• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS FAUNA AIR DI LINGKUNGAN PLTD/G INDONESIA POWER PESANGGARAN BENOA BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS FAUNA AIR DI LINGKUNGAN PLTD/G INDONESIA POWER PESANGGARAN BENOA BALI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS FAUNA AIR DI LINGKUNGAN

PLTD/G INDONESIA POWER PESANGGARAN

BENOA BALI

Oleh

Drs. Joko Wiryatno, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI FMIPA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

Abstrak

Penelitian struktur komunitas fauna air di area mangrove dan jetti di lingkungan kegiatan PLTD/G Indonesia Power Benoa dilakukan pada tahun 2016 selama satu bulan. Teridentifikasinya fauna air tersebut dapat dijadikan data dasar dalam menentukan status lingkungan kegiatan untuk mengambil kebijakan berkaitan dengan keberadaan industri pembangkit yang ramah lingkungan (environmental friendly). Penentuan lokasi sampel dilakukan secara sistematik sebanyak 10 stasiun, pengambilan sampel dilakukan dengan metode kuadrat 40x40 cm dengan tiga kali ulangan/stasiun. Data yang diperoleh diamati dan diidentifikasi secara insitu dan eksitu di laboratorium zoologi, Program Studi Biologi FMIPA Universitas Udayana. Analisis data didasarkan pada Indeks Shanon-Wienner, yaitu indeks keragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pada setiap stasiun di area mangrove selalu ditemukan jenis Uca sp. Indeks keragaman 2,539, indeks kesamaan 0,937 dan indeks dominansi 0,075. Analisis per stasiun bahwa ketiga indeks bernilai nol terdapat pada stasiun satu.

Kata kunci : industri pemabangkit listrik Benoa, sruktur komunita fauna air, Uca sp, mangrove

Abstract

The research of the structure of water fauna communities in mangrove areas and environmental activities in diesel/gas Power Benoa Indonesia conducted by 2016 for one month. Identification of fauna of the water can be used as basic data in determining the status of environmental activities to take the policy with regard to the existence of environmentally friendly power plant industry. The determination of the location of the sample is done systematically by as much as 10 stations, sampling carried out with methods of quadratic 40x40 cm in size with three times replications a station.The data obtained is observed and identified in situ and exsitu ie; in the laboratory on zoology, Mathematic and Natural Science Faculty of Udayana University. The data analysis is based on Index Shanon –Wienner ie; diversity index, similarity index and dominance index. The results of the identification shows that at each station in the mangrove area always found species of Uca sp., 2.539 as diversity Index, an index of similarity is 0.937 and index of dominance is 0.075. How ever, location station one is resulted in nol three index.

(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 4 BAB II METODOLOGI 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 5

2.2. Metode Pengumpulan Data ... 5

2.3. Metode Pengambilan Sampel Fauna Air ... 9

2.4 Metode Analis Fauna Perairan (Fauna Akuatik) ... 10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Ekosistem Mangove dan Populasi Fauna Air ... 13

3.2. Limbah minyak dan populasi Fauna air ... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 16

4. 2. Pembahasan ... 20

3.2.1 Fauna Perairan ... 20

3.2.2 Analisis Populasi Fauna Air Antar Stasiun ... 24

3.2.3 Evaluasi Keberadaan Fauna Air dan Substrat ... 34

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ... 35

4.2 Saran ... 35

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai Kualitas dari Indeks Diversitas (H) Fauna Perairan ... 12 Tabel 2. Analisis kuantitatip struktur komunitas fauna air di 10 stasiun

lingkungan kegiatan PLTD/G Indonesia Power Pesanggaran Benoa. ... 17 Tabel 3. Hasil Pengamatan Kualitatif Fauna Air disekitar

PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran ... 18 Tabel 4. Kondisi Fisik tanah Stasiun Pengambilan Sampel Fauna Air di

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Pemantauan Fauna air di Lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran, PT. Indonesia Power

UPJP Bali Pesanggaran ... 6

Gambar 2 Lokasi Pengambilan sampel Fauna di Sekitar Dermaga Benoa ... 7

Gambar 3. Pengambilan sampel pada stasiun 1 ... 20

Gambar 4. Substrat di stasiun 1 dalam selokan berwarna hitam ... 21

Gambar 5. Instalasi Pengolahan/pemisahan limbah minyak ... 22

Gambar 6. Lingkungan di sekitar mangrove yang diperbaiki stasiun 8 ... 23

Gambar 7. Kondisi fisik stasiun 9 dan 10 di jetti Benoa ... 24

Gambar 8. Kondisi hutan mangrove di stasiun 4,5 dan 6 ... 25

Gambar 9. Jenis-jenis Uca sp yang ditemukan di area mangrove. ... 26

Gambar 10. Lokasi stasiun 7 yang pematang mangrovenya sedang diperbaiki ... 27

Gambar 11. Fauna air jenis bivalvia yang ditemukan di stasiun 7 ... 28

Gambar12. Sponge dan koral yang ditemukan pada S9 jetti Pertamina Benoa ... 29

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fauna air merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem perairan yang penting sebagai konsumen yaitu: untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem yang bersifat menetap (sessil) dan bergerak aktif. Dengan adanya kegiatan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fossil (tidak terbarukan), maka secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap fauna yang ada di wilayah proyek dan sekitarnya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas. Perubahan tersebut diindikasikan dengan berubahnya keragaman jenis fauna air, jumlah jenis maupun jumlah individu.

Adapun dampak kegiatan pembangunan yang sering dikhawatirkan salah satunya adalah keberadaan fauna air, terutama timbulnya dampak negatif. Dengan demikian, untuk mengurangi dampak negatif dari suatu kegiatan pembangunan perlu dilakukan antisipasi dan pengelolaan lingkungan mulai dari pra konstruksi, konstruksi dan tahap operasional. Upaya–upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencegah dan meminimalkan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif.

Pembangkit listrik Pesanggaran, Benoa bersumber dari tenaga Diesel (PLTD), tenaga Gas (PLTG) dan tenaga uap (PLTU). Ketiga pembangkit yaitu PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran memiliki 4 (empat) unit PLTG, 1 (satu) unit PLTGU dan 24 (dua puluh empat) unit PLTD, dengan kapasitas seluruhya adalah 465,92 MW. Bahan bakar operasional mesin pembangkit menggunakan 3 jenis bahan bakar sesuai dengan tipe pembangkit yaitu HSD, Gas dan MFO. Operasional mesin-mesin pembangkit akan menghasilkan emisi dan limbah cair (ceceran minyak, oli, air bekas pendingin turbin) yang berpengaruh terhadap fauna air di sekitar lokasi pembangkit.

Walaupun telah diupayakan untuk mengolah limbah cair (water treatment) dari kegiatan tersebut, namun hasil dari pengolahan masih perlu diuji secara biologi, oleh karena limbah buangan menuju ke badan air disekitarnya

(7)

dan ekosistem mangrove yang merupakan habitat fauna air. Aktivitas lain yang berpengaruh terhadap fauna air yaitu ceceran minyak pada saat dilakukan penyaluran bahan bakar melalui dermaga Pertamina di Pelabuhan Benoa menuju PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran.

Terdapat dua ekosistem, yaitu mangrove dan pantai yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional pembangkit: PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran, baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap struktur populasi fauna air. Dampak lingkungan yang ditimbulkan terhadap kehidupan fauna air. pada ekosistem hutan bakau dapat terjadi dari air limbah/minyak hasil aktivitas PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran, sedangkan dampak pada fauna pantai terjadi akibat tumpahan minyak yang dipasok di Dermaga Pertamina Benoa.

Dampak negatif terhadap fauna air pada ekosistem hutan bakau akan bertambah terutama pada musim hujan, karena limpasan air hujan (run off) akan lebih mudah membawa tumpahan/ceceran minyak dan oli, sehingga akan terangkut bersama-sama air hujan. Adanya aliran air hujan tersebut akan memperbesar volume aliran permukaan maupun resapan ke tanah. Jika tanah yang jenuh dengan air akibat hujan secara terus menerus akan mempermudah meresap di hutan bakau yang dapat mempengaruhi kehidupan fauna air. Kondisi ini ditambah dengan tekstur tanah jika bersifat porous (berpasir), sehingga akan mempercepat rembesan air tersebut.

Disamping itu pula, minyak yang tergolong senyawa volatil yaitu ikatan alkilnya sulit dipecah jika bercampur dengan air, serta dengan berat jenis (BJ) yang lebih rendah dari air menyebabkan minyak selalu ada di permukaan air. Jika minyak yang terangkut oleh air hujan dan masuk atau merembes ke perairan mangrove, maka dapat menutupi lapisan atas yang berupa film minyak. Hal ini sangat berpengaruh terhadap sifat fisik perairan terutama terjadi peningkatan suhu, sedangkan untuk biota perairan yang ada di ekosistem mangrove (udang, kepiting, moluska, ikan dan lain-lain) akan kesulitan dalam proses respirasi akibat kekurangan oksigen terlarut (DO = dissolved oxygen).

Dengan demikian, untuk mengetahui fauna perairan yang kemungkinan terkena dampak kegiatan usaha dari PT. Indonesia Power UPJP Bali

(8)

Pesanggaran, khususnya limbah dari rembesan minyak dan oli perlu dilakukan penelitian di wilayah sekitar pembangkit. Data-data yang diperoleh di lapangan akan dianalisis baik secara in situ (langsung di lapangan) maupun di laboratorium. Data-data tersebut akan dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan pemantauan dan pengelolaan secara berkelanjutan, sehingga dampak negatif dari limbah yang dihasilkan dari operasional pembangkit dapat ditekan sekecil mungkin. Adanya penelitian tersebut merupakan suatu upaya nyata untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya, khususnya terhadap fauna air.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana struktur komunitas fauna air di sekitar lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran akibat adanya limbah (air bercampur sisa-sisa pelumas) yang masuk ke lingkungan luar yang berbatasan langsung dengan hutan bakau dan dampak negatif terhadap fauna air laut di Dermaga Pertamina Benoa dan sekitarnya akibat ceceran minyak (oil spills) yang dipasok dari kapal Tanker masuk dermaga tersebut ?.

b. Apakah ada organisme indikator (fauna air) pada kawasan hutan mangrove, dan pantai yang mencirikan terkena dampak akibat hasil pengolahan limbah cair (air dan oli) dan ceceran minyak yang masuk ke lingkungan tersebut ?

c. Bagaimana keberadaan fauna air didasarkan parameter struktur komunitas pada di lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran dan Dermaga di Pelabuhan Benoa, sehingga dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya?

(9)

1.3. Tujuan Penelitian

Pemantauan biologi (fauna air) di lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran PT. Indonesia Power UPJP Bali bertujuan untuk :

a. Mengetahui jenis-jenis fauna perairan yang ada di lingkungan kegiatan atau usaha PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran, baik yang berada di sekitar dermaga kapal pengangkut bahan bakar minyak dari Pertamina dan sekitar Indonesia Power di Pelabuhan Benoa.

b Mengetahui pengaruh air limbah yang dikeluarkan dari proses kegiatan yang terjadi pada kegiatan/usaha PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran terhadap jenis-jenis fauna perairan (hutan mangrove) yang ada di wilayah sekitar lokasi usaha.

c. Mendapatkan data dasar (data based) Biologi (fauna air) di lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran dan Dermaga di Pelabuhan Benoa, sehingga dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat dipergunakan sebagai data dasar (data base) dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan biologi (fauna air air) yang ada di wilayah sekitar PLTD/PLTG/PLTGU. Pesanggaran yang dapat dilakukan secara berkala. Keberadaan fauna air (jumlah jenis, tingkat penyebaran, kemelimpahan) di wilayah lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pengambil keputusan (desicion maker) untuk menetapkan tingkat keamanan air limbah dari lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU yang masuk ke lingkungan tersebut.

(10)

BAB II

METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian terhadap komponen biologi (fauna air dan flora air) dilaksanakan di wilayah sekitar kegiatan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran PT Indonesia Power UPJP Bali. Lokasinya mulai dari saluran pembuangan limbah yang ada di dalam lingkungan kegiatan sampai dengan arah aliran limbah di luar kegiatan PLTD/PLTG/PLTGU di kawasan hutan bakau wilayah RTK 10 Suwung. Pantai pelabuhan Benoa yaitu di dermaga (jetti), tempat sandar kapal pengangkut bahan bakar minyak (BBM) milik Pertamina yang akan disalurkan ke Depo Pertamina di Pesanggaran dan ke PLTD/PLTG/PLTGU PT. Indonesia Power UPJP Bali di Pesanggaran. Sedangkan waktu penelitiannya dilakukan selama 1 bulan, yaitu pada bulan Maret 2016. Jumlah pengamatan dilakukan pada 10 titik sampel. Stasiun/titik 1 – 8 seperti tercantum pada Gambar 1, sedangkan untuk titik 9 dan 10 (Dermaga 1 dan 2) seperti tercantum pada Gambar 2.

2.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitan ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data-data primer fauna dan flora perairan di wilayah sekitar kegiatan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran diperoleh dari hasil pengumpulan langsung di lapangan (in situ). Sedangkan data-data yang belum dianalisis secara langsung di lapangan akan dilakukan uji di Laboratorium Zoologi dan Ekologi, Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana. Data primer fauna dan flora air dikumpulkan dari 10 titik pengamatan yaitu 8 titik (titik1–8) ada di lokasi dan sekitar PLTD/PLTG/PLTGU, sedangkan 2 titik (titik 9 dan 10) di Dermaga Pertamina Pelabuhan Benoa.

(11)

Gambar 1. Lokasi Pemantauan Fauna air di Lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran, PT. Indonesia Power UPJP Bali Pesanggaran

(12)
(13)

Sampel yang diambil atau diamati untuk fauna perairan meliputi jenis-jenis fauna sessil maupun bergerak aktif di perairan yang diprakirakan terkena dampak, yaitu jenis-jenis bentos ( moluska, ikan, udang, kepiting, dan sebagainya). Adapun penentuan titik-.titik pengambilan sampel di lokasi mangrove dilakukan pada lokasi-lokasi, yang diprakirakan dipengaruhi langsung/ tak langsung oleh hasil kegiatan (limbah) dari usaha PLTD/PLTG/PLTGU, berupa air yang bercampur dengan minyak dan pelumas (oli bekas).

Air limbah yang telah melalui water treatment dialirkan melalui saluran yang ada dalam lingkungan usaha, kemudian diteruskan ke saluran air/got pembuangan di luar area usaha yang menuju ke arah sungai dan lingkungan hutan mangrove disekitar lokasi usaha. Di samping itu pula, diambil 2 titik sampel fauna di pelabuhan laut Benoa yaitu di Dermaga tempat sandar kapal tangki pengangkut BBM milik Pertamina yang akan dialirkan melalui pipa ke Depo Pertamina di Pesanggaran dan ke PLTD/PLTG/PLTGU PT. Indonesia Power UPJP di Pesanggaran. Lokasi tersebut diprediksi ada ceceran-ceceran minyak saat bongkar muat kapal yang akan terakumulasi ke laut dan berdampak terhadap penurunan kualitas air laut maupun terganggunya kehidupan biota laut di lokasi tersebut dan sekitarnya.

Adapun titik-titik lokasi (10 lokasi) pengambilan sampel fauna-flora air secara rinci sebagai berikut:

S-1 Saluran air limbah/selokan di dalam kawasan PLTD/PLTG/PLTGU

S-2 Saluran air limbah/selokan di luar kawasan (barat ) PLTD/PLTG/PLTGU

merupakan limbah effluent dari separator (tangki pengolah sisa pelumas bercampur air) dan pengolahan limbah melalui Sistem Waste Water

Garden (WWG) dan masuk ke Hutan Bakau

S-3 Kawasan Hutan Mangrove di luar kawasan (barat) PLTD/PLTG/PLTGU. yaitu kawasan hutan mangrove yang mengalami pengurugan, dan banyak tumbuhan mangrove yang mati akibat banyak hewan {sapi dan kambing} yang digembalakan di kawasan hutan mangrove.

S-4 Kawasan Hutan Mangrove di luar kawasan (selatan) PLTD/PLTG/PLTGU. Kawasan Hutan Mangrove yang merupakan hutan dari Stasiun .

(14)

S-5 Saluran air limbah yang terdekat dengan selokan (S5) masuk ke kawasan hutan Bakau.

S-6 Saluran air limbah lanjutan dari S-5 yang masuk ke kawasan Hutan Bakau lebih dalam.

S-7 Kawasan hutan bakau yang berbatasan dengan kebun/tegalan (bagian selatan lokasi PLTD/PLTG/PLTGU) yang dilewati saluran air limbah (lanjutan S-6).

S-8 Selokan yang merupakan titik pertemuan 3 saluran air yaitu saluran air limbah dari bagian ujung barat PLTD/G (lanjutan S-7), saluran pembuangan air limbah dari arah timur (tambak) dan air laut (saat pasang) dari arah selatan.

S-9 Dermaga 1 untuk sandar kapal tangki pengangkut BBM di Pelabuhan Benoa untuk Pertamina dan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran

S-10 Dermaga 2 (bagian timur Dermaga 1) untuk sandar kapal tangki pengangkut BBM di Pelabuhan Benoa untuk Pertamina dan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran

2.3. Metode Pengambilan Sampel Fauna Air

Metode pengambilan sampel fauna air dilakukan dengan menggunakan Metode kuadrat (Quadrat Method), dengan kwadrat ukuran 40cm x 40cm. Sedangkan kuadrat yang dipakai pengambilan sampel menggunakan kawat saringan dengan mata saringan diameter 0,5cm. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada 10 titik lokasi, yakni: 2 titik (titik 1 dan 2) di selokan setelah filterisasi (dalam areal PLTD/PLTG/PLTGU), 6 titik di sepanjang aliran air limbah, mulai dari air limbah keluar dari selokan PLTD/PLTG/PLTGU sampai masuk ke hutan mangrove (titik, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8), 2 titik (titik 9 dan 10) di lingkungan dermaga tempat sandar kapal tangki di Pelabuhan Benoa. Pengambilan sampel pada setiap titik lokasi dilakukan 3 kali ulangan, sehingga jumlah pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali. Disamping itu, juga dilakukan pengamatan kualitatif (kondisi tanah: substrat, kedalaman, lapisan minyak dan kondisi perairan) terhadap lingkungan sekitarnya.

(15)

Adapun analisis sampel dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung di lapangan ( in situ) terhadap jenis-jenis fauna air (ikan, benthos, kepiting, cacing) yang diketemukan. Jika ada jenis-jenis yang belum terdeteksi secara langsung, maka semua jenis dimasukkan dalam botol yang berisi spiritus sebagai pengawet untuk dilakukan analisis di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

2.4 Metode Analis Fauna Perairan (Fauna Akuatik)

Metoda analisis untuk fauna aquatik dilakukan dengan tiga cara yaitu a. Analisis Keanekaragaman Spesies, didasarkan atas Indeks

Keanekaragaman (H),

b. Analisis Kesamaan/Keseragaman Spesies, didasarkan atas Indeks Keseragaman (E)

c. Analisis Dominansi, didasarkan atas Indeks Dominansi Simpson (C )

a. Keanekaragaman Spesies (Species Diversity)

Keanekaragaman spesies dipergunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran lingkungan. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan keanekaragaman jenis (biodiversity) dari suatu tempat dengan tempat lainnya. Parameter yang digunakan adalah Indeks Shannon-Wiener, dengan rumus sebagai berkut:

dimana :

H = Indeks keanekaragaman spesies s = Jumlah spesies

ni = Jumlah individu jenis ke i N = Jumlah total individu

s

H = - ∑ { ( ni /N) log ( ni /N)}

(16)

b. Keseragamanan Spesies (Species Similarity)

Analisis keseragaman atau kesamaan jenis ini merupakan kelanjutan dari analisis keanekaragaman. Analisis kesamaan ini dapat dinyatakan dengan Indeks Kesamaan atau Indeks Keseragaman. Penetapan Indeks ini dapat dipergunakan untuk melihat apakah di dalam komunitas jasad aquatik yang diamati tersebut terdapat pola dominasi oleh satu atau beberapa kelompok jenis. Adapun Indeks Keseragaman dapat dinyatakan dengan rumus :

c. Indeks Dominansi

Indeks dominansi menunjukkan besarnya jenis organisme dalam suatu komunitas. Dominansi spesies menunjukkan tingkat ketentuan organisme akibat pengaruh pencemaran. Parameter yang digunakan adalah Indeks Dominansi Simpson, dengan rumus :

c. Sistem Penilaian

Pembahasan untuk identifikasi dan prediksi dampak dilakukan dengan cara pendekatan yaitu melalui tingkat individu (organisme) dan melalui tingkat komunitas. Menurut Mason (1981) bahwa nilai Indeks Keanakeragaman suatu spesies tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga katagori, yaitu:

a. Jika H < 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap jenis dan kesetabilan komunitas adalah rendah dan indikasi adanya pencemaran air berat.

D = - ∑ { ( ni

2

/N) }

2 :Keterangan D = Indeks dominansi

ni = Jumlah individu jenis ke i N = Jumlah total individu

H

E =

H max

Keterangan

E = Indeks keseragaman (berkisar dari 0 – 1) H = Indeks keragaman Shannon

(17)

b. Jika 1 < H< 3 sssKeanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis dan kesetabilan komunitas adalah sedang dan indikasi adanya pencemaran air sedang.

c. Jika H > 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis dan kesetabilan komunitas adalah tinggi dan indikasi adanya pencemaran air rendah.

Pendekatan melalui tingkat individu dilakukan untuk memprediksi perubahan kualitas lingkungan pada komponen fauna air (benthos). Pendekatan komunitas dengan menggunakan tingkat diversitas (keanekaragaman biota) untuk penentuan skala baik untuk fauna perairan. Adapun nilai kualitas lingkungan berdasarkan Indeks Diversitas seperti tercantum pada Tabel 1

Tabel 1. Nilai Kualitas dari Indeks Diversitas (H) Fauna Perairan

Kualitas Indeks Diversitas Skala

Sangat buruk < 0,1 1

Buruk 0,2 - 0,5 2

Sedang 0,6 - 0,0 3

Baik 1,0 - 2,0 4

(18)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ekosistem Mangove dan Populasi Fauna Air

Mangrove merupakan ekosistem paling dekat dengan area PLTD/PLTG/PLTGU dan langsung menerima air buangan dari area tersebut melalui selokan yang berasal dari Instalasi pengolahan limbah (water treatment

garden). Untuk mengetahui terjadinya perubahan populasi fauna air, maka

sebagai pembanding diperlukan data- data jenis fauna air pada ekosistem mangrove secara umum atau yang masih alami.

Habitat hutan mangrove yang terdiri dari bagian daratan (lumpur padat) dan bagian yang selalu terendam air payau (campuran air tawar dan air laut), sehingga biota yang hidup pada habitat mangrove merupakan biota yang mampu beradaptasi (eksis) hidup pada habitat payau. Fauna air yang hidup di ekosistem mangrove berasal dari darat, laut dan air tawar. Beberapa jenis fauna air pada habitat mangrove yang masih alami dan bernilai bernilai ekonomi meliputi jenis ikan, udang, kepiting bakau dan kerang – kerangan.

Daerah mangrove berguna sebagai tempat pembesaran ikan terutama ikan belanak, udang yang masa awal hidupnya di daerah tersebut sebelum berpindah ke lepas pantai. Ikan gelodok (Periophthalmus) merupakan ikan kecil bermata besar, merayap di atas lumpur bahkan mendaki akar-akar mangrove, dan jenis ikan ini habitatnya khusus di bakau yang berlumpur. Sejumlah moluska yaitu dari kelompok Littoridae yang hidup di akar dan batang pohon bakau dan pemakan detritus dari famili Ellobidae dan Potamididae. Bivalvia dari jenis tiram Crasostrea, melekat pada akar-akar mangove membentuk biomassa (Nybakken, 1998). Berbabagai jenis kepiting yang membuat lubang yaitu : kepiting canggah (Uca sp), Cardisoma sp, kepiting bakau (Scylla

serrata) yang memakan partikel–partikel detritus didalam lumpur.

cacing (Branchiocapitella singularis), dan Bangsa udang (Penaeus) yang ditemukan adalah udang lumpur (Thalassima anomala), mereka membuat lubang dan tidak pernah meninggalkan liangnya, sehingga di sekitar

(19)

lubang terdapat gundukan tanah (Romimohtarto dan Sri yuwana, 2001). Polichaeta merupakan cacing yang hidup di mangrove yaitu jenis

Branchiocapitella singularis) dan Marphysa boradellei tinggal di tanah lapisan

atas. Berbagai fauna air ini hanya merupakan sebagian kecil dari banyak jenis yang belum diketahui. Di kawasan mangrove Indonesia ditemukan sedikitnya tercatat 80 jenis udang – udangan dan 65 jenis moluska ( Nybakken, 1998 ). 3.2. Limbah minyak dan populasi Fauna air

Minyak atau oil merupakan sejumlah bahan yang berupa hidrokarbon dengan berat molekul kecil sampai besar, berfungsi sebagai bahan bakar, termasuk juga minyak pelumas (lubricating oil). Senyawa minyak mineral terdiri atas hidrokarbon alifatik, aromatik, resin dan aspal (UNESCO,/WHO/UNEP,1992). Minyak yang tersebar di perairan dalam bentuk terlarut, lapisan film tipis yang terdapat di permukaan , emulsi dan fraksi terserap, dan di perairan, senyawa minyak tersebut berinteraksi sangat kompleks yang dipengaruhi oleh specific gravity, titik didih, tekanan permukaan, viskositas, kelarutan dan penyerapan.

Minyak mengandung dalam ratusan macam senyawa organik dengan sifat toksik bervariasi, mulai dari sifat yang mudah menguap (volatile) sampai yang tidak menguap (non-volatile), kemudian bersifat mudah larut (soluble) dan tidak larut (un-soluble) serta bersifat persisten sampai mudah terurai. Di perairan laut, minyak dalam bentuk mengapung, emulsi atau fraksi yang terlarut dalam air. Proses difusi udara dapat dihambat oleh minyak yang mengapung, bahkan proses fotosintesis, respirasi dapat juga dihambat sehingga dapat mengganggu kehidupan burung dan mamalia laut. Minyak dalam bentuk emulsi dapat dapat mengganggu fungsi insang melalui penempelan pada jaringan epitel insang, sedangkan minyak yang mengendap dapat dapat menutupi permukaan tubuh organisme bentos. Adapun fraksi minyak yang terlarut dalam air, terutama dalam bentuk karbon aromatik bersifat sangat toksik bagi ikan dan organisme air lainnya.

(20)

Menurut Gesamps (1977) minyak masuk ke perairan laut, melalui berbagai sumber yang berbeda yaitu : kecelakaan dan tumpahan selama proses produksi, tranportasi dan penggunaan; limbah domestik dan industri; presipitasi dari atmosfer dan rembesan alamiah dari dasar laut. Run off atau limpasan dari daratan melalui sungai, industri dan urban merupakan sumber cemaran minyak terbesar (Cormark,1983).

Tumpahan minyak ke dalam ekosistem perairan laut dapat membahayakan lingkungan hidup organisme, namun dampaknya sulit diketahui karena pengaruhnya sangat lama (Holcomb,1969). Menurut Mitchell et al., (1970) pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas oeganisme bervariasi dari pengaruh yang kecil sekali (negligible) sampai terjadi kepunahan (catasthrophic). Berbagai faktor seperti : tipe/jenis, dosis, kondisi geografis (arus, ombak, pengenceran dan distribusi) minyak dapat mempengaruhi daya racun minyak (Straughan, 1972). Respon organisme terhadap minyak tergantung pada mofologi tubuh, jenis biota, reproduksi, tingkah laku atau cara makan dan stadia, pada stadia larva biasanya naik 100 kali lebih peka dibandingkan stadia dewasa. Organisme yang sering terdedah oleh cemaran minyak cenderung lebih tahan oleh karena adanya mekanisme adaptasi dari organisme sendiri.

(21)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil

Penelitian terhadap fauna perairan yang dilakukan di lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Pesanggaran. Untuk lokasi titik 1 dan 2 dilakukan di dalam lokasi kantor yaitu pada selokan, yang bermuara pada pengolahan limbah minyak (water treatment), selokan juga merupakan tampungan pelumas mesin yang tercecer pada waktu kegiatan perbaikan mesin pembangkit. Titik satu berdekatan dengan water treatment, sedangkan ujung selokan dekat dengan effluent merupakan titik dua.

Titik 3 merupakan stasiun pengamatan pada area mangrove di luar tembok lokasi PLTD/PLTG/PLTGU sebelah utara, stasiun tersebut merupakan lokasi paling luar berdekatan dengan luaran (effluent) yang berasal dari selokan. Untuk titik 4, 5, 6 merupakan daerah hutan mangrove di sebelah barat tembok lokasi PLTD/PLTG/PLTGU yang merupakan kelanjutan dari area mangrove pada stasiun 3. Stasiun 4, 5 dan 6 merupakan stasiun yang dekat dengan lokasi PLTD/PLTG/PLTGU yakni 1 m, 10 m dan 30 m. Titik 7 dan 8 merupakan selokan dalam ekosistem mangrove yang merupakan kelanjutan dari titik 6, sedangkan titik 8 berada di pertemuan antara selokan dari mangrove dan selokan masyarakat.

Titik 9 dan 10 berlokasi di Pantai Benoa yaitu pantai sekitar jetti, kedua titik tersebut berlokasi disekitar dermaga sandar kapal tangki tempat penyaluran bahan bakar minyak (BBM) milik Pertamina. Kemudian dari lokasi tersebut BBM dialirkan menuju Depo Pertamina di Pesanggaran dan tempat penyaluran PLTD/PLTG/PLTGU PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali di Pesanggaran.

Adapun hasil penelitian terhadap fauna perairan ini telah dilakukan dengan uji analisis secara in situ (langsung di lapangan) dan uji laboratorium baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil analisis terhadap fauna air tersebut tercantum pada Tabel 2 untuk data kuantitatif dan Tabel 3 dan 4 untuk data kualitatif.

(22)

Tabel 2.Analisis kuantitatip struktur komunitas fauna air di 10 stasiun lingkungan kegiatan PLTD/G Indonesia Power Pesanggaran Benoa.

Jumlah Individu/stasiun

No Nama Indonesia N Nama ilmiah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total

1 Omang-omang Anomura sp 0 0 0 2 2 1 3 3 3 2 15

2 Cacing Chloea flava 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 4

3 Cacing Nereis virens 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2

4 Cacing Tubifex sp 0 0 0 2 3 2 1 2 0 0 7

5 Moluska Pyrene

testudinaria 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 3

6 Moluska Cirithidia cingulata 0 0 0 0 2 0 3 2 0 0 7

7 Kepiting bakau Scylla serrata 0 0 0 0 2 0 3 2 4 2 10

8 Kepiting Lopozozymus pictor 0 0 0 0 0 0 0 0 4 3 7

9 Kepiting Uca demani 0 0 1 2 0 2 0 3 0 0 8

10 Kepiting canggah Uca vocans vocans 0 0 2 3 2 1 2 2 0 0 12

11 Kepiting canggah Uca triangularis 0 0 2 0 2 1 2 0 0 0 7

12 Kepiting canggah Uca bellator 0 0 1 0 2 1 2 0 0 0 5

13 Moluska Septa rubecula 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 4

14 Kepiting canggah Uca propilla 0 0 3 0 0 2 0 3 0 0 8

15 Udang Penaeus sp 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 3 Jumlah 0 0 4 13 13 9 14 15 23 11 102 Indeks Keragaman 0 0 1,038 1,726 1,767 1,728 1,861 1,764 2,042 1,707 2,539 Indeks Kesamaan 0 0 0,945 0,963 0,986 0,964 0,956 0,984 0,982 0,949 0,937 Indeks Dominansi 0 0 0.374 0,178 0,167 0,183 0,160 0,171 0,123 0,185 0,075 17

(23)

Tabel 3. Hasil Pengamatan Kualitatif Fauna Air disekitar PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Stasiun Keterangan

1 Moluska Collisella striata 10 +

2 Ikan hias Dacylus sp Sekitar jetti ++

3 Sponge Haliciona cymaeformis 9 dan 10 +

4 Ikan cakalang Katsuwonus pelamis Sekitar jetti ++

5 Moluska Littorina scabra 9 dan 10 +++

6 Moluska Littorina undulate 9 dan 10 +++

7 Rajungan Portunus pelagicus 9 dan 10 +

8 Karang Porites salida 9 ++

9 Bivalvia 7 +

Keterangan : + = Jumlah ≤ 5 ekor ++ = Jumlah 5 – 10 ekor +++ = Jumlah > 10 ekor

(24)

Tabel 4 : Kondisi Fisik tanah Stasiun Pengambilan Sampel Fauna Air di lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran

Stasiun Parameter

Warna Tanah Minyak/oli Air Bau minyak Jenis tanah

1. Hitam Ya Keruh Ya Lumpur+ bau minyak

2. Hitam Ya Keruh Ya Lumpur+ bau minyak

3. Alami Tidak Tidak ada Tidak ada Sebagian direklamasi

4. Alami Tidak Tidak ada Tidak ada Lumpur alami

5. Alami Tidak Tadak ada Tidak ada Lumpur alami

6 Agak hitam Tidak Tidak ada Tidak Lumpur alami

7. Alami Tidak Tidak ada Tidak Berlumpur alami

8 Alami Tidak Tidak ada Tidak Berlumpur alami

9. Hitam Ya Keruh Ya Lumpur, berbatu dan berminyak

(25)

4. 2. Pembahasan 3.2.1 Fauna Perairan

a. Kondisi Umum Substrat Fauna Air

Sistem pengelolaan limbah khususnya limbah oli yang dilakukan oleh PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran dari tahun ke tahun telah diupayakan secara lebih baik dari sebelumnya. Upaya ini telah dilakukan dengan penambahan satu unit instalasi pengolah limbah oli (separator) sehingga pada saat penelitian telah memiliki 3 separator dan Waste Water Garden (WWG) sebagai filter terakhir. Ketiga unit separator tersebut diharapkan dapat mengurangi atau menekan sekecil mungkin limbah, khususnya limbah oli yang terbuang ke lingkungan (hutan mangrove).

Pengamatan secara insitu telah dilakukan di selokan dalam area PLTD/G yaitu titik 1 dan 2. Pada kedua stasiun atau titik pengamatan didapatkan bahwa air masih berbau minyak atau oli, sedangkan substrat berwarna hitam. Hal ini mungkin disebabkan adanya ceceran oli atau minyak dari perbaikan mesin pembangkit atau bahkan belum maksimalnya pengolahan limbah (water

treatment) yang merembes atau terbawa bersama air menuju ke selokan.

Gambar 3. Pengambilan sampel pada stasiun 1

Substrat berwarna hitam dengan bau minyak/oli di selokan dalam area kegiatan PLTD/G berupa lumpur (sludge) sehingga di kedua titik tersebut tidak

(26)

diemukan adanya fauna air. Kondisi substrat pada stasiun satu dan dua di selokan dalam lokasi kegiatan dicantumkan pada gambar 3.

Gambar 4. Substrat di stasiun 1 dalam selokan berwarna hitam

Titik 3 merupakan titik terdekat dengan luaran limbah (efluent) dari selokan dalam lokasi, di titik tersebut merupakan titik terjauh hutan mangrove atau paling dekat dengan daratan, sehingga sangat jarang terkena pasang surut. Namun demikian masih ditemukan tumbuhan mangrove dan fauna air. Stasiun atau titik 4, 5 dan 6 merupakan kelanjutan stasiun tiga, ke tiga titik tersebut kelanjutan dari titik tiga yang jaraknya antar stasiun kira-kira lima belas meter. Stasiun 3 terletak disebelah barat lokasi kegiatan, sedangkan dan stasiun 4, 5 dan 6 disebelah selatan kantor. Kawasan ini merupakan ekosistem mengrove yang keragamanya lebih tinggi dibanding titik satu, namun substratnya masih ditemukan adanya indikasi minyak/oli. Oleh karena titik tersebut berdekatan dengan sungai, sehingga banyak ditemukan adanya sampah organik di titik-titik yang berada di area tersebut.

Stasiun 7 dan 8, walaupun lokasinya berdekatan dengan lokasi PLTD/G , namun jaraknya sangat jauh dari luaran limbah (efluent) yaitu 1500 meter dari titik 6. Adapun jarak titik 7 sampai 8 kurang lebih 75 meter. Lokasi titik yang jauh tersebut, menyebabkan habitat fauna air masih alami yang dindikasikan keberadaan ekosistem mangrove yang bersifat alami dan tidak ada indikasi ceceran minyak. Untuk lokasi titik 9 dan 10 yang berada di jetti Pelabuhan Benoa

(27)

substrat didominasi oleh bongkahan batu, sedikit lumpur dan pasir dan terdapat indikasi minyak/oli yang menyebabkan substrat berwarna agak hitam.

b. Instalasi Pengolahan Limbah Minyak dan Kondisi Fisik Masing-Masing Stasiun

Limbah minyak yang berasal dari aktivitas PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran, berupa sisa minyak hasil operasional dan ceceran minyak dari perawatan pembangkit kemudian terkumpul pada selokan didalam area PLTD/PLTG/PLTGU. Minyak dan oli tersebut berasal dari proses operasional yang dialirkan dalam selokan tersendiri, kemudian dipisahkan melalui 3 separator secara bertahap, masuk ke sistem WWG (Waste Water Garden). Air yang tersaring ditampung dalam kolam, sebagian digunakan untuk menyiram tanaman disekitarnya, apabila air berlebih dialirkan ke selokan di luar area PLTD/PLTG/PLTGU yang menuju ke lingkungan mangrove. Separator minyak/oli berfungsi untuk menampung sisa-sisa atau ceceran bahan bakar yang bertujuan untuk meminimalkan agar tidak mencemari lingkungan, seperti tercantum pada gambar 4.

(28)

Kondisi lingkungan fisik disekitar mangrove terutama pada stasiun 3,4,5 dan 6, oleh karena hanya didapatkannya sedikit air, maka pada lokasi terssebut membentuk kubangan. Sebagian besar pada stasiun tersebut permukaan tanahnya tidak tergenang air dan agak keras, sehingga hanya fauna air penggali tanah dan tahan terhadap kekeringan yang dapat bertahan hidup.

Titik 7 dan 8 merupakan kelanjutan dari stasiun 6, oleh karena lokasinya berjarak kira-kira 1500 meter, sehingga kondisi substrat dan ekosistem relatif lebih alami dan tidak terindikasi adanya minyak/oli.

Gambar 6. Lingkungan di sekitar mangrove yang diperbaiki stasiun 8

Stasiun 9 dan 10 yang berlokasi di Jetti Benoa, secara umum kondisi fisik atau substrat keras dan sebagian besar berbatu, berpasir dengan sedikit lumpur seperti gambar 6. Oleh karena kegiatan jetti di Pelabuhan Benoa merupakan satu kawasan dengan kapal ikan dan kapal tranportasi, maka titik 9 dan 10 terindikasi adanya ceceran minyak/oli yang kemungkinan berasal dari kegiatan tersebut.

(29)

Gambar 7. Kondisi fisik stasiun 9 dan 10 di jetti Benoa

3.2.2 Analisis Populasi Fauna Air Antar Stasiun

Berdasarkan lokasi pengambilan sampel secara sistematik dengan 3 kali ulangan yang dikomposit, maka lokasi pengambilan sampel dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok. Kelompok satu merupakan titik 1 dan 2 yang berada di dalam lokasi kegiatan, kelompok II adalah stasiun 3, 4, 5 dan 6 yaitu titik-titik sampel di ekosistem mangrove yang paling dekat dengan lokasi PLTD/G atau selokan dari lokasi kegiatan. Adapun stasiun 7 dan 8 adalah lokasi yang walaupun dekat dengan lokasi kegiatan, namun jauh dari selokan pembuangan limbah sehingga merupakan ekosistem mangrove yang masih alami.

Kelompok 1 merupakan stasiun 1 dan 2 yang lokasinya ada di dalam lokasi kegiatan PLTD/G, kedua titik tersebut ada didalam selokan, titik 1 terletak 25 meter dari pengolahan limbah, sedangkan titik 25 meter dari effluent yang menuju mangrove titik 3. Baik titik 1 mupun 2 tidak ada indikasi ditemukannya fauna air, baik yang di badan air maupun sedimen atau substrat. Kondisi substrat berwarna hitam, berupa lumpur yang halus disertai bau minyak/oli yang menyengat seperti tercantum pada gambar 3. Hal ini kemungkinan WWG masih belum berfungsi maksimal atau masih perlu disempurnakan sehingga akan menghasilkan air buangan dan substrat yang kandungan minyak/oli dapat dieliminasi. Sludge atau substrat yang ada di selokan, secara periodik (3 bulan) diambil kemudian diolah di luar Bali, hal ini ditunjukkan bahwa pertemuan air

(30)

limbah dari selokan dengan sungai di luar area kegiatan masih dindikasikan adanya kehidupan ikan.

Kelompok II yaitu di area mangrove yang berada di sebelah selatan dan barat Indonesia Power yaitu : S3, S4, S5 dan S6. Stasiun tiga terletak disebelah selatan lokasi kegiatan yang area dan mangove yang sangat sedikit serta paling dekat dengan luaran limbah dari selokan. Sebagian lokasi stasiun tersebut sudah direklamasi, sehingga fauna air yang ditemukan juga tidak banyak jenis maupun jumlah individunya. Stasiun 3, 4 dan 5 merupakan kelanjutan dari stasiun 3 yang berada di sebelah barat lokasi, lokasi tersebut jenis mangrove dan kerapatannya lebih tinggi, namun terindikasi adanya sampah organik dan sedikit minyak/oli. Kondisi habitat secara fisik dicantumkan pada gambar ...

Gambar 8. Kondisi hutan mangrove di stasiun 4,5 dan 6

Kematian mangrove dalam stasiun ini, kemungkinan disebabkan interaksi sampah organik, minyak/oli dan juga oleh adanya ternak sapi yang ditempatkan disetiap pematang mangrove. Titik 4, 5 dan 6, walaupun sudah tidak alami, akan tetapi masih relatif banyak ditemukan fauna air, terutama fauna penggali yaitu beberapa jenis kepiting canggah (Uca sp), seperti yang tercantum pada gambar 8.

(31)

Gambar 9. Jenis-jenis Uca sp yang ditemukan di area mangrove.

Hasil identitifikasi dan analisis statistik, bahwa lima jenis Uca sp atau kepiting canggah dan omang-omang (Anomura sp), kepiting canggah merupakan hewan air penggali dengan kulit luar yang keras, sedangkan omang-omang tubuhnya terlindung dalam cangkang hewan lain yang sudah kosong dan berada di permukan substrat (tanah). Berdasarkan pengamatan in situ secara visual, kondisi subtrat bersifat alami dengan tidak ada indikasi adanya minyak/oli. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan, indeks keragaman mempunyai nilai antara 1,038-1,767 yang berarti bahwa ekosistem mangove pada tingkat baik berdasarkan keberadaan fauna air, akan tetapi pada stasiun satu telah mendekati tingkat buruk. Indeks kesamaan (similarity index) menunjukkan ke empat stasiunnlebih besar dari 0,9, sehingga dapat dikatakan jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun hampir sama atau tidak berbeda secara signifikan. Nilai Indeks dominansi antara 0,167- 0,374 menunjukkan bahwa komunitas fauna air yang berada pada habitat tersebut tidak didominasi oleh satus jenis fauna air tertentu. Banyaknya jenis dan jumlah individu kepiting canggah (Uca sp) kemungkinan adanya morfologi tubuh berkulit tubuh keras, dan sebagai hewan pemakan detritus atau

filter feeder dengan perilaku sebagai hewan penggali tanah.

Stasiun 7 dan 8 merupakan kelanjutan stasiun sebelumnya yaitu stasiun 6 yang jaraknya kira-kira 1500 meter, namun lokasinya dekat dengan lokasi PLTD/G Indonesia Power bagian utara dan terletak di sebelah barat. Kondisi lebih alami

(32)

dibanding stasiun sebelumnya baik ekosistem mangrovenya maupun substrat atau lapisan tanahnya. Didekat lokasi stasiun delapan merupakan tempat bersatunya selokan dari pemukiman yang kemudian menuju ke perairan laut Benoa. Kondisi lokasi stasiun tujuh tercantum pada gambar....dengan ekosistem mangrove yang alami dan sedang dilakukan perbaikan. Indeks keragaman menunjukkan nilai lebih tinggi dari pada stasiun-stasiun sebelumnya yaitu: indeks keragaman S7= 1,728, sedangkan S8 sedikit lebih tinggi yakni 1,861. Kedua lokasi tersebut nilai indeks keragaman diatas 1,5 dan mendekati kearah 2,0, sehingga memiliki kecenderungan kearah tingkat yang lebih baik atau stabil. Kedua stasiun masing-masing terdapat tujuh jenis fauna air yang didimonasi jenis kepiting canggah (Uca sp) yang tidak sama jenisnya dengan jenis Uca yang ditemukan di stasiun sebelumnya. Di stasiun tersebut juga ditemukan adanya, jenis moluska yang merupakan indikator kondisi lingkungan pada tingkat alami atau baik yaitu Cirithidia cingulata dan bivalvia seperti yang tercantum pada gambar 9 yaitu bivalvia.

Benoa.

(33)

Gambar 11. Fauna air jenis bivalvia yang ditemukan di stasiun 7

Lokasi penelitian di lingkungan jetti sangat berbeda dengan stasiun sebelumnya yakni, paling jauh jaraknya dari lokasi kegiatan PLTD/G, akan tetapi merupakan bagian dari kegiatannya yaitu tempat untuk mengalirkan bahan bakar menuju PLTD/G Pesanggaran Benoa. Di lokasi ini tempat sandar kapal pertamina, sehingga indikasi ceceran minyak/oli lebih banyak dibanding stasiun sebelumnya. Substrat didominasi dengan bongkahan-bongkahan batu, sedikit pasir dan lumpur, sama sekali tidak ada flora atau tumbuhan. Hasil pengamatan di titik ini, menunjukkan bahwa fauna lebih beragam, dan oleh karena lokasi tersebut terdapat tiga habitat yaitu hamparan pasang surut, perairan dan dinding pembatas maka pengamatan fauna air dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Lokasi hamparan pasang surut dilakukan pengamatan kuantitatif yaitu stasiun 9 dan 10, sedangkan yang lain secara kualitatif.

Hasil identifikasi spesies fauna air di stasiun 8 dan 9 secara kuantitatif dan kualitatif tercantum pada tabel 2 dan 4. Analisis kuantitatif fauna air di stasiun tersebut ditemukan 8 jenis, sedangkan stasiun 10 lebih sedikit yaitu enam jenis. Jenis fauna airnya lebih beragam yaitu polikheta, moluska, udang dan kepiting, akan tetapi tidak ditemukan kepiting canggah (Uca sp). Hasil analisis menunjukkan bahwa stasiun 9 nilai indeks keragaman lebih tinggi dibanding dengan stasiun (3, 4, 5, 6, 7 dan 8) , yaitu: S9 = 2,042, sedangkan S10 = 1,707. Tingginya nilai indeks keragaman pada stasiun 9 pada level sangat baik pada

(34)

batas bawah lebih banyak, disebabkan oleh kondisi habitat yang berbatu sehingga banyak tersedia relung-relung (niche) bagi fauna air untuk memanfaatkan ruang tersebut. Fauna air berkulit keras mendominasi di habitat tersebut, terutama yang sessil atau tidak bergerak aktif. Daya adaptasi yang tinggi dan sering terpapar oleh minyak dan oli juga menyebabkan fauna-fauna tersebut tetap hidup atau eksis dan berkembang di area tersebut. Indikasi adanya adaptasi bagi fauna sessil juga ditunjukkan adanya kehidupan jenis sponge dan koral seperti tercantum pada gambar 10. Pengamatan kualitatif yang dilakukan di stasiun 9 dan 10 tercantum pada tabel 3 dan 4.

Gambar12. Sponge dan koral yang ditemukan pada S9 jetti Pertamina Benoa

e. Analisis Kuantitatif Fauna Air Secara Keseluruhan dan Kondisi Lingkungan

Berdasarkan hasil analisis data secara kuantitatif dengan tolok ukur pencemaran yakni: Indeks Keragaman H= Index Diversity, Indeks Kesamaan

Index Similarity dan Indeks Dominansi C= Index Dominance sepert tersaji pada

Tabel 2. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum lokasi dilingkungan pembangkit PLTD/ PLTG/PLTGU Indonesia Power Pesanggaran yang berkaitan dengan pembuangan limbah minyak/oli menunjukkan

(35)

kecenderungan tidak terlalu stabil, terutama area mangrove yang berdekatan atau kira – kira 500m dari lokasi PT Indonesia Power. Penelitian fauna air pada yang dilakukan Maret 2016 telah dianalisis kuantitatif secara keseluruhan, maka didapatkan hasil bahwa keberadaan fauna air masih dalam kategori sedang yang rentan terhadap perubahan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis ketiga indeks yakni: Indeks keragaman (H= 2,539), Indeks kesamaan (E = 0,937) dan Indeks dominansi (C = 0,075).

Nilai indeks keragaman yang berada pada kisaran 1 dan 3 yaitu H = 2,539 berarti keragaman fauna secara keseluruhan di area tersebut berada pada tingkat sedangn dan telah mendekati batas bawah kestabilan komunitas, sedangkan sebaran jumlah individu tiap-tiap jenis juga masih berada pada kisaran tingkat tinggi dengan nilai kesamaan mendekati E=1 yaitu : E=0,937. Secara keseluruhan, kondisi demikian mengindikasikan bahwa perairan tersebut masih dikatakan terjadi indikasi pencemaran pada tingkat ringan, akan tetapi sudah menuju mendekati ketingkat komunitas yang lebih stabil, berdasarkan nilai indeks keragaman secara keseluruhan yaitu H= 2,539 yang mendekati nilai H = 3. Nilai indeks keseragaman atau E= 0,937 menunjukkan bahwa adanya variasi jumlah spesies pada masing-masing stasiun, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kestabilan komunitas fauna air di lokasi tersebut.

Nilai indeks dominansi secara keseluruhan adalah rendah yaitu ID = 0,075, hal ini menunjukkan bahwa dalam ekosistem tersebut secara keseluruhan tidak ada satu jenis fauna air yang mendominasi, dengan kata lain walaupun terdapat perbedaan jumlah individu tetapi tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam ekosistem tersebut terjadi kestabilan rantai makanan (food chain) dan jaring-makanan (food web) antar jenis fauna air.

Tingkat komunitas fauna air pada kondisi sedang yang mengarah ketingkat stabil mungkin disebabkan masih belum optimalnya fungsi 3 separator, hal ini diindikasikan bahwa stasiun 1 dan 2 tidak ditemukan kehidupan fauna air, sedimen (sludge) berwarna hitam bau minyak dan oli. Penumpukan sampah dan matinya beberapa tanaman bakau terutama stasiun 4, 5 dan 6 serta kondisi relatif sedikitnya genangan air di area mangrove yang mungkin disebabkan terjadinya

(36)

musim kemarau berkepanjangan. Minimnya genangan air menyebabkan terjadinya migrasi sebagian fauna air, kematian fase larva dan juvenil, terpaparnya kondisi ekstrim lingkungan secara langsung, sehingga hanya sejumlah fauna air yang hidup menggali dan bercangkang yang kemungkinan besar dapat survival atau bertahan hidup sebagai upaya menghindari buruknya kondisi lingkungan. Pada penelitian tersebut, stasiun 3, 4, 5, 6, masih terdapat pengaruh langsung pasang surut harian terutama pada saat pasang tertinggi, namun tidak sebesar yang terjadi pada musim penghujan, hal ini ditunjukkan bahwa pada pengamatan periode tersebut sangat sedikit air yang tergenang di permukaan tanah. Stasiun 3 yang berada jauh dari jangkauan pasang surut juga masih ditemukan fauna air jenis kepiting canggah, walaupun jumlah dan jenisnya paling rendah dibanding stasiun lainnya di lingkungan ekosistem mangrove.

Nilai indeks keseragaman (Similarity Index) secara keseluruhan menunjukkan nilai yang mendekati angka1, yaitu E= 0,937 yang artinya suatu nilai tersebut mengindikasikan bahwa keseragaman fauna air berada pada tingkat ekosistem yang stabil, namun belum mencapai puncak. Hal ini juga ditunjukkan oleh jumlah individu tiap – tiap jenis fauna air yang perbedaannya sangat kecil sehingga dapat mempengaruhi tingginya nilai indeks keseragaman.

Berdasarkan nilai indeks dominansi (C = 0,075) menunjukkan bahwa perairan disekitar lingkungan pembangkit PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran tidak ada fauna air yang mendominasinya, hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada jenis-jenis fauna air yang menguasai perairan tersebut. Tidak didominasinya perairan tersebut oleh salah satu hewan air, mengindikasikan bahwa ekositem di lingkungan kegiatan pembangkit PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran relatif stabil yang berarti rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (food web) berinteraksi secara seimbang. Dengan kata lain, jenis-jenis fauna air yang hidup dilingkungan tersebut adalah fauna yang tahan (resisten) terhadap kondisi lingkungan yang sedikit tidak menguntungkan.

Muara selokan dari pembuangan Indonesia Power (effluent) langsung dialirkan ke sungai, sehingga pada stasiun 3, 4, 5 dan 6 walaupun masih terindikasi minyak/oli, tetapi merupakan sisa dari sistem sebelumnya yaitu effluent langsung dialirkan ke area mangrove. Keberadaan sampah pada ekosistem

(37)

mangrove merupakan sisa dari sampah yang bersumber dari aliran sungai. Sebagian stasiun 3 sudah direklamasi, namun masih ditemukan jenis fauna air dan effluent dari PT. Indonesia Power langsung ke arah sungai sehingga tidak terkena langsung pada ekosistem mangrove.

Kepiting canggah (Uca sp) merupakan fauna air yang keberadaannya selalu ada pada ekosistem mangrove yakni S3, 4, 5, 6, pada stasiun 7 dan 8 oleh karena sudah tidak terdapat timbunan tanah, maka juga telah ditemukan adanya kepiting canggah. Jumlah jenis dan jumlah individu kepiting canggah antar stasiun satu dengan lainnya pada ekosistem mangrove hampir sama karena area mangrove telah terhindar oleh minyak/oli serta sampah dengan adanya tanggul sungai. Fauna jenis tersebut merupakan penghuni tetap pada ekosistem mangrove dengan menempati relung (niche) substrat berlumpur alami, walaupun kondisi lingkungannya kering dan juga relatif sedikit tergenang air serta berminyak, kecuali apabila lapisan minyak sangat tebal dan berupa sludge (lumpur).

Kepiting canggah (Uca sp) merupakan salah satu jenis kepiting yang hidup di habitat mangrove, di samping itu, ada jenis kepiting lainnya yakni : dari famili grapsidae, portunidae dan gecarcinidae (Costa dan Negreiros, 2002). Dominasi kepiting canggah yang bersifat dimorfisme tersebut di lokasi penelitian pada ekosistem mangrove, kemungkinan dipengaruhi oleh karakter morfologi, cara makan, perilaku, jenis pakan sehingga mempunyai daya adaptasi sangat tinggi. Sebelas kepiting jenis Uca terdapat di seluruh Indonesia (Crane, 1975), sembilan jenis telah ditemukan di hutan Mangrove Information Centre (MIC) (Mulyono, 2007). Kepiting tersebut mempunyai perilaku makan khusus, yaitu memakan partikel detritus di lingkungan lumpur dengan memisahkan partikel detritus dari material anorganik melalui proses penyaringan substrat yang dilakukan oleh sekumpulan rambut di sekeliling mulutnya (Nybakken, 1998). Tingkatan adaptasi kepiting juga ditunjukkan dengan adanya vaskularisasidinding ruang insang, sehingga seperti paru-paru. Fauna air jenis omang-omang (Anomura sp) juga dapat beradaptasi dari ditempat berair maupun sedikit air. Ditemukannya fauna air seperti pici-pici (Cirithidia cingulata) pada stasiun 5, 6 dan

(38)

7 mengindikasikan bahwa kualitas perairan di lingkungan mangrove pada stasiun ini menuju kesifat alaminya.

Lingkungan mangrove di sekitar pembangkit PT Indonesia Power Pesanggaran dan Dermaga Benoa merupakan lingkungan yang terbuka (open

acces), sehingga memungkinkan adanya sumber pencemar berasal dari berbagai

sumber yang sulit diketahui (non – point pollution). Pada penelitian Maret 2016,

effluent dari PT Indonesia Power dialirkan ke muara sungai sebelah utara

bergabung dengan air yang berasal dari sungai lainya yang lebih besar, sehingga tidak langsung mengalir pada ekosistem mangrove disekitar Indonesia Power. Stasiun 3, 4, 5 dan 6 sudah tidak terindikasi adanya minyak/oli, tetapi warna substrat masih belum alami atau sedikit kehitaman, sedangkan stasiun 7 dan 8 kondisinya sudah mendekati kondisi sebelum adanya timbunan tanah. Keberadaan fauna air yang merupakan karakter mangrove yaitu kepiting canggah sudah nampak, bahkan ditemukan 2 individu bivalvia. Nilai indeks keragaman pada stasiun tersebut pada level tingkat rendah menuju sedang yakni : S7 = 1,861 dan S8 = 1,764. Hal ini mengindikasikan bahwa, pengaruh timbinan tanah terhadap fauna air bersifat sementara atau temporer.

Keberadaan komunitas fauna air pada stasiun 9 dan10 dihuni oleh jenis-jenis yang sudah beradaptasi dengan lingkungan yang terpapar oleh minyak/oli dari kegiatan bongkar muat minyak serta kegiatan pelabuhan lainnya. Secara periodik keberadaan jenis-jenis fauna airnya kadang muncul kadang menghilang, hal ini sesuai dengan siklus hidupnya. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dan identifikasi secara keseluruhan didapatkan 15 jenis fauna air dengan jumlah sebanyak 102 individu. Adapun berdasarkan analisis struktur komunitas dengan mengacu ketiga indeks yakni indeks keragaman, indeks dominansi dan indeks kesamaan, maka didapatkan bahwa nilai indeks keragaman sebesar (IK = 2,539). Nilai tersebut berada pada kisaran 2,5-3,0 yang berarti ekosistem tersebut dalam tingkat yang tidak terindikasi adanya pencemaran atau dalam tingkat komunitas fauna yang stabil. Walaupun secara visual sebagian stasiun terdapat minyak, namun keberadaan fauna air telah mampu beradaptasi pada kondisi ini, sehingga fungsi fisiologi dan reproduksi dapat berjalan normal

(39)

3.2.3 Evaluasi Keberadaan Fauna Air dan Substrat

Berdasarkan keberadaan fauna air pada masing-masing stasiun, maka stasiun 1 dan 2 yang terdapat di dalam kawasan Indonesia Power kondisinya yaitu tidak ditemukan fauna air. Walaupun telah dilakukan perlakuan terhadap sisa atau limbah minyak/oli melalui (Waste Water Garden), namun di selokan yang bermuara dari WWG masih terdapat indikasi minyak dan oli. Pada penelitian Maret 2016 stasiun 3 masih ditemukan fauna air karena area tersebut masih terkena air laut pada waktu pasang tertinggi, walaupun sebagian besar telah direklamasi. Fauna air jenis Uca sp masih dapat hidup di habitat mangrove walaupun lingkungannya tidak begitu baik. Stasiun lainnya yang dekat dan kelanjutan dari stasiun 3 yaitu stasiun 4, 5 dan 6 keberadaan jenis fauna air lebih banyak dengan jumlah individu yang variasinya tidak terlalu besar. Hal ini dapat ditunjukkan dari jumlah jenis, nilai indeks keragaman, indeks kesamaan dan indeks dominansi pada masing-masing stasiun (Tabel. 2). Kondisi pada waktu penelitian tersebut adalah permukaan tanah yang berkontur datar tidak digenangi air, adapun air hanya relatif sedikit terdapat pada cekungan-cekungan di area mangrove.

Dengan selesainya kegiatan pemasangan pipa gas PT. Indonesia Power, maka stasiun 7 dan 8 yang semula tertimbun tanah, pada penelitian Maret 2016 kodisi fisik stasiun tersebut telah pulih walaupun belum sepenuhnya, di lokasi ini masih terdapat indikasi ceceran minyak, namun sudah ditemukan fauna air yang spesifik di mangrove. Adapun stasiun 9 dan 10 yang ada di jetti Benoa secara fisik berbeda dengan stasiun sebelumnya yaitu keberadaan minyak dan oli secara terus menerus, sehingga kehidupan fauna air telah beradaptasi secara mantap. Akses terbuka (open acces) stasiun tersebut menyebabkan berbagai pengaruh yang berasal dari berbagai kegiatan dapat mempengarui keberadaan fauna air.

(40)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Penelitian komunitas fauna air yang didasarkan dengan analisis kuantitatif dan kualitatif secara in-situ dan laboratorium terhadap kondisi Biologi di lingkungan PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Bali dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Tidak ada indikasi adanya fauna air pada stasiun 1 dan 2 yang berada di dalam area Pembangkit PT. Indonesia Power dengan sedimen berwarna hitam dan berbau minyak/oli, akan tetapi di muara (effluent) selokan di luar lokasi pembangkit sudah ditemukan fauna air jenis kepala timah dan lokasi pertemuanya dengan sungai juga didapatkan populasi ikan.

2. Pada stasiun 3, 4, 5 dan 6 yang lokasinya paling dekat dengan selokan dari aliran limbah PLTD/PLTG/PLTGU PT Indonesia Power UPJP Bali masih terdapat fauna air, terutama jenis Uca sp, tidak ada indikasi minyak, namun kondisi lingkungan tertekan tetapi pada tingkat ringan yang mungkin disebabkan oleh degradasi sampah organik.

3. Dua stasiun di area mangrove yang jauh dari stasiun sebelumnya tidak ada indikasi minyak/oli dan sampah organik, bersifat alami baik ekosistem mangrove dan substratnya, bahkan di stasiun tersebut ditemukan bivalvia dan jenis moluska (Cirithidia cinggulata) sebagai fauna indikator alami mangrove. 4. Adapun stasiun 9 dan 10 disekitar jetti Dermaga Pertamina kondisi fisiknya

berbeda dengan stasiun di mangrove yaitu berbatu dan langsung berhadapan dengan perairan laut dan tidak ada tumbuhan dan tidak ditemukan kepiting jenis Uca sp.

4.2 Saran

1. Aktivitas pengerukan dan pembilasan sludge ceceran minyak /oli di lokasi selokan yang ada di lokasi Indonesia Power sebaiknya dilakukan secara periodik dan pada muara pembuangan diberi saringan pada saat dilakukan pengerukan dan pembilasan untuk mencegah ceceran minyak menyebar

(41)

2. Komunitas fauna air yang labil dan rendahnya nilai indeks keragaman perlu ditingkatkan, terutama pada ekosistem mangrove stasiun 3, 4, 5 dan 6 dengan pembuatan selokan pada pematang di area mangrove, sehingga air laut dapat menjangkau ekosistem mangrove pada stasiun tersebut.

3. Lingkungan fisik stasiun 7 dan 8 perlu dijaga karena lokasinya berdekatan dengan lokasi kegiatan PLTD/G yang memungkinkan tercecernya limbah minyak/oli dan sampah organik, terutama garis batas atau pematang agar dibuat lebih tinggi dan bebas dari ternak, sehingga tidak mengganggu lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi keberadaan fauna air.

4. Perlu diupayakan reboisasi pohon bakau (mangrove) terutama di bagian barat dan selatan kantor PLTD/PLTG/PLTGU yang saat ini habitat tersebut dimanfaatkan sebagai saluran air limbah (selokan), sehingga banyak jenis mangrove mengalami kematian. Keberadaan sampah organik disekitar selokan masih banyak ditemukan yang menutupi akar-akar mangrove sehingga dapat mengganggu proses respirasi yang berakibat kematian. Jenis-jenis yang ditanam terutama jenis yang sudah eksis dan mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat seperti bakau putih, bakau hitam, dan prapat.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Keputusan Menteri LH No. 09 Tahun 1997 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas Serta Panas Bumi.

Anonim. 1997. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Anonim. 2000. Keputusan Gubernur Bali No. 515 tahun 2000 Tentang Standar Baku Mutu Lingkungan

Crane, J. 197. Fiddler Crabs of the world. Princeton University Press, Princeton Cormark, D. 1983. Response to oil and chemical marine pollution. Applied Science

Publishers, London, 531 p.

Clark. R .B. 1992. Marine Pollution. Clarendon Press Oxford. England.

Dahuri, R., N. S. Putra, Zairion dan Sulistiono. 1993. Metode dan Teknik Analisis Biota Perairan. PPLH, Lembaga Penelitian, IPB. Bogor.

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup Dan Pencemaran. Djambatan . Jakarta. Costa, T. M dan M. L. Negreiros. 2002. Population Biology of UcaThayererathi Bun ,1900 (Brachyura, Ocypodidae ) A Subtropical South American Mangrove

Area : Result from Transect and C. Atch-Per-unit-effort Techniques. Brill 75 1201-1218.

GESAMP. 1977. Impact of oil on the marine environment . FAO of The United Nations , Rome., 250 p.

Holcomb, R.W. 1969. Oil in the ecosystem. Sciense, 166: 204-206.

Mason, C.F. 981. Biological Estuaries Pollution. Longman Group. Ltd. New Jersey.

Mitchell, C.T, E.K. Anderson, L.G. Jones and W.J. North. 1970. What oil does to ecology. J. Water Pollut. Control Fed ., 42:812-818

Mulyono, E. 2007. Keragaman Kepiting di Kawasan Pusat Informasi Mangrove Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai Bali, (Skripsi). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana.

Nybakken .J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

(43)

Odum, E.P. 1979. Fundamentals of Ecology. Third Editions. W.B. Saunders Co. Japan.

Romimohtarto. K dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut. Djambatan Jakarta.

Soeratmo, F. 1988. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Straughan, D.1972. Factors causing environmental change after an oil spill. J Pet Technol. 250-254.

Subani.W. 1986. Kehidupan Dalam Air .( Terjemahan : Underwater Life) Tirta Pustaka Jakarta.

Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menetapkan ISO 14001. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

UNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Assesment Edited by Chapman, D. Chapman and Hall Ltd., London. 585 p.

Gambar

Gambar 2 : Lokasi Pengambilan sampel  Fauna  di Sekitar  Dermaga Benoa
Tabel 1.  Nilai Kualitas dari Indeks Diversitas (H) Fauna Perairan
Tabel 2.Analisis kuantitatip struktur komunitas fauna air di 10 stasiun lingkungan kegiatan PLTD/G Indonesia Power  Pesanggaran Benoa
Tabel 3. Hasil Pengamatan Kualitatif Fauna Air disekitar PLTD/PLTG/PLTGU Pesanggaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hampir setengah dari mahasiswa USBI yang tidak selalu menggunakan sumber referensi dalam menunjang kegiatan perkuliahan berjumlah 27 orang (32.53%), mahasiswa USBI

Untuk melihat detail PO tersebut user dapat melakukannya dengan memilih nomor PO dalam tabel Daftar Purchase Order, user juga dapat melihat detil penerimaan barang berdasarkan

Penjasorkes di kecamatan Dlingo kabupaten Bantul tidak terlepas dari gambaran umum penjasorkes seperti yang diuraikan di atas, oleh sebab itu untuk membantu guru- guru penjasorkes

7.453 Kalimantan Timur Kota Balikpapan P6471010204 GUNUNG BAHAGIA Jl.. Prapatan Dalam

Penentuan drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa hal, diantaranya karena di dalam drama ini terdapat

Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner terdiri dari empat kategori yang terdiri dari: (1) Ketersedian koleksi untuk kebutuhan pengguna yang terdiri dari 5 pertanyaan (2)

Dari hasil peneliti, jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian arhritis rheumatoid pada lansia karena dari 56 responden, jenis kelamin laki-laki sebanyak 14