• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITI LADA PUTIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITI LADA PUTIH"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Oleh: SUDARLIN

A14105609

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

SUDARLIN. Analisis Daya Saing Pengusahaan Komoditi Lada Putih (Muntok White Pepper) (Kasus di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Di Bawah Bimbingan NETTI TINAPRILLA.

Pengembangan usaha perkebunan merupakan bagian dari pembangunan pertanian, dikembangkan searah dengan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing tinggi, berkerakyatan, berkeadilan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Salah satu pengembangan usaha agribisnis perkebunan di Indonesia adalah usaha agribisnis perkebunan lada. Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian disamping komoditas perkebunan lainnya, baik sebagai sumber devisa maupun sumber mata pencaharian rakyat.

Volume dan nilai ekspor lada Indonesia setiap tahunnya mengalami fluktuasi, baik untuk lada hitam maupun lada putih. Khusus untuk ekspor lada putih dalam perkembangannya pada akhir-akhir ini ada tendensi terjadi penurunan volume dan nilai ekspor. Volume ekspor lada putih Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir (2002-2006) telah terjadi penurunan rata-rata sebesar 16,8 persen/tahun, sedangkan nilai ekspornya juga mengalami penurunan yaitu rata-rata 3,6 persen/tahun.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan penghasil dan pengekspor utama komoditi lada putih di Indonesia dengan potensi Rp 129 miliar /tahun. Kontribusi Bangka Belitung terhadap volume ekspor lada putih Indonesia sangat dominan sekali yakni sebesar 80 persen. Beberapa daerah yang menjadi pusat penyebaran tanaman lada di Bangka Belitung diantaranya Kabupaten Bangka Selatan. Kabupaten ini memiliki produksi tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya dengan tingkat produksi sebesar 4.955,28 ton/tahun dan produktivitas sebesar 0,81 ton/tahun. Berdasarkan potensi pengembangan komoditi lada putih di Kabupaten Bangka Selatan, terdapat beberapa daerah yang menjadi sentra produksi antara lain Kecamatan Airgegas dengan luas areal sebesar 5.716 hektar dan Kecamatan Payung yang memiliki luas areal 3.088 hektar serta Kecamatan Toboali dengan luas areal 2.328 hektar.

Hambatan yang dihadapi petani lada putih di Bangka Belitung dalam mengusahakan komoditi ini adalah pengelolaan perkebunan lada yang masih diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat (bersifat tradisional), teknik budidaya yang belum intensif, terjadinya peralihan fungsi lahan perkebunan (konversi) dan kurangnya dukungan terhadap infrastruktur dan modal. Kecamatan Airgegas adalah sentra produksi lada putih terbesar di Kabupaten Bangka Selatan yang mempunyai potensi dan perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangannya. Pengusahaan komoditi lada putih di kecamatan ini masih banyak dihadapkan pada berbagai permasalahan baik dari sisi pengelolaan maupun rendahnya mutu yang dihasilkan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis 1) Daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) terhadap pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas, 2) Dampak kebijakan terhadap output dan input

(3)

Provinsi Bangka Belitung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produksi lada putih di Bangka Belitung. Selain itu, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani lada yang diyakini mengetahui secara jelas teknik pengusahaannya. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2007. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas, sedangkan data diolah dengan perangkat lunak (software) Microsoft Excel dan Kalkulator.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas baik secara finansial maupun ekonomi sangat menguntungkan dengan nilai keuntungan privat dan sosial masing-masing lebih besar dari nol (positif) untuk setiap tahun produksi. Selain itu, pengusahaan komoditi tersebut juga memiliki daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai PCR dan DRCR kurang dari satu untuk masing-masing tahun produksi. Keunggulan kompetitif dan komparatif tertinggi tercapai pada tahun ke-4 dengan nilai PCR dan DRCR yaitu sebesar 0,22 dan 0,18. Hal ini menandakan bahwa pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas layak untuk dijalankan dan dikembangkan baik tanpa atau dengan adanya kebijakan pemerintah.

Dampak kebijakan terhadap output ditunjukkan oleh nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO), dengan nilai NPCO untuk masing-masing tahun produksi sama yakni kurang dari satu (NPCO < 1) sebesar 0,96. Artinya petani menerima harga lebih murah dari harga dunia, dimana harga jual lada putih di tingkat petani 4 persen lebih murah dari harga output yang seharusnya di terima. Sementara dampak kebijakan terhadap input dapat diidentifikasi dari nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dengan nilai NPCI untuk setiap tahun produksinya kurang dari satu (NPCI < 1) yakni antara 0,77 sampai 0,81. Hal ini berarti bahwa harga input produksi yang dibayar petani lada lebih rendah 19 sampai 23 persen dari harga dunia terutama pada input pupuk.

Kebijakan terhadap output dan input tradable apakah bersifat menghambat atau melindungi produksi lada putih domestik dapat dijelaskan dari nilai EPC. Hasil analisis memperlihatkan nilai EPC kurang dari satu (EPC < 1) untuk setiap tahun produksinya yakni sebesar 0,96 sampai 0,98. Nilai tersebut menunjukkan bahwa petani lada cenderung membayar harga input tradable dan menjual harga output tidak sesuai dengan harga yang seharusnya (harga sosial). Kondisi ini membuktikan bahwa secara simultan kebijakan pemerintah terhadap output – input tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada untuk berproduksi.

Berdasarkan analisis sensitivitas dengan perubahan tiga variabel yakni penurunan harga output sebesar 35 persen, peningkatan harga input pupuk dan harga sewa lahan masing-masing sebesar 15 persen dan 75 persen menunjukkan bahwa pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas memiliki daya saing dan layak untuk diusahakan. Penurunan harga output sebesar 35 persen lebih sensitif terhadap melemahnya tingkat daya saing pengusahaan komoditi lada putih.

(4)

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh: SUDARLIN

A14105609

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

(Kasus di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Nama : Sudarlin NRP : A14105609

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Netti Tinaprilla, MM NIP. 132 133 965

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITI LADA PUTIH (MUNTOK WHITE PEPPER) KASUS DI KECAMATAN AIRGEGAS, KABUPATEN BANGKA SELATAN, PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN – BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2008

SUDARLIN A14105609

(7)

Penulis dilahirkan di Desa Bencah, Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan (Bangka Belitung) pada tanggal 20 Maret 1984 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara yang berasal dari keluarga Bapak Munir dan Ibu Kartini.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 224 Bencah pada tahun 1996, SLTP Negeri 3 Toboali pada tahun 1999 dan SMU Negeri 1 Pangkalpinang pada tahun 2002.

Sejak tahun 2002, penulis tercatat sebagai mahasiswa D3 Agribisnis Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 2005. Pada akhir tahun 2005 diterima menjadi mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(8)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillahirabbill alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya dengan judul Analisis Daya Saing Pengusahaan Komoditi Lada Putih (Muntok White Pepper) Kasus di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung .

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, itu semua karena kealfaan dan kedloifan penulis, kebenaran datangnya hanya dari Allah SWT. Saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi para pembaca pada umumnya, Amin.

Bogor, Mei 2008

(9)

Di antara sekian banyak orang yang begitu memberikan andil dalam penulisan skripsi ini, saya beruntung berjumpa dengan orang-orang baik yang bersedia membagi waktu dan pengetahuannya. Bagaimana mereka membimbing saya melewati hari-hari sebagai mahasiswa dan manusia biasa dalam liku-liku perpustakaan dan dalam arti kehidupan itu sendiri. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang seyogianya ditujukan kepada:

1. Bapak dan Mak yang selalu memberiku dukungan, doa dan semangatnya baik moril maupun materi, juga ucapan terima kasih kepada Ayuk Ira, adik-adikku dan segenap keluarga di Bangka.

2. Dr. Ir. H. Sri Hartoyo, MS atas bimbingan dan masukan selama proses penyusunan skripsi.

3. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen pembimbing yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Tanti Novianti, SP, MSi selaku dosen evaluator kolokium yang telah memberikan masukan terhadap proposal penelitian.

5. Muhammad Firdaus, SP, MSi, PhD selaku dosen penguji utama yang memberikan banyak masukan untuk perbaikan pada skripsi ini.

6. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen penguji komisi pendidikan (komdik) atas masukan dan saran-sarannya.

7. Muhammad Erfan, selaku pembahas pada seminar hasil penelitian yang telah memberikan masukan atas skripsi ini.

(10)

primer.

9. M. Yusuf, SP selaku Kepala Bagian (KABAG) Produksi dan Hotrikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bangka Selatan atas bantuan penyediaan datanya.

10. Seluruh staf dan pengajar Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis atas pelayanan dan transfer ilmunya.

11. Tonies mantan Ketua Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) Cabang Pangkalpinang atas bantuan informasinya.

12. Adek Lili dan Mamak atas doa dan motivasi (semangat) yang tiada hentinya. 13. Ikhwana di Keluarga Muslim (KAMUS) Ekstensi Rudi, Bona, Topan, Restu,

Kiki, Ndah, Rohela dan Halimatus atas doa dan motivasinya.

14. Teman-teman dari MANAGRIS 2002 UNPAD Eko R. Priyadi, Nanang Nurhayudi, Nisa Sofiani, Ebrinedy dan Iwan Jumaidi atas dukungan dan semangatnya.

15. Teman-teman seperjuangan Baim, Pak Riki, Darsono, Fajar, Bang Denni, Dedi, Ubay, Jam’an, Wawan dan lain-lainnnya yang pada kesempatan ini tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu yang telah turut serta membantu demi selesainya skripsi ini.

16. Rekan-rekan mahasiswa/i Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis khususnya angkatan 13 dan 14 tetap semangat dan terus berjuang.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 9 1.4. Manfaat Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Sejarah dan Gambaran Umum Komoditi Lada ... 10

2.2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Perdagangan Lada ... 13

2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input ... 13

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 14

2.4.1. Studi Tentang Komoditi Lada ... 14

2.4.2. Studi Tentang Daya Saing ... 15

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 19

3.1. Kerangka Teoritis ... 19

3.1.1. Keunggulan Komparatif ... 20

3.1.2. Keunggulan Kompetitif ... 22

3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 23

3.2.1. Kebijakan Terhadap Output ... 23

3.2.2. Kebijakan Terhadap Input ... 24

3.2.2.1. Kebijakan Terhadap Input Tradable ... 25

3.2.2.2. Kebijakan Terhadap Input Non Tradable ... 26

3.3. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) ... 27

3.4. Analisis Sensitivitas... 33

3.5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 34

IV. METODE PENELITIAN... 37

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 37

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 37

4.4. Analisis Data ... 38

4.5. Metode Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing ... 39

4.6. Alokasi Biaya Tataniaga ... 40

4.7. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output ... 41

4.7.1. Harga Bayangan Output ... 41

4.7.2. Harga Bayangan Input ... 42

(12)

5.2. Mekanisme Pemasaran Komoditi Lada Putih di Kecamatan

Airgegas ... 50

5.3. Karakteristik Petani Responden ... 52

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

6.1. Kondisi Usahatani Perkebunan Lada di Kecamatan Airgegas... 54

6.2. Komponen Biaya dan Penerimaan Pada Pengusahaan Komoditi Lada Putih ... 58

6.3. Analisis Daya Saing Pengusahaan Komoditi Lada Putih ... 59

6.3.1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial ... 57

6.3.2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif ... 62

6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 65

6.4. Analisis Sensitivitas Terhadap Daya Saing Pengusahaan Komoditi Lada Putih ... 67

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 70

7.1. Kesimpulan ... 70

7.2. Rekomendasi ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(13)

Nomor Teks Halaman 1. Neraca dan Jumlah Produksi Lada Dunia, Tahun 2002-2006 (Ton) ... 2 2. Perkembangan Ekspor Lada Putih Bangka Belitung dan Indonesia,

Tahun 2002-2006 ... 4 3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada Bangka Belitung dan

Indonesia, Tahun 2002-2006 ... 4 4. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ... 18 5. Martik Analisis Kebijakan (PAM) ... 28 6. Jumlah dan Luas Desa/Kelurahan di Kecamatan Airgegas, Tahun 2006 .. 49 7. Karakteristik Petani Responden Pengusahaan Komoditi Lada Putih di

Kecamatan Airgegas, Tahun 2007 ... 52 8. Input-Output Lada Putih Menurut Umur Berdasarkan Harga Privat/

Finansial di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

Tahun 2006/2007 (Rp/Ha) ... 56 9. Input-Output Lada Putih Menurut Umur Berdasarkan Harga Sosial/

Ekonomi di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

Tahun 2006/2007 (Rp/Ha) ... 57 10. Hasil Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi

Lada Putih Tahun ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, dan ke-7 di Kecamatan

Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, Tahun 2007 (Rp/Ha) ... 59 11. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif pada Pengusahaan Komoditi

Lada Putih di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

Tahun 2007 ... 62 12. Dampak Kebijakan dan Kegagalan Pasar pada Pengusahaan Komoditi

Lada Putih di Kecamatan Airgegas Kabupaten Bangka Selatan,

Tahun 2007 ... 64 13. Analisis Sensitivitas Terhadap Daya Saing Pengusahaan Komoditi

Lada Putih Tahun ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, dan ke-7 di Kecamatan

(14)

Nomor Teks Halaman

1. Kurva Total Keuntungan Bersih ... 20

2. Dampak Subsidi Negatif pada Produsen Barang Ekspor ... 23

3. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable... 24

4. Dampak Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable ... 26

5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 34

(15)

Nomor Teks Halaman 4. Tabel Neraca Ekspor Beberapa Komoditi Primer Perkebunan Indonesia, Tahun 2004-2006 ... 75 5. Diagram Alir Proses Pengolahan Lada Hitam dan Lada Putih ... 76 6. Porsentase Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing ... 77 7. Perhitungan Standard Convertion Factor dan Shadow Price Exchange

Rate Tahun 2001-2006 (Miliar Rupiah) ... 78 5. Peta Daerah Kabupaten Bangka Selatan ... 79 6. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-3 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka

Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 80 7. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-3 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

2007 (Rp/Ha) ... 80 8. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-4 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka

Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 81 9. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-4 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

2007 (Rp/Ha) ... 81 10. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-5 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka

Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 82 11. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-5 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

2007 (Rp/Ha) ... 82 12. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-6 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka

Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 83 13. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-6 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan,

2007 (Rp/Ha) ... 83 14. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-7 di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka

(16)

16. PAM Periode Banyak Bujet Privat Pengusahaan Komoditi Lada Putih

di Kecamatan Airgegas (Rp/Ha) ... 85 17. PAM Periode Banyak Bujet Sosial Pengusahaan Komoditi Lada Putih

di Kecamatan Airgegas (Rp/Ha) ... 85 18. PAM Periode Banyak Pengusahaan Komoditi Lada Putih Siklus

Tanaman 7 Tahun di Kecamatan Airgegas (Rp/Ha) ... 85 19. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-3 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 86 20. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-3 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 86 21. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-4 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 87 22. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-4 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 87 23. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani lada

Putih pada Tahun Ke-5 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 88 24. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-5 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 88 25. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-6 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 89 26. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-6 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 89 27. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-7 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 90 28. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-7 bila Harga Output Turun Sebesar 35 Persen di

(17)

(Rp/Ha) ... 91 30. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-3 bila Harga Input Naik Sebesar 15 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 91 31. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-4 bila Harga Input Pupuk Naik Sebesar 15 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 92 32. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-4 bila Harga Input Naik Sebesar 15 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 92 33. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-5 bila Harga Input Pupuk Naik Sebesar 15 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 93 34. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-5 bila Harga Input Naik Sebesar 15 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 93 35. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-6 bila Harga Input Pupuk Naik Sebesar 15 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 94 36. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-6 bila Harga Input Naik Sebesar 15 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 94 37. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-7 bila Harga Input Pupuk Naik Sebesar 15 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 95 38. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-7 bila Harga Input Naik Sebesar 15 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 95 39. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-3 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 96 40. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-3 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di

(18)

(Rp/Ha) ... 97 42. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-4 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 97 43. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-5 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 98 44. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-5 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 98 45. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-6 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 99 46. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-6 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di

Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007 (Rp/Ha) ... 99 47. Tabel Biaya Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Lada

Putih pada Tahun ke-7 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, 2007

(Rp/Ha) ... 100 48. Matrik Analisis Kebijakan (PAM) pada Pengusahaan Komoditi Lada

Putih Tahun ke-7 bila Harga Sewa Lahan Naik Sebesar 75 Persen di

(19)

1.1. Latar Belakang

Pengembangan usaha perkebunan merupakan bagian dari pembangunan pertanian, dikembangkan searah dengan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing tinggi, berkerakyatan, berkeadilan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.1 Salah satu pengembangan usaha agribisnis perkebunan di Indonesia adalah usaha agribisnis perkebunan lada.

Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian disamping komoditas perkebunan lainnya, baik sebagai sumber devisa maupun sumber mata pencaharian rakyat. Disamping itu, pemanfaatan lada dewasa ini juga tidak terbatas hanya sebagai bumbu penyedap masakan dan penghangat tubuh, tetapi telah berkembang untuk berbagai kebutuhan industri, misalnya industri makanan, industri farmasi dan industri kosmetik (Soca, 2005). Dengan demikian, komoditi lada memiliki peluang yang strategis untuk tetap dikembangkan.

Kontribusi ekspor komoditi lada terhadap total ekspor perkebunan memang tidak terlalu besar. Walaupun demikian, kontribusi tersebut sangat berarti bagi peningkatan pendapatan ekspor hasil perkebunan secara nasional. Kontibusi devisa yang diberikan oleh komoditi lada menduduki urutan ke delapan dalam sub sektor primer perkebunan yaitu setelah komoditi kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, kopi, teh dan tembakau dengan nilai ekspor rata-rata selama tahun 2004 sampai 2006 adalah sebesar 55.526 ribu dollar/tahun (Lampiran 1).

1

(20)

Permintaan dunia terhadap komoditi lada setiap tahunnya berkisar antara 250.000 - 300.000 ton (International Pepper Community, 2007). Produksi lada dunia berasal dari Negara Vietnam, Indonesia, Brazilia, India dan Malaysia. Tingkat produksi lada dunia yang dihasilkan oleh masing-masing negara penghasil utama dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Negara dan Jumlah Produksi Lada Dunia, Tahun 2002-2006 (Ton)

Negara Tahun Rata-rata

2002 2003 2004 2005 2006 Vietnam 78.155 74.600 85.000 95.000 105.000 87.551 Indonesia 66.181 80.740 55.008 55.328 46.686 60.789 Brazilia 37.531 37.730 40.000 44.500 48.000 41.552 India 24.914 17.787 24.800 50.700 70.300 37.700 Malaysia 22.642 19.348 16.900 19.100 19.270 19.452 Sumber: International Pepper Community, 2007 (diolah)

Direktorat Jenderal Perkebunan RI, 2007

Apabila dilihat (Tabel 1) dari besaran produksi, negara pesaing utama Indonesia adalah Vietnam, India, dan Brazilia. Vietnam merupakan penghasil terbesar dengan produksi rata-rata (2002-2006) sebesar 87.551 ton/tahun dan terus mengalami kenaikan produksi yang besar setiap tahunnya. Indonesia yang menempati posisi kedua setelah Vietnam dengan tingkat produksi rata-rata selama tahun 2002-2006 yakni sebesar 69.789 ton/tahun cenderung berfluktuatif dalam produksinya dengan trend yang menurun. Sebaliknya pada kurun waktu tersebut, Brazilia dan India mengalami kenaikan produksi yang terus berlanjut secara konsisten dengan tingkat produksi rata-rata 41.552 ton/tahun dan 37.700 ton/tahun. Malaysia yang produksinya masih jauh di bawah Indonesia merupakan negara pendatang baru di percaturan lada dunia dan akan menjadi pesaing baru di masa-masa yang akan datang. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan produksinya sepanjang tahun 2002-2006 yaitu rata-rata sebesar 19.452 ton/tahun.

(21)

Tanaman lada adalah tanaman tropis dataran rendah yang dapat dikembangkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data dari Departemen Pertanian (2007), sentra produksi lada nasional meliputi Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Lada putih (muntok white pepper) sebagian besar dihasilkan di Bangka Belitung, sedangkan untuk lada hitam (lampong black pepper) sentra produksinya di Lampung.

Volume dan nilai ekspor lada Indonesia setiap tahunnya mengalami fluktuasi, baik untuk lada hitam maupun lada putih. Khusus untuk ekspor lada putih dalam perkembangannya pada akhir-akhir ini ada tendensi terjadi penurunan volume dan nilai ekspor. Volume ekspor lada putih Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir (2002-2006) telah terjadi penurunan rata-rata sebesar 16,8 persen/tahun, sedangkan nilai ekspornya juga mengalami penurunan yaitu rata-rata 3,6 persen/tahun.

Lada putih Indonesia di pasar dunia yang lebih dikenal dengan muntok white pepper menghadapi persaingan dari Negara Malaysia, Vietnam dan Brazilia.2 Ekspor lada putih Indonesia pada tahun 2006 sebagian besar ditujukan ke Negara Amerika Serikat (7%), Belanda (5%), Jepang (13%) dan Singapura (56%) (BPS, 2007). Sementara itu, kebutuhan dunia terhadap komoditi lada putih diperkirakan mencapai 60-70 ribu ton/tahun (International Pepper Community, 2007).

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan penghasil dan pengekspor utama komoditi lada putih di Indonesia dengan potensi Rp 129 miliar

2

(22)

/tahun.3 Disamping itu, kontribusi lada putih Bangka Belitung terhadap volume ekspor lada putih Indonesia sangat dominan sekali yakni sebesar 80 persen. Sebagai gambaran perkembangan ekspor lada putih dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Ekspor Lada Putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

dan Indonesia, Tahun 2002 - 2006

Tahun

Ekspor Lada Putih

Bangka Belitung Indonesia

Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$) 2002 38.657 54.607 41.343 58.970 2003 20.773 46.729 24.607 54.711 2004 9.309 20.811 13.760 29.651 2005 11.855 26.278 16.227 34.651 2006 8.611 22.539 15.045 40.928 Rata-rata (%) 17.841 (80) 34.193 (78) 22.196 (100) 43.782 (100) Sumber: Badan Pusat Statistika (BPS), 2007 (diolah)

Produksi lada putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dihasilkan dari perkebunan rakyat yang umumnya diusahakan secara monokultur. Berdasarkan data dari Dirjen Perkebunan (2007), sampai saat ini Bangka Belitung merupakan provinsi yang memiliki areal lada terluas kedua di Indonesia setelah Provinsi Lampung.

Tabel 3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Indonesia, Tahun 2002-2006

Tahun

Bangka Belitung Indonesia

Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) 2002 63.957 32.165 204.068 66.181 2003 60.752 31.566 204.364 80.740 2004 45.797 22.140 201.484 55.008 2005 41.834 18.273 191.992 55.328 2006 40.721 16.292 191.369 46.686

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan RI, 2007

3

(23)

Tabel 3 menunjukkan bahwa luas areal dan produksi lada yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti. Bahkan untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah terjadi penurunan luas areal dan produksi yang sangat signifikan. Pada tahun 2002 luas areal tanaman lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah 63.957 hektar dengan produksi sebanyak 32.165 ton, tetapi pada tahun 2006 luas areal lada hanya 40.721 hektar dengan produksi 16.292 ton dan produktivitas dari 1,1 ton/ha menjadi 0,78 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa ada persoalan bagi pengembangan komoditas tersebut walaupun masih tersedia lahan untuk pengembangannya.

Didukung oleh kondisi daerah dan agroklimat yang cocok untuk tanaman lada menjadikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi dalam pengembangan komoditi lada putih. Daerah yang menjadi pusat penyebaran tanaman lada di Bangka Belitung diantaranya Kabupaten Bangka Selatan. Kabupaten ini memiliki produksi tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya di Bangka Belitung dengan tingkat produksi sebesar 4.955,28 ton/tahun dan produktivitas sebesar 0,81 ton/tahun.

Dalam pengusahaan komoditi lada putih, petani lada di Kabupaten Bangka Selatan tentunya tidak terlepas dari adanya hambatan-hambatan diantaranya adalah pengelolaan dan teknik budidaya perkebunan lada yang masih diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat (bersifat tradisional), sehingga berdampak pada rendahnya kuantitas dan produktivitas lada putih yang dihasilkan. Pengolahan hasil yang belum intensif menyebabkan sebagian besar lada putih yang dihasilkan masih memiliki mutu/kualitas yang rendah. Terjadinya pengalihan fungsi lahan

(24)

(konversi) sehingga menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Selain itu, kurangnya dukungan terhadap infrastruktur dan modal telah menyebabkan pengembangan perkebunan lada berjalan sangat lambat, bahkan cenderung mengalami penurunan.

Menghadapi perdagangan bebas yang semakin terbuka dan kompetitif, mengharuskan produk-produk hasil perkebunan memiliki keunggulan terutama pada kualitas produk dan efisiensi produksi. Oleh karena itu, pengembangan usaha perkebunan khususnya komoditi lada putih yang berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif harus dilakukan, dengan tetap mengembangkan dan mempertahankan usaha yang ada, sehingga menghasilkan komoditi tersebut yang dapat bersaing di pasar internasional.

1.2. Perumusan Masalah

Sentra pengembangan komoditi lada putih di Kabupaten Bangka Selatan terdapat di beberapa daerah antara lain di Kecamatan Airgegas, Kecamatan Payung dan Kecamatan Toboali. Masing-masing kecamatan tersebut secara berturut-turut memiliki luas areal sebesar 5.716 hektar, 3.088 hektar dan 2.328 hektar dari luas areal total tanaman lada yang ada di Kabupaten Bangka Selatan. Pengusahaan komoditi lada putih di masing-masing kecamatan tersebut masih dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat yang umumnya dicirikan oleh kualitas dan hasil/produktivitas yang rendah terutama karena kurangnya modal untuk memelihara tanaman dengan baik, rendahnya peggunaan bibit yang bermutu dan terjadinya pengalihan fungsi areal (konversi) yang sangat tinggi dari areal perkebunan menjadi areal pertambangan timah.

(25)

Kecamatan Airgegas adalah sentra produksi lada putih terbesar di Kabupaten Bangka Selatan yang mempunyai potensi dan perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangannya. Hal ini penting mengingat lada putih merupakan komoditi andalan bagi kecamatan tersebut dan merupakan sumber pendapatan keluarga petani. Selain itu, kecamatan ini memiliki agroekosistem yang optimal untuk pengusahaan komoditi lada putih. Keadaan ini mengharuskan pengusahaan komoditi tersebut mengarah pada usaha peningkatan hasil dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara optimal. Akan tetapi, hal yang perlu diketahui bahwa pengusahaan komoditi lada putih di kecamatan ini masih banyak dihadapkan pada berbagai permasalahan baik dari sisi pengelolaan, rendahnya mutu yang dihasilkan dan penurunan tingkat produksi.

Pengelolaan dan teknik budidaya perkebunan lada putih di kecamatan Airgegas masih bersifat tradisional, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dan tenaga kerja yang besar dalam pengusahaannya. Rendahnya mutu yang dihasilkan di kecamatan tersebut merupakan dampak dari pengolahan hasil yang belum intensif, dimana buah lada dirontokkan dengan cara diinjak atau menggunakan tangan, kemudian direndam dengan menggunakan air kolong. Kualitas air yang kurang memadai menyebabkan aroma khas lada putih kurang tajam dan masih mengandung lada hitam. Penurunan tingkat produksi yang terjadi di Kecamatan Airgegas diakibatkan oleh alih profesi petani ke pertambangan dengan mengkonversi areal perkebunan yang dimiliki ke areal pertambangan timah (tambang inkonvensioanl), hal ini telah berdampak pada semakin menyempitnya areal untuk pengusahaan komoditi lada putih. Kondisi tersebut telah berpengaruh terhadap tingkat daya saing komoditi lada putih yang dimiliki

(26)

Kecamatan Airgegas, sehingga diperlukan upaya nyata untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah mengupayakan pencapaian standar mutu hasil lada dengan menerbitkan standar mutu lada putih yaitu SNI 01-0004-1995. Selain itu, Departemen Pertanian telah membuat kebijakan untuk mendukung pengembangan lada sampai tahun 2010. Kebijakan tersebut antara lain yaitu peningkatan produktivitas dan mutu, pemberdayaan petani, pemantapan kelembagaan, fasilitasi dukungan penyediaan dana dan pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah. Adanya kebijakan tersebut telah mendorong pemerintah daerah di Kabupaten Bangka Selatan melakukan perbaikan terhadap pengelolaan perkebunan lada, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi maupun kualitas lada putih.

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah:

1. Bagaimana kondisi daya saing pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas?

2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah selama ini terhadap output dan input dalam pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas?

3. Bagaimana pengaruh perubahan output dan input berdasarkan analisis sensitivitas terhadap daya saing pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas?

(27)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) terhadap

pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas.

2. Menganalisis dampak kebijakan terhadap output dan input pada pengusahaan komoditi lada putih.

3. Menganalisis sensitivitas hasil analisis daya saing pengusahaan komoditi lada putih terhadap perubahan output dan input.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan berguna untuk: 1. Bagi petani lada sebagai tambahan informasi tentang kondisi aktual

pengelolaan lada dan mengetahui seberapa besar peran dari kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap pengusahaan komoditi lada putih.

2. Bagi civitas akademika berguna untuk menambah pengetahuan ataupun sebagai bahan rujukan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

3. Bagi pemerintah daerah dan instansi terkait bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan masukkan terhadap kebijakan yang akan datang dalam upaya meningkatkan pengusahaan komoditi lada.

(28)

2.1. Sejarah dan Gambaran Umum Komoditi Lada

Lada merupakan tanaman perkebunan yang telah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum merdeka. Tanaman ini berasal dari daerah Ghat Barat India, buktinya pada tahun 100-600 SM, banyak koloni Hindu yang datang ke Indonesia dan mereka inilah yang membawa bibit lada kali pertama. Pada abad ke-16 lada dikembangkan dalam skala kecil di Pulau Jawa dan baru di awal abad ke-18 lada mulai diusahakan secara besar-besaran dengan daerah pengembangan perkebunan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tanaman lada dapat ditemukan di sebagian besar propinsi di Indonesia (Suwarto, 2002). Klasifikasi dari tanaman lada adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub kelas : Dicotyledoneae Ordo : Piperales Famili : Piperceae Genus : Piper

Spesies : Piper nigrum L.

Varietas lada yang tersebar di Indonesia sampai saat ini tidak kurang dari 50 jenis varietas, diantaranya adalah Varietas Cunuk, Jambi, Lampung Daun Lebar, Bangka, Kuching dan Lampung Daun Kecil. Varietas yang banyak ditanam oleh petani adalah Varietas Lampung Daun Lebar, karena varietas ini lebih banyak menghasilkan buah bila dibandingkan dengan varietas-varietas lainnya.

(29)

Berdasarkan hasil penelitian dari Balittro Bogor ternyata ada 4 varietas lada unggul, yaitu:

a. Natar I

Jenis ini mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap penyakit busuk pangkal batang (BPB) dan penggerek batang (Lophobaris Piperis). Tanaman mulai berbunga pada umur 10 bulan dengan potensi hasil 3,7 ton/hektar, lebih cepat menghasilkan buah dan buahnya besar.

b. Natar II

Tanaman lada jenis ini memiliki akar yang kuat, mulai berbunga pada umur 12 bulan. Jenis ini hanya memerlukan sedikit perlindungan dari pohon pelindung, serta produksi yang diperoleh mencapai 3,52 ton/hektar.

c. Petaling I

Tanaman tahan terhadap penyakit kuning dan dapat ditanam di daerah yang kurang subur. Tanaman mulai berbunga pada usia 10 bulan dengan produksi yang dihasilkan sebesar 4,48 ton/hektar.

d. Petaling II

Tanaman mulai berbunga pada umur 12 bulan dengan hasil produksi sebesar 4,5 ton/hektar, jenis petaling II ini tidak tahan terhadap penyakit kuning.

Lada merupakan tanaman tropis dataran rendah yang dapat dibudidayakan dengan baik pada ketinggian kurang dari 500 m di atas permukaan laut (dpl). Suhu optimal untuk tanaman lada berkisar antara 20-34oC dengan curah hujan yang dikehendaki 2000-3000 mm/tahun dan kelembaban untuk pertumbuhan optimal 60-80 persen. Tumbuh pada jenis tanah podzolik, andosol, latosol,

(30)

grumosol dan regosol yang memiliki tingkat kesuburan dan drainase yang baik seperti tanah liat berpasir dengan kisaran PH 5,5-5,8 (Suwarto, 2002).

Perbanyakan tanaman lada dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan biji, sedangkan secara vegetatif dengan stek batang. Cara yang paling praktis dan efisien untuk perbanyakan bibit lada adalah stek batang. Hal ini karena bibit yang dihasilkan dari biji memiliki daya kecambah rendah, cepat menurun dan tidak dapat dipastikan sifatnya. Petani lebih menyukai bibit yang dihasilkan secara vegetatif karena lebih cepat berbuah dan mempunyai sifat seperti induknya.

Berdasarkan perbedaan waktu pemetikan dan proses pengolahannya, produksi lada Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu lada putih dan lada hitam. Lada putih (white pepper) adalah buah lada yang dipetik saat matang penuh dan dikeringkan setelah melalui proses perendaman dan pengupasan, sedangkan lada hitam (black pepper) adalah buah lada yang dipetik saat matang petik (kulit masih hijau) dan dikeringkan bersama kulitnya tanpa proses perendaman terlebih dahulu (Lampiran 2).

Lada merupakan produk tertua dan terpenting dari produk rempah-rempah yang diperdagangkan di dunia. Sebagian rempah-rempah yang diperdagangkan di dunia adalah lada, sehingga lada memperoleh julukan rajanya rempah-rempah atau king of spice. Lada dan hasil olahannya memberikan aroma harum yang khas dan rasanya yang pedas sebagai akibat adanya zat piperine, puiperamin dan chavichine.

(31)

2.2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Perdagangan Lada

Kebijakan terhadap perdagangan lada khususnya lada putih yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum ada, meskipun hanya berupa dukungan harga seperti harga minimum (harga dasar). Belum adanya kebijakan tersebut diduga karena lingkup dari perdagangan komoditi lada putih cukup luas mulai dari pasar lokal, domestik sampai pasar internasional/global. Oleh karena itu, hingga saat ini harga komoditi lada putih sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar tersebut. Untuk mendorong ekspor, komoditas lada putih tidak dikenakan pajak ekspor seperti yang diberlakukan pada ekspor CPO (Crude Palm Oil).

Dewasa ini, arah kebijakan yang ingin ditempuh adalah mencapai stabilisasi harga pada tingkat yang menguntungkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, saat ini tengah dilakukan berbagai kajian mengenai aturan baku terhadap perdagangan/transaksi komoditi lada putih diantaranya pembatasan produksi dan dibentuknya kantor pemasaran bersama.

2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input

Pupuk dalam pengusahaan komoditi lada putih merupakan salah satu input yang memiliki peran penting untuk mendorong peningkatan produksi tanaman lada. Sampai saat ini, pemerintah telah memberlakukan kebijakan terhadap input pupuk dengan memberikan subsidi pada harga input tersebut. Kebijakan pemerintah tersebut tertuang dalam SK. Menperindag No.70/MPP/Kep/2/2003 yang berisi pola pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dengan cara rayonisasi.

(32)

Memberikan kemudahan dalam memperoleh input pupuk dengan harga yang murah kepada petani adalah bentuk dari kebijakan pemerintah terhadap input tersebut. Pengusahaan tanaman lada yang ada di Kecamatan Airgegas mayoritas diusahakan oleh rakyat (perkebunan rakyat), sehingga dengan adanya subsidi terhadap input pupuk maka akan membantu petani dalam meringankan beban biaya untuk berproduksi.

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang komoditi lada dan analisis daya saing berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pada penjelasan di bawah ini akan diuraikan hasil-hasil penelitian terdahulu.

2.4.1 Studi Tentang Komoditi Lada

Penelitian yang berkaitan dengan komoditi lada diantaranya dilakukan oleh Tanjung (1996) mengenai analisis perkembangan ekspor dan faktor-faktor yang mempengaruhi lada Indonesia. Metode analisis pada penelitian ini menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) atau metode kuadrat terkecil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ekspor lada Indonesia dipengaruhi oleh volume produksi tahun sebelumnya, luas areal, harga ekspor saat ini dan harga ekspor tahun sebelumnya yang bersifat inelastis, nilai tukar rupiah terhadap dollar serta kebijakan pemerintah. Nilai tukar dollar berpengaruh negatif terhadap volume ekspor, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya volume ekspor akibat adanya kebijakan devaluasi mata uang oleh pemerintah.

(33)

Hasil analisis kelayakan finansial usaha tani lada dan pemasaran komoditi lada di Desa Giri Mulya oleh Wuriyanto (2002), menyimpulkan bahwa usaha tani lada desa tersebut dikelola secara non intensif dan ditumpang sarikan dengan berbagai tanaman lain sehingga produktivitas lada menjadi rendah. Selain itu, juga disebabkan oleh kondisi tanaman lada yang rata-rata sudah berusia tua dan seharusnya mulai diremajakan. Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha tani layak diusahakan pada tingkat diskonto 16 persen dan 18 persen. Sementara itu, analisis keragaan pasar memperlihatkan pasar lada yang terbentuk berstruktur oligopsoni dengan keterpaduan pasar yang tinggi. Tingginya keterpaduan pasar ini dikarenakan adanya hubungan (kartel) antara pedagang dengan ekspotir.

Elizabeth (2003) melakukan penelitian tentang keragaan komoditas lada Indonesia dengan pendekatan analisis diskriptif. Hasil penelitiannya memberikan informasi bahwa tanaman lada yang ada di Indonesia lebih banyak diusahakan oleh petani dibandingkan perusahaan besar. Hal ini disebabkan oleh harga yang tidak bisa diprediksi, baik di dalam negeri mapun di luar negeri sehingga tidak bisa memprediksi berapa keuntungan atau pendapatan yang ditargetkan. Hasil penelitiannya juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara volume produksi dengan harga dalam negeri.

2.4.2 Studi Tentang Daya Saing

Penelitian mengenai daya saing dengan menggunakan alat analisis PAM dilakukan oleh Ariani et al, (2003) mengenai analisis daya saing usahatani tebu di Provinsi Jawa Timur. Hasil analisis Policy Analysis Matrix (PAM) menunjukkan bahwa usahatani tebu pada empat lokasi yaitu Malang, Jember, Kediri dan

(34)

Madiun di Provinsi Jawa Timur menguntungkan secara finansial dengan rata-rata keuntungan Rp 2,5 juta – 8 juta/hektar dan mempunyai keunggulan kompetitif. Namun sebaliknya secara ekonomi, kerugian dialami oleh petani di Madiun dan Kediri sebesar Rp 2 juta – Rp 4 juta/hektar dan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Perbedaan tersebut terjadi disebabkan karena adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah. Usahatani tebu di Madiun dan Kediri akan mempunyai keunggulan komparatif apabila produktivitas (rendemen) tebu meningkat sekitar 20 persen atau harga gula dunia menjadi 220 US$/ton.

Malian et al, (2004) melakukan penelitian tentang permintaan ekspor dan analisis daya saing panili di Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini menggunakan model analisis permintaan pasar ekspor, integrasi harga, marjin pemasaran, atribut mutu produk dan daya saing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas ekspor panili Indonesia di pasar Amerika Serikat hanya bersifat substitusi, sedangkan integrasi harga panili di tingkat petani dan eksportir sangat lemah. Analisis marjin pemasaran memperlihatkan bagian yang diterima petani hanya sekitar 67 persen dari harga FOB. Sementara itu, atribut mutu yang mempengaruhi kualitas produk panili adalah diameter buah, panjang buah dan warna buah. Analisis daya saing menunjukkan bahwa secara umum petani panili di Provinsi Sulawesi Utara memiliki keunggulan kompetiti dan komparatif dengan nilai PCR dan DRCR yang kurang dari satu.

Sunandar (2007) dalam penelitiannya mengenai analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditi karet alam di Kecamatan Cambai, menyimpulkan bahwa pengusahaan karet menguntungkan baik tanpa atau adanya kebijakan pemerintah. Hal ini terlihat dari nilai

(35)

Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial yang diperoleh lebih dari nol. Sementara nilai rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) yang dihasilkan lebih kecil dari satu, artinya komoditi karet memiliki daya saing.

Berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu, dapat diketahui bahwa sampai saat ini belum ada yang melakukan penelitian tentang perhitungan tingkat daya saing komoditi lada putih dengan menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) periode banyak. Penelitian lada terdahulu hanya terbatas pada perkembangan ekspor lada, keragaan komoditas lada ataupun mengenai analisis kelayakan finansial usahatani dan pemasaran lada, sehingga penelitian tentang analisis daya saing pengusahaan komoditi lada putih perlu dilakukan oleh penulis. Namun demikian, hasil penelitian terdahulu memiliki kaitan dengan penelitian ini terutama pada penelitian tentang komoditi lada. Hal ini dikarenakan indikator dari hasil peneltitian tersebut dijadikan variabel dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat daya saing pada penelitian ini yakni luas areal, harga ekspor, nilai tukar rupiah, kebijakan pemerintah dan pengusahaan tanaman lada yang dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat. Hasil tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 4.

Adapun kontribusi dari penelitian terdahulu terhadap penelitian ini tidak lain adalah: a) untuk mengetahui gambaran tentang kondisi pengembangan dan pengusahaan pada komoditi lada dan b) sebagai acuan di dalam penerapan/penggunaan alat analisis.

(36)

Nama Judul Alat Analisis Hasil Penelitian Studi Tentang Komoditi Lada

Tanjung, (1996) Analisis Perkembangan Ekspor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lada Indonesia

- Ordinary Least Squares (OLS)

Ekspor lada Indonesia dipengaruhi oleh volume produksi tahun sebelumnya, luas areal, harga ekspor saat ini dan harga ekspor tahun sebelumnya yang bersifat inelastis, nilai tukar rupiah terhadap dollar serta kebijakan pemerintah.

Wuriyanto, (2002)

Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Tada dan Pemasaran Komoditi Lada di Desa Giri Mulya

- Benefical Cost Ratio (B/C Ratio) - Net Present Value

(NPV)

- Nilai Internal Rate of Return (IRR)

Analisis kelayakan finansial usahatani layak diusahakan pada tingkat diskonto 16 persen dan 18 persen. Analisis keragaan pasar memperlihatkan pasar lada yang terbentuk berstruktur oligopsoni dengan keterpaduan pasar yang tinggi.

Elizabeth, (2003)

Keragaan Komoditas Lada Indonesia - Diskriptif Tanaman lada yang ada di Indonesia lebih banyak diusahakan oleh petani dibandingkan perusahaan besar. Selain itu, tidak ada hubungan yang jelas antara volume produksi dengan harga dalam negeri.

Studi Tentang Daya Saing Mewa Ariani,

Andi Askin dan Juni Hestina, (2003)

Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Provinsi Jawa Timur

- PAM Usahatani tebu menguntungkan secara finansial dan mempunyai keunggulan kompetitif. Namun sebaliknya secara ekonomi merugikan petani dan tidak mempunyai keunggulan komparatif

A. Husni Malian, Benny Rachman, Adimesra Djulin (2004)

Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi Sulawesi Utara.

- Regresi - Market Integration Index - Relative Marketing Margin - PAM

Ekspor panili Indonesia di pasar Amerika Serikat hanya bersifat substitusi, sedangkan integrasi harga panili di tingkat petani dan eksportir sangat lemah. Harga yang diterima petani hanya sekitar 67 persen dari harga FOB. Sementara itu, atribut mutu yang mempengaruhi kualitas produk panili adalah diameter buah, panjang buah dan warna buah. Secara umum petani panili di Provinsi Sulawesi Utara memiliki keunggulan kompetiti dan komparatif dengan nilai PCR dan DRCR yang kurang dari satu.

Sunandar (2007) Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengusahaan Komoditi Karet Alam di Kecamatan Cambai

- PAM - Sensitivitas

Pengusahaan karet alam memiliki daya saing, baik tanpa atau dengan adanya kebijakan pemrintah. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pengusahaan karet alam memiliki daya saing serta layak untuk diusahakan.

(37)

3.1. Kerangka Teoritis

Dalam menganalisis daya saing, baik dari sisi penawaran maupun permintaan sama-sama menentukan, karena perubahan keduanya atau salah satunya akan menentukan harga yang terjadi di kemudian hari. Harga yang terjadi tersebut akan mempangaruhi daya saing petani/produsen dalam mengusahakan komoditi tertentu. Pengkajian daya saing dalam penelitian ini merupakan pendekatan satu sisi yakni dari sisi petani/produsen (penawaran). Daya saing dari pendekatan tersebut diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan komoditi dengan biaya yang relatif rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar kegiatan usaha dan produksi tersebut menguntungkan.

Pengusahaan tanaman perkebunan termasuk tanaman lada merupakan suatu usaha yang sifat produksinya terus menghasilkan selama umur produktif tanaman. Tingkat keuntungan yang diperoleh akan menurun seiring bertambahnya umur dan menurunnya produktivitas tanaman. Pola produksi tanaman lada mengikuti suatu kurva produksi tertentu yaitu pada saat pertama berproduksi, hasil yang diperoleh masih rendah kemudian semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan mencapai produksi maksimum lalu mulai menurun sampai kondisi terendah. Kondisi tersebut dapat dijelaskan oleh Gambar 1 yang memperlihatkan hubungan antara keuntungan yang diterima dengan waktu produksi. Pada titik produksi 2 menunjukkan keuntungan yang diperoleh mencapai tingkat maksimum, sedangkan pada titik produksi 1 dan 3 menunjukkan keuntungan sama dengan nol.

(38)

Biaya Penerimaan Biaya (TC) Penerimaan (TR) Waktu Produksi Keuntungan Bersih 0 1 2 3 Waktu Produksi Keuntungan Bersih

Gambar 1. Kurva Total Keuntungan Bersih Sumber: Nicholson, 2002

Daya saing dalam pengusahaan suatu komoditi dapat diketahui dari tingkat keuntungan yang diterima, baik berdasarkan harga privat maupun sosial. Keuntungan dari pengusahaan tanaman lada diperoleh melalui penjualan hasil produksi (penerimaan) yang dikurangi dengan biaya total selama berproduksi. Selain itu, daya saing juga dapat diukur dari tingkat efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut dengan indikator yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif.

3.1.1. Keunggulan Komparatif

Prinsip keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun 1817. Prinsip tersebut menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien atau memiliki kerugian absolut dibandingkan dengan negara

(39)

lain dalam memproduksi suatu komoditi, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang memiliki kerugian absolut akan berspesialisasi dalam berproduksi dan mengekspor komoditi dengan kerugian absolut terkecil atau dengan kata lain komoditi yang memiliki keunggulan komparatif (Salvatore, 1997).

Teori nilai tenaga kerja (Theory of Labour Value) yang menjadi asumsi dasar dari David Ricardo dalam menjelaskan hukum keunggulan komparatif menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi dan bersifat homogen. Teori hukum keunggulan komparatif David Ricardo kemudian disempurnakan lebih modern oleh Hecksher-Ohlin (H-O). Hecksher-Ohlin berpendapat bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang ketersediaannya di negara tersebut relatif melimpah dan murah, sedangkan di sisi lain akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang di negaranya relatif langka dan mahal. Teorema tersebut memberikan penjelasan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif pada suatu negara berdasarkan perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara (Salvatore, 1997).

Keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali (Simatupang dan Sudaryanto, 1990). Komoditi yang efisien secara ekonomi dalam pengusahaannya, menunjukkan bahwa komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, keunggulan komparatif merupakan alat untuk

(40)

mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial serta harga bayangan nilai tukar uang.

3.1.2. Keunggulan Kompetitif

Negara atau daerah yang memiliki keunggulan sumberdaya alam melimpah dan tenaga kerja yang banyak, belum tentu mempunyai keunggulan kompetitif dalam perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan tidak terdapat korelasi positif antara keunggulan sumberdaya alam dan tenaga kerja yang dimiliki oleh sebuah negara dengan keunggulan kompetitif.

Menurut Halwani (2002), keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor, yaitu keadaan faktor-faktor produksi, permintaan dan tuntutan mutu, industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, struktur serta sistem penguasaan antar perusahaan. Selain dari empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal, yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor-faktor ini secara bersama-sama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara.

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari konsep keunggulan komparatif yang menggambarkan kondisi daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku (resmi) atau berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang benar-benar di bayar produsen untuk faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan outputnya.

Keunggulan komparatif dan kompetitif dapat dimiliki oleh suatu komoditi sekaligus, namun bisa saja suatu komoditi hanya memiliki salah satu keunggulan.

(41)

Q4 Q3 Q2 Q1 D E F G H B S D Pw PD

Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif terjadi disebabkan karena adanya distorsi pasar atau adanya hambatan yang bersifat disintesif, misalnya perpajakan atau prosedur administrasi yang menghambat aktivitas tersebut sehingga merugikan produsen. Sebaliknya suatu komoditi yang memiliki keunggulan kompetitif tapi tidak mempunyai keunggulan komparatif dapat terjadi bila pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi yang dihasilkan, misalnya jaminan harga, perijinan dan kemudahan fasilitas lainnya.

3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah 3.2.1. Kebijakan Terhadap Output

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi maupun hambatan perdagangan diterapkan pada produsen yang menghasilkan komoditas yang merupakan produk berorientasi ekspor dan substitusi impor. Secara grafik dapat diketahui dampak dari subsidi negatif terhadap produsen untuk barang ekspor (Gambar 2).

J

K

Gambar 2. Dampak Subsidi Negatif pada Produsen Barang Ekspor Sumber: Monke and Pearson, 1989

P

(42)

Harga yang berlaku pada situasi perdagangan bebas adalah sebesar Pw, di

mana harga yang diterima produsen output dan konsumen domestik sama dengan harga internasional dengan tingkat output yang dihasilkan sebesar Q1, sehingga

terjadi kelebihan penawaraan (excess supply) di dalam negeri sebesar BHJ. Kelebihan penawaran tersebut mengharuskan output yang dihasilkan sebesar Q4

-Q1diekspor ke luar negeri.

Diterapkanya kebijakan subsidi negatif pada produsen output akan menyebabkan perubahan harga domestik yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari pada harga di pasar dunia (PD< PW). Perubahan harga tersebut berdampak pada tingkat konsumsi domestik

dari Q1 – Q4 menjadi Q2 – Q3. Selain itu, berimplikasi pada perubahan surplus

produsen dari sebesar PwHK menjadi PwHGPD dan surplus konsumen sebesar

PDEBPW. Besarnya transfer pajak kepada pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi

ekonomi yang hilang dari produsen tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah.

3.2.2. Kebijakan Terhadap Input

Kebijakan terhadap input diterapkan baik pada input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan (non tradable). Untuk input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri, jadi intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan terhadap input ini tidak akan tampak.

(43)

Q PW P Q2 D S S* C Q1 B A Q PW P Q2 D S S* A Q1 B C 3.2.2.1. Kebijakan Terhadap Input Tradable

Pada input tradable dapat diterapkan kebijakan subsidi dan kebijakan hambatan perdagangan, karena input ini dapat diproduksi dan dikonsumsi di dalam maupun di luar negeri. Pengaruh kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan pada input tradable dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) S – II (b) S + II Gambar 3. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

Keterangan:

S – II : Pajak untuk input tradable S + II : Subsidi untuk input tradable

Gambar 3(a) menunjukan dampak pajak terhadap input tradable yang digunakan. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply

bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi output

Q2BCQ1.

Gambar 3(b) memperlihatkan efek subsidi terhadap input tradable. Subsidi menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2.

(44)

P Q A B C S D Q2 Q1 Pc Pd Pp E P Q A B C S D Q1 Q2 Pc Pd Pp E

pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2dan nilai output meningkat yaitu Q1ABQ2.

3.2.2.2. Kebijakan Terhadap Input Non Tradable

Kebijakan terhadap input non tradable dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi atau pajak. Pada Gambar 4 dapat dilihat dampak mengenai kebijakan pajak dan subsidi yang diterapkan pada input non tradable.

(a) S – N (b) S + N

Gambar 4. Dampak Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

Keterangan:

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi

Pc : Harga ditingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp : Harga ditingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S – N : Pajak untuk input non tradable

S + N : Subsidi untuk input non tradable

Pada Gambar 4(a) terlihat bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya pajak sebesar Pc-Pp menyebabkan

produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun

menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi

dari produsen yang hilang sebesar BEA dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA.

(45)

Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Subsidi terhadap input non tradable

menyebabkan harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi (Pp), sedangkan

harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah (Pc). Efisiensi yang hilang

dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABE.

3.3. Matrik Analisis Kebijakan (PAM)

Matriks Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM) dapat digunakan untuk menganalisis: analisis kelayakan usaha baik secara privat maupun secara sosial, keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi), serta efek divergensi terhadap sistem komoditi. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan dan pemasaran (Monke and Pearson, 1989).

Metode PAM dapat melakukan perhitungan secara keseluruhan, sistematis dan dengan output yang sangat beragam. Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah/wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Selain itu, analisis PAM juga dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu kebijakan dapat memperbaiki daya saing terhadap pengusahaan suatu komoditi yang dihasilkan melalui penciptaan efisiensi usaha dan pertumbuhan pendapatan. Menurut Monke and Pearson (1989), ada beberapa asumsi mendasar yang digunakan dalam membangun matriks PAM yaitu:

(46)

1. Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.

2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. Pada komoditas yang dapat diperdagangkan (tradable) harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.

3. Output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan kedalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable).

4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling menghilangkan. Tabel 5. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Keterangan Penerimaan Output Biaya Input Keuntungan Tradable Non Tradable Harga privat A B C D1 Harga sosial E F G H2 Efek Divergensi I3 J4 K5 L6 1

Keuntungan Privat (D) = A-B-C 2

Keuntungan Sosial (H) = E-F-G 3

Transfer Output (I) = A-E

4

Transfer Input Tradable (J) = B-F 5

Transfer Faktor Domestik (K) = C-G 6

Transfer Bersih (L) = I-J-K Sumber: Monke and Pearson, 1989

Keterangan:

A : Penerimaan Privat G : Biaya Faktor Domestik Sosial B : Biaya Input Tradable Privat H : Keuntungan Sosial

C : Biaya Faktor Domestik Privat I : Transfer Output

D : Keuntungan Privat J : Transfer Input Tradable E : Penerimaan Sosial K : Transfer Faktor Domestik F : Biaya Input Tradable Sosial L : Transfer Bersih

Tabel 4 memperlihatkan bahwa Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan

(47)

nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Pada baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan efek divergensi.

Pengkajian daya saing pada komoditas pertanian dengan menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM) akan mempermudah analisis data, karena analisis ekonomi, finansial dan evaluasi dampak kebijakan pemerintah dilakukan secara simultan (Monke and Pearson, 1989). Kelebihan dari analisis PAM adalah mampu menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik (Pearson et al, 2005). Adapun kelemahan dari analisis ini yaitu hasil analisisnya bersifat statis dan outputnya hanya berlaku pada saat aktual.

Pada penelitian ini digunakan analisis PAM periode banyak (multiperiod PAM), karena komoditas yang menjadi objek penelitian merupakan tanaman tahunan yang siklus produksinya (panen) belangsung dalam waktu cukup panjang. Tidak terdapat perbedaan antara PAM untuk tanaman semusim dengan PAM tanaman tahunan (banyak periode), karena cara perhitungan dan penjelasan hasil analisisnya adalah sama. Namun demikian, pada perhitungan PAM periode banyak memerlukan tabel PAM untuk setiap periode dan menghitung Net Present Value (NPV) dari seluruh periode tersebut.

(48)

Beberapa indikator hasil analisis dari matriks PAM diantaranya adalah: 1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial

a). Private Profitability (PP): D = A – (B + C)

Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D > 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.

b). Social Profitability (SP): H = E – (F + G)

Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.

2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif a). Private Cost Ratio (PCR) = C / (A – B)

PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR, berarti semakin kompetitif. b). Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G / (E – F)

DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu

(49)

unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif, jika DRCR < 1. Semakin kecil nilai DRCR, berarti semakin efisien dan keunggulan komparatif makin tinggi.

3. Dampak Kebijakan Pemerintah a). Kebijakan Terhadap Output Ø Output Transfer (OT): I = A – E

Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya.

Ø Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A / E

NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output, jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.

b). Kebijakan Terhadap Input Ø Input Transfer (IT): J = B – F

Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable atau pemerintah.

Gambar

Tabel 2.  Perkembangan Ekspor Lada Putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan  Indonesia,  Tahun  2002  -  2006
Tabel 4. Hasil Tinjauan Penelitian Terdahulu
Gambar 1. Kurva Total Keuntungan Bersih   Sumber: Nicholson, 2002
Tabel 5. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Adapun hasil refleksi siklus I yang dilakukan pada siklus II yaitu bahwa aktivitas siswa semakin meningkat, hal ini dilihat dari lembar observasi yang dilakukan dalam

membagikan fotocopy materi pembelajaran, guru menjelaskan materi pembelajaran, guru memeragakan cara menjumlahkan bilangan bulat positif dan negatif dengan

Hubungan hukum antara Lembaga, Instansi dan atau Badan/Badan Hukum (milik) Pemerintah pemegang hak pengelolaan, yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan penyediaan

Keberagaman latar belakang dosen, mahasiswa yang direkrut dan kesiapan penerimaan perubahan dari anggota lama harus diiringi dengan penguatan budaya organisasi, sehingga

Untuk mengetahui variabel experiential marketing X yang terdiri dari sensory experience X1, emotional experience X2 dan social experience X3 yang berpengaruh dominan terhadap

Terapi spesifik untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tepat dapat menyembuhkan 99 % penderita dengan cara

Wells, pada tahun 1904, segera setelah satu pulau dikukuhkan sebagai hutan produksi, kemudian dilanjutkan pengukuhan pada daerah mangrove yang lebih luas yang sekarang disebut

Wilayah kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang padat, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang menunjukkan grafik meningkat meski dalam nilai kecil, mengemban