• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari Air Susu Ibu (Depkes RI, 2006). Makanan pendamping ASI ini diberikan pada bayi karena pada masa itu produksi ASI semakin menurun sehingga suplai zat gizi dari ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat sehingga pemberian dalam bentuk makanan pelengkap sangat dianjurkan (WHO, 2000).

Makanan tambahan berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. Pemberian makanan tambahan merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik oral. Keterampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan

memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang (Depkes, 2000).

Istilah untuk makanan pendamping ASI bermacam-macam yakni makanan pelengkap, makanan tambahan, makanan padat, makanan sapihan, weaning food, makanan peralihan, beiskot (istilah dalam bahasa jerman yang berarti makanan selain dari susu yang diberikan kepada bayi). Keseluruhan istilah ini menunjuk pada

(2)

pengertian bahwa ASI maupun pengganti ASI (PASI) untuk berangsur berubah ke makanan keluarga atau orang dewasa (Depkes RI, 2004).

2.1.1 Jenis Makanan Tambahan a. Makanan tambahan lokal

Makanan tambahan lokal adalah makanan tambahan yang diolah di rumah tangga atau di Posyandu, terbuat dari bahan makanan yang tersedia setempat, mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh masyarakat, dan memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi oleh bayi. Makanan tambahan lokal ini disebut juga dengan makanan pendamping ASI lokal (MP-ASI Lokal) (Depkes RI, 2006).

Pemberian makanan tambahan lokal memiliki beberapa dampak positif, antara lain ibu lebih memahami dan terampil dalam membuat makanan tambahan dari pangan lokal sesuai dengan kebiasaan dan sosial budaya setempat, sehingga ibu dapat melanjutkan pemberian makanan tambahan secara mandiri, meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta memperkuat kelembagaan seperti posyandu, memiliki potensi meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penjualan hasil

pertanian, dan sebagai sarana dalam pendidikan atau penyuluhan gizi (Depkes RI, 2006).

b. Makanan tambahan olahan pabrik

Makanan tambahan hasil olahan pabrik adalah makanan yang disediakan dengan olahan dan bersifat instan dan beredar dipasaran untuk menambah energi dan zat-zat gizi esensial pada bayi (Depkes RI, 2006).

(3)

Makanan tambahan pabrikan disebut juga makanan pendamping ASI pabrikan (MP-ASI pabrikan) atau makanan komersial. Secara komersial, makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biskuit yang dapat dimakan secara langsung atau dapat dijadikan bubur (Krisnatuti, 2000).

Sunaryo (1998) dalam Krisnatuti (2000) menyatakan bahwa untuk membuat makanan bayi harus memenuhi petunjuk dan mempertimbangkan hal-hal berikut: 1) Formula

Formula harus dibuat berdasarkan angka kecukupan gizi bayi dan balita, bahan baku yang diizinkan, criteria zat gizi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. 2) Proses Teknologi

Pemilihan proses teknologi berkaitan dengan spesifikasi produk yang diinginkan, tingkat sanitasi dan higienitas yang dikehendaki, faktor keamanan pangan, serta mutu akhir produk.

3) Higiene

Produk jadi makanan tambahan harus memenuhi syarat-syarat seperti bebas dari mikroorganisme pathogen, bebas dari kontaminan hasil pencemaran mikroba penghasil racun atau alergi, bebas racun, harus dikemas tertutup sehingga terjamin sanitasinya dan disimpan di tempat yang terlindung.

4) Pengemasan

Kemasan yang dipakai harus terbuat dari bahan yang kuat, tidak beracun, tidak mempengaruhi mutu inderawi produk (dari segi penampakan, aroma, rasa dan tekstur), serta mampu melindungi mutu produk selama jangka waktu tertentu.

(4)

5) Label

Persyaratan label makanan bayi harus mengikuti codex standard 146-1985, dengan informasi yang jelas, tidak menyesatkan konsumen, komposisi bahan-bahan tercantum dalam kemasan, nilai gizi produk dan petunjuk penyajian.

Makanan tambahan pabrikan seperti bubur susu diperdagangkan dalam keadaan kering dan pre-cooked, sehingga tidak perlu dimasak lagi dan dapat diberikan pada bayi setelah ditambah air matang seperlunya.

Bubur susu terdiri dari tepung serealia seperti beras, maizena, terigu ditambah susu dan gula, dan bahan perasa lainnya. Makanan tambahan pabikan yang lain seperti nasi tim yakni bubur beras dengan tambahan daging, ikan atau hati serta sayuran wortel dan bayam, dimana untuk bayi kurang dari 10 bulan nasi tim harus disaring atau di blender terlebih dahulu. Selain makanan bayi lengkap (bubur susu dan nasi tim) beredar pula berbagai macam tepung baik tepung mentah maupun yang sudah matang (pre-cooked) (Pudjiadi, 2000).

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Pemberian Makanan Tambahan

Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus, untuk mencapai pertumbuhan perkembangan yang optimal, menghindari terjadinya kekurangan gizi, mencegah resiko masalah gizi, defesiensi zat gizi mikro (zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan folat), menyediakan makanan ekstra yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan energy dengan nutrisi, memelihara kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan bila

(5)

sakit, membantu perkembangan jasmani, rohani, psikomotor, mendidik kebiasaan yang baik tentang makanan dan memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang sesuai dengan keadaan fisiologis bayi (Husaini, 2001).

Pemberian makanan tambahan pada bayi juga bertujuan untuk melengkapi ASI (mixed feeding) dan diperlukan setelah kebutuhan energy dan zat-zat gizi tidak mampu dipenuhi dengan pemberian ASI saja. Pemberian makanan tambahan tergantung jumlah ASI yang dihasilkan oleh ibu dan keperluan bayi yang bervariasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya diantaranya untuk mempertahankan kesehatan serta pemulihan kesehatan setelah sakit, untuk mendidik kebiasaan makan yang baik mencakup penjadwalan waktu makan, belajar menyukai makanan (Sembiring, 2009).

Menurut Suharjo (1999) dalam Pardosi (2009) Pemberian MP-ASI bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak, menyesuaikan kemampuan alat cerna dalam menerima makanan tambahan dan merupakan masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Selain untuk memenuhi kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi, pemberian makanan tambahan merupakan salah satu proses pendidikan dimana bayi diajar untuk mengunyah dan menelan makanan padat, serta membiasakan selera-selera baru.

2.1.3 Komposisi Makanan Tambahan

Makanan tambahan yang baik adalah makanan yang kaya energy, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang berbahaya atau toksin, tidak ada potongan tulang atau bagian yang keras yang membuat bayi tersedak, tidak terlalu

(6)

panas atau asin, mudah dimakan bayi, disukai bayi, mudah disiapkan dan harga terjangkau (Rosidah, 2004).

Bahan makanan tambahan pada bayi dibedakan atas 2 golongan yaitu hewani dan nabati. Golongan hewani terdiri dari ikan, telur, daging. Golongan nabati terdiri dari buah-buahan, sayur-sayuran, padi-padian (Baso, 2007).

Makanan tambahan yang baik adalah makanan yang mengandung sejumlah kalori atau energi (karbohidrat, protein dan lemak), vitamin, mineral dan serat untuk pertumbuhan dan energi bayi, disukai oleh bayi, mudah disiapkan dan harga yang terjangkau. Makanan harus bersih dan aman, terhindar dari pencemaran mikroorganisme dan logam, serta tidak kadaluarsa (Kepmenkes RI, 2007).

Karbohidrat diperlukan sebagai sumber energi yang paling murah, untuk mencukupi kebutuhan energi dianjurkan sekitar 60-70% energi total berasal dari karbohidrat. Pada ASI dan sebagian besar susu formula bayi, 40-50% kandungan kalorinya berasal dari karbohidrat terutama laktosa (Krisnatuti, 2000).

Protein ASI rata-rata 1,15g/100ml sehingga apabila bayi mengkonsumsi ASI selama 4 bulan pertama (sekitar 600-900ml/hari). Pertambahan Protein pada bayi yang diberi MP-ASI pertama kali ( usia 6-12 bulan) pertambahan Protein nya tidak terlalu besar. Semakin bertambah usia bayi maka protein yang dibutuhkan semakin meningkat. Setelah menginjak usia satu tahun bayi membutuhkan protein sekitar dua kali lipat pada masa sebelum nya (Krisnatuti, 2000). Kacang-kacangan merupakan sumber protein nabati yang baik untuk bayi dan sebagai bahan campurannya digunakan tempe kedelai, kacang tanah, dan tempe koro benguk (Baso, 2007).

(7)

Lemak merupakan sumber energi dengan konsentrasi tinggi. Lemak berfungsi sebagai sumber asam lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, dan K, serta member rasa gurih dan sedap pada makanan. Apabila energi dan protein sudah terpenuhi maka kecukupan gizi lemak yang dianjurkan tidak dicantumkan karena secara langsung kecukupan lemak sudah terpenuhi (Krisnastuti, 2000).

Vitamin yang dibutuhkan terdiri dari vitamin yang larut dalam lemak dan vitamin yang larut dalam air. Vitamin yang larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, sedangkan yang larut dalam air adalah vitamin vitamin C, B1, Riboflavin, Niasin, B6, B12, asam folat, dan vitamin lain yang tergolong vitamin B kompleks (Krisnastuti, 2000). ASI tidak mengandung vitamin D dalam konsentrasi yang dibutuhkan bayi. Vitamin ini secara alami dihasilkan oleh kulit ketika terpapar sinar matahari, dan bila bayi sering berjemur di daerah panas atau matahari beberapa kali seminggu maka kulitnya akan menghasilkan semua vitamin D yang dibutuhkan bayi (Satyanegara, 2004).

Mineral dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Unsur Fe (besi) dan I (iodium) merupakan 2 jenis mineral bayi yang jarang terpenuhi yang mengakibatkan anemia dan gondok. Bayi tidak dilahirkan dengan cadangan zat besi yang memadai yang akan melindungi bayi dari anemia. Jika bayi diberi ASI maka kebutuhan zat besinya dapat terpenuhi sehingga tidak dibutuhkan tambahan. Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan yang mengandung zat besi (sereal, daging, sayuran hijau), yang dapat menjamin pasokan zat besi yang mencukupi untuk

(8)

pertumbuhan yang sehat (Satyanegara, 2004). Jenis mineral lainnya yang dibutuhkan bayi seperti kalsium, fosfor dan seng (Krisnastuti, 2000).

2.2. Pola Pemberian Makanan Tambahan

Air Susu Ibu (ASI) memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi yaitu untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai berumur enam bulan, sesudah itu ASI tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan bayi. Makanan tambahan mulai diberikan umur enam bulan satu hari. Pada usia ini otot dan saraf di dalam mulut bayi cukup berkembang dan mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu ke dalam mulut nya dan berminat terhadap rasa yang baru (Rosidah,2004).

Makanan tambahan yang baik adalah kaya energi, protein, dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C, dan folat), bersih dan aman, tersedia didaerah anda dan harga terjangkau serta mudah disiapkan (Depkes, 2006).

Jumlah zat gizi yang dianjurkan untuk dikonsumsi oleh bayi dapat dilihat pada setiap Recommended Dietary Allowance (RDA) yang telah diestimasikan berdasarkan kelompok usia, seperti tabel berikut:

(9)

Tabel 2.1 Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Anak Indonesia

Standar Berat Badan UMUR

Tinggi Badan dan Kecukupan Zat Gizi

0-6 bulan 7-12 bulan 12-36 bulan Berat badan (kg) 5,5 8,5 12 Tinggi badan (cm) 60 71 90 Energi (Kkal) 560 800 1250 Protein 12 15 23 Vitamin A (RE) 350 350 350 Ribovlavin (mg) 0,3 0,5 0,6 Niasin (mg) 2,5 3,8 5,4 Vitamin B12 (mg) 0,1 0,1 0,5 Asam Folat 22 32 40 Vitamin C (mg) 30 35 40 Kalsium (mg) 600 400 500 Fosfor (mg) 200 250 250 Magnesium (mg) 35 55 75 Besi (mg) 3 5 8 Seng (mg) 3 5 10 Iodium (mg) 50 70 70 Selenium (mg) 10 15 20

Sumber: (Widya Karya Pangan dan Gizi, 2004)

Angka kebutuhan diatas bukanlah suatu kebutuhan minimum dan maksimum, akan tetapi dapat dipakai untuk mengetahui tingkat konsumsi dari suatu populasi. 2.2.1 Risiko /Dampak Pemberian MP-ASI Dini

Risiko pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan berbahaya karena pemberian makanan yang terlalu dini dapat menimbulkan solute

load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality, kenaikkan berat badan yang terlalu

cepat dapat menyebabkan obesitas, alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan yang diberikan pada bayi. Bayi yang mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan pada ginjal bayi yang belum matang,

(10)

dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna atau zat pengawet yang membahayakan dalam penyediaan dan penyimpanan makanan (Pudjiadi, 2000).

Pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan risiko sebagai berikut (Ariani, 2008):

a) Seorang anak belum memerlukan makanan tambahan saat ini, makanan tersebut dapat menggantikan ASI, jika makanan diberikan maka anak akan minum ASI lebih sedikit dan produksi ASI ibu akan lebih sedikit sehingga akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak.

b) Anak mendapat faktor perlindungan dari ASI lebih sedikit sehingga resiko infeksi meningkat.

c) Risiko diare meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI.

d) Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer, bubur nya berkuah dan sup karena mudah dimakan bayi, makanan ini memang membuat lambung penuh tetapi memberikan nutrient sedikit.

e) Ibu mempunyai risiko lebih tinggi untuk hamil lagi.

Pemberian makanan padat terlalu dini sering dihubungkan dengan meningkatnya kandungan lemak dan berat badan pada anak-anak. Makanan tambahan yang diberikan pada bayi cenderung mengandung protein dan lemak tinggi sehingga pada akhirnya akan berdampak pada konsumsi kalori yang tinggi dan mengakibatkan obesitas (Albar, 2007).

(11)

2.2.2 Faktor –faktor yang Memengaruhi Pemberian MP-ASI

Beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan penduduk, sosial ekonomi, begitu pula faktor kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang turun temurun mengenai pemberian MP-ASI pada bayi.

1. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2000), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap subyek tertentu. Pengetahuan ibu adalah faktor yang penting dalam pemberian makanan tambahan pada bayi karena dengan pengetahuan yang baik, ibu tahu kapan waktu pemberian makanan yang tepat. Pengetahuan dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, media cetak media elektronik, atau penyuluhan-penyuluhan. Pengetahuan didukung oleh pendidikan karena pendidikan merupakan suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia meliputi pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan sehingga terjadi perubahan perilaku yang positif.

Ketidaktahuan tentang akibat pemberian makanan pendamping ASI dini dan cara pemberian nya serta kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung maupun tidak langsung menjadi penyebab masalah gizi kurang pada anak, khususnya pada anak dibawah 2 tahun (DepKes, 2000).

2. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian, mengembangkan pengetahuan jasmani dan rohani agar mampu melaksanakan tugas.

(12)

Pendidikan bukan sekedar usaha pemberian informasi dan keterampilan tetapi diperluas ruang lingkup nya sehingga mencakup usaha mewujudkan kehidupan pribadi sosial yang memuaskan. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan maka terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, makin mengerti waktu yang tepat memberikan makanan tambahan bagi bayi serta mengerti dampak yang ditimbulkan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Ibu yang berpendidikan akan memahami informasi dengan baik penjelasan yang diberikan oleh petugas kesehatan, selain itu tidak akan terpengaruh dengan informasi yang tidak jelas.

3. Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan erat dengan pekerjaan dan pendapatan orang tua yang nanti nya bepengaruh terhadap konsumsi energi. Ibu yang bekerja akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, ibu menjadi kurang perhatian dan kurang dekat dengan anak karena sebagian besar waktu siang digunakan untuk bekerja diluar rumah. Selain itu pemberian ASI untuk bayipun semakin berkurang.

Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi akan mempunyai daya beli yang lebih tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersebut mengakibatkan pemilihan jenis makanan dan jumlah makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, termasuk pada pemberian makanan pendamping ASI bagi bayi.

(13)

Pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini bisa terjadi karena orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan diluar rumah dan pengasuhan anak diserahkan kepada orang lain. Banyak sekali orang tua yang memberikan makanan pendamping sebelum usia 6 bulan. Umumnya banyak ibu yang beranggapan bahwa jika anak nya kelaparan diberi makanan akan tidur nyenyak belum lagi anggapan masyarakat seperti orang tua terdahulu bahwa anak mereka dulu yang diberi makanan pada umur 2 bulan sampai sekarang dapat hidup sehat, alasan lain bahwa saat ini gencarnya promosi makanan bayi yang belum mengindahkan ASI eksklusif sampai 6 bulan (Lily, 2005).

2.3. Pola Pemberian Makanan Pada Bayi

Pola makan adalah cara yang ditempuh seseorang/sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial (Suhardjo, 1986).

Menurut Kartini (2006), yang mengutip pendapat Lie goan hong menyatakan pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan cirri khas untuk satu kelompok masyarakat tertentu. Sedangkan menurut baliwati (2004) pola konsumsi makan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

2.3.1 Pola Makan pada Bayi Usia 0-6 Bulan

Tahun pertama khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung

(14)

dengan cepat, tetapi juga pembentukan psikomotor dan akulturasi terjadi dengan cepat. ASI harus merupakan makanan utama pada masa ini. Biasanya makanan tambahan ASI diperlukan pada trimerter ke dua yaitu pada anak setelah berumur enam bulan.

ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, berikanlah ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan (ASI Eksklusif). Kontak fisik dan hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama 30 menit pertama setelah lahir. Pada periode ini ASI saja sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi (Depkes, 2000).

Kolustrum harus segera diberikan kepada bayi ,walaupun jumlah nya sedikit namun sudah memenuhi kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama. Sebaiknya jangan memberikan makanan atau minuman seperti air kelapa, air tajin, air the, madu, pisang, dan lain-lain) pada bayi sebelum diberikan ASI karena sangat membahayakan kesehatan bayi dan mengganggu keberhasilan menyusui.

Pada umumnya bayi yang baru lahir mempunyai jadwal makan yang tidak teratur, bayi bisa makan sebanyak 6-12 kali atau lebih dalam 24 jam tanpa jadwal yang teratur. Menyusui bayi dapat dilakukan setiap 3 jam alasannya karena lambung bayi akan kosong dalam waktu 3 jam sehabis menyusui. Sejalan dengan bertambahnya usia jarak antara waktu menyusui menjadi lebih lama, karena kapasitas lambungnya membesar dan produksi susu ibu meningkat (Steven, 2005).

(15)

Beberapa contoh menu sehat makanan untuk bayi sesuai dengan kebutuhan gizi seperti berikut:

Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Makanan Tambahan Menurut Umur Bayi, Jenis Makanan, dan Frekuensi Pemberian Makanan

Usia Bayi Jenis Makanan Berapa Kali Sehari

0-6 bulan ASI 10-12 kali sehari

6-7 bulan ASI Saat dibutuhkan

Buah lunak/sari buah

Bubur: bubur havermout/bubur tepung beras merah

1-2 kali

7-9 bulan ASI Saat dibutuhkan

Buah-buahan

Hati ayam atau kacang-kacangan Beras merah atau ubi

Sayuran (wortel, bayam) Minyak/santan/advokad Air tajin

3-4 kali

9-12 bulan ASI Saat dibutuhkan

Buah-buahan Bubur/roti Daging/kacang-kacangan/ayam/ikan Beras merah/kentang/labu/jagung Kacang tanah Minyak/santan/avokad Sari buah tanpa gula

4-6 kali

12-24 bulan ASI Saat dibutuhkan

Makanan pada umumnya, termasuk telur dengan kuning telurnya dan jeruk

4-6 kali

(16)

Tabel 2.3 Jadwal Pemberian Makanan Tambahan pada Bayi (Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia /IDAI)

0-6 bulan 6-7 bulan 7-9 bulan 9-12 bulan > 12 bulan Pukul

06.00

ASI on demand

ASI ASI/PASI ASI/PASI ASI/PASI

Pukul 08.00 (makan pagi) ASI on demand

Bubur susu Bubur

menuju nasi tim Nasi tim menuju makanan keluarga Makanan keluarga Pukul 10.00 ASI on demand Buah segar/biskuit Buah segar/biskuit Buah segar/biskuit Snack Pukul 12.00 (makan siang) ASI on demand ASI Bubur menuju nasi tim Nasi tim menuju makanan keluarga Makanan keluarga Pukul 14.00 ASI on demand

ASI ASI/PASI ASI/PASI

Pukul 16.00 ASI on demand Buah segar/biskuit Buah segar/biskuit Buah segar/biskuit Snack Pukul 18.00 ASI on demand

Bubur susu Bubur

menuju nasi tim Nasi tim menuju makanan keluarga Makanan keluarga Pukul 21.00 ASI on demand

ASI ASI/PASI ASI/PASI ASI/PASI

Sumber: Sembiring T, dkk (2009)

2.3.2 Pola Makan pada Bayi Usia 6-12 Bulan (ASI dan MP-ASI)

Seorang bayi untuk tumbuh dan menjadi lebih aktif, gizi nya tidak cukup hanya dengan asupan ASI saja, karena ASI hanya mampu mencukupi kebutuhan bayi

(17)

sampai umur 6 bulan. Setelah itu produksi ASI semakin berkurang sedangkan kebutuhan bayi semakin meningkat seiring bertambah umur dan berat badannya.

Makanan tambahan yang baik adalah kaya energi, protein, dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan folat), bersih dan aman, tidak terlalu pedas atau asin, mudah dimakan oleh anak, disukai anak, harga terjangkau dan mudah disiapkan (Depkes RI, 2006).

Walaupun bayi telah diperkenalkan dengan makanan tambahan sebagai tahap awal, perkenalkan dengan bubur dan sari buah dua kali sehari sebanyak 1-2 sendok makan penuh. Frekuensi pemberian bubur ini, lambat laun harus ditingkatkan. Menginjak umur 7-9 bulan porsi kebutuhannya dapat ditingkatkan yaitu sebanyak 3-6 sendok penuh tiap kali makan, paling tidak empat kali sehari keadaan bubur harus tetap disaring, apabila bayi masih tampak lapar dapat diberi makanan kecil misalnya roti kering, pisang. Pada umur 9 bulan berikan bubur yang tidak disaring atau nasi tim yang dibuat dari bahan makanan bergizi tinggi (WHO, 2004).

Menginjak usia 10-12 bulan bayi sudah dapat diberi bubur yang dicacah untuk mempermudah proses penelanan. Setelah berumur satu tahun bayi mulai mengenal makanan yang dimakan oleh seluruh anggota keluarga. Seorang bayi harus makan 4-5 kali sehari. Makanan anak harus terdiri dari makanan pokok, kacang-kacangan, pangan hewani, minyak, santan atau lemak, buah-buahan (Krisnatuti, 2006).

(18)

Tabel 2.4 Makanan Tambahan Anak Usia 6 – 24 bulan

6 – 8 bulan 8 – 9 bulan 9 – 12 bulan 12– 24 bulan Jenis 1 jenis bahan

dasar (6 bulan) 2 jenis bahan dasar (7 bulan) 2-3 jenis bahan dasar (sajikan secara terpisah atau dicampur) 3-4 jenis bahan dasar (sajikan secara terpisah atau dicampur) Makanan keluarga (tanpa garam,gula,pen yedap, hindari santan dan gorengan) Tekstur Semi-cair (dihaluskan atau puree), secara bertahap kurangi campuran air sehingga menjadi semi padat Lunak (disaring) dan potongan makanan yang dapat digenggam dan mudah larut Kasar (dicincang) makanan yang dipotong dan dapat di genggam Padat

Frekuensi Makanan Utama: 1-2x/hari Camilan: 1 x/hari Makanan Utama: 2-3x/hari Camilan: 1 x/hari Makanan Utama: 3x/hari Camilan: 2x/hari Makanan Utama: 3-4x/hari Camilan: 2x/hari Porsi 1-2 st, secara bertahap ditambahkan 2-3 sm makanan semi padat. Potongan makanan seukuran sekali gigit 3-4 sm makanan semi padat yang kasar. Potongan makanan ukuran kecil/sekali gigit 5 sm makanan atau lebih

ASI Sesuka bayi Sesuka bayi Sesuka bayi Sesuka bayi Susu dan produk susu olahan - Belum boleh susu sapi ½ slice keju cheddar ¼ cangkir yogurt untuk bayi Belum boleh susu sapi ½ slice keju cheddar ¼ cangkir yogurt untuk bayi 1-2 porsi susu sapi atau produk susu olahan Sumber: Safitri, 2007

(19)

2.4. Status Gizi Bayi

Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologis akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Sehingga status gizi dapat diartikan sebagai ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa dkk, 2002).

Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh yang disebabkan konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan jenis yang dikonsumsi dan penggunaan nya dalam tubuh. Apabila konsumsi makanan dalam tubuh terganggu dapat mengakibatkan status gizi jelek dan biasanya disebut kurang gizi (Almatsier, 2004).

2.4.1 Penilaian Status Gizi pada Anak

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia (Arisman, 2006)

Menurut Supariasa dkk (2001), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung.

(20)

1. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu : 1. Secara antropometri : dengan mengukur berat badan, tinggi badan, atau mengukur

bagian tubuh seperti lingkar atas, lingkar kepala, tebal lapisan lemak dan lain-lain. 2. Secara klinis : dengan pemeriksaan keadaan jasmani oleh dokter atau orang yang sudah terlatih. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal tersebut dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

3. Secara biokimia : dengan pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: urine, tinja, darah, beberapa jaringan tubuh lain seperti hati dan otot. 4. Secara biofisik : dengan melihat kemampuan fungsi (khusus nya jaringan) dan

melihat perubahan struktur dari jaringan. 2. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi 3 penilaian yaitu : 1. Survei konsumsi makanan: Adalah suatu metode penentuan status gizi secara

tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Kesalahan dalam survei makanan bisa disebabkan oleh perkiraan yang tidak tepat dalam menentukan jumlah makanan yang dikonsumsi balita, kecenderungan untuk mengurangi makanan yang banyak dikonsumsi dan menambah makanan

(21)

yang bernilai sosial tinggi, keinginan melaporkan konsumsi vitamin dan mineral tambahan kesalahan dalam mencatat (food record).

2. Statistik vital: Adalah dengan cara menganalisa data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

3. Faktor Ekologi: malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dll. 2.4.2. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Antropometri telah lama dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya memerlukan latihan yang sederhana (Depkes, 2000).

Selain itu pengukuran antropometri memiliki metode yang tepat, akurat karena mempunyai ambang batas dan rujukan yang pasti, pengukuran antropometri juga mempunyai prsedur yang sederhana dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar (Supariasa, 2002)

Indeks yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), Tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

(22)

1. Berat badan menurut umur (BB/U)

Berat badan adalah satu parameter yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, atau menurunnya makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil, oleh sebab itu indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.

2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks TB/U disamping menggambarkan status gizi masa lalu, juga erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.

3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB adalah indeks yang independen terhadap umur.

Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitif/peka dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan

(23)

BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi kurus/wasting < -2SD diatas 10% menunjukkan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan.

Tabel 2.5 Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks BB/U, TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometri Menurut WHO 2005

No Indeks yang

dipakai Status Gizi Keterangan

1 BB/U Berat Badan Normal Berat Badan Kurang

Berat Badan Sangat Kurang

Zscore ≥ -2 sampai 1 Zscore < -2 sampai -3 Zscore < -3 2 TB/U Normal Pendek Sangat Pendek Zscore ≥ -2 sampai 3 Zscore < -2 sampai -3 Zscore < -3 3 BB/TB Sangat gemuk Gemuk Resiko gemuk Normal Kurus Sangat kurus Zscore > 3 Zscore >2 sampai 3 Zscore >1 sampai 2 Zscore ≥ -2 sampai 1 Zscore < -2 sampai -3 Zscore < -3

Sumber : Interpretasi Indikator Pertumbuhan Depkes 2008

2.4.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi Pada Bayi

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2001).

Ada dua faktor yang berperan dalam menentukan stautus gizi seseorang yaitu (Apriadji (1986) :

(24)

1. Faktor Gizi Internal

Faktor gizi internal adalah faktor-faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang, yaitu nilai cerna makanan, status kesehatan, status fisiologis, kegiatan, umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh. Secara langsung status gizi dipengaruhi oleh asupan gizi dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Kedua penyebab langsung ini sangat terkait dengan pola asuh anak yang diberikan oleh ibu/pengasuh nya. Dan penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, Pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait dengan pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga (Dinkes Sumatera Utara, 2010)

2. Faktor Gizi Eksternal

Faktor gizi eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh diluar diri seseorang, yaitu daya beli keluarga, latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, jumlah anggota keluarga dan kebersihan lingkungan.

2.5. Pola Makan dan Status Gizi

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang akan digunakan secara efesien, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal (Roesli, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian Munawaroh (2006) di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa Balita dengan pola makan yang tidak baik mempunyai resiko untuk mengalami status gizi kurang 8,1 kali lebih besar dari pada balita dengan pola makan yang baik.

(25)

Menurut Manalu (2008) penelitian di Desa Palip Kecamatan Silima Pungga-pungga Kabupaten Dairi. pada pengelompokan anak menurut pola makan diketahui bahwa anak yang memiliki pola makan yang baik maka status gizi nya baik sebanyak (86%), dan anak yang memiliki pola makan tidak baik tetapi ststus gizi nya baik sebanyak (13,6%), sedangkan anak yang memiliki pola pola makan baik tetapi status gizi nya tidak baik ada sebanyak (42,1%) dan anak yang memiliki pola makan tidak baik dan status gizinya juga tidak baik ada sebesar (57,9%). Analisa statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pola makan dengan status gizi anak (p<0,05).

Berdasarkan hasil penelitian Mahlia Y (2009) di Kecamatan Pangkalan Susu Langkat terlihat bahwa pola asuh makan menurut waktu pertama kali pemberian MP-ASI ternyata pertumbuhan bayi yang tergolong tidak normal lebih banyak pada bayi yang di beri MP-ASI kurang dari 6 bulan (85,5%). Dari hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara waktu pertama kali pemberian MP-ASI terhadap pertumbuhan bayi.

2.6. Landasan Teori

Menurut WHO, terjadinya kekurangan gizi dalam hal ini gizi kurang dan gizi buruk lebih di pengaruhi oleh beberapa faktor yakni, penyakit infeksi dan asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian kekurangan gizi, pola asuh serta pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kekurangan gizi.

(26)

Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah di perkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara international, yang meliputi beberapa tahapan penyebab

timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung dan tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Berdasarkan Soekirman dalam materi

Aksi Pangan dan Gizi nasional (Depkes RI, 2000), penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian pula anak yang makannya tidak cukup cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataan nya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola asuh, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutu nya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.

(27)

Status gizi anak balita dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Unicef (1998), penyebab kurang gizi pada anak balita sebagaimana terlihat pada gambar 2.1.

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Gambar 2.1. Penyebab Kurang Gizi pada Anak (Unicef, 1998)

Makanan tidak seimbang Infeksi

Tidak cukup Persediaan pangan

Sanitasi dan air bersih/pelayanan kesehatan dasar tidak memadai Kurang pendidikan Pengetahuan dan ketrampilan Penyebab langsung Kurang Gizi Dampak

Pola asuh anak tidak memadai

Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang

pemanfaatan sumberdaya Krisis Ekonomi, Politik, dan Penyebab tidak langsung Akar masalah Pokok masalah di masyarakat

(28)

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian serta tinjauan pustaka di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Pola Pemberian MP-ASI

- Jenis Makanan Tambahan - Jumlah Energi

Protein

- Frekuensi Makan - Usia Pertama kali

diberi Makanan Tambahan

Status Gizi Bayi

Gambar

Gambar 2.1. Penyebab Kurang Gizi pada Anak (Unicef, 1998)
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Pola Pemberian MP-ASI

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja aparat pemerintah daerah dengan komitmen organisasi, budaya

Maraknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia menimbulkan suatu permasalahan antara lain, bagaimana peranan tokoh adat sebagai mediator sosial dalam menyelesaikan konflik

Telah dilakukan penelitian tentang pandangan guru terhadap pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran Fisika SMK di kota Surabaya Tujuan penelitian adalah untuk menjaring

[r]

Strategi yang dilakukan untuk sukses dan tetap eksis yaitu dengan melakukan peningkatan mutu secara berkelanjutan untuk berlomba memberikan pelayanan pendidikan

Terkadang dalam sebuah jurnal yang mendapatkan rating rendah (pada bagian lain di bab ini akan diperkenalkan istilah impact factor ), terdapat satu atau dua paper yang

The physical connection and wiring architecture for the B95 Plus system will be identical for any bus configuration: Bricks installed to acquire measurements and equipment

3) Hasil evaluasi per matakuliah dinyatakan dengan nilai huruf yang merupakan hasil konversi dari nilai angka luaran agregasi dari komponen-komponen penilaian. 4) Hasil