• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Berbasis Zonasi

Dalam dokumen M. BISMARK dan RENY SAWITRI (Halaman 118-122)

VALUASI POTENSI TAMAN NASIONAL

Bab 4 ZONASI TAMAN ZONASI TAMAN

4.1 Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Berbasis Zonasi

Pengelolaan taman nasional di Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut.

1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5. Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

4) Permenhut No. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional; yang memungkinkan penataan ruang atau zonasi berdasarkan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tingkat interaksi dengan masyarakat sekitar, dan efektivitas pengelolaan kawasan.

5) Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; yang memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, baik bersama masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya.

6) Permenhut No. P.8/Menhut-II/2013 tentang Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi; yang ditujukan untuk perbaikan DAS, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan dan pendapatan kelompok masyarakat melalui kegiatan aneka usaha perhutanan konservasi dalam suatu kelembagaan. Kegiatan kelompok masyarakat dalam bentuk wanatani, wanamina, wanafarma, dan wanahijauan pakan ternak.

98 | M. Bismark dan Reny Sawitri 4.2 Kriteria Zonasi

Kriteria zonasi taman nasional dijelaskan dalam Permenhut Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 1) Kriteria Zona Inti

a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

b. Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia;

c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;

d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;

f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaannya terancam punah; g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang

prioritas dan khas/endemik;

h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.

Indikator variabel dari penetapan ketujuh kriteria di atas adalah 1) parameter derajat keanekaragaman yang tinggi, 2) terdapat tumbuhan dan atau satwa langka/endemik, 3) ketinggian tempat di atas permukaan laut, 4) kemiringan lereng, 5) kerapatan vegetasi, 6) penutupan/penggunaan lahan, 7) bentuk lahan, dan 8) jenis tanah (Sune, 2012). Selain itu, indikator ekologis zona inti juga dapat didasarkan pada hasil penelitian (Kwatrina & Kuswanda, 2011), antara lain keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa tinggi, tipe ekosistem khas, tipe vegetasi hutan primer, potensi satwa tinggi, jenis penting ada, dan tingkat kelangkaan (nyaris punah, genting

Nilai Penting Taman Nasional | 99 dan/atau jarang, jarang, terbatas dan/atau penurunan pesat, rawan dan/atau terancam punah, terkikis).

2) Kriteria Zona Rimba

a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa liar;

b. Memiliki ekosistem dan/atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;

c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.

Indikator ekologis zona rimba antara lain kondisi vegetasi masih baik, potensi keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan sedang sampai tinggi, serta sebagai bagian habitat atau ruang jelajah satwa langka dilindungi (Kwatrina & Kuswanda, 2011).

3) Kriteria Zona Pemanfaatan

a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu, serta formasi geologinya yang indah dan unik;

b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensl dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;

c. Kondisi Iingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan;

d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan;

e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.

Indikator ekologis zona pemanfaatan antara lain potensi biotik sedang sampai tinggi, potensi wisata tinggi, dan bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting (Kwatrina & Kuswanda, 2011).

100 | M. Bismark dan Reny Sawitri 4) Kriteria Zona Tradisional

a. Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati bukan kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya; b. Di wilayah perairan, terdapat potensi dan kondisi sumber daya

alam hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Indikator zona tradisional ditetapkan untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan oleh masyarakat adat yang karena kesejarahan telah mengelola kawasan tersebut, serta masih mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam (Balai Taman Nasional Kayan Mentarang, 2010).

5) Kriteria Zona Rehabilitasi

a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik, dan hayati yang secara ekologi berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia;

b. Adanya spesies invasif yang mengganggu jenis atau spesies asli dalam kawasan;

c. Pemulihan kawasan pada huruf a dan b sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 (lima) tahun.

Indikator ekologis zona rehabilitasi adalah kondisi hutan yang telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi, dengan menanam tumbuhan aslinya, dan bila kawasan ini sudah mengalami suksesi sempurna atau sudah menjadi hutan primer kembali maka zona ini dapat diperuntukkan bagi fungsi lain (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009).

6) Kriteria Zona Religi, Budaya, dan Sejarah

a. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat;

Nilai Penting Taman Nasional | 101 b. Adanya situs budaya dan sejarah, baik yang dilindungi

undang-undang maupun tidak

Indikator zona religi adalah keberadaan situs religi, peninggalan warisan budaya dan/atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan religi sebagai identitas budaya tradisional masyarakat komunitas lokal (Teguh, 2012).

7) Kriteria Zona Khusus

a. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ ditetapkan sebagai taman nasional;

b. Telah terdapat sarana prasarana antara lain: telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;

c. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.

Indikator zona khusus adalah terdapat kelompok masyarakat yang telah bermukim sebelum taman nasional ditetapkan, fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat, pola pemanfaatan tradisional seperti pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dengan tidak merubah bentang alam dan merusak tegakan, melalui pengaturan pemanfaatan untuk kebutuhan hidupnya (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009).

Dalam dokumen M. BISMARK dan RENY SAWITRI (Halaman 118-122)