• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPOSISIKAN PERBANDINGAN AGAMA SEBAGAI NAMA ILMU DAN JURUSAN Oleh Adeng Muchtar Ghazali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMPOSISIKAN PERBANDINGAN AGAMA SEBAGAI NAMA ILMU DAN JURUSAN Oleh Adeng Muchtar Ghazali"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

MEMPOSISIKAN PERBANDINGAN AGAMA

SEBAGAI NAMA ILMU DAN JURUSAN

Oleh Adeng Muchtar Ghazali

Abstrak

Hingga sekarang, persepsi sebagian orang, termasuk di kalangan IAIN/UIN dan umat Islam Indonesia sendiri, tentang “Ilmu Perbandingan Agama” masih terasa kurang pas, bahkan cenderung berkesan negative, bahwa tujuan ilmu ini hanya untuk membanding-bandingkan agama satu sama lain. Kesan seperti ini tidak perlu untuk disalahkan, namun perlu ada pencerahan untuk diluruskan. Diperlukan pemahaman komprehensif agar terhindar dari kesalahan persepsi terhadap ilmu ini. Memang harus diakui dan dimaklumi, kesan “kurang pas” dan “negative” itu terbangun setidaknya oleh tiga hal ini, yaitu : pertama, ilmu perbandingan agama adalah produk Barat yang sudah barang tentu teori yang digunakan adalah teori Barat. Istilah “Barat” cenderung ditujukan pada dominasi Kristen dan peradaban modern; kedua, tidak mengetahui dan memahami apa yang dipelajari oleh ilmu perbandingan agama, baik dari sisi ontologis, epistimologis, dan aksiologisnya; dan ketiga, kekurangan informasi tentang asal-usul penamaan “ilmu perbandingan agama”. Ilmu perbandingan agama pada dasarnya mempelajari agama-agama, baik dari sisi doktrin dan prakteknya, dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). Disebut “ilmiah”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karena menggunakan beberapa pendekatan keilmuan, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, fenomenologi, psikologi, dan analisis perbandingan. Penamaan “ilmu perbandingan agama” adalah nama terjemahan local (Indonesia) dari “comparative study of religion” yang merupakan salah satu bagian dari beberapa pendekatan sekaligus sebagai padanan kata dari istilah Inggris “Science of Religion” atau Religionswissenschaft (Jerman). Dalam arti lain, istilah religionswissenschaft tidak harus baku diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “ilmu perbandingan agama”, tetapi dapat diartikan pula dengan istilah lain seperti “Ilmu Studi Agama”, “Sejarah Agama”, dan “Fenomenologi Agama”. Bagaimanapun, ilmu ini memberikan tambahan yang berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan, baik di dunia Barat maupun Timur sekarang lni. Menarik untuk pandangan Max Muller, sebagai perintis ilmu ini, bahwa : “Sejarah manusia sesungguhnya adalah sejarah agama karena disadari bahwa agama merupakan jalan menuju pengetahuan yang benar. Agama mendasari sejarah manusia dan merupakan sinar dan nyawa sejarah, dan tanpa agama sejarah apapun menjadi tidak suci. Maka, Mukti Ali selalu menganjurkan kepada para mahasiswanya untuk mendekati dan memahami agama dengan menggunakan pendekatan yang disebut “scientific-cum-doctriner” – pendekatan keilmuan terhadap agama, the science of religion, the scientific study of religion, atau juga sering disebut dengan the Comparative Study of Religions, Religionswissenschaft, atau juga Muqaranatul Adyan.

(2)

2

Asal-Usul Penamaan Ilmu Perbandingan Agama

Di Indonesia, nama “Ilmu Perbandingan Agama” sudah cukup dikenal. Namun,

tidak sedikit yang memberi kesan ‘negatif’ terhadap nama ini, mulai dari pelesetan1

sampai pada sikap keraguan tentang “kenapa agama di banding-banding”. Bagi orang yang berkesan negatif ini, mungkin saya dapat memakluminya, setidaknya jika dilihat dari dua hal : pertama, ilmu perbandingan agama adalah produk Barat yang sudah barang tentu teori yang digunakan adalah teori Barat. Apalagi, istilah “Barat” cenderung ditujukan pada dominasi Kristen terhadap agama non-Kristen, khususnya Islam, dan untuk menyebut salah satu peradaban yang ada di dunia, yaitu Peradaban Barat; kedua, tidak mengetahui dan memahami apa yang dipelajari oleh ilmu perbandingan agama, baik dari sisi ontologis, epistimologis, dan aksiologisnya; dan ketiga, kekurangan informasi tentang asal-usul penamaan “ilmu perbandingan agama”.

Penamaan “ilmu perbandingan agama” adalah nama terjemahan local (Indonesia) dari “comparative study of religion” yang merupakan salah satu bagian dari beberapa pendekatan sekaligus sebagai padanan kata dari istilah “Science of Religion”. A. Mukti Ali yang memperkenalkan dan sekaligus mengasuh mata pelajaran Ilmu perbandingan Agama, baik ketika di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1960 sampai tahun 1964, maupun ketika bertugas di IAIN Yogyakarta sampai tahun 1971 menjabat sebagai Ketua Jurusan Perbandingan Agama Fakultas

Ushuluddin, yang kemudian menjadi Menteri Agama hingga tahun 1976.2 A. Mukti

Ali selalu menganjurkan kepada para mahasiswanya untuk mendekati dan memahami agama dengan menggunakan pendekatan yang disebut “scientific-cum-doctriner” – pendekatan keilmuan terhadap agama, the science of religion, the scientific study of religion, atau juga sering disebut dengan the Comparative Study of Religions, Religionswissenschaft, atau juga Muqaranatul Adyan.3

1 Misalnya, ilmu perbadingan dipahami sebagai ilmu “pertandingan” agama.

2Agussalim Sitompul, “Prof. Dr.H.A.Mukti Ali : Penggagas, Pemikir, dan Pendidik”, dalam buku

Burhanuddin Daya, Djam’annuri, Abdurrahman, ed, 70 Tahun H.A. Mukti Ali, Agama dan

Masyarakat, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993, hal. 131

3 M. Amin Abdullah, “Tinjauan Antropologis-Fenomenologis Keberagamaan Manusia : Sumbangan

(3)

3

Nama “Science of Religion” (Inggris) merupakan terjemahan dari nama “Religionswissenschaft” (Jerman) yang oleh para penstudi agama dipandang tepat. Nama religionswissenschaft pertama kali dikemukakan oleh Fredrich Max Muller

(1823-1900), seorang berkebangsaan Jerman yang pada tahun 1867,

memperkenalkan religionswissenschaft untuk melakukan penelitian ilmiah (scientific method) terhadap agama dengan menggunakan pendekatan filologi.4 Dipertegas oleh Joachim Wach, bahwa perintis keilmiahan studi agama ini adalah Max Muller dengan bukunya Comparative Mythology (terbit 1856), kemudian Introduction to the Science of Religion (terbit 1870), serta Origin and Growth of Religion as illustrated by Religion of India.5 Demikian juga, Mircea Eliade dalam bukunya the Sacred and the Profan menambahkan bahwa ilmu agama-agama atau studi perbandingan agama merupakan istilah yang diberikan oleh Max Muller sebagaimana dikemukakan pada bagian pengantar buku pertamanya yang berjudul Chips from a German Workshop

(London, 1867).6 Istilah “ilmu agama-agama” sebenarnya secara sporadis sudah

lama digunakan, yakni oleh Abbe Prosper Leblanc pada tahun 1852, Steifelhagen pada tahun 1858, dan lain-lain. Akan tetapi, pengertiannya tidak setepat yang diberikan oleh Max Muller sehingga penggunaan termnya diterima sampai

sekarang.7

Penamaan Science of Religion inginnya untuk menandai kebebasannya dari Filsafat dan Teologi. Sekalipun dalam perjalanannya unsur spekulatif masih kuat, tetapi pada tahapan selanjutnya didominasi oleh wataknya yang positivistis dengan banyaknya deskripsi-deskripsi yang mengutamakan obyektivitas. Watak obyektif ini tentulah merupakan watak keilmuan. Oleh karena itu, dalam membicarakan Science of Religion ini, Wach mengungkapkan adanya empat macam pendekatan yang digunakan ilmu ini, yaitu pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis, pendekatan fenomenologis, dan pendekatan historis. Ia pun menyarankan memadukan dua aliran pendekatan yaitu yang mendekati dengan metode sui generis dan metode ilmiah.

4 Lihat, Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Suatu Pengantar Awal, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1996, hal. 27; Juga Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 15-25

5 Joachim Wach, the Comparative Study of Religions, New York and London; Columbia University

Press, 1966, hal. 3

6 Mircea Eliade, the Sacred and the Profane, Brace & World, New York, 1959, hal. 216 7 Herman L. Beck, ed, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, 1992, hal. 50

(4)

4

Yang di maksud ilmiah di sini adalah yang logiko-hipotetiko-verifikatif, juga obyektif baik mengarah kepada deskripsi maupun mengarah kepada teori semacam intisari misalnya, untuk ilmu-ilmu sebangsa ilmu humaniora, baik yang kuantitatif maupun

yang kualitatif.8 Dalam prakteknya, obyek yang dibahas dapat diolah dengan

mempergunakan berbagai metode yang disesuaikan dengan obyek yang sedang dikaji, diantaranya :

1. Deskriptif, adalah cara untuk mendapatkan keterangan-keterangan, proposisi-proposisi, konsepsi-konsepsi, hakekat yang sipatnya mendasar.

2. Analisis, adalah cara untuk menguraikan term dan statement sehingga menemukan pengertian, pemahaman yang mendalam tentang makna atau hakekat yang terdapat didalamnya.

3. Sintesis, yaitu cara untuk mendapatkan hakekat yang utuh (holistic), menyatupadukan berbagai pengertian atau hasil usaha deskripsi, analisis,

hermeneutika dan pemahaman (verstehend).9

Mengikuti pemikiran Mukti Ali, perlu diulas tentang watak ilmiah yang tidak hanya ilmiah semata tetapi harus ditambah dengan sipat agamis, mengambil sipat-sipat yang sui generis. Dalam memahami atau melakukan penelitian agama harus

melihat fakta agama dengan atau dari segi cahaya agama10 atau di tempat lain dengan

cum doctrinaire, adalah sipat agamis yang diminta Wach, Kitagawa, juga Eliade. Arti gejala agama itu dapat dimengerti hanya jika gejala itu dipelajari sebagai sesuatu yang agamis. Maka karakteristik agama itu adalah sipatnya yang sacred, yang kudus,

dikuduskan oleh pemeluknya.11

Joseph M. Kitagawa dalam tulisannya “the History of Religion in America”12

mengungkapkan, bahwa watak saintifikal ilmu perbandingan agama, sebagai produk masa Pencerahan terletak pada pendekatan sekaligus menjadi perbedaan dengan

8 Romdhon, Loc.Cit, hal. 33; Masing-masing pendekatan dalam studi agama, juga dibahas dalam buku

Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal. 63-134

9 Lihat, Muhammad Mastury, “Standarisasi, Konsepsi, dan Wawasan Ilmu-Ilmu Agama, dalam

Burhanuddin Daya, dkk, Op.Cit, hal. 490

10 Salah satu tulisan Mukti Ali : “Penelitian Agama di Indonesia”, dalam Mulyanto Sumardi (ed),

Metodologi Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Depag RI, 1979, hal. 32

11 Romdhon, Op.Cit, hal. 34

12 Tulisan yang terdapat dalam buku, Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, the History of Religions,

Essays in Methodology, Chicago and London; the University of Chicago Press, 1973, hal. 14-17; Juga

(5)

5

pendekatan teologi dan filsafat dalam memahami agama. Oleh karena itu, nama ilmu ini banyak, yaitu Science of religion, Religionswissenschaft, History of Religion, Comparative Study of Religion, dan ada juga yang menamakannya Fenomenology of Religion, yang kemudian dipopulerkan di Indonesia oleh Mukti Ali dengan nama Ilmu Perbandingan Agama. Dengan demikian, disiplin ilmu perbandingan agama, religionswissenschaft, atau science of religion itu terletak antara disiplin-disiplin normatif di satu pihak dan disiplin-disiplin deskriptif di pihak lain.

Di lingkungan umat Islam, Syahrastani yang terkenal dengan karyanya Al-Milal wan Nihal yang berisikan sistematika perbandingan sejarah agama, adalah ilmuwan yang membidani kelahiran Ilmu Perbandingan Agama. Di kalangan ilmuwan Barat non-Muslim banyak yang mengungkapkan pendapat yang sama.

Farichin Chumaidy13, menyebutkan beberapa bukti, diantaranya : J.J. Saunders

dalam bukunya A History of Medieval Islam (hal. 193) : “...Shahrastani (died 1153), whose Book of Religion and Sects is really is a pioneering study in comparative religion”. Annemarie de Waal Malefijt dalam bukunya Religion and Culture (hal. 24) mengatakan : “...perhaps the first systematic comparative history of religion was produced by the Moslem scholar Shahrastani (d.1153)”. Pendapat yang hampir

sama, juga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt14, Reynold A. Nicholson15, dan

S.D. Goitein16 yang dengan tegas menyatakan bahwa Al-Syahrastani sebagai peletak

dasar dan pendiri ilmu perbandingan agama, yang belum ditemukan sebelumnya oleh para penstudi Barat. Di samping Al-Syahrastani, ilmuwan muslim lainnya yang menggeluti ilmu perbandingan agama adalah Ali Ibn Hazm (994-1064) dengan

karyanya Al-Fasl fi al-Milal wal Ahwa wa al-Nihal,17 sekalipun bersipat apologetic,

namun memberikan konstribusi terhadap metodologi studi agama.

13 Beliau merupakan salah seorang tokoh Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, guru dan dosen

saya, serta mantan ketua jurusan Perbandingan Agama dan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Bandung. Beliau mengirimkan tulisannya berjudul : “Al-Syahrastani dan Ilmu Perbandingan Agama”, sebagai bentuk penghormatannya kepada “70 Tahun H.A. Mukti Ali” dalam Burhanuddin Daya, dkk (ed), Op.Cit, hal. 526.

14 Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh Uniersity Press, 1972, hal. 12 15 Literacy History of the Arabs, Cambridge University Press, London, 1979, Hal. 341 16 Studies in Islamic History and Institution, EJ Brill Leiden, 1968, hal. 67

17 Lihat, Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,

(6)

6

Akhir-akhir ini di kalangan para sarjana, nama Al-Biruni banyak memperoleh perhatian, karena ternyata dari pemikiran dan karya-karyanya banyak memberikan sumbangan terhadap studi model ilmu perbandingan agama. Al-Biruni hidup beberapa puluh tahun mendahului al-Syahrastani maupun Ibn Hazm. Bahkan, A. Mukti Ali, setelah hampir tiga puluh tahun bukunya berjudul Ilmu Perbandingan Agama diterbitkan, dalam sebuah makalah yang berjudul “Menatap Hari Depan dengan Hidup Rukun antar Umat Beragama”, menyebut Al-Biruni dengan karyanya berjudul Kitab al-Hund (buku tentang India) sebagai salah satu dari buku

Perbandingan Agama yang paling pertama.18 Hingga pertengahan abad ke-20

keterkaitan al-Biruni dengan Ilmu Perbandingan Agama kurang begitu dikenal. Karya Eric J. Sharpe, Comparative Religion A History, yang dianggap sebagai teksbook paling komprehensif tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan studi agama mulai jaman Yunani Kuno hingga akhir abad ke-20, hanya sekali saja menyebut al-Biruni ketika menguraikan anteseden ilmu perbandingan agama. Selama ini al-Biruni lebih dikenal sebagai seorang sarjana eksakta, khususnya di bidang astronomi, matematika, dan fisika, daripada sarjana yang menekuni bidang studi

agama.19

Manfaat dan Konstribusi Ilmu Perbandingan Agama

Ketertarikan saya pada ilmu perbandingan agama bermula ketika guru saya mengajarkan tentang “perbedaan antar agama” sewaktu masih sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA) Bandung. Ketertarikan itu berlanjut sewaktu memasuki program Sarjana Muda (Tk. I s.d. Tk. III) Fakultas Ushuluddin angkatan tahun 1978. Dari sekitar 35-40 orang mahasiswa yang lulus program sarjana muda angkatan 1978 itu, hanya saya sendiri yang melanjutkan ke tingkat doctoral (Tk. IV dan Tk. V) fak. Ushuluddin yang memilih jurusan Perbandingan Agama, sementara yang lain melanjutkan tingkat doctoralnya ke jurusan Dakwah. Sejak menjadi “dosen pengabdi” (1984) dan diangkat menjadi dosen tetap (1985) di fakultas ushuluddin IAIN Bandung sampai dengan sekarang, saya memilih mengasuh mata kuliah utamanya adalah Ilmu Perbandingan Agama.

18 Lihat, Djam’annuri, “Dari Al-Biruni (973-1051 M) Hingga Beberapa Model Tulisan Kaum Muslim

Abad XX Tentang Agama-Agama Lain”, dalam “70 Tahun H.A. Mukti Ali”, Burhanuddin Daya, dkk,

Op.Cit, hal. 546

(7)

7

Apa yang saya utarakan di atas adalah untuk menepis keraguan dan “kesan negative” dari sebagian kalangan, baik dari lingkungan umat Islam sendiri maupun non-muslim, tentang mempelajari ilmu perbandingan agama, sekaligus membuktikan pernyataan para tokoh dan penulis Ilmu Perbandingan Agama, baik itu Muller, Smith, Wach, dll. Pada umumnya, jika disimpulkan, bahwa “mempelajari ilmu perbandingan agama adalah mempelajari perilaku dalam beragama sesuai dengan bimbingan agamanya”. Di sini akan terungkap, mana (perilaku) agama yang benar-benar “sebagai (perilaku) agama”, dan mana (perilaku) agama sebagai “(perilaku) agama-agamaan”. Bahkan, A. Mukti Ali sering menyatakan bahwa bagi umat Islam “mempelajari ilmu perbandingan agama justru akan semakin menambah dan

memperkuat keimanannya terhadap kebenaran Islam”.20 Berpuluh-puluh tahun saya

mempelajari ilmu perbandingan agama, dan beberapa kali melakukan penelitian tentang kehidupan beragama di lingkungan yang beragam keyakinan, justru semakin menambah kecintaan dan keimanan saya bahwa Islamlah satu-satunya agama yang haq.

Konsep “agree in disagreement” yang dilontarkan A. Mukti Ali pada tahun enam pulahan, sampai sekarang masih segar dan tetap dijadikan rujukan utama pemerintah dalam membangun dan memelihara kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Konsep ini menggambarkan tentang keragaman budaya, suku, bahasa, dan terutama agama yang hidup berdampingan secara nyaman dan damai, serta saling menghormati tanpa ada permusuhan. Dalam membangun format kerukunan hidup beragama, tampaknya Mukti Ali berangkat dari prinsip keadilan

Islam yang berorientasi pada tiga hal,21 yaitu : pertama, kebebasan hati nurani secara

mutlak sebagai pembebasan dari syirk (persekutuan) dalam ketuhanan dan kesucian Tuhan; kedua, persamaan kemanusiaan secara sempurna yang sangat berkaitan dengan hati nurani yang ingin terbebas dari penghambaan selain kepada Allah dan senantiasa berjuang untuk memperoleh serta menegakkan hak-hak persamaannya; dan ketiga, solidaritas dalam pergaulan yang kokoh, yang harus berangkat dari

20 Lihat tulisan-tulisan A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (1969), Ilmu Perbandingan Agama

di Indonesia (1988), Persoalan-Persoalan Agama Dewasa Ini (1987), Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam (1969), Kulijah Agama Islam di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara Lembang (1970), dll.

21 Lihat, Tuty Alawiyah, “Pak Mukti Ali : Pribadi Bersahaja dan Cendekiawan Rendah Hati”, dalam

(8)

8

dirinya sendiri. Kebaikan dan keburukan akan berdampak pada lingkungan masyarakat sekitarnya. Tiga hal ini, masalah kerukunan hidup beragama akan tercapai sekaligus tercapainya keadilan kemanusiaan. Berdasarkan pemahaman dan penghayatannya terhadap hakekat ilmu perbandingan agama itu, maka semakin tumbuh dan berkembang perhatian dan keprihatinannya terhadap aktualisasi peran agama-agama dalam menciptakan masyarakat Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya.

Ilmu perbandingan agama pada dasarnya mempelajari agama-agama, baik dari sisi doktrin dan prakteknya, dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). Disebut “ilmiah”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karena menggunakan beberapa pendekatan keilmuan, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, fenomenologi, psikologi, dan analisis perbandingan. Ilmu agama-agama (Religionswissenschaft atau Science of Religions) sebagai suatu disiplin yang mandiri, bertujuan untuk menganalisis unsure-unsur yang sama dari agama-agama yang berbeda sehingga dapat diketahui hukum-hukum perkembangannya, terutama untuk menemukan dan membatasi asal-usul dan bentuk pertama dari agama itu. Dengan demikian, ilmu ini memberikan tambahan yang berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekarang lni. Menarik untuk disimak kesimpulan dari pemikiran Max Muller, sebagaimana dikutip oleh Mukti Ali, bahwa : “Sejarah manusia sesungguhnya adalah sejarah agama karena disadari bahwa agama merupakan jalan menuju pengetahuan yang benar. Agama mendasari sejarah manusia dan merupakan sinar dan nyawa sejarah, dan tanpa agama sejarah apapun menjadi tidak suci”.22 Jelaslah bahwa dalam memahami sejarah manusia, agama memiliki peran yang sangat penting sehingga diperoleh kesimpulan tentang betapa besar peran agama bagi kehidupan manusia.

Kepekaan, pengalaman, pengamatan empiric, dan rasa empati serta toleran terhadap dunia fikiran dan perilaku yang berbeda dengan diri kita, merupakan manfaat yang terasa dari mempelajari ilmu perbandingan agama. Tidak ada sekat-sekat status kemanusiaan, baik agama, suku, jabatan atasan bawahan, dosen-mahasiswa, dll. semua terjalin secara harmonis dan saling menghargai posisi dan

(9)

9

fungsinya masing-masing. Islam mengajarkan saya, bahwa kebaikan dan keburukan seseorang, bagi Allah tidak dilihat dari “hasil”, tetapi “proses”. Apalah artinya seorang beridentitas “ulama” atau “ustad” tapi tidak “ngulama” dan “ngustad”, yaitu tidak menunjukkan perilaku sebagai seorang ulama dan ustad.

Mengedepankan perilaku normatif, dan pada saat yang bersamaan tidak mengabaikan hal-hal yang bersipat teoritis dan praktis, sekaligus dapat memunculkan kesadaran dalam beragama, adalah manfaat lain dari mempelajari ilmu perbandingan agama. Hampir semua umat Islam melaksanakan perintah shalat, misalnya, tetapi tidak sedikit umat Islam yang belum menyadari bahwa perintah shalat, dan juga perintah-perintah lainnya, berhubungan erat dengan tumbuhnya kesadaran kemanusiaan. Shalat merupakan rangkaian proses untuk memunculkan kesadaran

itu,23 yaitu kesadaran untuk membiasakan diri menjauhi segala bentuk kemunkaran,

kezaliman, mengabaikan hak dan kepentingan orang lain, bermusuhan, dan merasa diri paling benar.

Dalam konteks scientific method ini, maka cara kerja ilmiah yang harus ditempuh oleh para penstudi agama adalah :

1. Tidak menilai benar salahnya fakta keagamaan yg sedang dikaji atau diteliti. Agama adalah keyakinan, biarkanlah para penganut agama mengekspresikan keyakinan agamanya;

2. Dalam pendekatan empiris, yang dimaksud “kebenaran agama”, adalah kebenaran berdasarkan realitas empiris, yaitu kebenaran berdasarkan keyakinan para penganutnya;

3. Tugas penstudi agama adalah mendeskripsikan fakta keagamaan, atau beberapa fakta keagamaan, memahami essensi fakta keagamaan berdasarkan beberapa fakta yg ditelitinya;

4. Menemukan tipologi dalam beragama, seperti eksklusif, inklusif, dan pluralis; dan

5. Menganalisis hubungan antar agama dalam konteks harmonisasi antar penganut agama dan keyakinan yg berbeda.

23 Lihat Q.S. 29 : 45; dalam pemahaman saya, ayat ini menunjukkan, bahwa “belum dikatakan

(10)

10

Perbandingan Agama : Antara Nama Jurusan dan Ilmu

Nama popular “ilmu perbandingan agama”, yang kemudian nama ini digunakan sebagai nama salah satu jurusan yang ada di Fakultas Ushuluddin seluruh IAIN/UIN di Indonesia yaitu Jurusan Perbandingan Agama, kurang begitu diminati oleh para calon mahasiswa. Pada umumnya, kurangnya peminat memasuki jurusan ini adalah persoalan “nama”. Maka, sekitar beberapa tahun ke belakang, fakultas Ushuluddin IAIN Bandung pernah mengusulkan ke Depag untuk mengganti nama jurusan Perbandingan Agama dengan nama jurusan “Studi Agama-Agama”. Sayangnya, tidak memperoleh respon yang diharapkan, terbukti sampai sekarang nama jurusan perbandingan agama tidak berubah. Namun demikian, untuk menyantuni para mahasiswa yang berminat melanjutkan studi ilmu perbandingan agama pada jenjang selanjutnya (S2), Program Pasca UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pernah membuka prodi baru untuk S2 dan S3 dengan nama “Religious Studies” (RS). Pada akhir tahun 2013 dan mulai awal 2014, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI mengembalikan nama prodi “religious studies” menjadi prodi “ilmu perbandingan agama” untuk jenjang S2, dan prodi “filsafat agama” untuk jenjang S3.

Memang, melihat kenyataan jurusan Perbandingan Agama kurang peminat, tetapi memiliki karakter keilmuan yang kuat berdasarkan perjalanan panjang dalam menstudi agama, dengan beragam penyebutan nama ilmu ini, maka alangkah baiknya diusahakan kembali untuk merubah nama jurusan Perbandingan Agama menjadi jurusan “Studi Agama-Agama” (SAA). Sedangkan, nama “perbandingan agama” dijadikan sebagai “ilmu” dan “mata kuliah” pokok pada jurusan SAA. Berdasarkan karakter keilmuan ilmu ini menggunakan metode dan pendekatan yang khas, yaitu sui generis dan ilmiah, serta multidisipliner seperti menggunakan pendekatan sosiologi, sejarah, fenomenologi, antropologi, dan bahkan teologi, maka jurusan

SAA dapat membuka prodi Antropologi dan Sosiologi Agama (ASA)24, Sejarah dan

Fenomenologi Agama (SFA), dan Teologi Agama (TA). Dalam konteks IAIN/UIN, semua prodi dengan menggunakan basic keilmuan perbandingan agama ini, diarahkan untuk memperkokoh ketauhidan, menterjemahkan dan melaksanakan

(11)

11

ajaran Islam dalam sejarah keagamaan yang beragam keyakinan dan lingkungan social cultural yang beragam pula.

Terlepas dari kontroversi penggunaan istilah “ilmu perbandingan agama”, secara esensial ilmu ini mengkaji fakta-fakta keagamaan yang merupakan refleksi dari manusia beragama. Apalagi hampir semua penstudi agama sepakat bahwa agama telah ada sejak manusia itu sendiri ada. Oleh karena itulah, manusia senantiasa mengalami perkembangan kehidupan dalam beragama, yang sudah barang tentu pengalaman keagamaan yang pertama sesuai pula dengan tingkat kemampuan berpikirnya dalam memahami diri maupun lingkungan sosialnya, baik sesuatu yang tampak ataupun tidak.

Dalam perspektif Islam, menurut Abbas Mahmoud Al-Akkad, bahwa “dalam memahami agama orang lain, tidak untuk menunjukkan salahnya dalam beragama. Hal demikian sudah disadari bahwa kecenderungan untuk memahami sesuatu dan untuk meminta pertolongan dari segala kesulitan hidup sudah merupakan naluri manusia. Demikian pula halnya dengan studi tentang agama dan istiadat serta perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan berkembang pula sesuai dengan

perkembangan kajian-kajian sosial pada umumnya.”25

Kajian-kajian agama yang dikembangkan ilmu perbandingan agama sekarang ini tidak tidak terlepas dari situasi historis dan kultural tempat agama itu berkembang. Semangat ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan dinamika kehidupan beragama, sangat dominan dalam mengkaji agama. Berbeda dengan pada masa-masa awal kajian agama sebelum munculnya ilmu perbandingan agama, yang menunjukan bahwa semangat keagamaan tertentu lebih dominan dalam mengkaji agama, sehingga mengabaikan kebenaran agama orang lain. Karena semangat teologis dalam pengertian agama sendirilah yang paling benar, aspek-aspek metodologis dalam mengkaji agama menjadi terabaikan. Yang muncul ke permukaan adalah saling menuduh, saling menyalahkan, dan tidak menutup kemungkinan menyebabkan terjadinya bentrokan antaragama.

25 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran-Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia,

(12)

12 Sosialisasi dan Publikasi Studi Agama-Agama

Sejalan dengan keinginan untuk melakukan perubahan nama jurusan “Perbandingan Agama” menjadi Jurusan “Studi Agama-Agama”, sebagaimana telah diulas sebelumnya, tentu tidak berarti semua fakultas Ushuluddin (baik UIN maupun IAIN di Indonesia) yang menyelenggarakan jurusan perbandingan agama menyepakati perubahan ini. Pertimbangan peminat, lingkungan social cultural dan kehidupan beragama bisa berbeda. Oleh karena itu, setidaknya, upaya sosialisasi dan publikasi berkaitan dengan studi agama-agama harus lebih giat dilakukan, baik di lingkungan siswa maupun umat Islam pada umumnya.

Perubahan paradigm/motto Kemenag RI “ikhlas beramal” menjadi “membangun kerukunan beragama” merupakan peluang dan kesempatan yang dapat dilakukan oleh para penggiat studi agama-agama untuk lebih aktif melakukan sosialisasi dan publikasi. Kegiatan yang memungkinkan dan mendesak untuk dilakukan dengan melibatkan elemen-elemen yang ada di masyarakat dalam bentuk kerjasama, yaitu fak. Ushuluddin dengan Pemda, MUI, dan Kemenag (Kanwil dan Kemenag Kab/Kota) adalah menyelenggarakan “Pelatihan Tenaga Kerukunan Beragama bagi umat Islam”, baik dari kalangan mahasiswa/pelajar, guru, ustadz, penyuluh tenaga teknis keagamaan, dan ormas-ormas yang ada. Sumber materi Ilmu Perbandingan agama, tafsir dan hadis kerukunan, geografi dan demografi keagamaan, dan regulasi yang menjadi kebijakan pemerintah, mendasari kegiatan ini. Wallahu a’lam

____________________________

Daftar Bacaan

Burhanuddin Daya, Djam’annuri, Abdurrahman, ed, 70 Tahun H.A. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993

Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Suatu Pengantar Awal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000 __________, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005

Joachim Wach, the Comparative Study of Religions, New York and London; Columbia University Press, 1966

(13)

13

Mircea Eliade, the Sacred and the Profane, Brace & World, New York, 1959

Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, the History of Religions, Essays in Methodology, Chicago and London; the University of Chicago Press, 1973

Herman L. Beck, ed, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, 1992 Mulyanto Sumardi (ed), Metodologi Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Depag RI, 1979

Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994

Buku-Buku A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (1969), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (1988), Persoalan-Persoalan Agama Dewasa Ini (1987), Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam (1969), Kulijah Agama Islam di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara Lembang (1970), dll.

Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran-Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia, terjemahan A. Hanafi, Bulan Bintang, Jakarta, 1973

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 39 ayat (3) Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2010 menyebutkan bahwa dalam hal terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan

Perkembangan bulu tangkis di Kabupaten Tegal yang telah diraih selama ini diharapkan dapat membantu berbagai pihak dalam mengembangkan olahraga bulu tangkis, sehingga

Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi dinamika eksistensi sunnah yang berakar pada problem utama yang dihadapi ummat Islam pada abad modern yakni “pergulatan otoritas

Rendahnya hasil belajar siswa selain disebabkan dari sisi siswa juga bisa disebabkan dari sisi guru.Dari sisi siswa salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya hasil

Sedangkan keinginan karyawan untuk mencari pekerjaan baru di bidang yang berbeda pada perusahaan lain, dalam variabel t urnover intention, memiliki tingkat yang paling tinggi

adalah suatu gangguan tumbuh kembang motorik anak yang disebabkan karena adanya kerusakan pada otak yang terjadi pada periode sebelum, selama dan sesudah kelahiran

Pembagian tanggung jawab fungsional, sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang telah ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak diciptakan cara-cara

Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum (perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa