Berita
DIRGANTARA
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 11 NO. 2 JUNI 2010 ISSN 1411-8920
ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK
Clara Y. Yatini
PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN ISU
PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA
Iis Sofiati
KAJIAN PEMANFAATAN SATELIT MASA DEPAN: SISTEM
PENGINDERAAN JAUH SATELIT LDCM (LANDSAT-8)
Gokmaria Sitanggang
PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM
KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS
Sri Ekawati
GREEN TRANSPORT: TRANSPORTASI RAMAH LINGKUNGAN DAN
KONTRIBUSINYA DALAM MENGURANGI POLUSI UDARA
Dessy Gusnita
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
Berita
DIRGANTARA
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 11 NO. 2 JUNI
2010
ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK ...
Clara Y. Yatini
PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN ISU
PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA ...
Iis Sofiati
KAJIAN
PEMANFAATAN
SATELIT
MASA
DEPAN:
SISTEM
PENGINDERAAN JAUH SATELIT LDCM (LANDSAT-8) ...
Gokmaria Sitanggang
PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN
PENENTUAN POSISI GPS ...
Sri Ekawati
GREEN TRANSPORT: TRANSPORTASI RAMAH LINGKUNGAN DAN
KONTRIBUSINYA DALAM MENGURANGI POLUSI UDARA ...
Dessy Gusnita
36 – 41
42 – 46
47 – 58
59 – 65
66 – 71
DITERBITKAN OLEH:LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
Berita
DIRGANTARA
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA DIRGANTARA
Keputusan Kepala LAPAN Nomor: KEP/037/II/2010 Tanggal: 2 Februari 2010
Penanggung Jawab: Sekretaris Utama LAPAN
Pemimpin Umum: Karo Humas dan Kerjasama
Kedirgantaraan
Sekretaris:
Ka. Bag. Publikasi dan Promosi Ka. Subbag Publikasi
Penyunting Penyelia: Heru Supriyatno Penyunting Pelaksana: Abdul Rahman Susanto Jiyo
Waluyo Eko Cahyono B. Sianipar Geni Rosita
VOL.11 NO.2 JUNI 2010 ISSN 1411-8920
DARI MEJA PENYUNTING Sidang pembaca yang terhormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 11, No. 2, Juni 2010 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.
Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu, Analisis Penurunan Intensitas Sinar Kosmik ditulis oleh Clara Y. Yatini. Penyebab penurunan intensitas sinar kosmik dapat dianalisis dari pola penurunan intensitasnya, dengan menggunakan data intensitas sinar kosmik dari Calgary, data awan magnet dari Magnetic
Field Investigation (MFI), dan data Sudden Storm Commencement
(SSC) dari National Geophysical Data Center; Penyebaran Polutan dari Kebakaran Hutan dan Isu Pencemaran Udara di Malaysia ditulis oleh Iis Sofiati. Emisi polutan ke udara dari sisa pembakaran hutan dengan kadar konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan proses sebaran udara tidak bisa tercampur dengan baik sehingga tidak dapat mengangkut bahan pencemar secara efektif; Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem Penginderaan Jauh Satelit LDCM (Landsat-8) ditulis oleh Gokmaria Sitanggang. Satelit LDCM (Landsat
data Continuity Mission) dijadwalkan diluncurkan pada tahun 2011
dari VAFB, CA dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Setelah meluncur di orbitnya, satelit tersebut akan dinamakan sebagai Landsat-8; Pengaruh Geometri Satelit dan Ionosfer dalam Kesalahan Penentuan Posisi GPS ditulis oleh Sri Ekawati. Satu parameter yang penting untuk menunjukkan akurasi GPS (Global Positioning System) dalam penentuan posisi adalah UERE (User Equivalent Range Error). Parameter ini akan lebih memberikan akurasi presisi tinggi yang signifikan kepada pengguna GPS bila disertai dengan informasi geometri visible satellite yang lebih dikenal dengan DOP (Dilution Of
Precision).
Artikel terakhir ditulis oleh Dessy Gusnita dengan judul Green
Transport: Transportasi Ramah Lingkungan dan Kontribusinya dalam
Mengurangi Polusi Udara. Permasalahan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor sudah mencapai titik yang cukup mengkhawatirkan terutama di kota-kota besar. Tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar di Indonesia tidak dapat dihindarkan yaitu berkisar 8%-12% pertahun.
Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.
Penyunting
Alamat Penerbit/Redaksi : LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220
Telepon : 4892802 (Hunting) Fax : (012) 4894815 Email : [email protected]
Website: http://www.lapan.go.id
Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang kedirgantaraan.
Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.
Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan sumbernya.
ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK
Clara Y. YatiniPeneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN email: [email protected]
RINGKASAN
Penyebab penurunan intensitas sinar kosmik dapat dianalisis dari pola penurunan intensitasnya. Dengan menggunakan data intensitas sinar kosmik dari Calgary, data awan magnet dari Magnetic Field Investigation (MFI), dan data Sudden Storm Commencement (SSC) dari National Geophysical Data Center, diperoleh bahwa penurunan dapat disebabkan oleh interplanetary shock, awan magnet, gabungan shock dan awan magnet, serta penurunan yang bukan karena shock atau awan magnet. Analisis dilakukan dengan membandingkan waktu mulainya penurunan intensitas sinar kosmik dengan waktu tibanya awan magnet dan waktu terjadinya SSC.
Kata kunci : Sinar kosmik, Interplanetary shock, Awan magnet 1 PENDAHULUAN
Bumi setiap saat dihujani oleh atom-atom yang terionisasi dan partikel subatomik lain yang disebut sebagai sinar kosmik. Sinar kosmik terdiri dari partikel-partikel yang berenergi tinggi dan dibagi menjadi dua komponen yaitu partikel-partikel yang berasal dari luar heliosfer (yang disebut sebagai sinar kosmik galaksi) dan yang berasal dari Matahari (disebut sebagai partikel energetik). Energi yang dibawa oleh sinar kosmik umumnya berkisar antara 100 MeV sampai 10 GeV (Crosby, 2007).
Sinar kosmik mempunyai peran yang cukup penting pada lingkungan Bumi. Sinar kosmik dapat meng-akibatkan ionisasi pada lapisan D di ionosfer, yaitu pada ketinggian 50 km – 90 km di atas permukaan Bumi. Di samping itu sinar kosmik juga berpengaruh terhadap variabilitas iklim di Bumi karena sinar kosmik ini dapat berinteraksi dengan atmosfer Bumi dan membentuk aerosol yang membantu pembentukan awan. Jumlah awan yang terbentuk di atmosfer akan berpengaruh pada jumlah sinar Matahari yang sampai ke permukaan Bumi.
Banyaknya sinar kosmik yang sampai di permukaan Bumi dipengaruhi oleh dua fenomena, yaitu angin surya dan medan magnet Bumi. Angin surya merupakan plasma yang termagnetisasi yang berasal dari Matahari, dan dapat menyapu partikel-partikel dengan energi di bawah 1 GeV. Angin surya mempunyai variasi yang sesuai dengan aktivitas Matahari. Oleh sebab itu jumlah sinar kosmik yang masuk ke atmosfer Bumi berbanding terbalik dengan aktivitas Matahari. Medan magnet Bumi juga dapat mengurangi jumlah sinar kosmik yang sampai di Bumi. Intensitas sinar kosmik di ekuator lebih rendah dari pada di kutub, karena partikel bermuatan bergerak mengikuti garis medan magnet.
Penurunan intensitas sinar kosmik yang terjadi secara cepat disebut sebagai Forbush Decrease. Istilah ini menunjukkan penurunan sinar kosmik yang terjadi dalam satu hari dan akan pulih kembali ke tingkat intensitas sebelumnya atau ke tingkat intensitas yang baru beberapa hari kemudian (Venkatesan dan Ananth, 1991). Sanderson et al. (1990) menunjukkan
Analisis Penurunan Intensitas Sinar Kosmik (Clara Y.Yatini)
37 bahwa penurunan sinar kosmik dapat
disebabkan oleh awan magnet. Awan magnet adalah suatu struktur dalam ruang antarplanet yang mempunyai medan magnet kuat (Burlaga et al., 1981) dan terkait dengan lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/ CME) dari Matahari (Badruddin, 2001). Awan magnet dapat mengakibatkan perubahan signifikan pada sinar kosmik (Mishra et al., 2005) karena medan magnet yang kuat dapat menyapu sinar kosmik yang menuju ke permukaan Bumi. Adanya gelombang kejut di ruang antarplanet (interplanetary shock) juga berpengaruh pada penurunan intensitas sinar kosmik (Webb dan Wright, 1990), karena adanya shock dapat mempertinggi kecepatan angin surya yang dapat mengurangi intensitas sinar kosmik.
Pada tulisan ini akan dibahas beberapa pola yang tampak pada penurunan intensitas sinar kosmik. Perbedaan pola ini dikaitkan dengan adanya interplanetary shock dan awan magnet, untuk mengetahui dan membedakan penyebab utama dari penurunan intensitas tersebut. Perbandingan dilakukan dengan melihat waktu datangnya shock, waktu datangnya awan magnet, serta waktu mulainya penurunan intensitas dan waktu intensitas minimum dari sinar kosmik.
2 DATA DAN METODE
Data sinar kosmik diambil dari stasiun pengamatan Calgary (Calgary Neutron Monitor), berupa intensitas sinar kosmik setiap jam. Intensitas sinar kosmik dinyatakan dalam persen (%). Intensitas 100% menunjukkan jumlah sinar kosmik yang sudah terkoreksi sebesar 1212160 counts/jam. Plot data sinar kosmik terhadap waktu ini kemudian dilihat perbandingannya dengan datangnya gelombang kejut antarplanet (Interplanetary Shock) dan waktu datangnya awan magnet. Interplanetary shock (selanjutnya disebut sebagai shock saja) ditandai dengan munculnya Sudden Storm Commencement (SSC) pada medan geomagnet (Badruddin et al., 1991). Data SSC diperoleh dari National Geophysical Data Center (NGDC). Adapun data awan magnet diperoleh dari Magnetic Filed Investigation (MFI) yang ada di satelit WIND. Sinar kosmik yang dipilih adalah data sinar kosmik di sekitar waktu datangnya awan magnet yang diikuti oleh shock. Data yang akan dilihat adalah data seperti yang tertulis pada Tabel 2-1. Pada tabel ini diperlihatkan waktu datangnya shock dan awan magnet, yang akan disuperposisikan dengan plot intensitas sinar kosmik. Sedangkan intensitas sinar kosmik yang diambil adalah dua hari sebelum dan sesudah datangnya awan magnet.
Tabel 2-1: WAKTU DATANGNYA AWAN MAGNET, SHOCK, DAN SINAR KOSMIK YANG BERKAITAN
No.
Waktu datangnya awan
magnet Waktu datangnya shock Periode sinar kosmik Tanggal Jam (UT) Tanggal Jam (UT)
1. 22 Nov1997 15:48 22 Nov 1997 9:49 20–25 1997 November 2. 6 Nov 2000 23:06 6 Nov 2000 9:47 4-9 November 2000 3. 12 April 2001 7:54 11 April 2001 15:19 10-14 April 2001 4. 24 Maret 2002 3:48 23 Maret 2002 11:37 22-27 Maret 2002
3 HASIL DAN ANALISIS
Dengan menggunakan data pada bab 2, terdapat perbedaan waktu mulainya penurunan intensitas sinar kosmik, terutama bila dikaitkan dengan waktu datangnya shock dan awan magnet. Ananth dan Venkatesan (1993) menyatakan beberapa kategori penurunan sinar kosmik, seperti yang diuraikan berikut ini.
3.1 Penurunan Sinar Kosmik karena Interplanetary Shock
Gambar 3-1 menunjukkan intensitas sinar kosmik pada tanggal 10– 14 April 2001. Pada gambar tersebut, garis vertikal utuh menunjukkan waktu sampainya shock (yang diperoleh dari waktu munculnya SSC), sedangkan garis vertikal putus-putus menunjukkan waktu datangnya awan magnet. Pada plot intensitas sinar kosmik terlihat bahwa penurunan intensitas terjadi setelah sampainya shock. Shock terdeteksi pada tanggal 11 April 2001 jam 15 UT, sedangkan awan magnet terdeteksi hampir 17 jam kemudian. Pada saat awan magnet tiba, penurunan intensitas sudah selesai dan intensitas sinar kosmik mulai mengalami pemulihan. Peristiwa penurunan sinar kosmik yang masuk dalam kategori ini menunjukkan bahwa turunnya sinar kosmik mulai terjadi hampir bersamaan dengan datangnya muka gelombang
kejut (shock front), sedangkan waktu datangnya awan magnet terjadi setelah intensitas sinar kosmik mencapai minimum. Bisa dikatakan bahwa yang berperan pada penurunan intensitas sinar kosmik pada peristiwa semacam ini adalah interplanetary shock, bukan awan magnet. Lockwood et al. (1991) juga menyimpulkan bahwa adanya daerah turbulensi di antara shock dan awan magnet cukup efektif untuk menahan sinar kosmik.
3.2 Penurunan Sinar Kosmik karena Awan Magnet
Pada Gambar 3-2 terlihat bahwa penurunan sinar kosmik terjadi setelah datangnya awan magnet, walaupun sebelum itu terdapat shock. Intensitas sinar kosmik ini mencapai minimum 7 jam setelah datangnya awan magnet dan kemudian pulih setelah 2 hari kemudian. Pada kategori ini terlihat bahwa penurunan sinar kosmik dipicu oleh lewatnya awan magnet. Awan magnet mempunyai medan magnet yang cukup kuat. Jadi dalam peristiwa ini penurunan intensitas sinar kosmik disebabkan oleh kenaikan kuat medan magnet, seperti yang diperoleh Sanderson et al. (1990) yang menyatakan bahwa awan magnet mempunyai pengaruh yang tinggi terkait dengan turunnya intensitas sinar kosmik.
Gambar 3-1: Plot intensitas sinar kosmik terhadap waktu tanggal 10 – 14 April 2001. Garis vertikal utuh menunjukkan waktu datangnya shock, sedangkan garis vertikal putus-putus menunjukkan waktu datangnya awan magnet
Analisis Penurunan Intensitas Sinar Kosmik (Clara Y.Yatini)
39 Gambar 3-2: Intensitas sinar kosmik tanggal 4 – 9 November 2000. Garis vertikal utuh menunjukkan waktu datangnya shock, dan garis putus-putus adalah waktu datangnya awan magnet
Gambar 3-3: Intensitas sinar kosmik pada tanggal 20 – 25 November 1997. Garis utuh menunjukkan waktu sampainya shock, garis putus-putus menunjukkan waktu datangnya awan magnet
Gambar 3-4: Plot intensitas sinar kosmik pada tanggal 22 – 27 Maret 2002. Garis utuh adalah waktu datangnya shock, garis putus-putus adalah waktu datangnya awan magnet
3.3 Penurunan Sinar Kosmik karena Interplanetary Shock dan Awan Magnet
Penurunan intensitas sinar kosmik terjadi segera setelah sampainya shock dan terus berlanjut setelah datangnya awan magnet. Awan magnet tiba enam jam setelah datangnya shock. Sedangkan intensitas sinar kosmik terus turun sampai mencapai minimum menjelang jam 00 UT tanggal 23 November 1997. Tampak bahwa penurunan intensitas ini bisa saja disebabkan karena shock dan awan magnet.
3.4 Penurunan Sinar Kosmik yang Bukan Disebabkan oleh Interplanetary Shock Maupun Awan Magnet
Untuk pola intensitas yang tidak sesuai dengan pola yang diakibatkan oleh shock maupun awan magnet termasuk dalam kategori ini. Penurunan intensitas sinar kosmik terjadi setelah datangnya shock maupun awan magnet. Penurunan intensitas yang terbesar, yaitu pada tanggal 25 Maret 2002 tampaknya tidak disebabkan oleh awan magnet yang datang pada tanggal 24 Maret maupun shock yang datang pada tanggal 23 Maret. Selain karena shock dan awan magnet penurunan intensitas sinar kosmik juga dapat disebabkan oleh Corotating Interaction Region (CIR) (Klein dan Burlaga, 1982 ; Badruddin et al., 1986). CIR disebabkan oleh angin surya yang berkecepatan tinggi menumbuk angin surya dengan kecepatan rendah yang berada di depannya. Medan magnet dalam CIR ini cukup tinggi (Tsurutani et al., 2006) sehingga dapat mengurangi intensitas sinar kosmik.
4 PENUTUP
Sinar kosmik terdiri dari partikel-partikel yang berenergi tinggi, umumnya berkisar antara 100 MeV sampai 10 GeV. Intensitas sinar kosmik yang diterima di Bumi mengalami modulasi
(variasi) yang disebabkan oleh fenomena antarplanet, di antaranya interplanetary shock dan awan magnet. Analisis terhadap penyebab penurunan intensitas dilakukan dengan membandingkan data sinar kosmik dengan data awan magnet dan data interplanetary shock yang diwakili oleh data SSC. Dengan melakukan superposisi pada waktu mulainya penurunan intensitas sinar kosmik, waktu datangnya awan magnet dan waktu datangnya shock, dapat diketahui penyebab penurunan intensitas tersebut. Penurunan ini dapat dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu yang disebabkan oleh interplanetary shock, awan magnet, interplanetary shock dan awan magnet, serta oleh CIR. DAFTAR RUJUKAN
Ananth, A.G., Venkatesan, D., 1993. Effect of Interplanetary Shocks and Magnetic Clouds on Onset of Cosmic Ray Decreases, Solar Phys. 143, 373.
Badruddin, 2001. Magnetic Clouds, Interplanetary Shocks and Forbush Decrease, Proceeding of International Cosmic Ray Conference, 3557.
Badruddin, Venkatesan, D., Zhu, B.Y., 1991. Study and Effect of Magnetic Clouds on the Transient Modulation of Cosmic Ray Intensity, Solar Phys. 134, 203.
Badruddin, Yadav, R.S., Yadav, N.R., 1986. Influence of Magnetic Clouds on Cosmic Ray Intensity Variation, Solar Phys. 105, 413.
Burlaga, L.F., Hundhausen, A.J., Zhao, X.P., 1981. The Coronal and Interplanetary Current Sheet in Early 1976, J. Geophys. Res. 86, 8893.
Calgary Neutron Monitor, ftp://ftp.pjl. ucalgary.ca/calgary_neutron_moni tor/.
Crosby, N.B., 2007. Major Radiation Environments n the Heliosphere and Their Implications for Interplanetary Travel, in Space
Analisis Penurunan Intensitas Sinar Kosmik (Clara Y.Yatini)
41
Weather Physics and Effects (V. Bothmer and I.A. Daglis), Springer and Praxis Publishing, UK.
Klein, L.W., Burlaga, L.F., 1982. Interplanetary Magnetic Cloud at 1 AU, J. Geophys. Res. 87, 613. Lockwood, J.A., Webber, W.R.,
Debrunner, H., 1991. Forbush Decreases and Interplanetary Magnetic Field Disturbances: Association with Magnetic Clouds, J. Geophys. Res. 96, 11587.
Magnetic Field Investigation MFI, http://
lepmfi.gsfc.nasa.gov/mfi/mag_clo ud_S1.html.
Mishra, M.P., 2005. Solar Activity and Cosmic Ray Intensity Variation, 29th International Cosmic Ray
Conference Pune 2, 159.
National Geophysical Data Center, http:// www.ngdc.noaa.gov/. Sanderson, T.R., Beeck, J., et al., 1990.
Cosmic Ray, Energetic Ion and Magnetic Field Characteristics of a Magnetic Cloud, 21st Int. Cosmic
Ray Conf. Adelaide 6, 225.
Tsurutani, B.T., Gonzalez, W. D., et al., Corotating Solar Wind Streams and Recurrent Geomagnetic Activity: A Review, 2006, J. Geophys. Res. 111, 11273.
Venkatesan, D., Ananth, A.G., 1991. Forbush Decrease in Cosmic Rays, Bull. Astr. Soc. India 19, 1.
Webb, D.F., Wright, C.S., 1990. The Effect of Disappearing Solar Filaments on Cosmic Ray Modulation at the Earth, 21st Int.
PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN
DAN ISU PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA
Iis Sofiati
Peneliti Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara, LAPAN Email: [email protected]
RINGKASAN
Berbagai studi mengenai kebakaran hutan sudah dilakukan dan belum banyak kemajuan yang dicapai untuk mengatasi masalah ini di Indonesia. Alasan-alasannya antara lain adalah kerancuan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang dampaknya terhadap ekosistem dan kekaburan tentang berbagai penyebab kebakaran hutan sebagai akibat ketidakpastian tanggapan secara ekonomi dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan. Masalah kebijakan yang terkait dengan kebakaran hutan/lahan adalah pencemaran kabut asap, degradasi hutan dan deforestasi beserta hasil hutan dan jasanya yang juga hilang, dan dampak negatifnya bagi sektor pedesaan akibat emisi polutan yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut. Oleh sebab itu sangat perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah daerah di Indonesia dalam upaya mengurangi dan menanggulangi kebakaran hutan termasuk pengembangan kerjasama antar instansi terkait.
1 PENDAHULUAN
Emisi polutan ke udara dari sisa pembakaran hutan dengan kadar konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan proses sebaran udara tidak bisa tercampur dengan baik sehingga tidak dapat mengangkut bahan pencemar secara efektif. Akibatnya, wujud fenomena pencemaran udara seperti asap banyak terdapat di wilayah yang bersangkutan. Bahan pencemar yang meningkat kepekatannya akibat kelemahan proses sebaran udara bisa memberi dampak negatif secara fisik terutama pada ekosistem dan kesehatan manusia.
Pada umumnya, puncak pencemaran udara di suatu kawasan bisa dikaitkan dengan dua sumber polutan yaitu sumber lokal dan sumber luar. Sumber lokal yang paling besar pengaruhnya adalah kendaraan bermotor, kilang industri, pembakaran sampah, dan juga dari pertanian (Stern A.C., et all, 1984, Fisher B., et all, 2006). Sumber luar yaitu pergerakan pencemar dari sumbernya yang berasal dari wilayah lain (Harjanto W dkk., 2004). Seperti asap yang pekat hasil
pembakaran hutan dari P. Sumatera dapat dirasakan oleh negara Malaysia terutama di kawasan yang berdekatan dengan pantai dan tanah rendah. Episode penyebaran asap yang sampai di negara Malaysia bisa dikatakan telah menjadi satu fenomena tahunan di Malaysia terutama di bulan-bulan kering (Shaharuddin, 2006).
Kebakaran hutan di P. Sumatera baik yang disengaja maupun yang sifatnya musibah sering terjadi terutama pada musim kemarau, dan peristiwa ini menghasilkan polutan ke udara yang dapat tersebar ke daerah lain yang sangat jauh, terutama asap. Dari hasil penelitian, konsentrasi polutan tertinggi di wilayah Sumatera terjadi pada waktu pagi dan sore hari, dan penyebaran polutan dapat mencapai daerah lain (Sofiati dkk., 2005). Selain itu tak menutup kemungkinan P. Sumatera berkembang menjadi daerah dengan perkembangan industri dan transportasi yang menghasilkan polutan ke udara.
Daerah kebakaran hutan yang lokasinya tidak selalu tetap, sumber polutan dari industri dan transportasi yang lokasinya masih dalam perencanaan, maka perkembangan
Penyebaran Polutan dari Kebakaran Hutan dan Isu Pencemaran... (Iis Sofiati)
43 wilayah kajian penyebaran polutan
menjadi sangat penting. Dengan kajian ini diharapkan jika pada suatu kawasan hutan terbakar atau suatu daerah akan dikembangkan menjadi kawasan industri atau transportasi, maka dapat diberikan gambaran ke arah mana polutannya akan tersebar.
2 HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN 2.1 Kebakaran Hutan di Indonesia
Kajian ini difokuskan pada kejadian asap yang disebabkan oleh pembakaran hutan dan bekas lahan pertanian di P.Sumatera pada bulan Agustus 2005. Asap adalah fenomena yang disebabkan oleh adanya partikel-partikel halus yang terdapat di atmosfer dengan kepekatan yang tinggi dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Kepekatannya yang ekstrim sering dikaitkan dengan keterbatasan dalam jarak penglihatan (visibility). Salah satu cara untuk menunjukkan kepekatan
bahan pencemar udara adalah dengan menggunakan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Indonesia, ataupun Indeks Pencemar Udara (IPU) yang dikeluarkan oleh Jabatan Alam Sekitar-Malaysia.
Telah diketahui bersama bahwa aktivitas pembakaran ladang pertanian dan hutan merupakan penyebab timbulnya asap di Indonesia yang banyak dikeluhkan oleh Malaysia, khususnya yang berasal dari kawasan Sumatera Utara dan Riau. Di Pekan Baru, ribuan hektar tanah gambut terus dibakar untuk kemudian digantikan menjadi perkebunan kelapa sawit (Stolle et. all, 2006).
Keadaan seperti ini berlangsung secara terus menerus, sehingga beban pencemaran selalu meningkat dan mencapai kawasan Semenanjung Malaysia akibat pengaruh angin Monsun Barat Daya yang lemah.
Gambar 2-1: Hasil Kajian Pemodelan Pergerakan Polutan dari P. Sumatera ke Semenanjung Malaysia pada Tahun 1997 (ECOS, 2002)
Sebagai contoh, kajian pemodelan pencemaran udara yang telah dilakukan oleh CSIRO, Australia (ECOS 2002, dalam Shaharuddin, 2006) membuktikan bahwa pergerakan angin dari P. Sumatera khususnya dari kawasan yang terbakar telah membawa polutan ke Semenanjung Malaysia (Gambar 2-1).
Diduga adanya beberapa perusahaan baik dari Indonesia maupun Malaysia (termasuk delapan perusahaan perladangan Malaysia, Utusan Online, 2005 dalam Shaharuddin, 2006) yang beroperasi di P. Sumatera yang diyakini terlibat dalam aktivitas pembakaran terbuka sehingga menyebabkan masalah asap yang berasal dari P. Sumatera. Perusahaan-perusahaan itu
dipastikan sedang melakukan pem-bakaran terbuka untuk membersihkan ladang dengan menggunakan metode mudah dan murah yang telah lama dilakukan oleh mereka (Stolle et. all, 2006), seperti yang terlihat pada Gambar 2-2.
Masalah kebakaran hutan ini diperparah lagi dengan adanya fenomena El- Niño seperti terlihat pada Gambar 2-3, dengan indikasi nilai negatif dari SOI (tanda panah) dari data DNR Queensland-Australia pada bulan Agustus 2005. Kejadian El- Niño ini memperbanyak jumlah titik panas (hotspot) di wilayah P. Sumatera, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-3 (tanda panah).
Gambar 2-2: Kebakaran Hutan Menjadi Peristiwa Rutin di P. Sumatera. (Sumber:
http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2007/02/070215_laha ngambut.shtml download tgl 21 April 2008)
Gambar 2-3: Southern Oscillation Index (SOI) bulanan dari Januari 2005 sampai Februari 2008. (Sumber: http://www.john-daly.com/elnino.htm)
Penyebaran Polutan dari Kebakaran Hutan dan Isu Pencemaran... (Iis Sofiati)
45 Pengaruh tiupan angin Monsun
Barat Daya di atmosfer bawah menyebabkan penyebaran polutan dari wilayah P. Sumatera menuju Semenanjung Malaysia seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2-4. Pengaruh pergerakan angin ini penting dalam proses menyebarkan dan juga menghapuskan kepekatan polutan.
Adanya jumlah titik-titik panas berdasarkan data citra satelit dari NOAA-14 membuktikan bahwa bahan pencemar kebanyakan berada di kawasan utara dan timur P. Sumatera. Kebakaran besar-besaran akibat aktivitas pembukaan lahan pertanian di wilayah Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Bengkalis di Provinsi Riau serta kebakaran hutan tanah gambut di Rokan Hulu dan Rokan Hilir telah menyebabkan meningkatnya konsentrasi PM10 di wilayah
Semenanjung Malaysia (Shaharuddin dan Noorazuan, 2005).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan dan bekerjasama dengan Kementerian lain terkait, telah melakukan kebijakan dan teknik operasional dalam mengontrol kebakaran hutan yang berasal dari aktivitas manusia dan alam baik secara nasional maupun regional (Harjanto W dkk. 2004). Namun efektivitasnya menjadi kurang berarti disebabkan oleh
perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab.
Oleh sebab itu sangat perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah daerah di Indonesia dalam upaya mengurangi dan menanggulangi kebakaran hutan termasuk pengembangan kerjasama dalam wadah Asian Forest Partnership (AFP), dimana kebakaran hutan adalah salah satu dari ketiga fokus yang dikeluarkan AFP (Harjanto W dkk., 2004).
Proyek Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, yang didanai oleh Uni Eropa dan Departemen Kehutanan hanya berjalan selama enam tahun (1995-2001) di Sumatera Selatan. Berbagai ilmu pengetahuan didapatkan dari proyek tersebut dan dari usaha yang sama di tingkat nasional maupun internasional.
2.2 Luas Kebakaran Hutan Selama Peristiwa ENSO 1997/98
Pengkajian nasional paling lengkap mengenai luas lahan yang terbakar selama peristiwa ENSO 1997/98 memperkirakan total lahan yang terbakar sekitar 9.75 juta ha (BAPPENAS-ADB, 1999). Selanjutnya adalah hasil studi ADB (Asian Development Bank); BAPPENAS, National Development Planning Agency of Indonesia pada Tabel 2-1.
Gambar 2-4: Angin Monsun Barat Daya yang terjadi pada tanggal 10 dan 15 Agustus, 2005. Sumber: NOAA, UKM dalam Shaharuddin, 2006).
Tabel 2-1: PERHITUNGAN ADB UNTUK KAWASAN YANG DILANDA KEBAKARAN TAHUN 1997/98 (HEKTAR)
3 PENUTUP
Kajian ini membuktikan bahwa peristiwa kebakaran yang terjadi di kawasan P. Sumatera pada bulan Agustus 2005 menjadi penyebab utama meningkatnya kadar kepekatan polutan di seluruh Semenanjung Malaysia, terutama di sekitar Lembah Klang.
Pengaruh tiupan angin Monsun Barat Daya bertindak memindahkan bahan-bahan pencemar ke kawasan utara dan selatan Pantai Timur Semenanjung Malaysia pada pertengahan bulan Agustus 2005.
DAFTAR RUJUKAN
Arifin Y., 2007. http://www.bbc.co.uk/ indonesian/indepth/story/2007/0 2/070215_lahangambut.shtml. (down-load tgl 21 April 2008). BAPPENAS-ADB., 1999. Causes, Extent,
Impact and Costs of 1997/1998 Fires and Drought. Laporan Akhir, Lampiran 1 dan 2. Planning for Fire Prevention and Drought Management Project. Asian Development Bank TA-2999-INO. National Development Planning Agency (BAPPENAS) and Asian Development Bank, Jakarta (dalam Luca Tacconi, 2003).
Fisher B.E.A., Kukkonen, J., dan Schatzmann, M., 2006. Meteorology Applied To Urban Air Pollution Problems: Concepts from
COST 715, Int. J. Atmospheric Chem.Phys.,6, 555-564.
Harjanto W dan Sukotjo, 2004. Land And Forest Fire Control Policies And Implementation in Indonesia, Regional Workshop on Strengthening the Asia Forest Partnership, Yogyakarta 2004. John L. Daly, 2008:
(http://www.john-daly.com/elnino.htm), download (25 Maret 2008).
Shaharuddin A., dan Noorazuan Md H., 2006. Kebakaran Hutan dan Isu Pencemaran Udara di Malaysia Kes Jerebu Pada Ogos 2005, Jurnal e-Bangi, 1, 1-19.
Sofiati. I., Hamdi. S, dan Sumaryati, 2005. Trayektori Polusi Udara di Sumatera. Laporan Akhir Program Penelitian Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN-Bandung.
Stern AC, Boubel RW, Turner DB, dan Fox DL., 1984. Fundamentals of Air Pollution. Academic Press. London.
Stolle. F, Tomich T.P, dan Dennis.R, 2006. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Center for International Forestry Research (CIFOR), http://www. mekonginfo. org/mrc_en/ doclib. nsf/0/EFBA893F3AACA4A4C72 56794002749D6/$FILE/FULLTEX T.html, download tgl 4 Maret 2008).
KAJIAN PEMANFAATAN SATELIT MASA DEPAN:
SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT LDCM (LANDSAT-8)
Gokmaria SitanggangPeneliti Bidang Bangfatja, LAPAN RINGKASAN
Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission) dijadwalkan diluncurkan pada tahun 2011 dari VAFB, CA dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Setelah meluncur di orbitnya, satelit tersebut akan dinamakan sebagai Landsat-8. Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari, pada ketinggian: 705 km, inklinasi: 98.2º, periode: 99 menit, waktu liput ulang: 16 hari. Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang membawa Sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) yang mempunyai kanal-kanal spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7. Sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal baru yaitu: kanal-1: 443 nm untuk aerosol garis pantai dan kanal 9: 1375 nm untuk deteksi cirrus; akan tetapi tidak mempunyai kanal inframerah termal. Sensor lainnya yaitu Thermal Infrared Sensor (TIRS) ditetapkan sebagai pilihan (optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI. Tulisan ini menguraikan karakteristik teknis satelit LDCM (Landsat-8), karakteristik teknis sensor pencitra OLI dan karakteristik data citra, subsistem pendukung missi, aplikasi data satelit LDCM (Landsat-8) serta analisis pemanfaatan satelit masa depan: LDCM( Landsat-8). Metode kajian adalah dengan melakukan studi literatur/informasi/data yang diperoleh dari badan/lembaga pemilik satelit serta dari media internet, dan sumber-sumber referensi literatur lainnya/hasil-hasil penelitian yang berkembang dewasa ini, serta melakukan analisis. Kata Kunci: LDCM (Landsat Data Continuity Mission), Landsat-8, OLI (Operational Land
Imager), TIRS (Thermal Infrared Sensor) 1 PENDAHULUAN
Seperti diketahui satelit Landsat 4 dan 5 membawa sensor-sensor pencitra yang dinamakan Thematic Mapper (TM), yang mengumpulkan data multispektral 7 kanal : 3 kanal tampak (merah, hijau, biru), 3 kanal inframerah dan 1 kanal inframerah termal. Semua data Landsat diakuisisi dengan resolusi spasial 30 meter, kecuali kanal inframerah termal, yaitu 120 meter. Satelit Landsat-6, hilang saat diluncurkan pada tahun 1993. Satelit Landsat terbaru yaitu Landsat-7, yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, membawa sebuah sensor yang diupgrade dinamakan Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+), dikembangkan dengan kemampuan spektral dan spasial yang mendekati identik dengan TM. Sebagai tambahan adalah sebuah kanal pankromatik pada
resolusi 15-meter dan kanal termal dengan resolusi yang lebih tajam 60 meter.
Karena rencana umur operasi satelit Landsat-7, adalah 5 tahun, usaha-usaha untuk mengimplementasikan misi kontinuitas data Landsat (Landsat Data Continuity Mission-LDCM) berjalan untuk memperkecil resiko-resiko kontinuitas data. Pada tanggal 23 Desember 2005, OSTP (Office of Science and Technology Policy)dari Gedung Putih Amerika Serikat, mengisukan suatu penyelesaian memorandum strategi LDCM (Landsat Data Continuity Mission). Lebih lanjut, NASA diinstruksikan untuk meng-hasilkan misi kontinuitas data Landsat dalam bentuk satelit. Satelit LDCM tersebut akan mengumpulkan data permukaan Bumi yang mirip dengan Landsat sebelumnya. Data LDCM
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:47-58
48
tersebut akan diberikan ke USGS (U.S. Geological Survey) yang akan bertanggung jawab untuk operasi-operasi satelit maupun pengumpulan, pengarsipan, pengolahan dan distribusi data. Pada bulan Juli 2007, Ball Aerospace and Technologies Corp. of Boulder, Colo, dipilih untuk mengem-bangkan instrumen pencitra OLI (Operational Land Imager), dan Atlas-5(401) dikontrak untuk peluncuran. (Barbara, J. R., et al., 2007, http:// science.hq.nasa.gov/research/daac/lp_d aac.html;NASA,2008,http://space.skyro cket.de/index_frame.htm?http://www.s kyrocket.de/space/doc_sdat/ldcm.htm).
Seperti diketahui satelit Landsat-7 tidak dapat lagi berfungsi dengan baik secara ekstrim semenjak bulan Mei 2003, karena terjadi suatu kerusakan pada Scan Line Corrector-nya, sehingga kehilangan data sebesar 24 persen sepanjang sisi-sisi luar dari masing-masing citra. Dengan kondisi Scan Line Corrector Landsat-7 yang mengalami kerusakan tersebut, makin disadari pentingnya pengembangan LDCM. Pada bulan April 2008, NASA memilih General Dynamics Advanced Information Systems, Inc. untuk membangun satelit LDCM. Setelah meluncur di orbitnya, satelit tersebut akan dinamakan sebagai Landsat-8. Satelit LDCM (Landsat-8) adalah misi kerjasama antara NASA dan USGS (U.S. Geological Survey) dengan pembagian tanggung jawab masing-masing. NASA bertanggung jawab akan penyediaan satelit LDCM (Landsat-8), instrumen-instrumen, pesawat peluncur, dan elemen-elemen pendukung operasi misi. NASA juga akan mengelola fase awal peluncuran sampai dengan kondisi satelit beroperasi di orbitnya pada ruas antariksa (dari peluncuran sampai penerimaan). USGS bertanggung jawab akan penyediaan pusat operasi-operasi misi dan sistem-sistem pengolahan pada Stasiun Bumi (termasuk pengarsipan dan jaringan-jaringan data), demikian juga tim
operasi-operasi penerbangan. USGS juga akan membiayai tim ilmuwan Landsat (General Dinamics, 2008,
http:// www.gd-space.com/documents/
LDCM%20081014.pdf; NASA,2008,
http:// directory. eoportal.org/get_ announce. php?an_id=10001248; NASA, 2008, http://space.skyrocket. de/ index_ frame.htm? http://www.skyrocket. de/ space/doc_sdat/ldcm.htm).
Satelit LDCM (Landsat-8) dijadwalkan untuk diluncurkan pada tahun 2011 dari VAFB, CA, dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari, pada ketinggian :705 km, dengan inklinasi : 98.2º, periode : 99 menit, waktu liput ulang (resolusi temporal):16 hari, waktu melintasi khatulistiwa (Local Time on Descending Node -LTDN) nominal pada jam: 10:00 s.d 10:15 pagi. (NASA,2008, http:// directory.eoportal.org/get_announce.php? an_id=10001248).
Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang membawa sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) yang mempunyai 1 kanal inframerah dekat dan 7 kanal tampak reflektif, akan meliput panjang gelombang yang direfleksikan oleh objek-objek pada permukaan Bumi, dengan resolusi spasial yang sama dengan Landsat pendahulunya yaitu 30 meter. Sensor pencitra OLI mempunyai kanal-kanal spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7, akan tetapi sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal yang baru yaitu : kanal-1: 443 nm untuk aerosol garis pantai dan kanal 9 : 1375 nm untuk deteksi cirrus, namun tidak mempunyai kanal inframerah termal. Untuk menghasilkan kontinuitas kanal inframerah termal, pada tahun 2008, program LDCM (Landsat-8) mengalami pengembangan, yaitu Sensor pencitra TIRS (Thermal Infrared Sensor) ditetapkan sebagai pilihan (optional) pada misi
LDCM (Landsat-8) yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI (NASA,2008,
http://directory. eoportal. org/ get_ announce.php? an_ id=10001248).
Sehubungan dengan keadaan teknis Landsat-7 yang mengalami keadaan SLC OFF, dengan kondisi data ETM-plus tersebut, Stasiun Bumi Inderaja Parepare yang dikelola oleh LAPAN menghentikan operasi akuisisi data Landsat-7 tersebut sejak tahun 2007, dan sekarang ini dioperasikan untuk akuisisi data SPOT. Berkaitan dengan program satelit LDCM (Landsat-8) tersebut, maka untuk mempertahankan kontinuitas penyediaan data atau untuk pelayanan permintaan para pengguna akan kebutuhan data atau informasi spasial untuk pengembangan pemanfaatan data dan teknologi inderaja di Indonesia, LAPAN perlu melakukan Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem Penginderaan Jauh Satelit LDCM (Landsat-8). Tulisan ini menguraikan karakteristik teknis satelit LDCM (Landsat-8), karakteristik teknis sensor pencitra OLI dan karakteristik data citra, subsistem pendukung misi, aplikasi data satelit LDCM (Landsat-8) serta analisis pemanfaatan satelit masa depan: LDCM( Landsat-8). Metode kajian adalah dengan melakukan studi literatur/informasi/data yang diperoleh dari badan/lembaga pemilik satelit serta dari media internet, dan sumber-sumber referensi literatur lainnya/ hasil-hasil penelitian yang berkembang dewasa ini, serta melakukan analisis. 2 KAJIAN SISTEM PENGINDERAAN
JAUH SATELIT LDCM (LANDSAT-8)
2.1 Sistem Satelit LDCM (Landsat-8) Pada bulan April 2008, NASA
memilih General Dynamics Advanced Information Systems, Inc. untuk membangun satelit LDCM (Landsat data Continuity Mission). Setelah meluncur di orbitnya, satelit tersebut
akan dinamakan sebagai Landsat-8. Satelit LDCM (Landsat-8) adalah misi kerjasama antara NASA dan USGS (U.S. Geological Survey) dengan pembagian tanggung jawab masing-masing. NASA bertanggung jawab akan penyediaan satelit LDCM (Landsat-8), instrumen-instrumen, pesawat peluncur, dan elemen- elemen operasi misi Sistem Stasiun Bumi. NASA juga akan mengelola fase awal peluncuran sampai dengan kondisi satelit beropersi di orbitnya pada ruas antariksa (dari peluncuran sampai penerimaan). USGS bertanggung jawab akan penyediaan pusat operasi-operasi misi dan sistem-sistem pengolahan pada Stasiun Bumi (termasuk pengaripan dan jaringan-jaringan data), demikian juga tim operasi-operasi penerbangan. USGS juga akan membiayai tim ilmuan Landsat (NASA,2008,http://space.skyrocket.de/i ndex_frame.htm?http://www.skyrocket. de/space/doc_sdat/ldcm.htm;NASA,200 8,http://directory.eoportal.org/get_anno unce.php?an_id=10001248).
Satelit LDCM (Landsat-8) dijadwal-kan adijadwal-kan diluncurdijadwal-kan pada tahun 2011 dari VAFB, CA. Penyedia peluncur adalah Lockheed Martin Commercial Launch Services (LMCLS of Littleton, CO). Pesawat peluncur adalah Atlas-V-401. Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari, pada ketinggian 705 km, dengan inklinasi: 98.2º, periode: 99 menit, dengan waktu liput ulang (resolusi temporal) adalah 16 hari dan waktu melintasi katulistiwa (Local Time on Descending Node -LTDN) nominal pada jam 10:00 s.d 10:15 pagi. (NASA,2008, http://directory. eoportal.org/get_announce.php?an_id=1 0001248).
Satelit LDCM (Landsat-8) meng-gunakan suatu platform dengan pengarahan titik nadir yang distabilkan tiga-sumbu, suatu arsitektur modular yang berhubungan dengan Bus SA-200HP. Bus SA-200HP dengan
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:47-58
50
dayaguna tinggi adalah dari DS1 (Deep Space 1) dan merupakan warisan misi Coriolis. Satelit LDCM (Landsat-8) tersebut terdiri dari suatu bingkai aluminium dan struktur panel utama. Subsistem Kontrol dan Penentuan Sikap (Attitude Determination and Control Subsystem-ADCS) menggunakan 6 buah roda-roda reaksi dan tiga batang tenaga putaran (torque rods) sebagai aktuator. Sikap satelit diindera dengan tiga buah alat untuk mengikuti jejak bintang (star trackers) yang presisi, sebuah SIRU (Scalable Inertial Reference Unit), 12 buah sensor matahari yang kasar, penerima–penerima GPS (Viceroy), dan 12 buah TAMs (Three Axis Magnetometers). Persyaratan teknis yang dirancang untuk dipenuhi adalah sebagai berikut: Kesalahan kontrol sikap satelit (3σ)
(Attitude control error (3σ)) : ≤ 43 µrad. Kesalahan pengetahuan sikap satelit
(3σ)) (Attitude knowledge error (3σ)): ≤ 29 µrad.
Stabilitas pengetahuan sikap satelit (3σ) (Attitude knowledge stability (3σ): ≤ 1.7 µrad dalam waktu 2,5 detik. Aspek-aspek kunci dari dayaguna satelit LDCM (Landsat-8) yang berhubungan dengan kalibrasi pencitra dan validasi adalah pengarahan titik (pointing), stabilitas dan kemampuan melakukan manuver. Pengarahan titik dan stabilitas satelit mempengaruhi dayaguna geometrik. Kemampuan melakukan manuver memungkinkan akuisisi data untuk kalibrasi dengan menggunakan matahari, bulan dan bintang-bintang (NASA,2008,http://directory.eoportal.org/ get_announce.php?an_id=10001248;Gen eral Dinamics, 2008, http://www.gd space.com/documents/LDCM%2008101 4.pdf ). Pada Gambar 2-1 ditunjukkan gambaran pencitraan permukaan Bumi dengan satelit LDCM (Landsat-8) di orbitnya. Parameter-parameter orbit satelit LDCM (Landsat-8) ditunjukkan pada Tabel 2-1.
Gambar 2-1: Gambaran pencitraan permukaan Bumi dengan satelit LDCM (Landsat-8) di orbit (kredit citra : General Dynamics)
Tabel 2-1: PARAMETER-PARAMETER ORBIT SATELIT LDCM (LANDSAT-8)
Jenis Orbit mendekati lingkaran
sikron-matahari
Ketinggian 705 km
Inklinasi 98.2º
Periode 99 menit
Waktu liput ulang (resolusi temporal) 16 hari Waktu melintasi katulistiwa (Local Time on
Descending Node -LTDN) nominal
Jam 10:00 s.d 10:15 pagi
2.2 Subsistem Pendukung Satelit LDCM (Landsat-8)
Sistem satelit LDCM (Landsat-8) terdiri dari antara lain subsistem-subsistem pendukung (NASA,2008,
http:// directory.eoportal. org/get_
announce.php?an_id= 10001248),
dengan fungsi fungsi sebagai berikut: Subsistem penanganan data dan
komando (Command & Data Handling- C&DH): menggunakan sebuah cPCI backplane RAD750 CPU standar. Bus data MIL-STD-1553B digunakan untuk Sistem Kontrol dan Penentuan Sikap (Attitude Determination and Control Subsystem-ADCS) pada satelit (onboard), fungsi-fungsi C&DH dan komunikasi-komunikasi instrumen. Sebuah perekam (solid state recorder) mem-berikan kemampuan penyimpanan 4 TB @ BOL dan 3.1 TB @ EOL.
Subsistem kontrol termal (thermal control subsystem) menggunakan pemanas-pemanas potongan etched-foil Kapton standar, sebuah sistem yang bias-dingin (cold-biased), pasif, digunakan untuk pesawat-antariksa tersebut. Insulasi multi-layer pada pesawat-antariksa dan payload diperlukan. Pandangan antariksa yang dalam dilengkapi untuk radiator-radiator instrumen.
Subsistem Tenaga Listrik (Electric Power Subsystem-EPS) terdiri dari array
Matahari tunggal yang dapat dikembangkan dengan kemampuan artikulasi sumbu-tunggal dan dengan suatu stepping gimbal. Sel-sel Matahari sambung-tiga (triple-junction) digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik 4300 W @ EOL. Baterei NiH2
mempunyai kapasitas 125 Ah.
Subsistem propulsi pada satelit (Onboard propulsion subsystem) memberikan perubahan kecepatan total ΔV = 334 m/detik dengan menggunakan 8 buah pendorong (thrusters) 22N untuk koreksi kasalahan penyisipan, penyesuaian– penyesuaian ketinggian, perbaikan sikap satelit, pembuangan EOL, dan pemeliharaan operasional yang diperlukan lainnya.
Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang mempunyai massa saat meluncur 2623 kg (massa kering 1512 kg). Umur rancangan misi adalah 5 tahun; persediaan yang dapat dikonsumsi pada satelit di orbitnya (hydrazine : 386 kg) akan berakhir untuk umur operasi 10 tahun (NASA, 2008, http://directory.eoportal.org/get_ announce.php?an_id=10001248).
Karakteristik teknis dari Parameter-Parameter Satelit LDCM (Landsat-8) ditunjukkan pada Tabel 2-2.
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:47-58
52
Tabel 2-2: KARAKTERISTIK TEKNIS SATELIT LDCM (LANDSAT-8) PARAMETER
SATELIT SPESIFIKASI TEKNIS
Wahana Satelit Bus SA-200HP ( Dayaguna tinggi )
Massa Satelit Massa peluncuran : 2623 kg; massa kering : 1512 kg Umur rancangan
satelit 5 tahun ; dukungan yang dapat dikonsumsi pada satelit (onboard) : hydrazine: 86 kg, akan berakhir untuk umur operasi 10 tahun.
Subsistem Tenaga Listrik (Electric Power Subsystem- EPS)
-Tenaga listrik : 4.3 kW @ EOL (End of Life).
- Array matahari tunggal yang dapat dikembangkan dengan kapabilitas artikulasi sumbu-tunggal.
- Sel-sel matahari sambung-tiga (Triple-junction) - Baterei : NiH2 dengan kapasitas: 125 Ah
Subsistem Kontrol dan Penentuan Sikap (Attitude Determination and Control Subsystem- ADCS)
- Aktuasi : 6 roda-roda reaksi 3 tiga batang tenaga putaran (torque rods)
- Sikap satelit diindera dengan tiga buah alat untuk mengikuti jejak bintang (star trackers) yang presisi
- SIRU (Scalable Inertial Reference Unit) (redundant) - 12 buah sensor matahari yang kasar,
- Penerima –penerima GPS (Viceroy) (redundant) - 2 TAMs (Three Axis Magnetometers)
- Kesalahan kontrol sikap satelit (3σ) (Attitude control error I3σ)) : ≤ 43 µrad
- Kesalahan pengetahuan sikap satelit (3σ) (Attitude knowledge error (3σ)): ≤ 29 µrad
- Stabilitas pengetahuan sikap satelit (3σ) (Attitude knowledge stability (3σ): ≤ 1.7 µrad dalam waktu 2,5 detik.
- Jitter Sikap (Attitude Jitter) ≤ 0 .21 µrad dalam 0.5 detik - Waktu slew, 180º pitch: ≤ 8.5 menit, inclusive settling - Waktu slew , 15º roll: ≤ 3.7 menit, inclusive settling Subsistem
Penanganan Data dan Komando (Command & Data Handling- C&DH)
- cPCI backplane RAD750 CPU standar. - Bus data MIL-STD-1553B
- Perekam solid state memberikan kapasitas penyimpanan 4 TB @ BOL dan 3.1 TB @ EOL
Subsistem Propulsi (Propulsion
subsystem)
Perubahan kecepatan total ΔV = 334 m/detik menggunakan 8 pendorong ( thrusters ) 22 N
2.4 Komunikasi-Komunikasi RF Saluran data kanal-X dari satelit ke stasiun bumi (downlink) meng-gunakan kompressi dengan tidak ada kehilangan data dan pentapisan spektral. Kecepatan data–payload 320 Mbit/detik (RT) dan 384 Mbit/detik (RT+PB). Kanal S digunakan untuk semua fungsi-fungsi TT&C. Saluran data kanal-S dari stasiun bumi ke satelit (uplink) di-encrypted yang menghasilkan kecepatan data 1, 32, dan 64 Kbit/detik. Saluran data kanal S dari satelit ke stasiun bumi (downlink) menawarkan kecepatan data 2, 16, 32, RTSOH; 1 Mbit/detik SSOH/RTSOH GN; 1
kbit/detik RTSOH SN (NASA,2008, http://directory.eoportal.org/get_annou nce.php?an_id=10001248).
3 SENSOR PENCITRA PADA SATELIT LDCM (LANDSAT-8) DAN KARAKTERSTIK DATA CITRA
Dalam bulan Juli 2007, NASA telah menyerahkan kontrak kepada BATC (Ball Aerospace Technology Corporation), Boulder, CO. untuk mengembangkan instrument kunci OLI (Operational Land Imager) pada LDCM (Landsat-8). BATC melakukan kontrak untuk perancangan, pengembangan, pembuatan dan integrasi dari sensor
pencitra OLI. Perusahaan tersebut juga diperlukan untuk pengujian, pengiriman dan memberikan dukungan pengiriman-lanjut dan 5 tahun dukungan di orbit untuk instrumen tersebut.
Sensor pencitra OLI mempunyai kanal-kanal spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7. Sensor OLI ini mempunyai kanal-kanal yang baru yaitu : kanal untuk deteksi aerosol garis pantai (kanal-1: 443 nm) dan kanal
untuk deteksi cirrus (kanal 9: 1375 nm), akan tetapi tidak mempunyai kanal inframerah termal. Tabel 3-1 menunjuk-kan Spesifikasi Kanal-Kanal Spektral Pencitra LDCM (Landsat-8) (yang diperlukan oleh NASA/USGS). (NASA, 2008, http://directory. eoportal.
org/get_announce. php? an_id=
10001248). Perbandingan Parameter Spektral Instrument OLI dan ETM+ Landsat-7, ditunjukkan dalam Tabel 3-2. Tabel 3-1: SPESIFIKASI KANAL-KANAL SPEKTRAL SENSOR PENCITRA LDCM
(LANDSAT-8) (YANG DIPERLUKAN OLEH NASA/USGS) Kanal No Kanal Kisaran spektral (nm) Penggunaan Data GSD (resolusi spasial) Radiance (W/m2sr μm), typical SNR (typical) 1 Biru 433-453 Aerosol/coastal zone 30 m 40 130 2 Biru 450-515 Pigments/scatter /coastal 30 m (Kanal-kanal wari- san TM) 40 130 3 Hijau 525-600 Pigments/coastal 30 100 4 Merah 630-680 Pigments/coastal 22 90 5 Infra merah dekat (NIR) 845-885 Foliage/coastal 14 90 6 SWIR 2 1560-1660 Foliage 4.0 100 7 SWIR 3 2100-2300 Minerals/litter/no scatter 1.7 100
8 PAN 500-680 Image sharpening 15 m 23 80 9 SWIR 1360-1390 Cirruscloud
detection
30 m 6.0 130
Tabel 3-2: PERBANDINGAN PARAMETER-PARAMETER SPEKTRAK SENSOR PENCITRA OLI/LDCM (LANDSAT-8) DAN ETM+/LANDSAT-7
OLI (LDCM) ETM+ (Landsat-7) N0. Kanal
spectral
Panjang
gelombang (µm) GSD (m) N0. Kanal spectral
Panjang Gel (µm) GSD (m) 8 (PAN) 0.500 - 0.680 15 8 (PAN) 0.52 - 0.90 15 1 0.433 - 0.453 30 2 0.450 - 0.515 30 1 0.45 - 0.52 30 3 0.525 - 0.600 30 2 0.53 - 0.61 30 4 0.630 - 0.680 30 3 0.63 - 0.69 30 4 0.78 - 0.90 30 5 0.845 - 0.885 30 9 1.360 - 1.390 30 6 1.560 - 1.660 30 5 1.55 - 1.75 30 7 2.100 - 2.300 30 7 2.09 - 2.35 30 Kemampuan pencitraan OLI tidak
termasuk thermal
6 (TIR) 10.40 - 12.50 60
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:47-58
54
Rancangan instrument (sensor pencitra) OLI mencirikan sebuah pencitra multispektral dengan suatu arsitektur pushbroom. Implementasi pushbroom dipertimbangkan untuk lebih stabil secara geometrik dibandingkan dengan scanner whiskbroom dari instrument ETM+ pada Landsat-7 (NASA,2008,
http://directory. eoportal.org/get_ announce.php?an_id=10001248).
Pandangan skematik rancangan instrumen (sensor pencitra) OLI ditunjukkan pada Gambar 3-1. Pada Tabel 3-3 ditunjukkan spesifikasi teknis dari parameter-parameter sensor pencitra (instrumen) OLI.
Gambar 3-1: Pandangan skematik rancangan instrument (sensor pencitra) OLI (kredit citra: BATC)
Tabel 3-3: SPESIFIKASI TEKNIS PARAMETER-PARAMETER SENSOR PENCITRA OLI Teknik Observasi Pencitra Pushbroom
Kanal Spektral 9 kanal dalam VNIR/SWIR yang meliput kisaran spektral dari 443 nm s/d 2300 nm
Telescope -Empat –cermin rancangan telescope off-axis dengan suatu stop aperture depan (front aperture stop)
-Penggunaaan optical bench
-Rancangan Telecentric dengan penolakan sinar stray yang sangat sempurna.
FPA (Focal Plane
Assembly) -Terdiri dari 14 sensor chip assemblies yang dipasang pada piring tunggal -FPA didinginkan secara pasif
-Detektor-detektor Hybrid silicon/HgCdTe
-Pemasangan butcher block filter pada setiap SCA (Sensor Chip Assembly) Lebar liputan satu citra (FOV=15º) 185 km GSD (Ground
Sample Distance) 15 m untuk data PAN ; 30 m untuk data multispectral VNIR/SWIR Kuantisasa Data 12 bit
Kalibrasi -Solar calibrator (diffuser) digunakan satu kali/minggu.
- Lampu-lampu stimulasi yang digunakan untuk memeriksa kalibrasi intra-orbit
-Shutter Gelap untuk kalibrasi offset (digunakan dua kali setiap orbit)
-Detektor-detektor gelap pada focal plane untuk memantau offset drift
3.2 TIRS (Thermal Infrared Sensor) Untuk mengatasi kontinuitas data Landsat-7 pada kanal inframerah termal, pada tahun 2008, program LDCM (Landsat-8) menetapkan sensor pencitra Thermal Infrared Sensor (TIRS) sebagai pilihan (optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI (NASA,2008,
http:// directory. eoportal.org/get_ announce.php?an_id=10001248).
4 ANALISIS PEMANFAATAN SATELIT MASA DEPAN : LDCM (LANDSAT-8)
Sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) pada LDCM (Landsat-8) yang mempunyai 1 kanal inframerah- dekat dan 7 kanal tampak reflektif, akan meliput gelombang panjang-gelombang elektromagnetik yang direfleksikan oleh objek pada permukaan Bumi, dengan resolusi spasial 30 meter. Sensor pencitra OLI mempunyai kemampuan resolusi spasial dan resolusi spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7. Akan tetapi sensor pencitra OLI tidak mempunyai kanal termal. Namun demikian, sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal yang baru yaitu : kanal-1: 443 nm untuk deteksi aerosol garis pantai dan kanal 9 : 1375 nm untuk deteksi cirrus.
Ketersediaan kanal-kanal spektral reflektif dari sensor pencitra OLI pada LDCM (Landsat-8) yang menyerupai kanal-kanal spektral reflektif ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7, memastikan kontinuitas data untuk deteksi dan pemantauan perubahan objek-objek pada permukaan Bumi global. Untuk mengatasi kontinuitas data Landsat-7 pada kanal inframerah termal, pada tahun 2008, program LDCM (Landsat-8) menetapkan sensor pencitra TIRS (Thermal Infrared Sensor) ditetapkan sebagai pilihan (optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas
data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI.
Dalam pemanfaatan data satelit LDCM (Landsat-8) atau data inderaja lainnya, yang berorientasi pada ketersediaan data dan kebutuhan jenis informasi, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan untuk melaksanakan aplikasi kasus-kasus pemetaan atau perencanaan wilayah, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan maupun untuk pengelolaan bencana alam dan lain sebagainya dengan hasil yang efektif dan efisien adalah: 1) Pemilihan data yang menyangkut: pemilihan kanal/resolusi atau kombinasi kanal spektral dan resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi radiometrik serta luas liputan satu citra, 2) Penentuan prosedur atau teknik dan metode pengolahan dan analisis data citra.
Kemampuan pencitraan multi-spektral telah lama menjadi pusat program satelit seri Landsat. Satelit-satelit seri Landsat membawa sensor-sensor yang mampu untuk melakukan pendeteksian gelombang elektromagnetik yang direfleksikan dan radiasi elektromagnetik yang diemisikan dalam beragam panjang-gelombang diskrit dari spektrum tampak dan inframerah termal. Dengan menggabungkan kanal-kanal spektral ini menjadi citra-citra berwarna, para pengguna mampu mengidentifikasi dan membedakan karakteristik dan kondisi-kondisi ciri-ciri penutup lahan, bahkan yang paling halus kanal-kanal multispektral data satelit seri Landsat dengan resolusi spasial 30 meter adalah ideal untuk pendeteksian, pengukuran, dan untuk menganalisis perubahan-perubahan objek-objek pada permukaan Bumi pada level yang rinci, dimana pengaruh alamiah dan aktifitas yang diakibatkan manusia, dapat diidentifikasi dan dinilai secara akurat. Aplikasi yang paling penting dari data citra multispektral dari satelit seri Landsat adalah pendeteksian dan pematauan perubahan-perubahan pada permukaan
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:47-58
56
Bumi. Dengan penggabungan secara digital dua atau lebih citra-citra yang dikumpulkan atas daerah yang sama di permukaan Bumi pada waktu-waktu yang berbeda dan menggunakan algoritma-algoritma deteksi perubahan yang dilakukan dengan komputer, para pengguna dapat menganalisis perubahan objek-objek pada permukaan Bumi.
Sekarang ini data citra dari satelit-satelit seri Landsat adalah yang secara rutin digunakan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia dalam peramalan pertanian, eksplorasi energi, pemantauan ekosistem, pengelolaan sumber alam, pemetaan penggunaan lahan/penutup lahan, pengumpulan intelligent militer, dan mitigasi bencana. Khususnya di Indonesia, ketersediaan data inderaja TM/ Landsat-5 dan ETM-plus/Landsat-7 yang diterima pada Stasiun Bumi Penginderaan Jauh (Inderaja) Parepare yang dioperasikan oleh LAPAN, dan kemudahan perolehan data dari Stasiun Bumi Inderaja Pare-Pare tersebut di atas, telah membuka peluang pemanfaatan data inderaja tersebut untuk berbagai bidang aplikasi. Hal itu dapat dilihat dari penelitian/ pengembangan dan operasionalisasi pemanfaatan data tersebut untuk sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, pengembangan wilayah, geologi/ pertambangan, pemetaan dan lain sebagainya di Indonesia. Akan tetapi sehubungan dengan kondisi teknis Landsat-7 yang mengalami keadaan SLC OFF, maka dengan kondisi data ETM-plus tersebut, Stasiun Bumi Penginderaan Jauh (Inderaja) Parepare- LAPAN menghentikan operasi akuisisi data Landsat tersebut sejak tahun 2007, dan sekarang ini dioperasikan untuk akuisisi data SPOT-4.
Hasil kajian ini menunjukkan perlunya kontinuitas akuisisi data Landsat di Indonesia melalui pengembangan Stasiun Bumi Inderaja yang dikelola oleh LAPAN untuk dapat menerima data satelit Landsat masa
depan yaitu LDCM (Landsat-8) di dalam menjamin kontinuitas pelayanan data, bagi para pengguna data inderaja dan juga di dalam pengembangan teknologi Inderaja di Indonesia. Hasil kajian ini dapat pula digunakan sebagai alat pertimbangan pemilihan atau pemanfaatan data satelit masa depan: LDCM (Landsat-8) untuk aplikasi penge-lolaan sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia.
5 KESIMPULAN
Berdasarkan kajian dan analisis yang dilakukan, diperoleh hasil atau kesimpulan sebagai berikut:
Satelit LDCM dijadwalkan untuk diluncurkan pada tahun 2011 dari VAFB, CA. Penyedia peluncur adalah Lockheed Martin Commercial Launch Services (LMCLS of Littleton, CO). Pesawat peluncur adalah Atlas-V-401. Setelah meluncur di orbitnya, LDCM tersebut akan dinamakan Landsat-8. Satelit LDCM (Landsat-8) mempunyai massa saat meluncur 2623 kg (massa kering 1512 kg). Umur rancangan misi adalah 5 tahun; persediaan energi yang dapat dikonsumsi pada satelit di orbitnya (hydrazine3 : 86 kg) akan berakhir untuk umur operasi 10 tahun. Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang
pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari, pada ketinggian 705 km, dengan inklinasi 98.2º, periode 99 menit, waktu liput ulang (resolusi temporal) 16 hari, waktu melintasi katulistiwa (Local Time on Descending Node-LTDN) nominal pada jam 10:00 s.d 10:15 pagi.
Sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) pada LDCM (Landsat-8) yang mempunyai 1 kanal inframerah-dekat dan 7 kanal tampak reflektif, dengan resolusi spasial 30 meter. Sensor pencitra OLI mempunyai kemampuan resolusi spasial dan resolusi spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7. Akan tetapi sensor pencitra OLI tidak mempunyai kanal termal.
Namun demikian, sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal yang baru yaitu : kanal-1: 443 nm untuk deteksi aerosol garis pantai dan kanal 9 : 1375 nm untuk deteksi cirrus. Ketersediaan kanal-kanal spektral
reflektif dari sensor pencitra OLI pada LDCM (Landsat-8) yang menyerupai kanal-kanal spektral reflektif ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7, memastikan kontinuitas data untuk deteksi dan pemantauan perubahan daratan global. Untuk mengatasi kontinuitas data Landsat-7 pada kanal termal, pada tahun 2008, program LDCM (Landsat-8) menetapkan sensor pencitra Thermal Infrared Sensor (TIRS) ditetapkan sebagai pilihan (optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI.
Aplikasi yang paling penting dari data citra satelit seri Landsat multispektral adalah pendeteksian dan pemantauan perubahan-perubahan objek pada pada permukaan Di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, dan khususnya di Indonesia.
Dengan pemilihan kanal spektral yang tepat untuk suatu aplikasi tertentu, dan dengan penentuan teknik dan metode pengolahan dan analisis digital yang tepat, data citra satelit LDCM (Landsat-8) akan efektif dan efisien digunakan dalam peramalan pertanian, eksplorasi energi, pemantauan ekosistem, pengelolaan sumber alam, pemetaan penggunaan lahan/penutup lahan, pengumpulan inteligen militer, mitigasi bencana dan pemantauan lingkungan.
Hasil kajian ini menunjukkan perlunya kontinuitas akuisisi data Landsat di Indonesia melalui pengembangan Stasiun Bumi Inderaja yang dikelola oleh LAPAN untuk dapat menerima data satelit Landsat masa depan yaitu LDCM (Landsat-8) di dalam menjamin kontinuitas pelayanan data,
bagi para pengguna data inderaja dan juga di dalam pengembangan teknologi Inderaja di Indonesia. Hasil kajian ini dapat pula digunakan sebagai alat pertimbangan pemilihan atau pemanfaatan data satelit masa depan: LDCM (Landsat-8)untuk aplikasi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Barbara J. R., and Bruce K. Quirk, 2007. Long Term Data Continuity, Landsat Program on Track for 2011, ACSM BULLETIN, December 2007. (http://science. hq. nasa. gov/ research/daac/lp_daac.html). General Dinamics, 2008. Landsat Data
Continuity Mission (LDCM) Space Observatory, (URL: http://www. gd-space. com/ documents/ LDCM%20081014.pdf).
Iron, J. R., Masek, J. G., 2006. Requirements for a Landsat Data Continuity Mission, PE&RS, Vol. 72, No 10, Oct. 2006, pp. 1102-1108 ; (http://ldcm.nasa.gov/). Iron, J. R., 2006. New Landsat Data
Continuity Mission (LDCM) Memorandum from OSTP, The Earth Observer, NASA/GSFC, Vol. 18, Issue 1, January-February 2006, pp. 4-5, URL: (http:// eospso.gsfc.nasa.gov/eos_observ/ pdf/Jan-Feb06.pdf).
Laura Rocchio and Bill Ochs, 2007. The Landsat Data Continuity Mission: Extending the Longest Legacy of Global Land Observation, (http:// landsat.gsfc.nasa.gov/news/news- archive/sci_0017.html).
NASA, 2007. NASA Awards Contract For Land-Imaging Instrument, (URL: http://ldcm.nasa.gov/07-16-2007.html). NASA, 2008. LDCM (Landsat 8). (http:// space.skyrocket.de/index_frame.h tm?http://www. skyrocket.de/ space/doc_sdat/ldcm.htm).
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:47-58
58
NASA, 2003. Landsat Data Continuity Mission (LDCM) Implementation Phase-Data Specification, Jan. 6, 2003. (URL: http://prod.nais. nasa.gov/eps/eps_data/102577-SOL-001-005.pdf).
NASA, 2007. NASA Selects Launch Services Provider for Earth Imagery Satellite, (URL: http:// landsat.gsfc.nasa.gov/news/news archive/news_0104.html).
NASA, 2008, Landsat-8 / LDCM (Landsat Data Continuity Mission). (http:// directory.eoportal.org/get_announ ce.php?an_id=10001248).
NASA, 2008. NASA selects contractor for Landsat Data Continuity Mission spacecraft,”(URL:http://www.nas a.gov/home/hqnews/2008/apr/H Q_C08021_Landsat_Data.html).