terapi sepsis akut pada mencit. Penelitian oleh QG, Yang., et al, dalam Li Zheng (2008) akupunktur bersifat balancing atau menyeimbangkan. Akupunktur bisa menstimulasi pengeluaran hormon kortisol saat tubuh membutuhkan kortisol, namun saat tubuh terlalu banyak menghasilkan kortisol maka akupunktur akan mengurangi pembentukannya.

SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat diambil simpulan bahwa penjaruman titik Zusanli (ST36) dapat menurunkan hitung leukosit pada mencit (Mus musculus) model sepsis akibat paparan cecal inokulum.

SARAN

1. Hendaknya akupunktur pada titik Zusanli (ST36) bisa dipertimbangkan untuk menjadi terapi adjuvant dalam menurunkan jumlah leukosit karena sepsis.

(9)

sepsis untuk mencapai efek terapi yang optimal.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengunaan titik lain atau kombinasi titik-titik akupunktur lain sebagai terapi sepsis terkait dengan pengaruhnya terhadap penurunan hitung leukosit.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas penggunaan akupunktur untuk terapi pada sepsis pada manusia.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Arif Suryawan, dr., AIFM dan Enny Ratna Setyawati, drg., M.Or yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran yang sangat membantu selama penelitian hingga penulisan naskah publikasi ini.

in Intensive Care Units. Curr Drug Targets 5:411-417.

Elena GR, Alejo C, Gema R, and Mario D (2006). Cortistatin, a new anti inflamatory peptide with therapeutic effect on lethal endotoxemia. J Exp Med. 203(2):563-571

Guntur, HA; Diding, HP; Pohan HT; Widodo D (2011). Effect of Low-Dose Steroid on NF-κB and Caspase-3 Intestinal Expression In A Sepsis Mouse Model HA. Indonesia Critical Care.15:P44 Katsuya EM, Castro MAP, Carneiro

CRW, Yamamura Y, Silveira VLF (2009). Acupuncture reduces immune-mediated pulmonary inflammatory lesions induced in rats. Forsch Komplementmed. 16:413-6. hormone balance. Aviation parkway: Morrisville

(10)

Van den Berg JW ; van der Zee M; de Bruin RW; van Holten-Neelen C;

Bastiaans J; Nagtzaam

NM; IJzermans JN; Benner R; Dik WA (2011). Mild versus strong anti-inflammatory therapy during early sepsis in mice: a matter of life and death. Critical Care Medicine. 39(6):1275-81

Wignyomartono, Syarif S (2012). Akupunktur untuk Persalinan Bebas Nyeri. Surakarta: UNS Press, pp: 2 Yim YK; Lee H; Hong KE; Kim YI; Ko

SK; Kim JE; Lee SY; Park KS (2010). Antiinflammatory and immune-regulatory effects of subcutaneous Perillae fructus extract injections on OVA-induced asthma in mice. Evid Based Complement Alternat Med.7(1):79-86.

Gambar

Tabel 1 Rata-Rata Berat Badan Mencit
Tabel 5 Hasil Rata-Rata Hitung Leukosit

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian sikap sosial (KI-2) meliputi: (1) jujur yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,

Dalam tugas akhir ini, penulis mencoba meneliti bagaimana mendapatkan master dan prototype Symbolic Shorthand Souvenir Khas Kota Tegal yang sesuai dengan keinginan

juga dengan rasio perputaran atau turnover yang merupakan unsur aktiva dan. sering dihubungkan

meningkatkan perilaku remaja yang kurang memperhatikan terhadap kesehatan gigi dan mututnya, dengan cara melakukan suatu pendekatan yaitu denga diberikan perlakuan

Kesalahan pada bagian pajak di Kantor Pos terjadi karena terlalu banyaknya berkas atau SSP yang harus di evaluasi dan dikirim ke KPP dalam waktu yang cukup singkat

Penelitian ini merupakan penelitian analitik mengenai hubungan antara keluhan nyeri pinggang dan kondisi kaki  flat foot  pada dewasa muda yang secara sistematis dapat

Dari fabel di atas, bagian komplikasi sampai klimaks terdapat pada paragraf.. Dari fabel di atas, bagian resolusi terdapat

Menurut Gumbira-Sa'id (2000) permasalahan agribisnis lndonesia diantaranya adalah sebagai berikut. Telah terjadi konversi lahan pertanian yang subur menjadi areal non pertanian