• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 Kekosongan obat merupakan masalah dalam pelayanan farmasi yang penting untuk ditindaklanjuti dengan segera karena obat merupakan bagian utama dalam proses penyembuhan penyakit. Beberapa hasil penelitian sebelumnya di beberapa Negara juga menunjukkan kejadian masalah kekosongan obat. Di Negara Zambia proporsi kekosongan obat di rumah sakit dari catatan persediaan yang konsisten pada dua kuartal pertama antara tahun 2009-2010 mencapai angka 20% (Leung et al., 2016). Penelitian di rumah sakit Minzani Zwaziland diketahui bahwa sebagian besar pasien (71%) yang berobat tidak mendapatkan obat yang diresepkan oleh dokter, hanya 24,7% yang mendapatkan obat yang diresepkan, kekosongan obat di apotek ini mulai dari 30 hari sampai lebih 180 hari (Shabangu et al., 2015). Di India hampir 68% tidak memiliki akses untuk memperoleh obat-obat esensial karena sistem pengadaan yang terpusat (Singh et al., 2013). Kekosongan obat untuk kesehatan jiwa dapat menghambat kualitas pelayanan pasien, pengembangan, penargetan, serta kualitas perbaikan dalam peningkatan pelayanan dan pengobatan untuk gangguan mental. Perlunya peningkatan akses ke obat-obat psikotropik di anggap penting sebagai syarat dasar untuk keberhasilan kesehatan jiwa (Wagenaar et al., 2015)

Di Indonesia pada penelitian di RSU Haji Surabaya menunjukkan kejadian kekosongan obat yang terjadi sebesar 54% dan stok mati sebesar 39%. Kejadian stok mati dan kekosongan obat menimbulkan biaya sebesar Rp 255.933.139 (Mellen dan Pudjirahardjo, 2013). Pada penelitian di seluruh puskesmas di kota Surabaya tahun 2014 didapatkan kejadian stok mati rerata sebesar 47,9% dan kekosongan obat 8,56%. Puskesmas Tenggilis menempati urutan pertama Puskesmas yang mengalami stok mati dan urutan ke-15 yang

(2)

mengalami kekosongan obat dari keseluruhan Puskesmas di kota Surabaya (Rusmania & Supriyanto, 2015).

Masalah kekosongan obat yang terjadi di beberapa negara di dunia serta di beberapa daerah di Indonesia juga dialami oleh Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu. Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu merupakan rumah sakit jiwa satu-satunya yang ada di provinsi Bengkulu. Jumlah kunjungan pasien BPJS meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2015 jumlah kunjungan pasien sebanyak 17.500 jiwa dan tahun 2016 jumlah kunjungan pasien meningkat menjadi 18.672 jiwa. Dengan bertambahnya kunjungan pasien dari tahun ke tahun maka kebutuhan akan obat juga meningkat. Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu dituntut agar dapat memberikan pelayanan yang baik serta profesional, salah satu yang mendukung hal tersebut adalah ketersediaan obat

Perencanaan obat di instalasi farmasi Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu menggunakan metode konsumsi, dimana metode ini menggunakan data konsumsi obat periode sebelumnya dengan berbagai penyesuaian dan koreksi untuk memperkirakan kebutuhan yang akan datang. Frekuensi pengadaan obat di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu dalam setahun disesuaikan dengan kebutuhan instalasi farmasi. Untuk pengadaan obat pihak rumah sakit telah membuat perencanaan kebutuhan obat (RKO) tetapi kekurangan obat tetap terjadi. Untuk jenis obat psikotropik pengadaannya diatur secara khusus untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan, seperti surat pemesanan harus terpisah dengan obat yang lain (PMK No 03 tahun 2015). Sedangkan untuk pemesanan dilakukan hanya pada Pedagang Besar Farmasi (PBF) tertentu saja. Dari 35 item obat jiwa yang terdapat dalam Rencana Kebutuhan Obat 10 item obat diantaranya sering mengalami kekosongan hal ini dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan obat tersebut. Beberapa obat yang sering mengalami kekosongan di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu pada tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:

(3)

Tabel 1. Daftar Obat yang sering kosong tahun 2016

No Nama obat Bulan kekosongan

1. alprazolam 0,5 mg November dan Desember

2. fenitoin Na 100 mg Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni dan

Juli

3 fenobarbital 30 mg Juni, Juli, Agustus, November dan Desember

4 fluoksetin 10 mg November dan Desember

5 haloperidol inj 5ml Oktober, November dan Desember

6 haloperidol 1,5 mg Juni, Juli dan Desember

7 karbamazepin 200 mg April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September,

Oktober, November dan Desember.

8 klobazam 10 mg Juli, Agustus dan September

9 maprothillin hcl 50 mg November dan Desember

10 triheksipenidil 2 mg November dan Desember

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa kekosongan obat yang paling tinggi terjadi di Rumah Sakit Khusus jiwa Soeprapto Bengkulu pada tahun 2016 adalah pada obat karbamazepin 200 mg, fenitoin Na 100 mg dan fenobarbital 30 mg. Ketiga obat tersebut merupakan obat-obatan yang sangat dibutuhkan oleh pasien epilepsi dimana pasien ini harus terus menerus mengkonsumsi obat dan tidak boleh berhenti tanpa perintah dari dokter. Permasalahan harus segera diatasi karena item obat yang kosong adalah obat yang dibutuhkan untuk pasien jiwa. Obat- obat tersebut merupakan obat utama yang dikonsumsi oleh sebagian besar pasien yang berkunjung maupun menjalani rawat inap di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu. Penghentian pengobatan membutuhkan pengawasan yang khusus karena pasien yang menampakkan hasil yang baik terhadap pengobatan dapat mengalami kekambuhan yang lebih parah jika pengobatan dihentikan dengan tidak tepat.

(4)

Menurut program JKN, seluruh rakyat Indonesia mendapatkan kepastian layanan dan kepastian memperoleh pengobatan sesuai dengan penyakitnya. Kepastian memperoleh layanan kesehatan ini tertuang dalam Kemenkes No 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyatakan bahwa setiap peserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis.

Dalam pengadaan obat Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu mengacu pada formularium nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk obat yang tidak terdapat di dalam e-katalog dapat dilakukan pembelian dengan cara lain yaitu dengan cara manual sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 04 tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Proses pengadaan obat berperan penting dalam menjamin ketersediaan obat yang didukung oleh proses perencanaan yang cermat. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti bermaksud untuk mengevaluasi bagaimana proses perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu tahun 2016 .

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana proses perencanaan dan pengadaan obat di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu

C. Tujuan penelitian Tujuan umum

Mengevaluasi proses perencanaan dan pengadaan obat di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu.

Tujuan khusus:.

1. Mengevaluasi perencanaan dengan metode konsumsi di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu

(5)

2. Mengevaluasi proses pengadaan obat di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu.

3. Mengidentifikasi hambatan dalam proses pengadaan di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu.

4. Mengidentifikasi alternatif solusi untuk menjamin ketersediaan obat di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu.

D. Manfaat penelitian Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan penjelasan ilmiah dan sebagai sumber informasi terkait pengadaan obat publik

Manfaat Praktis

1. Bagi Manajemen Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu sebagai pertimbangan di dalam proses perencanaan dan pengadaan obat.

2. Bagi institusi pendidikan Peneliti berharap penelitian ini bermanfaat sebagai studi pustaka untuk penelitian selanjutnya yang lebih baik

E. Keaslian penelitian

1. Sing et al (2013) melakukan penelitian tentang sebuah sistem pengadaan obat yang efisien untuk memastikan ketersediaan obat yang tepat dalam jumlah yang cukup dan dibeli pada harga terendah. Penelitian ini memfokuskan pada sistem pengadaan yang terpusat dengan menggunakan metode kualitatif. Perbedaan pada penelitian ini adalah peneliti memfokuskan tidak hanya pada pengadaan tetapi juga pada perencanaan obat.

2. Prinja et al (2015) melakukan penelitian tentang ketersediaan obat di sektor

publik pada fasilitas kesehatan di dua negara bagian India utara. Penelitian ini memfokuskan pada ketersediaan obat-obat penting dengan metode kualitatif. Perbedaan pada penelitian ini adalah peneliti memfokuskan pada

(6)

perencanaan dan pengadaan obat serta hambatan- hambatan yang dapat menyebabkan terjadinya kekosongan obat.

3. Mellen dan Pudjirahardjo ( 2013) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stagnant dan stockout obat yang ada di RSU Haji Surabaya. Penelitian ini memfokuskan pada manajemen persediaan obat di unit logistik yang mensuplai obat ke unit pelayanan dengan menggunakan metode ABC serta menggunakan jenis penelitian deskriptif. Perbedaan pada penelitian ini adalah peneliti fokus terhadap evaluasi metode konsumsi yang berdasarkan pada formularium Nasional serta hambatan pada proses pengadaan obat dan jenis penelitian.

4. Rosmania dan Supriyanto (2015) melakukan penelitian tentang analisa pengelolaan obat dan berfokus pada stagnant dan stockout obat di seluruh puskesmas kota Surabaya dengan metode dan penelitian kuantitatif. Perbedaan pada penelitian ini adalah peneliti mengevaluasi perencanaan dengan metode konsumsi berdasarkan pada Formularium Nasional dan proses pengadaan obat serta perbedaan juga terdapat pada jenis metode penelitian.

5. Rianasari (2016) melakukan penelitian tentang perencanaan dan menggunakan indikator pada tahap perencanaan dan pengadaan menggunakan indikator pada tahap pengadaan serta melakukan analisis ABC terhadap obat yang digunakan di RSIA YPK Jakarta. Perbedaan pada penelitian ini adalah peneliti hanya mengevaluasi proses perencanaan dan pengadaan obat serta mengidentifikasi hambatan-hambatannya.

Gambar

Tabel 1. Daftar Obat yang sering kosong tahun 2016

Referensi

Dokumen terkait

bahwa “Jamiah Ahmadiyah Indonesia” (JAMAI) sebenarnya merupakan tempat pengkaderan atau kawah candradimuka di mana setiap calon mubalig Ahmadiyah dididik, digembleng,

Definisi kapasitas menurut Hilton, Maher dan Selto (2003) adalah kapasitas merupakan ukuran dari kemampuan proses produksi dalam mengubah sumber daya yang

a) Wujud fisik sepeda motor yang berupa kondisi bodi dan mesin, sepeda motor yang memiliki kualitas terbaik, merk sepeda motor yang digunakan adalah merk sepeda motor jepang

Anak berkesulitan belajar matematika sering memperlihatkan adanya gangguan penghayatan tubuh (body image). Anak demikian merasa sulit untuk memahami

Direktorat Jenderal Bina Marga (2010) berpendapat bahwa tanaman yang digunakan untuk mengontrol angin seharusnya merupakan tanaman tinggi dan perdu/semak, bermassa daun

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana saluran pemasaran andaliman, mengetahui fungsi-fungsi pemasaran apa saja yang dilakukan oleh lembaga pemasaran,

Pelatihan Gen Bank NCBI (National Center for Biotechnology Information) dan Program Mega 4.0 (Molecular Evolutionary Genetics Analysis Version 4.0), bermanfaat bagi

Tetapi bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Krisyanto pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan memiliki pengaruh positif dan signifikan