BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemodialisa merupakan salah satu metode pengobatan gagal ginjal tahap akhir yang dianggap dapat menyelamatkan jiwa pasien (Alikari et al., 2015). Data penyakit Gagal Ginjal Kronik stadium 5 sangat beragam sesuai dengan keadaan Negara. Amerika Serikat insiden terjadinya Gagal Ginjal Kronik berjumlah 338 kasus baru persejuta orang. Menurut US Renal Data System (Sistem data ginjal AS), pada tahun 2003 total 441.051 orang dirawat dengan Gagal Ginjal Kronik; 28% melakukan transplantasi, 67% hemodialisa, dan 5% dialysis (Black & Hawks, 2014).
Indonesia termasuk Negara dengan tingkat penderita gagal ginjal kronik yang cukup tinggi. Menurut Indonesian Renal Registry pada tahun 2007 jumlah pasien aktif hemodialisa berjumlah 1885 jiwa sedangkan pada tahun 2013 jumlah pasien aktif hemodialisa meningkat sebanyak 9396 jiwa. Jumlah pasien baru yang menjalankan hemodialisa ditahun 2007 berjumlah 4977 jiwa dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 15.128 jiwa. Jumlah Pasien Hemodialisa di wilayah Medan/Sumatra Utara pada tahun 2013 berjumlah 312 jiwa dengan katagori pasien baru sedangkan pasien aktif 535 jiwa.
Data yang diperoleh dari RSUD dr. Pirngadi Medan tahun 2012 berjumlah 126 orang, tahun 2013 berjumlah 184 orang dan diperkirakan meningkat setiap tahunnya (RSUD dr.Pirngadi, 2012).
Jumlah pasien yang menjalankan hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa pada tahun 2015 berjumlah 5760 orang. Sedangkan yang menjalankan hemodialisa rutin/regular saat ini berjumlah 88 orang. (Rekam Medik RSUD Langsa)
Kemajuan dalam metode pengobatan ini memiliki efek pada psikososial dan spiritual (Kallenbach et al, 2005; Daugirdas, Blake, & Ing, 2001). Dampak psikologi & spiritual sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup klien karena berhubungan dengan status kesehatan fisik, masalah tidur dan kecemasan (Unruh, Welsbord & Kimmel, 2005). Dampak sosial dan ekonomi terlihat dari frekuensi hemodialisa yang dilakukan 2-3 kali dalam seminggu selama 4-5 jam sepanjang hidupnya (suwitra, 2006; Smeltzer, 2008). Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kali proses cuci darah (setidaknya memerlukan Rp 500.000 per terapi) hal ini sangat membebani penderita yang memiliki ekonomi menengah. Ketergantungan pada mesin hemodialisa juga membuat aktivitas penderita menjadi terbatas. (Medicine & Health, 2013)
Pasien gagal ginjal kronik yang menjalankan therapy dialysis yang mengalami beberapa efek samping dari Psikososial dan spiritual memutuskan untuk menghentikan therapy dialysis yang dijalankan, hal ini menunjukkan mereka memiliki beban psikologis yang berarti, salah
satunya adalah Gangguan tidur dimana ini masalah umum pada pasien gagal ginjal kronik dan memiliki angka prevalensi 44% (20-83%), (Khalili, Hooshmand, Jahani & Shariati, 2012)
Gangguan tidur pada pasien hemodialisis mempengaruhi kualitas tidur dari segi tercapainya jumlah atau lamanya tidur. Orang dengan gangguan tidur bisa dipopulasi beresiko tinggi rentan terhadap kecelakaan, oleh karena itu manajemen yang baik dari gangguan pasien gagal ginjal kronik adalah penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas, (Khalili, Hooshmand, Jahani & Shariati, 2012)
Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua orang (Potter & Perry, 2006).
Gangguan tidur dialami oleh setidaknya 50-80% pasien yang menjalani hemodialisis (Merlino, et al, 2006; Kosmadakis & Medcalf, 2008). Sabry, dkk (2010) dalam penelitiannya mengenai Sleep disorders in haemodialysis patient menjelaskan bahwa prevalensi gangguan tidur pada 88 pasien hemodialisis kronis selama 4 bulan adalah 79,5%, dan gangguan tidur yang paling umum adalah insomnia (65,9%), diikuti oleh RLS/Restless Leg Syndrom (42%), obstructive sleep apnea syndrome /OSAS (31,8%), mendengkur (27,3%), excessive daytime sleepiness/ EDS (27,3%), narkolepsi (15,9 %), dan tidur berjalan (3,4%). Insomnia berkorelasi dengan anemia, kecemasan, depresi dan RLS. RLS berkorelasi
dengan hipoalbuminemia, anemia, hiperfosfatemia. EDS berkorelasi dengan OSAS, mendengkur, dan kekhawatiran sosial.
Saber, Naghizadeh dan Azari (2012) dalam penelitiannya menjelaskan qualitas tidur pasien dialysis dari 45 orang (73,8%) yang mengalami kualitas tidur yang buruk melalui penilaian PSQI dengan score >5. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kualitas tidur berdasarkan jenis kelamin dan usia dengan nilai p< 0.05.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada 7 pasien yang sedang menjalani hemodialisa didapatkan data 5 diantaranya menyatakan susah untuk memulai tidur, sering terbangun ditengah malam dan 2 lainnya tidak mengalami gangguan tidur. Peneliti juga mewawancara perawat diruang Hemodialisa dan mereka mengatakan 80% pasien hemodialisa mengeluhkan gangguan tidur.
Gangguan tidur dalam penanganan pasien hemodialisa terdapat dua cara yang dapat digunakan, yaitu secara farmakologis dengan menggunakan obat-obatan dan secara non farnakologis dengan cara penggunaan homeopathy, hipnotherapy, relaksasi, akupresur, yoga, dan massage atau pemijatan (Danuatmaja & Meliasari, 2008). Metode non farmakologi mempunyai efek noninvasif, sederhana, efektif, dan tanpa efek yang membahayakan dibandingkan metode farmakologi.
Back Massage adalah salah satu tehnik memberikan tindakan massage pada punggung dengan usapan secara perlahan (Kenworthy et al, 2002). Nilai terapeutik dari masase punggung termasuk mengurangi
ketegangan otot, meningkatkan sirkulasi darah dan kelenjar getah bening, melepaskan respon saraf, melepaskan bahan kimia tubuh sehingga terjadi respon relaksasi fisik dan psikologis (Kusyati, 2006). Salah satu manfaat langsung dari pijat punggung adalah relaksasi menyeluruh dan ketenangan, yang dapat memberikan kenyamanan saat tidur (Ayu, 2009)
Penelitian Anjum dan Shinde (2014) yang berjudul efektifitas therapy slow back massage terhadap kualitas tidur pasien yang dirawat di ICU menjelaskan bahwasanya terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kualitas tidur pasien yang dirawat diruang ICU sebelum dan sesudah dilakukan therapy back massage.
Terapi komplementer lain yang dapat dipelajari dan direkomendasi oleh perawat komunitas untuk gangguan tidur adalah akupresur (Hung & Chen, 2011). Akupresur adalah cara pengobatan yang berasal dari Cina, yang biasa disebut dengan pijat akupunktur yaitu metode pemijatan pada titik akupunktur (acupoint) di tubuh manusia tanpa menggunakan jarum (Sukanta, 2008). akupresur merupakan terapi yang sederhana, mudah dilakukan, tidak memiliki efek samping karena tidak melakukan tindakan invasif (Fengge, 2012). Prinsip healing touch pada akupresur menunjukan prilaku caring yang dapat memberikan ketenangan, kenyamanan, rasa dicintai dan diperhatikan bagi klien sehingga lebih mendekatkan hubungan terapeutik perawat dan klien (Metha, 2007). Titik akupresur terletak di seluruh tubuh, dekat dengan permukaan kulit dan terhubung satu sama lain melalui jaringan yang komplek dari meridian. Pada titik-titik akupresur
terdapat lebih dari seribu saraf kecil dengan diameter kurang lebih satu sentimeter, dengan kedalaman yang bervariasi antara seperempat hingga beberapa inci dari permukaan kulit. Setiap titik akupresur tersebut mempunyai efek khusus pada organ dan sistem tubuh tertentu (Sukanta, 2008; Fengge 2012; Hartono, 2012).
Titik-titik akupresur akan berpengaruh pada perubahan fisiologis tubuh serta dapat mempengaruhi keadaan mental seseorang karena secara fisiologis penekanan pada titik akupresur seperti pada titik meridian jantung 7 (shenmen) akan menstimulus peningkatan pengeluaran serotonin. Serotonin akan berperan sebagai neurotransmiter yang membawa signal keotak untuk mengaktifkan kelenjar pineal memproduksi hormone melatonin. Kemudian hormone melatonin ini akan mempengaruhi suprachiasmatic nucleus (SCN) dihipotalamus anterior otak dalam pengaturan ritme sirkandian sehingga terjadi penurunan sleep latency, nocturnal awakening dan peningkatan total sleep time dan kualitas tidur (Iswari & Wahyuni, 2013).
Shariati, Jahani, Hooshmand dan Khalili (2012) pada penelitiannya efek akupresure pada qualitas tidur pasien hemodialisa yang hasilnya terdapat perbedaan yang signifikan antara pasien akupresur group dan akupresur kontrol setelah dilakukan penilaian dengan score PSQI p<0.001. Berdasarkan penjelasan dan data diatas peneliti ingin mengidentifikasi tindakan non farmakologi pada pasien hemodialisa yang
mengalami gangguan tidur dengan teknik back massage dan akupresur di wilayah kota Langsa
1.2 Rumusan Masalah
Hemodialisis merupakan salah satu terapi ginjal pengganti yang paling umum dijalani oleh pasien CKD. Tingginya insiden dan prevalensi CKD baik di negara-negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia menjadi masalah baik medik, ekonomik dan sosial bagi pasien, keluarga maupun beban negara. Ketika seseorang memulai terapi ginjal pengganti (hemodialisis) maka ketika itulah pasien harus merubah seluruh aspek kehidupannya dalam jangka waktu yang lama, bahkan untuk seumur hidupnya. Salah satunya yang berubah juga kualitas tidur dimana ini masalah umum pada pasien gagal ginjal kronik dan memiliki angka prevalensi 44% (20-83%), (Khalili, Hooshmand, Jahani & Shariati, 2012).
Kondisi seperti ini ditemui pada pasien yang menjalankan hemodialisa di RSUD Langsa. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian apakah ada perbedaan terapi back massage dan Akupresur terhadap kualitas tidur pasien hemodialisa di RSUD Langsa.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan terapi back massage dan Akupresur terhadap kualitas tidur pasien hemodialisa.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi kualitas tidur sebelum dan sesudah dilakukan terapi back massage pada pasien hemodialisa
1.3.2.2 Mengidenfitikasi kualitas tidur sebelum dan sesudah dilakukan akupresur pada pasien hemodialisa
1.3.2.3 Mengidenfitikasi perbedaan kualitas tidur sebelum dan sesudah dilakukan terapi back massage dan akupresur pada pasien hemodialisa
1.4 Hipotesa Penelitian
Ada perbedaan terapi back massage dan akupresur terhadap kualitas tidur pasien hemodialisa.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan mengenai pengaruh terapi back massage dan Akupresur terhadap kualitas tidur pasien hemodialisa.
1.5.2 Manfaat aplikatif 1.5.2.1 Bagi Pasien
Memberikan terapi back massage dan Akupresur sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tidur pasien hemodialisa.
1.5.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Terapi back massage dan Akupresur dapat menjadi alternatif upaya untuk meningkatkan kualitas tidur pasien hemodialisa.
1.5.3 Bagi Instansi Kesehatan
Memberikan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengurangi gangguan fisik dan psikologis pada pasien hemodialisa, khususnya dengan meningkatkan kualitas tidur yang akan membantu proses pemulihan.
1.5.4 Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan informasi dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan terapi back massage dan Akupresur sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tidur pasien hemodialisa.