• Tidak ada hasil yang ditemukan

M. BISMARK dan RENY SAWITRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "M. BISMARK dan RENY SAWITRI"

Copied!
332
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Penerbit FORDA PRESS

2014

(3)

ii | M. Bismark dan Reny Sawitri

NILAI PENTING TAMAN NASIONAL

Penulis/Penyusun:

M. Bismark dan Reny Sawitri Editor:

Adi Susmianto, Pujo Setio, dan Harisetijono Desain Sampul dan Tata Letak:

FORDA PRESS

Copyright © 2014 Penulis

Cetakan Pertama, Desember 2014 xx + 310 halaman; 175 x 250 mm ISBN: 978-602-71770-7-9 Diterbitkan oleh:

FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093,

Email: fordapress@yahoo.co.id

Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:

PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610

Telp. +62251 8633234, 7520067 Fax. +62251 8638111

Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan

NILAI Penting Taman Nasional / M. Bismark, R. Sawitri ; Editor: A.

Susmianto, P. Setio, Harisetijono. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014 xx, 310 hlm. : ill. ; 25 cm.

ISBN: 978-602-71770-7-9

1. Taman Nasional – Biodiversitas – Konservasi I. Bismark, M. II. Sawitri, R. III. Judul

(4)

Nilai Penting Taman Nasional | iii

Taman Belantara

N

uansa alam menghiasi negeri

I

ndah merona penyejuk sukma nusantara

L

antunan irama suara satwa menggema di sela dedaunan pohon

A

ir menderu, mengalir, meresap, menetes, sumber kehidupan

I

majinasi menyatu dalam kenyataan ... hutan negeriku

E

kosistem tersusun dalam hamparan hijau ..., membiru

K

ompak membangun jejaring kehidupan liar yang tertata

O

mbak menyapa seksama, membelai pantai, hutan dan ...

L

amun, padang penyusun lantai lautan ...

O

brolan sunyi saling menyahut, zikir pada Penciptanya

G

eliat kecantikan, menyibak sela warna-warni bebuahan, kupu-kupu dan burung

I

mpian tenggelam dalam belaian keheningan belantara ...

P

enjelmaan surga di negeri khatulistiwa tercinta

E

tika, budaya membangun kearifan penyelamat rimba

N

orma kehidupan ikut meretas nila keindahan yang padu

T

aman Nasional ..., taman belantara penyangga kehidupan

I

ntonasi pujian kekaguman bergema di manca negara ...

N

egeri Ibu Pertiwi, terus membangun mengelola taman,

G

unung, sungai, danau, lautan, pelangi dan fatamorgana jadi saksi adanya ...

Tengah Desember 2014 M. Bismark

(5)

iv | M. Bismark dan Reny Sawitri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta Pasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(6)

Nilai Penting Taman Nasional | v

KATA PENGANTAR

Pembangunan bidang konservasi sumber daya hutan Indonesia telah menunjukkan banyak aspek penyelamatan keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan ekosistemnya. Pembangunan dalam upaya penyelamatan biodiversitas dan ekosistem tersebut dilakukan pada kawasan yang mewakili bioindividuegion melalui penetapan Taman Nasional. Taman nasional yang ada dianggap telah mewakili kawasan-kawasan dengan ekosistem pegunungan, dataran rendah, lahan basah, dan ekosistem laut. Sesuai dengan karakteristik masing-masing keterwakilan tersebut, pengelolaan biodiversitas dan ekosistem terus dilakukan, termasuk pula bagaimana memanfaatkannya secara lestari.

Pembangunan dan pengelolaan taman nasional dilakukan pula untuk memberikan banyak aspek pendukung dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan; baik dari segi ekologis, sosial ekonomis, maupun lingkungan. Pembagian dan penetapan zonasi dalam mengelola taman nasional menjadi ciri penting pengelolaannya untuk merealisasikan manfaat dan fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk penyedia kebutuhan dasar masyarakat di sekitar kawasan terkait kebutuhan air, pangan dan obat-obatan. Jasa lingkungan termasuk salah satu yang dihasilkan taman nasional selama ini dan sudah terbukti dinikmati masyarakat, walaupun tidak dihitung satu persatu komponennya ataupun interaksi antarkomponen tersebut.

Keterwakilan kawasan taman nasional dengan berbagai ekosistem dan pengelolaannya menjadi lokus dan aspek penelitian, seperti yang telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan. Penelitian tersebut telah melibatkan 22 orang peneliti, baik yang bertugas pada Balai Penelitian Kehutanan (Unit Pelaksana Teknis/UPT Badan Litbang Kehutanan) maupun pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser). Penelitian dilakukan melalui program dan kegiatan dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) 13, yaitu "Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem". Lokus penelitian telah dilaksanakan pada 16 taman nasional yang mewakili Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

(7)

vi | M. Bismark dan Reny Sawitri

Penelitian yang terkait fungsi dan manfaat taman nasional dalam mendukung sistem penyanga kehidupan menunjukkan betapa pentingnya keberadaan kawasan konservasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai air yang dihasilkan dari kawasan taman nasional lebih dari Rp2,2 trilyun per tahun dan nilainya dalam mencegah banjir dan longsor lebih dari Rp630 milyar per tahun. Hal nyata lain yang diketahui dapat dikembangkan dan memberikan nilai tambah kawasan adalah wisata alam dengan nilai lebih dari Rp3,4 milyar per tahun untuk satu taman nasional. Selain itu, jasa biodiversitas satwa dari potensi yang terdapat dalam kawasan taman nasional dan sekitarnya–paling tidak–telah memberikan nilai sebesar Rp50 milyar per tahun.

Penelitian pada taman nasional juga dilakukan terhadap kajian aspek pengelolaan kawasan, termasuk kepentingan pengelolaan daerah penyangganya. Penelitian tersebut telah memberikan hasil kajian, antara lain kriteria dan parameter dalam menentukan zonasi taman nasional dan daerah penyangganya, upaya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan taman nasional dan daerah penyangga, dan kebutuhan restorasi pada kawasan yang terdegradasi. Dengan demikian, seluruh aspek yang terkait dengan keberadaan taman nasional dapat diketahui nilai pentingnya sehingga menjadi pertimbangan keharusan melestarikan fungsi dan manfaat kawasan konservasi, khususnya taman nasional.

Data dan informasi nilai-nilai ekonomis yang disetarakan dan hasil kajian yang dicapai dalam berbagai penelitian tersebut disusun secara sistematik sesuai dengan tujuan dan sasaran dari program penelitian integratif (RPI). Rangkuman, analisis, dan sintesis hasil-hasil penelitian selanjutaman nasionalya menjadi bahan dalam penyusunan buku ini. Oleh karena hasil penelitian banyak mengungkap nilai-nilai penting biodiversitas dan jasa ekosistem, serta upaya dalam melestarikan fungsi dan manfaat taman nasional; buku ini diberi judul "NILAI PENTING TAMAN NASIONAL".

Penyusunan buku ini dapat terlaksana atas anugerah Allah SWT yang telah memberikan karunia kearifan dan kemampuan kepada penulis. Atas izinNya pula, penulis dengan dibantu dibantu rekan-rekan peneliti, yang telah bekerja keras melaksanakan kegiatan dalam RPI 13,

(8)

Nilai Penting Taman Nasional | vii mencoba melakukan sintesis dan analisis data hasil penelitian untuk menjadi bahan penyusunan buku ini. Oleh sebab itu, penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan buku ini.

Pada akhirnya, penulis memohon maaf dan mengharapkan koreksi dari berbagai pihak, mengingat buku ini belum sempurna dan mungkin masih terdapat kesalahan. Penulis menganggap buku ini merupakan hasil kita bersama sebagai karya ilmiah yang dapat memberikan arti nilai penting taman nasional di Indonesia. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan taman nasional, terutama upaya pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas beserta ekosistemnya, sehingga dapat mendukung sistem penyangga kehidupan.

Bogor, Desember 2014

(9)
(10)

Nilai Penting Taman Nasional | ix

SAMBUTAN

KEPALA PUSAT LITBANG

KONSERVASI DAN REHABILITASI

Keberadaan Taman Nasional (TN) merupakan upaya pembangunan di bidang konservasi yang memudahkan pelaksanaan pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas (keanekaragaman hayati), serta mendukung berkembangnya kehidupan sosial ekonomi masayarakat. Usulan penunjukkan kawasan taman nasional tetap berlanjut mengingat fungsi, manfaat dan dampak pembangunannya dianggap positif terhadap lingkungan dan biodiversitas.

Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang penting sebagai pendukung pembangunan berkelanjutan. Saat ini, potensi taman nasional masih banyak yang belum tergali, terutama nilai-nilai penting bagi pelestarian lingkungan dan penyedia sumber daya untuk pengembangan budi daya. Sayangnya; nilai biodiversitas, jasa lingkungan, dan potensi lansekap pada taman nasional belum tergali seluruhnya sehingga pemanfaatannya belum optimal.

Berdasarkan hal-hal tersebut, buku ini membahas nilai penting taman nasional, termasuk bagaimana menilai fungsi kawasan. Tulisan dalam buku ini disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan yang dilakukan oleh para peneliti di bidangnya. Memang, keberadaan taman nasional di Indonesia (50 taman nasional) tidak seluruhnya diulas dalam buku ini. Namun demikian, representasi data dan informasi terkait keberadaan, potensi dan permasalahan taman nasional telah dianalisa dan disintesa oleh penyusun sehingga buku ini mampu memberikan gambaran kepada kita terhadap perkembangan taman nasional.

Penyusunan buku ini dinilai sangat penting dan bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan konservasi biodiversitas beserta ekosistemnya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih disampaikan kepada penyusun, para peneliti yang telah memberikan kontribusi data, serta pihak lainnya yang memberikan kemudahan dan aksesibilitas dalam

(11)

x | M. Bismark dan Reny Sawitri

penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga, isi dari buku ini dapat menginspirasi dan memotivasi kita untuk menghargai kekayaan alam, sekaligus melestarikan dan memanfaatkannya secara bijak bagi kehidupan ini.

Bogor, Desember 2014 Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002

(12)

Nilai Penting Taman Nasional | xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REAHABILITASI ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

Bab 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Lingkup Bahasan ... 5

1.2 Permasalahan ... 6

1.3 Tantangan dan Peluang Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 11

Bab 2 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL ... 21

2.1 Tipe Vegetasi Hutan ... 23

2.2 Klasifikasi Ekosistem Dominan ... 33

2.3 Keberadaan Biodiversitas Potensial ... 34

2.4 Degradasi Habitat ... 40

2.5 Pemanfaatan Flora-Fauna ... 44

2.6 Konflik Kepentingan ... 49

2.7 Konservasi Sumber Daya Genetik ... 51

2.8 Keberadaan Masyarakat dan Pengaruhnya ... 52

Bab 3 VALUASI POTENSI TAMAN NASIONAL ... 59

3.1 Identifikasi Potensi Biofisik ... 60

3.2 Manfaat Ekologi dan Ekonomi ... 61

3.3 Dampak Pemanfaatan Jasa Lingkungan ... 81

3.4 Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi ... 86

Bab 4 ZONASI TAMAN NASIONAL ... 95

4.1 Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Berbasis Zonasi .... 97

4.2 Kriteria Zonasi ... 98

4.3 Penataan Pengelolaan Zonasi ... 101

4.4 Kajian Kriteria dan Indikator Zonasi ... 133

4.5 Permasalahan Penetapan dan Pemanfaatan Zonasi ... 172

Bab 5 STRATEGI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL ... 177

5.1 Kebijakan Terkait Pengelolaan ... 178

5.2 Para Pemangku Kepentingan (Stakeholders) ... 179

(13)

xii | M. Bismark dan Reny Sawitri

5.4 Teknik Pengelolaan Taman Nasional ... 196

5.5 Potensi Pengembangan Kegiatan Restorasi ... 198

Bab 6 DAERAH PENYANGGA DAN KORIDOR ... 206

6.1 Daerah Penyangga ... 209

6.2 Koridor ... 267

6.3 Isu-Isu Strategis ... 271

(14)

Nilai Penting Taman Nasional | xiii

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Biofisik Kawasan Pelestarian Alam dan Daerah Penyangga ... 10 2. Jenis ikan dari sungai Sangata yang dikonsumsi dan

diperjualbelikan ………..………. 47 3. Jenis burung yang dikonsumsi dan diperjualbelikan …..………. 48 4. Pemanfaatan sumber daya hutan TN Gunung Halimun Salak

di lima kampung, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak,

Banten ………....……… 53 5. Nilai willingness to pay beberapa jenis satwa liar menurut

responden ……….………..……. 64 6. Pendugaan nilai ekonomi satwa liar di TN Batang Gadis …….... 65 7. Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di

TN Wakatobi ……….……… 67

8. Rata-rata willingness to pay dan willingness to sell bagi

responden di TN Bukit Tigapuluh ………….………. 68 9. Nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan willingness to

pay ……….………..……… 68 10. Nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan willingness to

sell ………..……. 69 11. Hasil analisis ekonomi air yang dimanfaatkan oleh PDAM

Tirta, Kabupaten Madina ……….. 70 12. Nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu di TN Bukit Tigapuluh … 73 13. Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi di TN Batang

Gadis ……….……… 78 14. Dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kawasan

hutan dan masyarakat sekitarnya ……….……….. 83 15. Tipologi masyarakat dari beberapa desa contoh yang

berbatasan dengan zona rehabilitasi TN Gunung Gede

Pangrango ... 90 16. Model rehabilitasi di TN Gunung Gede Pangrango ... 110 17. Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi ... 114 18. Luas lahan yang rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak …….. 117 19. Kegiatan restorasi di TN Gunung Halimun Salak ……..……… 118 20. Model rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak ……….. 118

(15)

xiv | M. Bismark dan Reny Sawitri

21. Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di usulan zona

khusus, TN Kutai ... 123 22. Jenis mata pencaharian masyarakat di zona khusus, TN Kutai … 126 23. Kesuburan tanah di kawasan Prevab dan Sangatta Selatan ... 128 24. Pembagian jalur di usulan zona khusus TN Kutai ……..…………. 131 25. Kelompok kegiatan masyarakat di usulan zona khusus TN

Kutai ……….………. 133 26. Usulan kriteria dan indikator zona inti TN Bukit Tigapuluh ..…. 135 27. Indikator ekologis pada zona inti TN Batang Gadis bagian

Utara ……….. 137 28 Indikator ekologis pada zona inti TN Batang Gadis bagian

Selatan ……… 139 29. Konsep top-down kriteria dan indikator zona inti TN

Bantimurung Bulusaraung ………..……….. 141 30. Usulan kriteria dan indikator zona rimba TN Bukit Tigapuluh ... 146 31. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian

Utara ………. 147 32. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian

Selatan ……….……… 148 33. Usulan kriteria dan indikator zona pemanfaatan intensif TN

Bukit Tigapuluh ... 150 34. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis … 152 35. Set minimum kriteria dan indikator zona pemanfaatan

intensif TN Bantimurung Bulusaraung ………….……….. 152 36. Kategori pengelolaan kawasan konservasi menurut IUCN …..… 155 37. Matriks tujuan pengelolaan dan kategori kawasan konservasi … 155 38. Usulan kriteria dan indikator zona rehabilitasi TN Bukit

Tigapuluh ... 157 39. Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di

kawasan hutan konservasi ... 158 40. Penilaian katagori prioritas restorasi TN Gunung Gede

Pangrango ………..………. 159

41. Usulan kriteria dan indikator zona pemanfaatan tradisional

TN Bukit Tigapuluh ... 161 42. Kriteria dan indikator zonasi taman nasional ... 168 43. Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TN

Kutai (Falah, 2012) ……….. 184 44. Analisis SWOT pengelolaan TN Kutai ……….……….. 193

(16)

Nilai Penting Taman Nasional | xv 45. Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona

khusus ………..……… 195 46. Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan

masyarakat ………..……….. 195 47. Kegiatan restorasi dan rehabilitasi pada taman nasional secara

swadaya dan kemitraan ………..………. 198 48. Perbandingan potensi hutan rakyat di beberapa Provinsi

(lebih dari 100.000 ha*) dan lahan kritisnya ……… 201

49. Pembinaan usaha ekonomi hutan rakyat ……..………. 202 50. Komponen dan potensi daerah penyangga TN Gunung

Ciremai ………. 212 51. Proporsi dan komposisi tanaman perhutanan sosial dalam

pemanfaatan lahan di daerah penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan ... 214 52. Dominansi jenis tanaman pada berbagai zona pengembangan

tanam hutan rakyat di daerah penyangga TN Gunung

Halimun Salak ……….. 218 53. Bentuk pengelolaan lahan dan rata-rata pendapatan

masyarakat per kk di Kecamatan Cibeber, TN Gunung

Halimun Salak ………..……… 218 54. Nilai ekonomi hutan rakyat di daerah penyangga TN Gunung

Halimun Salak ……….. 221 55. Parameter biofisik wilayah konservasi di areal IUPHHK

daerah penyangga TN Siberut ... 223 56. Identitas penduduk berbagai etnis di daerah penyangga TN

Kutai ……….……….. 225 57. Pola usaha tani penduduk dari berbagai etnis di kawasan dan

daerah penyangga TN Kutai ……….……….. 227 58. Jenis tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan di

daerah penyangga TN Kutai ……….……….. 229 59. Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai

Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut ……….……..…………. 230 60. Sebaran kelas diameter dan kerapatan pohon di kelompok

hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut ... 233 61. Lima jenis pohon dengan biomasa dan kandungan karbon

tertinggi di Cagar Biosfer Pulau Siberut ……… 236 62. Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut ……….. 237 63. Potensi necromass dan kesuburan tanah di Cagar Biosfer

(17)

xvi | M. Bismark dan Reny Sawitri

64. Dugaan biomassa, kandungan karbon, dan serapan

karbondioksida di Cagar Biosfer P. Siberut …….………. 238 65. Keragaman burung di hutan rakyat dan wanatani di daerah

penyangga TN Gunung Ciremai ……… 240 66. Keragaman dan biomassa serangga di hutan rakyat daerah

penyangga TN Gunung Ciremai, plot contoh 20x10 m ……… 242 67. Jenis dan frekuensi perjumpaan dengan satwa liar di hutan

rakyat daerah penyangga TN Gunung Ciremai ………. 242 68. Jenis kelelawar pemakan buah yang dijumpai di kebun

agroforestry di Sumatra ……….………… 243 69. Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah

penyangga TN Kerinci Seblat ………..………. 246 70. Persentase hubungan masyarakat desa di daerah penyangga

TN Gunung Ciremai dengan pengelolaan hutan ... 249 71. Keragaman jenis pohon di kawasan PHBM, hutan rakyat dan

wanatani di daerah penyangga TN Gunung Ciremai ……… 255 72. Komposisi jenis dan jumlah pohon (50 m x 50 m) di hutan

rakyat daerah penyangga TN Gunung Ciremai ... 257 73. Pengembangan tanaman PMDH di Desa Subelen, Pulau

Siberut ……….………….. 259 74. Persentase jenis tanaman hutan rakyat daerah penyangga TN

Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka ………..………. 262 75. Jenis pohon buah dan pohon kayu dominan di daerah

penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka ………… 263 76. Potensi kayu hutan rakyat per hektar di daerah penyangga

(18)

Nilai Penting Taman Nasional | xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem ... 7 2. Peta Kawasan Hutan dan Konservasi perairan di Indonesia

sampai dengan tahun 2013 ……….……….. 11 3. Sebaran 50 Taman Nasional menurut biogeografis di

Indonesia ……….….. 32 4. Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap

pengelolaan TN Sebangau ………. 57 5. Hasil panen budi daya rumput laut oleh masyarakat ……..…..…. 67 6. Homestay di kawasan wisata P. Hoga yang dikelola

masyarakat ………..………. 84 7. Lahan garapan masyarakat di Desa Pawenang, Kecamatan

Nagrak, Sukabumi ……….………….. 92 8. Status lahan garapan masyarakat sekitar TN Gunung Gede

Pangrango ……….……… 93 9. Manfaat kawasan hutan menurut persepsi masyarakat di

sekitar TN Gunung Gede Pangrango ………. 93 10. Usulan batas kawasan dan zonasi TN Bukit Tigapuluh ... 103 11. Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge, TN

Gunung Gede Pangrango ... 109 12. Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan

pembabatan di zona rehabilitasi, Resort Tapos, TN Gunung

Gede Pangrango ... 109 13. Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort

Cimungkat, TN Gunung Gede Pangrango ... 111 14. Tanaman perkayuan di zona rehabilitasi, Resort Gunung

Putri, Cianjur ………..………. 115 15. Tanah longsor dan genangan air di Desa Sukatani, Cianjur …….. 115 16. Jenis dan kotoran satwa liar di zona rehabilitasi, Resort

Sarongge, Cianjur ……….……… 116 17. Lokasi rencana rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak …..…. 117 18. Profil Jorong Tandai ………..………. 121

(19)

xviii | M. Bismark dan Reny Sawitri

19. Profil penggunaan lahan di dalam dan di luar kawasan TN

yang menjadi bagian wilayah Jorong Sungai Manau ………..…….. 122

20. Perkebunan karet dan getah karet ……… 129

21. Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan perubahan lansekap kawasan ……….……… 130

22. Habitat buaya muara di Telaga Bening ………..……….. 132

23. Lokasi potensi HHBK di TN Gunung Halimun Salak ……… 163

24. Tanaman damar di TN Gunung Halimun Salak ……….……….. 165

25. Kondisi kawasan pascatambang PT Antam di Cikidang ……...….. 174

26. Pemetaan stakeholder berdasarkan kepentingan (interest) dan pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Bantimurung Bulusaraung ……….……….. 180

27. Pengelompokkan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan pengaruh ……….………. 183

28. Model daerah penyangga taman nasional (Bismark, 2000) ….… 211 29. Model daerah penyangga di TN Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan: HP; PHBM; HKm (hutan kemasyarakatan); Ag (agroforestry); Ds (desa); Pm (pemukiman); Pt (Pertanian); Hr (Hutan rakyat); Wa (wisata alam); Wi (wisata air); Pri (perikanan); S (sawah); K (kebun); dan Ht (hutan tanaman) ………..……….……… 214

30. Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas kawasan TN Kerinci Seblat ………. 215

31. Tengkorak tapir dan satwa simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur hijau Jorong Bangun Rejo ……….. 216

32. Nipah sebagai sumber pendapatan tambahan masyarakat etnis Bugis ………..……… 229

33. Hubungan antara diameter dan tinggi pohon pada hutan primer ………. 231

34. Hubungan antara diameter dan tinggi pohon pada Log-Over Area <1 tahun ……….……….. 231

35. Hubungan antara diameter dan tinggi pohon pada Log-Over Area 5 tahun ………..……… 231

36. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut (Bismark & Heriyanto, 2007) ... 233

37. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan bekas tebangan 1 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut ... 234

(20)

Nilai Penting Taman Nasional | xix 38. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan bekas tebangan 5

tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar

Biosfer P. Siberut ... 234 39. Hubungan antara luas bidang dasar dengan biomassa pada

hutan primer Cagar Biosfer Pulau Siberut ……… 239 40. Hubungan antara luas bidang dasar dengan biomassa pada

hutan bekas tebangan 1 tahun Cagar Biosfer Pulau Siberut ….… 239 41. Hubungan antara luas bidang dasar dengan biomassa pada

hutan bekas tebangan 5 tahun di Cagar Biosfer Pulau Siberut …. 240 42. Jenis-jenis bahan obat-obatan seperti leangaru, sarang semut,

daun bekawa, dan akar kuning ……….……… 245 43. Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan (Sumber: Abbas,

2010) ……….……… 250 44. Tegakan jeunjing di hutan rakyat ……… 252 45. Pembibitan tanaman aren di kebun masyarakat Kampung

Dengkleng, Desa. Sukamulya ……….. 253 46. Stratifikasi dan komposisi jenis tegakan di hutan rakyat pada

jarak 1,5 km, 3 km dan 10 km dari TN Gunung Ciremai ……….. 258 47. Pola usaha tani di kebun milik pada etnis Jawa ……… 260 48. Pola usaha tani di kebun milik pada etnis Kutai ………. 260 49. Pola usaha tani di kebun milik pada etnis Bugis ………. 261 50. Lubang penambangan emas rakyat di Kampung Cirotan Atas,

Desa Cihambali ……… 272 51. Kebun agroforestry dan kebun karet rakyat ………….……… 273 52. Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di

(21)
(22)

21 | M. Bismark dan Reny Sawitri

Bab 1

(23)

2 | M. Bismark dan Reny Sawitri

P

erlindungan keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang tercakup dalam komunitas hayati yang utuh dalam habitat yang asli merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan seluruh potensi tersebut. Pelestarian habitat dalam kawasan yang luas dengan berbagai tipe ekosistem di dalamnya menjadi dasar penetapan kawasan konservasi, termasuk pelestarian budaya setempat. Selain menetapkan kawasan konservasi yang dikelola secara efektif, perlindungan biodiversitas dapat pula dilakukan dengan memperbaiki habitat melalui restorasi ekosistem.

P

engelolaantaman nasional dapat ditentukan dari kondisi kawasan awal, kondisi masyarakat, ataupun kondisi tata guna hutan atau lahan sekitar kawasan. Oleh sebab itu, prioritas penelitian pada kawasan taman nasional didasarkan pada pertimbangan kondisi taman nasional yang mempunyai nilai penting dan manfaat lebih luas dalam pengelolaannya, termasuk yang dapat menunjang pendapatan daerah. Salah satu nilai penting yang sering terlupakan adalah jasa lingkungan, baik nilai ekonomi maupun nilai ekologis, termasuk bagi kawasan sekitarnya sehingga berfungsi sebagai penyangga kehidupan.

(24)

Nilai Penting Taman Nasional | 3 Perlindungan biodiversitas flora, fauna, dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk tujuan berbagai hal, terutama pemanfaatan jasa lingkungan yang terkait dengan pemanasan global. Pemanfaatan jasa lingkungan tersebut juga terkait dengan obyek dan sumber ekonomi yang memerlukan tingkat pengelolaan dan efisiensi pemanfaatan yang cermat. Hal tersebut menjadi sangat penting karena Indonesia merupakan negara mega biodiversitas sehingga secara ekonomi menjadi keunggulan Indonesia di lingkup Asia Tenggara. Namun demikian, jasa lingkungan yang terbentuk dalam habitat dan komunitas berbagai biodiversitas dengan sistem pengelolaan kawasan konservasi yang ada belum sepenuhnya dapat memberikan nilai ekonomi dan perlindungan secara optimal. Oleh sebab itu, pemanfaatan yang terencana dalam jangka panjang memerlukan 1) dukungan pengembangan ekonomi sumber daya alam, 2) keterlibatan masyarakat sekitar kawasan, dan 3) sistem lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor ini saling terkait sebagai bagian dari parameter pengelolaan pemanfaatan biodiversitas dan ekosistemnya sehingga dapat memberikan fungsi suatu kawasan konservasi dalam mendukung sistem penyangga kehidupan.

Perkembangan ekonomi global di bidang pemanfaatan biodiversitas dan harapan menjadikan andalan hasil sumber daya hutan Indonesia di masa mendatang, upaya pengelolaan dan bahkan penetapan kawasan konservasi baru telah menambah areal pelestarian biodiversitas. Penurunan populasi satwa langka, keberadaan beragam jenis tumbuhan dan fauna potensial untuk dimanfaatkan sebagai hasil hutan nonkayu, dan jasa lingkungan lainnya yang perlu diatur merupakan dasar-dasar dalam pengusulan penetapan kawasan konservasi, terutama oleh Pemerintah Daerah. Bahkan, penambahan taman nasional dan perkembangan nilai ekonomi satwa liar yang diperdagangkan telah terjadi selama lima tahun terakhir.

Hal yang kurang menggembirakan, banyak kawasan konservasi yang ada telah mengalami degradasi habitat. Hal ini tentunya akan berdampak pada tiga faktor pengelolaan pemanfaatan biodiversitas, termasuk manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Adanya degradasi kawasan ini akan memerlukan biaya untuk pengamanan dan restorasi kawasan. Untuk mengatasi hal ini, pengembangan daerah penyangga

(25)

4 | M. Bismark dan Reny Sawitri

(buffer zone) menjadi semakin penting, termasuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholders).

Beberapa hasil penelitian yang dapat mendukung penyelesaian masalah pengelolaan kawasan konservasi telah mengidentifikasi cakupan penelitian yang didasarkan pada permasalahannya. Cakupan tersebut, yaitu 1) zonasi taman nasional, 2) pengelolaan secara adaptif kawasan konservasi, 3) jasa lingkungan kawasan, 4) dinamika ekosistem kawasan konservasi, dan 5) pengelolaan daerah penyangga. Penentuan cakupan penelitian untuk menyusun model pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem ini diharapkan akan menjadi dasar pengelolaan kawasan konservasi, seperti pengelolaan taman nasional.

Pemangku kepentingan pengelolaan kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional telah diatur sesuai Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tatakerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Pengelolan taman nasional yang dimaksud, meliputi (1) penataan zonasi, perencanaan pemantauan dan evaluasi kawasan taman nasional; (2) pengelolaan kawasan; (3) perlindungan dan pengamanan taman nasional; (4) pengendalian kebakaran hutan; (5) promosi informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem; (6) penyuluhan; (7) pengembangan kerjasama dan kemitraan; (8) pemberdayaan masyarakat lokal; (9) pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat. Walaupun demikian, fungsi yang dijalankan taman nasional belum sepenuhnya dapat menunjukkan nilai manfaat ekonomi ataupun lingkungan sehingga maksud dan tujuan pembentukan taman nasional kurang dapat dipahami oleh masyarakat atau pemerintah daerah. Selain itu, otoritas pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional masih berada di tingkat pusat. Sayangnya, pemerintah pusat belum sepenuhnya berhasil membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional secara efektif. Sebaliknya, pemerintah daerah mengharapkan dapat mengelola taman nasional bersama-sama sebagaimana pasal 4 Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif.

Pengelolaan taman nasional dapat ditentukan dari kondisi kawasan awal, kondisi masyarakat, ataupun kondisi tata guna hutan

(26)

Nilai Penting Taman Nasional | 5 atau lahan sekitar kawasan. Sebagai contoh, banyak taman nasional dengan areal kawasan yang sebagian atau seluruhnya berasal dari hutan produksi yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Walaupun sudah ada penetapan taman nasional model, kekhasan model tersebut belum diperlihatkan melalui hasil penelitian dengan lima cakupan penelitian di atas.

1.1 Lingkup Bahasan

Kawasan konservasi di Indonesia dikelompokkan menjadi Kawasan Suaka Alam (KSA), yaitu Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM); Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yaitu Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA); dan Taman Buru (TB). Selanjutnya, penulisan buku ini akan diarahkan pada kawasan dengan fungsi di dalam fungsi pokok konservasi, yaitu Taman Nasional. Penulisan ini bersumber dari beberapa hasil penelitian sesuai Rencana Penelitian Integratif (RPI) 13 Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan tahun 2010–1014 yang terkait bidang konservasi kawasan.

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ciri-ciri khas biodiversitas dan ekosistemnya yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan dikelola menurut sistem zonasi. Kawasan taman nasional yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam khas, dan kepentingan pelestarian tinggi berpotensi untuk pengembangan ekowisata sehingga memberikan manfaat yang besar bagi wilayah sekitarnya. Dalam hal pemanfaatan, sebagian kawasan taman nasional dapat dibuat zona pemanfaatan, meliputi pemanfaatan jasa lingkungan wisata, air, dan karbon.

Prioritas penelitian pada kawasan taman nasional didasarkan pada pertimbangan kondisi taman nasional yang mempunyai manfaat lebih luas dalam pengelolaannya, termasuk yang dapat menunjang pendapatan daerah. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah terdapatnya perkembangan penetapan taman nasional yang relatif cepat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, kondisi dan perkembangan taman nasional perlu mendapat dukungan penelitian

(27)

6 | M. Bismark dan Reny Sawitri

dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan habitat, biodiversitas, dan kolaborasi untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal.

1.2 Permasalahan

Permasalahan kawasan konservasi saat ini yang mencakup potensi dan pengelolaan berbasis ekosistem meliputi hal-hal sebagai berikut.

1.2.1 Zonasi Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi untuk optimalisasi pengelolaan pemanfaatan. Taman nasional yang sudah dikelola dengan baik telah tertata dalam sistem zonasi yang secara umum terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang disesuaikan dengan tingkat kepentingannya. Penetapan zonasi ini ditentukan berdasarkan potensi biofisik, sarana prasarana yang tersedia, tata ruang dan fungsi lahan daerah penyangga, serta aspek pengamanan. Untuk melihat seberapa jauh efektifitas pengelolaan dan manfaat zonasi bagi kepentingan pelestarian dan manfaat ekonomi, evaluasi perlu dilakukan terhadap nilai dan manfaat taman nasional melalui indikator yang telah disepakati.

Beberapa kawasan taman nasional telah dievaluasi tata ruang zonasinya dan dilakukan perubahan dengan kriteria indikator daerah aliran sungai (DAS). Evaluasi kriteria indikator dan valuasi potensi serta manfaat setiap zonasi taman nasional sesuai dengan model, pengelolaan, luas, biofisik, dan daerah penyangga merupakan hal yang perlu didukung dengan hasil penelitian agar diperoleh peningkatan dan efektifitas pengelolaan taman nasional. Secara umum, hubungan cakupan kegiatan dalam pengelolaan kawasan konservasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.

(28)

Nilai Penting Taman Nasional | 7 Gambar 1. Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis

ekosistem

1.2.2 Pengelolaan Adaptif

Pengelolaan adaptif adalah proses penyesuaian terus-menerus di antara badan pengelola yang tergabung dalam pengelolaan kolaboratif pada taman nasional. Model pengelolaan kolaboratif dan penyesuaian di antara pemangku kepentingan dalam proses pencapaian tujuan pengelolaan akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kondisi sosial masyarakat, tipe pengelolaan lahan dan pemanfaatan hasil hutan di sekitar atau di dalam kawasan, dan proses adaptif para pemangku kepentingan dalam sistem pengelolaan kolaboratif dan kelembagaan yang mendukung.

Pada taman nasional yang sebelum penetapannya sudah ada keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan, seperti sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM); peningkatan kelembagaan pengelolaan kolaboratif dan proses adaptif ini sangat diperlukan untuk merubah pola pemanfaatan lahan hutan yang

Model Taman Nasional Pengelolaan

Kolaboratif

Model dan Pengelolaan Daerah Penyangga

Dinamika Ekosistem

Zonasi Taman Nasional

Nilai Jasa Lingkungan, Sosial Ekonomi,

Pelestarian Biodiversitas dan Perbaikan Lingkungan

(29)

8 | M. Bismark dan Reny Sawitri

berorientasi pada ekonomi ke arah pemanfaatan yang berbasis ekosistem. Dalam model pengelolaan kolaboratif, jenis kegiatan yang dikolaborasikan dipengaruhi pula oleh tata guna lahan sekitar kawasan yang menjadi daerah penyangga taman nasional, seperti taman nasional yang berada di sekitar areal pertambangan atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Hal ini terkait dengan populasi penduduk, sosial ekonomi dan budaya masyarakat, terutama masyarakat pendatang yang berpotensi melakukan intervensi ke dalam kawasan. 1.2.3 Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan adalah potensi sumber daya kawasan yang dapat dimanfaatkan di taman nasional. Jasa lingkungan yang umum diperbincangkan adalah nilai ekonomi dan ekologi dari fungsi taman nasional sebagai areal ekowisata, sumber air bersih, penyimpan karbon, dan sumber daya genetik fauna dan flora yang mendukung program budi daya untuk peningkatan produksi pangan. Permasalahan umum saat ini adalah pada taman nasional belum diketahui potensi biofisik, keunikan dan kelimpahannya sebagai penghasil jasa lingkungan; dan nilai ekonomi dari hasil pengelolaan kawasan dan jasa lingkungan. Dengan demikian, standar pengelolaan dan parameter nilai biofisik dan ekonomi diperlukan untuk pemanfaatan optimal, terutama pada taman nasional yang baru ditetapkan.

Selain nilai ekonomi, jasa lingkungan kawasan taman nasional dapat memberikan nilai ekologis bagi kawasan sekitarnya sehingga berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Nilai ekologis bagi kawasan sekitar, antara lain potensi satwa liar sebagai penyerbuk, penyebar biji, penyebar mineral esensial, dan predator hama. Nilai ekologis tersebut juga terkait dengan keberadaan kawasan yang berfungsi dalam mempertahankan tingkat kesuburan lahan dan sumber air bagi kegiatan budi daya di daerah penyangga. Dengan diketahui potensi biofisik kawasan, jasa lingkungan kawasan akan dapat dinilai, antara lain terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat, serta peluang pendapatan daerah. Contohnya, kawasan TN Gunung Gede Pangrango dapat menghasilkan air sekitar 110 juta m3 per tahun dengan kebutuhan

(30)

Nilai Penting Taman Nasional | 9 1.2.4 Dinamika Ekosistem Kawasan

Berdasarkan statistik, areal di dalam kawasan konservasi terdapat pula lahan kritis. Proses terbentuknya lahan kritis ini akibat dinamika ekosistem dengan gangguan berat, fragmentasi hutan, terbentuknya hutan sekunder, dan perubahan dari hutan sekunder ke lahan kritis. Kondisi ini dapat mengurangi luas kawasan yang efektif sebagai habitat satwa, penurunan populasi satwa liar, mudahnya intervensi kawasan, dan peningkatan perburuan liar. Keberadaan lahan kritis mudah terlihat pada kawasan taman nasional baru yang ditetapkan berdasarkan alih fungsi hutan produksi bernilai konservasi tinggi menjadi taman nasional, atau kawasan yang dikelilingi oleh kawasan dengan fungsi selain konservasi.

Kajian evaluasi fungsi diperlukan pada zona-zona taman nasional untuk mengatasi penurunan kualitas habitat akibat perubahan ekosistem. Selain itu, perbaikan habitat juga memerlukan kajian dan implementasi teknis, seperti kegiatan restorasi. Namun, restorasi pun memerlukan strategi silvikultur yang tepat dengan jenis lokal dan berfungsi sebagai perbaikan habitat satwa liar. Restorasi merupakan hal yang penting dilakukan pada kawasan konservasi yang terdegradasi, terutama yang menjadi habitat satwa liar terancam punah.

1.2.5 Pengelolaan Daerah Penyangga

Penilaian biofisik kawasan taman nasional dapat memberikan dasar terhadap pentingnya program pembangunan di daerah penyangga (Tabel 1). Program tersebut meliputi penataan ruang daerah penyangga, pengelolaan, dan kolaborasi di antara pemangku kepentingan. Hal ini terkait pula dengan pengamanan kawasan taman nasional, penanganan gangguan satwa liar, atau perlindungan taman nasional dari jenis-jenis invasif. Untuk tujuan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur hijau perlu dibuat di luar batas taman nasional, yaitu berupa kawasan hutan atau areal berhutan selebar 500–1.000 meter, tergantung dari fungsi lahan di luar batas taman nasional.

(31)

10 | M. Bismark dan Reny Sawitri

Tabel 1. Biofisik Kawasan Pelestarian Alam dan Daerah Penyangga Tipe

ekosistem dominan

Areal sekitar Kawasan Pelestarian

Alam (Daerah Penyangga) Bioregion penetapan Periode

IUPHHK-HA IUPHHK-HT Perke-bunan Pertam-bangan A B C D Lama Baru

Pegunungan  - -        Dataran rendah ~ Rawa air tawar  -  -   -   - ~ Rawa gambut       - -   ~ Hutan dataran rendah           Laut dan kepulauan - - - -  -  -   Pulau  - - -  -  -  -

Keterangan: IUPHHK-HA = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam; IUPHHK-HT = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman; A = Sumatera, Jawa, Bali; B = Kalimantan; C = Sulawesi, Nusa Tenggara; D = Maluku dan Papua

Pada dasarnya, pengelolaan daerah penyangga dilakukan dalam penataan pemanfaatan lahan dan fungsinya di sekitar taman nasional untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar sesuai dengan tipe ekosistem taman nasional. Peningkatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan dari segi pengaturan manfaat dan tata guna lahan yang mendukung pelestarian ekosistem taman nasional. Namun demikian, penetapan dan pengelolaan daerah penyangga saat ini cenderung mengarah pada lansekap pertanian. Perubahan lansekap lahan sekitar kawasan sebelum penetapan menjadi taman nasional pun sudah menimbulkan fragmentasi kawasan hutan. Selain itu, pembukaan lahan hutan akibat berkembangnya desa hutan dan kawasan budi daya menyebabkan terjadinya konflik masyarakat dengan pengelola kawasan. Padahal, persepsi mengenai daerah penyangga dan mekanisme pengelolaannya belum mengarah pada upaya perlindungan kawasan.

(32)

Nilai Penting Taman Nasional | 11 1.3 Tantangan dan Peluang Pengelolaan Kawasan Konservasi

Menurut Kementerian Kehutanan (2014), kawasan hutan daratan di Indonesia hingga tahun 2013 masih tersisa sekitar 124.022.849 ha (Gambar 2). Apabila digabungkan dengan kawasan perairan yang dikelola Kementerian Kehutanan, luas tersebut menjadi 129.425.443 ha. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan tersebut meliputi hutan konservasi (KSA, KPA, dan TB) daratan seluas 21.995.986 ha, kawasan konservasi perairan seluas 5.402.595 ha, Hutan Lindung (HL) seluas 29.917.583 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 27.686.675 ha, Hutan Produksi tetap (HP) seluas 28.897.173 ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 15.525.433 ha. Berdasarkan tipe penutupan lahan hasil penafsiran citra satelit sampai dengan tahun 2012 dan Landsat 7 ETM+ 2011; kondisi hutan Indonesia terdiri dari hutan primer sekitar 45.185.800 ha, hutan sekunder 40.822.700 ha, hutan tanaman 3.044.400 ha, non hutan 39.332.800 ha dan sisanya tidak ada data. Kawasan hutan yang penutupannya masih merupakan hutan primer, lebih dari 50% hanya tersisa pada kawasan hutan yang statusnya hutan konservasi dan hutan lindung.

Gambar 2. Peta Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Indonesia sampai dengan tahun 2013

Sumber: Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan (2014)

(33)

12 | M. Bismark dan Reny Sawitri

Kawasan hutan merupakan bagian penting sebagai tempat hidup jutaan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun hewan. Menurut Primark et al. (1998), sedikitnya telah ditemukan sekitar 1.500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 8.500 jenis ikan, 25.000 jenis tumbuhan berbunga, 1.250 jenis paku-pakuan, dan ribuan jenis takson lainnya yang hidup pada kawasan hutan di Indonesia. Beragam tumbuhan dan hewan tersebut telah banyak berperan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk sumber makanan dan obat-obatan. Peranan hutan yang juga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia adalah sebagai pengatur hidroorologis, mencegah banjir, mengatasi kekeringan, tanah longsor dan menjaga kesuburan tanah.

Masih tingginya proporsi hutan produksi, yang umumnya diperuntukkan memproduksi kayu, dengan implementasi sistem pengelolaan yang kurang tepat ternyata telah mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan mengalami kerusakan. Hal ini didorong pula oleh pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga konversi hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan budi daya meningkat drastis. Akibatnya, degradasi hutan dan deforestasi tidak dapat dihindari. Luas hutan di Indonesia yang terdegradasi sampai tahun 2007 diperkirakan telah melebihi 50 juta ha (www.dephut.go.id, 2007). Hal ini terbukti dari data di atas yang menunjukkan lebih dari 75% kondisi hutan telah berubah menjadi hutan sekunder dan non hutan. Selain itu, data statistik Kementerian Kehutanan (2014) menunjukkan bahwa angka deforestasi kawasan hutan periode tahun 2011–2012 dari tutupan hutan primer seluas 19.034,5 ha/tahun, hutan sekunder seluas 358.886,7 ha/tahun, dan hutan tanaman seluas 85.958,5 ha/tahun.

Kerusakan hutan di Indonesia, yang sebagian besar merupakan tipe hutan tropika basah, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, terutama akibat penebangan dan konversi hutan ternyata telah menyebabkan beragam jenis tumbuhan dan satwa terancam punah dan kerusakan tanah, seperti pemadatan dan pencucian hara. Menurut Soemarwoto (1997), tanah yang tidak stabil akibat penebangan hutan akan menaikan hampir lima kali kejadian longsor dan volume tanah yang longsor meningkat tiga kalinya. Dampak negatif yang lebih besar lagi adalah terganggunya ketersediaan sumber kehidupan manusia,

(34)

Nilai Penting Taman Nasional | 13 terutama bagi masyarakat sekitar hutan dan semakin meningkatnya frekuensi bencana alam. Saat ini, bencana dan kerusakan lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, penyusutan debit air sungai, penurunan kualitas badan air, dan lain-lainnya hampir terjadi di setiap daerah.

Kerusakan hutan yang luas dan dampak negatif yang besar telah dirasakan oleh manusia, dan ternyata secara positif meningkatkan kesadaran untuk mengelola hutan secara berkelanjutan. Hal yang menggembirakan dalam 20 tahun terakhir ini, kesadaran terhadap pelestarian hutan, termasuk perlindungan keragaman hayati beserta ekosistem di dalamnya telah dirasakan banyak pihak. Begitu pula, orientasi kebijakan konservasi yang merupakan upaya menjaga kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem dalam setiap pengelolaan hutan telah menjadi landasan normatif setiap penentu kebijakan (Marsono, 2004).

Kesadaran untuk mengelola hutan yang berkelanjutan telah berkembang secara global. Prinsip standar pengelolaan hutan berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council/FSC) pada tahun 1999 telah memunculkan sebuah konsep yang dikenal dengan HCVF (High Conservation Value Forest) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi. Konsep HCVF ini mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan kawasan tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Konsep HCV pada awalnya didesain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi, namun dengan cepat konsep ini banyak digunakan pula dalam pembangunan sektor perkebunan yang banyak mengonversi kawasan hutan, seperti untuk perkebunan kelapa sawit.

Di Indonesia, pemikiran dan implementasi untuk menerapkan konsep HCVF sebenarnya sudah ada sejak lama. Hal ini dapat tercermin dari Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Pada isi undang-undang tersebut telah ditetapkan sebagian kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan hutan

(35)

14 | M. Bismark dan Reny Sawitri

lindung. Hutan suaka alam merupakan kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara berkelanjutan. Sementara itu, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Begitu pula, pada kawasan hutan untuk produksi ditetapkan pula kawasan yang harus dilindungi, seperti sempadan sungai, daerah pasang surut air laut, area plasma nutfah, area keragaman hayati tinggi, kantong satwa, dan lainnya. Konsep-konsep tersebut yang sebagian besar lebih dijabarkan dalam prinsip penetapan area menjadi HCVF.

Dalam perkembangannya, peraturan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan terus mengalami perubahan. Amandemen yang mangatur tentang pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati pun lebih jelas. Pada tahun 1990, disahkan UU No. 5 tentang Konservasi Keragaman Hayati beserta Ekosistemnya dan tahun 1999 disahkan UU No. 41 tentang Kehutanan sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1967. Selanjutnya, berbagai fungsi hutan terus diperbaharui dan saat ini terbagi menjadi tiga fungsi pokok, yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi.

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi secara umum berfungsi untuk melestarikan sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dilakukan melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas KSA (CA dan SM) dan KPA (TN, Tahura, dan TWA), serta TB. Kawasan konservasi tersebut pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen [Kementerian] Kehutanan (Departemen Kehutanan, 1990).

Berbagai peraturan untuk mendukung pengelolaan hutan konservasi sebagai penjabaran dari undang-undang di atas terus disusun dan disahkan. Peraturan tersebut antara lain adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

(36)

Nilai Penting Taman Nasional | 15 Tumbuhan dan Satwa, PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Jo PP Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada tingkat Kementerian Kehutanan juga telah ditetapkan berbagai keputusan sebagai landasan dalam pengelolaan hutan konservasi, seperti Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Permenhut Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Salah satu kawasan hutan konservasi yang menjadi perhatian saat ini adalah taman nasional karena dalam pengelolaannya dapat memadukan kepentingan konservasi dan pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi (Departemen Kehutanan, 1990). Sebagai kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi maka pada taman nasional paling sedikit dibentuk tiga sistem zonasi, yaitu zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya.

Pemerintah Indonesia sampai saat ini sedikitnya telah menetapkan 50 taman nasional yang tersebar di seluruh kepulauan, meliputi 11 taman nasional di Pulau Sumatra, 12 taman nasional di Pulau Jawa, 6 taman nasional di Nusa Tenggara dan Bali, 8 taman nasional di Kalimantan, 8 taman nasional di Sulawesi, dan 5 taman nasional di Maluku dan Papua (http://www.dephut.go.id, 2012). Riwayat penunjukkan dan asal usul kawasan taman nasional tersebut sangat bervariasi. Namun secara umum, asal usul penunjukan kawasan taman nasional adalah dari kawasan hutan negara, baik hutan produksi (terutama area HCVF), hutan lindung maupun hutan konservasi dengan fungsi di dalam fungsi pokok lainnya (seperti suaka margasatwa yang pengelolaanya ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional). Sebagai

(37)

16 | M. Bismark dan Reny Sawitri

contoh adalah pembentukan TN Gunung Leuser. Risalah TN Gunung Leuser pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang Peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia; yaitu TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gede Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo. Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, luas TN Gunung Leuser yang ditunjuk adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser dengan isi penting yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TN Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN Gunung Leuser seluas 1.094.692 ha yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan Provinsi Sumatera Utara. Asal usul kawasan TN Gunung Leuser mencakup SM Gunung Leuser, SM Langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, TW Lawe Gurah, TW Sekundur, HL Serbolangit dan HPT Sembabala. (Wiratno et al., 2007).

Pengelolaan taman nasional di Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik karena berbagai permasalahan sering timbul setelah terbentuknya suatu kawasan menjadi taman nasional. Setiap taman nasional tentunya memiliki permasalahan masing-masing. Namun permasalah secara umum yang sering terjadi di setiap taman nasional adalah konflik kepentingan lahan karena belum jelasnya tata batas kawasan, degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya karena pencurian kayu (illegal logging), eksploitasi bahan tambang dan perambahan (konversi hutan), tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan bukan kayu yang masih tinggi, kepentingan egosektoral antar instansi terkait, kondisi sumber daya manusia yang minim, dan prasarana pendukung yang belum memadai.

Solusi mengatasi berbagai ancaman dan permasalahan dalam pengelolaan taman nasional memerlukan berbagai rencana strategis pengelolaan yang tepat dan komprehensif sesuai dengan karakteristik taman nasional itu sendiri. Salah satu konsep strategis yang

(38)

Nilai Penting Taman Nasional | 17 berkembang saat ini dalam pengelolaan taman nasional adalah pengelolaan berbasis ekosistem dengan melibatkan berbagai para pihak (stakeholder) terkait [secara kolaboratif]. Menurut Marsono (2004), pengembangan konsep ekosistem harus memerhatikan berbagai komponen hutan dan melihatnya secara terpadu sebagai komponen yang berkaitan dan tergantung satu sama lain dalam suatu sistem. Untuk itu, pendekatan pengelolaan ekosistem mempertimbangkan bagaimana kawasan taman nasional tidak hanya dipandang sebagai tempat pengawetan tumbuhan dan satwa, tetapi harus memasukkan unsur manusia sebagai pemanfaat kawasan dan hasil hutan, baik kayu maupun dan nonkayu, termasuk satwa liar. Mengingat ekosistem hutan [termasuk kawasan taman nasional] merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi yang meliputi mahluk hidup dengan lingkungan organisme (komunitas biotik) dan lingkungan abiotik, masing-masing memengaruhi sifat-sifat lainnya dan keduanya perlu untuk memelihara kehidupan sehingga terjadi keseimbangan, keselarasan, dan keserasian alam di bumi ini (Irwan, 2007).

Selain itu, pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem tentunya menuntut adanya kemitraan dan kesepakatan kerjasama pengelolaan yang melibatkan banyak pihak. Hal ini karena “kekuatan-kekuatan” di luar yurisdiksi masih cukup kuat memengaruhi kebijakan dan arah pengelolaan suatu taman nasional. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan birokrasi pemerintah; kekuatan sosial ekonomi lokal, regional, nasional dan global; kekuatan sosial politik dan sosial budaya; dan tata nilai masyarakat setempat yang berada di daerah penyangganya. Oleh sebab itu, pengembangan pengelolaan taman nasional saat ini harus mampu mengintegrasikan kepentingan semua pihak dalam mengantisipasi kebijakan sektoral dan antara wilayah administrasi dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan hutan secara umum (Kuswanda, 2011).

Penyusunan strategi rencana pengelolaan berbasis ekosistem tentunya membutuhkan berbagai kajian dan rangkaian penelitian secara menyeluruh pada berbagai taman nasional di Indonesia. Kebutuhan penelitian untuk dapat mendukung hal tersebut yang telah teridentifikasi, antara lain (a) kriteria dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan, (b) model pengelolaan sesuai ekosistem, dan (c) strategi

(39)

18 | M. Bismark dan Reny Sawitri

pengelolaannya. Saat ini, penelitian yang terkait dengan kebutuhan tersebut sedang dilakukan dalam RPI Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem lingkup Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser), Badan Litbang Kehutanan. Pelaksanaan penelitian tersebut diharapkan akan menghasilkan berbagai solusi terkait berbagai permasalahan utama untuk mengembangkan model dan strategi pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem, seperti a) dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi yang belum lengkap, b) kelembagaan untuk mendukung pengelolaan yang adaptif yang belum memadai, c) informasi dan pengembangan jasa lingkungan yang masih kurang, d) dinamika ekosistem kawasan yang terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), dan e) pengelolaan daerah penyangga yang kurang optimal.

Beberapa taman nasional telah dijadikan contoh penelitian yang mewakili berbagai model pengelolaan berdasarkan tipologi kawasan. Taman nasional Model A mewakili tipologi kawasan dengan ekosistem pegunungan, ekosistem dataran rendah, dan perairan yang meliputi TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Ceremai, TN Gunung Merapi, TN Gunung Halimun Salak, TN Siberut, TN Alas Purwo, dan usulan TN di Bangka Belitung. Taman nasional Model B mewakili ekosistem dataran rendah yang meliputi TN Kutai dan TN Sebangau. Taman nasional Model C mewakili ekosistem pegunungan yang meliputi TN Bantimurung-Bulusaraung, TN Lore Lindu, TN Bogani Nani Warta Bone, TN Laiwanggi Wanggameti. Taman nasional Model D mewakili ekosistem perairan dan pulau, serta dataran rendah yang meliputi TN Teluk Cendrawasih, TN Aketajawe-Lolobata, dan TN Wasur.

Rangkaian penelitian yang telah dilakukan dalam lingkup RPI Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem telah menghasilkan berbagai informasi yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pengguna dan masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, penyusun buku ini merupakan bentuk publikasi dari RPI tersebut yang di dalamnya berisikan tentang kondisi ekologi dan masyarakat sekitar taman nasional, valuasi nilai ekonomi dan startegi pemanfaatannya, review usulan penetapan kriteria dan indikator zonasi, strategi pengelolaan berbasis ekosistem, dan pengembangan daerah penyangga.

(40)

Nilai Penting Taman Nasional | 19 Terpublikasinya buku ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam reevaluasi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional beserta daerah penyangganya sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan bagi masyarakat secara umum, khususnya yang berada di sekitar kawasan taman nasional.

(41)
(42)

Nilai Penting Taman Nasional | 21

Bab 2

KONDISI UMUM

TAMAN NASIONAL

(43)

22 | M. Bismark dan Reny Sawitri

T

aman nasional merupakan kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman, keunikan, kekhasan dan keindahan flora fauna yang endemik, langka, serta dilindungi; termasuk keindahan dan keajaiban fenomena alam (Departemen Kehutanan, 2003). Kawasan ini dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan/teknologi, pendidikan, menunjang budi daya, kebudayaan dan pariwisata/rekreasi. Beberapa daerah menjadikan jenis flora atau satwa unik sebagai simbol daerah. Simbol atau lambang flora yang berasal dari dalam kawasan antara lain bunga bangkai, anggrek, dan melati; sedangkan fauna yang dijadikan symbol daerah

T

aman nasional yang terdapat di Indonesia memiliki berbagai

tipe vegetasi dan ekosistem yang paling lengkap di dunia. Tipologi dan karakteristik tersebut memengaruhi keberadaan

biodiversitas dan lingkungan yang sebagian besar potensial dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan potensi tersebut menyebabkan interaksi masyarakat dengan kawasan taman nasional., baik dalam pola subsisten maupun komersial. Tentunya, interaksi tersebut diharapkan bernilai positif, yaitu menjadikan potensi biodiversitas dan lingkungan dalam kawasan taman nasional terus bermanfaat secara berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

(44)

Nilai Penting Taman Nasional | 23 antara lain badak jawa, cenderawasih, dan elang bondol. Beberapa jenis fauna hanya terdapat di Indonesia (endemik) antara lain komodo, jalak bali, maleo, babirusa, anoa, dan kucing emas. Potensi lainnya yang terdapat di dalam kawasan taman nasional adalah berupa keindahan dan keajaiban alam. Hal ini seperti yang terdapat di Danau Kelimutu (TN Kelimutu) yang merupakan salah satu dari sembilan keajaiban dunia, Danau Gunung Tujuh (TN Kerinci Seblat) yang merupakan danau air tawar tertinggi di Asia, salju abadi di TN Lorentz, dan karang atol terbesar ketiga di dunia yang terdapat di TN Taka Bone Rate.

Berdasarkan luasan kawasan taman nasional yang ada di Indonesia, TN Lorentz merupakan taman nasional daratan dengan luasan yang paling besar (±2.505.600 ha); sedangkan TN Kelimutu, TN Merapi, dan TN Merbabu merupakan taman nasional daratan dengan luasan yang paling kecil (±5.000 ha). Sementara itu, TNL Teluk Cendrawasih merupakan taman nasional laut dengan luasan yang paling besar (±1.453.500 ha), sedangkan TNL Bunaken Manado Tua merupakan taman nasional laut dengan luasan yang paling kecil (±89.065 ha).

2.1 Tipe Vegetasi Hutan

Tipe-tipe vegetasi di wilayah kepulauan Indonesia dibagi ke dalam formasi hutan dengan sistem alami yang didasarkan pada perbedaan iklim basah dan bermusim, perbedaan edafis, dan perbedaan altitudinal (Van steenis, 1967 dalam Soerianegara & Indrawan, 1984). Berdasarkan hal tersebut, perlindungan keragaman hayati Indonesia di dalam kawasan taman nasional atau sebagai HCVF dan ekosistem esensial seyogyanya memerhatikan pula tipe vegetasi dalam ekosistem sehingga kepentingan perlindungannya dapat terwakili di taman nasional dan terdapat kemudahan menentukan areal pengelolaannya. Tipe vegetasi atau formasi hutan tersebut terwakili dalam ekosistem taman nasional yang tersebar pada 50 taman nasional di Indonesia (Gambar 3).

Formasi-formasi hutan yang ditentukan dengan sistem alami tersebut dan karakteristiknya adalah sebagai berikut.

(45)

24 | M. Bismark dan Reny Sawitri 1) Hutan mangrove

 Keberadaannya tidak terpengaruh iklim.

 Formasi hutan terdapat di pantai berlumpur atau sedikit berpasir, dipengaruhi pasang surut air laut, tidak terkena ombak keras, jenis tanah aluvial, dan berair payau atau asin.

 Penyebarannya di pantai Timur Sumatra, pantai Utara Jawa, pantai Timur Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Beberapa jenis vegetasi penyusunnya berbuah vivipary dan berakar nafas, yaitu akar pasak (Avicennia spp. dan Sonneratia spp.), akar tunjang (Rhizophora spp.), dan akar lutut (Bruguiera spp.).

Jenis-jenis vegetasi yang penting adalah api-api (Avicennia alba), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora spp.), tancang (Bruguiera gymnorhyza), tingi (Ceriop tagal), nyirih (Xylocarpus granatus), dan nipah (Nypa fruticans).

2) Hutan rawa

 Keberadaannya tidak terpengaruh iklim.

 Formasi hutan terdapat di sekitar muara atau delta sungai, tergenang air tawar dan sungai sehingga bersifat kaya hara (eutrofik), jenis tanahnya gley humus dan aluvial.

 Penyebarannya di Sumatra dan Kalimantan (umumnya mengikuti sungai-sungai besar).

Jenis-jenis vegetasi penting, yaitu pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma macrophylla), jelutung rawa (Dyera lowii), meranti (Shorea balangeran), dan perupuk (Lophopethalum multinervium).

3) Hutan gambut

 Vegetasi tumbuh pada tanah gambut yang berbentuk lensa cembung dengan ketebalan 1–20 m.

 Hutan tergenang air gambut yang berasal dari air hujan, bersifat masam dan miskin hara (oligotrofik), serta jenis tanahnya organosol.

 Penyebarannya di pantai Timur Sumatra, pantai Barat dan Selatan Kalimantan, dan pantai Selatan Papua.

Jenis-jenis vegetasi yang penting adalah ramin (Gonistylus bancanus), meranti batu (Shorea uliginoga), gerunggang

Gambar

Gambar 2.   Peta Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Indonesia sampai  dengan tahun 2013
Tabel 4.   Pemanfaatan sumber daya hutan TN Gunung Halimun Salak  di lima  kampung, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten
Tabel 5.   Nilai willingness to pay beberapa jenis satwa liar menurut responden
Tabel 6. Pendugaan nilai ekonomi satwa liar di TN Batang Gadis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abdullah (2006: 4) menjelaskan bahwa implikasi dari SHUEHGDDQ ³ QDWXUH´ GDQ ³ FXOWXUH´ tersebut adalah terjadinya pemisahan sektor kehidupan. Perempuan yang

Bantuan Belajar yang diberikan Universitas Terbuka adalah dengan melaksanakan tutorial tatap muka dan tutorial Online.Mahasiswa Universitas Terbuka pada masa

Seseorang yang memiliki kelainan refraksi memiliki faktor resiko yang lebih besar terkena kelelahan mata karena otot-otot akomodasi pada orang dengan kelainan

y Def  Def  inisi inisi : tumor ganas kulit yang berkembang lambat, : tumor ganas kulit yang berkembang lambat, invasif dan mengadakan destruksi lokal, sering mengenai invasif

Pengertian Retribusi Daerah dalam pasal 1 baik menurut Undang – undang Nomor 34 tahun 2000 Tentang Perubahan Undang – undang Nomor 18 Tentang Pajak Daerah dan retribusi

Seorang remaja memiliki tingkat kematangan sosial yang tinggi apabila memiliki kriteria sebagai berikut: a) mempunyai hubungan keluarga yang baik, b) mempunyai

Setelah kita klik tombol ADD tersebut maka selanjutnya akan muncul form sebagai berikut :. Gambar

Name and Adress of the College Composite Remarks Contact