METODE ISTINBAT MAZHAB SYAFI’I DAN HANAFI TENTANG ḤAD BAGI PELAKU WAṬ’
DALAM AKAD INSES
Miftahul Arifin
Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo [email protected]
Abstract
Incest marriage is a problem that must be resolved, so that in the future another incest marriage will not occur, either by being sanctioned or otherwise. In relation to the sanctions of ulama, they are still of differing opinions, even though they are legally agreed that the marriage is haram, and must be fasakh if it has already happened, and prevented if it has not. According to Shafi'iyah the person who has intercourse (waṭ ’) in the marriage must be adored as ḥad adultery. Meanwhile, according to Hanafiyah, it is not adad.
The Shafi'i School considers that the marriage is illegitimate (bāṭil), and this is based on the theorem of the Qur'an, Sunnah and ijmak. In the Shafi'i school there is no difference between the terms bāṭil and fāsid, but both have the same consequence, that is not being able to give birth to the desired benefits as well as doing tamattu ’in marriage. In contrast to the Hanafi school of thought, which says that the marriage is fāsid, while the fāsid contract has a position that is almost the same as valid in giving the expected benefits of a contract.
According to Shafi'iyah, waṭ ’is adultery, so the person who did it must be adad. Whereas according to Hanafiyah waṭ ’it is not adultery so it should not be adad, and besides that according to Hanafiyah in the marriage contract there is a thanksgiving that can abort ḥad.
Keywords: istinbat, incest marriage, waṭ’ 1. PENDAHULUAN
Berkembangnya peradaban manusia yang tidak diiringi dengan kematangan mental masyarakat dalam menghadapi perekembangan tersebut mengakibatkan banyak terjadi probelem di masyarakat, termasuk diantaranya adalah inses. Inses merupakan salah satu probelem sosial yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini. Inses adalah hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat. Dalam bahasa arab inses di sebut dengan ghisyānu al-maḥārim yang tidak lain artinya adalah terjadinya hubungan seksual di antara orang-orang yang mempunyai hubungan mahram.[1]
Di kalangan umat Islam sendiri marak sekali terjadi kasus pernikahan sedarah. Beragam alasan yang muncul atas terjadinya tindakan inses tersebut, diantaranya karena alasan sama-sama tidak tahu, disebabkan terpisah oleh tempat yang begitu jauh dan waktu yang begitu lama, sehingga hal itu dapat menghilangkan insting persaudaraannya.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullāh yang umum berlaku pada semua makhluk Allah, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan Allah Swt. adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan.[2] Pernikahan adalah akad yang mengandung penghalalan untuk bersenang-senang (istimtā’) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan baik dengan melalui persetubuhan atau yang lainnya.[3]
Pernikahan merupakan jalan yang ditetapkan oleh syariat untuk manusia agar supaya manusia bisa menyalurkan hasrta seksualnya secara benar, sehingga keturunan yang dilahirkan akan terjaga nasabnya dan dengan seperti itu pula manusia mempunyai sisi perbedaan dengan mahkluk yang lainnya dalam segi menyalurkan hasrat seksualnya. Namun pernikahan tidak hanya dipahami terbatas pada penyaluran hasrat seksual saja melainkan labih dari itu pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi jembatan pendekatan diri seorang hamba pada penciptanya. Dengan perkawinan, seorang muslim akan mendapatkan ganjaran
dan pahala dari Allah Swt. Apabila perkawinan itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, dengan keinginan yang benar, bertujuan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan.[4]
Pernikahan dianggap sebagai suatu yang sakral baik masyarakat ataupun agama, karenanya kemudian Islam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dengan sangat detail dan tegas. Dimana di dalamnya harus ada saksi, wali, dan ṣīghat serta yang lainnya.[5] Sehingga ketika suatu perniakahan tidak bisa memenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahan dinilai cacat atau bahkan batal. Temasuk diantaranya adalah bahwa pasangan yang akan dinikahi tidak boleh ada hubungan mahram. Larangan untuk menikahi orang-orang yang mempunyai hubungan mahram sudah dijelaskan oleh Alquran surah Al-Nisā’ ayat 23; ْمكُتُلَاَ خ َو ْمَ كُتا َّمُ ع َو ْمَ كُتا َوُ خَ أ َو ْمَ كُتاُ ن َب َو ْمَ كُتا َه َّمُ أ ْمُ ك ْيُ لَع َ ت َم ِّر ُحْ ان َب َوَ ْمكُن ْعَ ض ْرَ أ ي َِ ت َّلَّلا ُمُكُتا َه َّمأ َو ِتُ خْلْا ُ ْ تاُ ن َب َو ِخَ لْا َ ْ تُ ي ِ ف ي ِ ت َّلَّلا ُمُكُبِئاَبَر َو ْمك ِئا َسِن ُ تا َه َّمُ ُ أ َو ِةعاَ ض َّرلا َن ِم ْمَ كُتا َوُ خَأ َوَ ْمتُلْخَ د اوَ نوُ كُت ْمَ ل َن ِإْ ف َّن ِهِب َ ْمُتْل َخ َد ي ِ تلَّلا ُمَّ ك ِئا َسِن ُ ْن ِم ْمكِروُ ُج ُح ِهِب ْ نأ َو ْمَ كِبُ لَّ ْصَ أ ْن ِم َ َني ِذَّلا ُمُكِئاَنْبأ ُل ِئَ لَّ َح َو ْمَ ك ْيُ لَع َحاَ ن ُج َ لََّف َّنَ ا ًمي ِحَر اًرو ُف َغ َناَك َ َّللَّا َّنِإ َفَل َس ْدَق ا َم َّلَِإ ِ ْ يَت ْخلْا َ ْ ُ ْ ي َب او ُع َم ْجتَ .
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nisā’: 23)
Menyikapi persoalan pernikahan inses para ulama mazhab sepakat kalau pernikahan tersebut itu haram dilakukan, karena
didasarkan pada ayat tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah orang-orang yang melakukan jimak dalam pernikahan inses harus disanksi dengan ḥad atau tidak. Golongan Syafi’iyah mempunyai pendapat bahwa orang yang melakukan jimak dalam pernikahan tersebut harus di- ḥad. Berbeda dengan golongan Hanafiyah yang mengatakan bahwa orang yang melakuakn jimak dalam pernikahan tersebut tidak di-ḥad.[6] Sedangkan untuk mazhab selain keduanya yaitu mazhab Malikiyah dan Hanabilah pendapatnya sama dengan mazhab Syafi’iyah yaitu harus di- ḥad.[3]
Ḥad adalah sanksi yang ditetapkan kepada orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu seperti zina, menuduh istrinya berzina (qażf) dan lain-lain. Ḥad dalam beberapa kajian kitab fikih pembahasannya menempati urutan terakhir setelah pembahasan tentang ibadah, muamalah, nikah. Urutan ini merupakan gambaran dari beberapa proses natural (tabiat kemanusiaan) yang terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Motivasi dari dihadirkannya ḥad bagi orang yang melanggar, seperti orang yang melakukan zina adalah agar supaya perbuatan yang dianggap melanggar hukum syariat tersebut tidak akan terulang kembali baik bagi pelaku atau orang lain.[3]
Perbuatan melanggar hukum atau tindak kriminal dalam Islam disebut dengan jināyah. Dalam pembahasan tentang jināyah masuk di dalamnya yaitu pembahsan tentang ḥad, meskipun pada dasarnya kedua term ini memiliki perbedaan karena objek cakupan jināyah adalah tindak kriminal pada anggota badan sedangkan yang menjadi objek cakupan ḥad adalah tentang ‘irḍ (harga diri) dan keturunan. Namun pada dasarnya tujuan keduanya sama yaitu agar supaya manusia tidak lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum tersebut.
Berangkat dari perbedaan yang terjadi di antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi tentang memberlakukan ḥad tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang metode istinbāṭ al-aḥkām dari keduanya, sehingga dari istinbāṭ yang mereka lakukan tersebut sampai pada kesimpulan bahwa orang yang
melakukan jimak dalam pernikahan inses harus di- ḥad dan tidak di- ḥad.
2. KAJIAN LITERATUR
a. Istinbat Mazhab Hanafi dan Syafi’i Diantara para imam mazhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Al-Syafi’i, dan Ahmad) mempunyai manhaj (metode) tersendiri di dalam memproduk suatu hukum dari sumber-sumbernya, berikut metode yang digunakan oleh mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i dalam melakukan istinbat suatu hukum;
1) Mazhab Hanafi
Imam Mazhab Hanafi adalah Abu Hanifah al-Nu’mān bin Ṡābit (150 H). Abu Hanifah dikenal sebagai imam Ahlu al-ra’yi, Ahlu al-Qiyās, Istiḥsān. Metode ini beliau peroleh dari gurunya yaitu Syekh Hammad bin Sulaiman (120 H), beliau merupakan murid dari Ibrahim Al-Nakha’i (95 H), Al-Nakho’i sendiri belajar fikih kepada ‘Alqamah Bin Qays (62 H) yang merupakan murid dari Abdullah Ibn Mas’ud Al-Ṣaḥābi (32 H), para Imam yang menjadi silsilah keilmuan Abu Hanifah tersebut adalah termasuk imam ahlu al-ra’yi.[7]
Muhammad Nasiruddin al-Nāqib mengutip dari Abu Zahra di dalam kitab Ḥayātuhu Wa ‘Aṣruhu bahwa hal terpenting yang diperhatikan oleh Abu Hanifah di dalam melakukan istinbat adalah kembali pada kitab (Alquran), sunnah, ijmak, pendapat sahabat (qawl al-ṣaḥābi), qiyās, ‘urf, dan istihsan.[8] Abu Bakr Muhammad Ali Thayyib al-Baghdadi dalam kitabnya juga menyebutkan apa yang dikatakan oleh Abu Hanifah tentang metode istinbatnya.[9]
“Sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan āṡār ṣahīhah yang tersiar di kalangan ulama ṡiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan
Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”
Dari perkataan Abu Hanifah di atas dapat di pahami bahwa yang yang menjadi pedoman dalam istinbat yang dilakukan Abu Hanifah adalah antara lain Alquran, sunnah, ijmak, pendapat sahabat, qiyās, istihsan dan ‘urf.
2) Mazhab Syafi’i
Pendiri mazhab ini adalah Imam Muhammad bin Idris Syafi’i al-muṭṭalibi. Beliau dilahirkan di Guzzah pada tahun 150 H dan wafat di Kairo tahun 204 H. Ketika di Makkah beliau belajar kepada beberapa guru diantaranya Muslim bin Khalid al-Zanjiy, Sufyan bin ‘Uyainah. Selian itu beliau juga berguru kepada Imam Malik bin Anas di Madinah dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani di Baghdad. Di dalam mazhab Syafi’i dikenal ada qawl qadīm, ini lahir ketika beliau ada di Irak dan qawl jadīd ketika beliau berada di Mesir.
Untuk melahirkan suatu hukum mazhab Syafi’i mempunyai metode tersendri yang berbeda dengan mazhab Hanafi. Sebagaimana yang dijelaskan sendiri oleh Syafi’i di dalam kitab al-Umm sebagai berikut:
“Ilmu itu bertingkat-tingkat secara beruntun. Pertama Alquran dan al-Sunnah, apabila sunnah tersebut telah tetap (bukan khabar mauḍū’). Kedua, ijmak ketika dalam suatu kasus tidak dijumpai di dalam Alquran dan al-Sunnah. Ketiga, perkataan sahabat Nabi yang kami tidak meyakini bahwa ada yang memperselisihkan di antara mereka. Keempat, perbedaan sahabat dalam hal tersebut. Kelima, qiyās terhadap sebagian tingkatan tersebut yaitu hanya kepada Alquran dan qiyās karena semuanya telah ada di dalam dua sumber tersebut. Pengetahuan itu hanya diambil dari hal yang paling atas (Alquran dan Sunnah)..”[10]
Muhammad Āmidi dalam kitab al-Iḥkām fī Uṣūli al-Aḥkām merinci dalil-dalil yang di gunakan mazhab Syafi’i dalam melakukan istinbat hukum yaitu[11];
Yang masuk dalam kategori dalil sahih adalah (1) Alquran, (2) sunnah, (3) ijmak dan (4) kiyas.
Dedi Supriadi mengutip dari Mustofa Muhammad Al-Syak’ah dalam kitabnya al-Islāmu bilā al-mażhab. Dimana beliau menjelaskan tentang metode istinbatnya al-Syafi’i bahwa Imam Syafi’i menjadikan Alquran, sunnah, ijmak dan kiyas sebagai pokok dasar didalam istinbatnya. Itulah unsur-unsur dasar yang saling memiliki keterkaitan. Keterkaitan unsur tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman para ahli fikih pada umumnya. Karena salah seorang ahli fikih, al-Karbisi menyatakan “sebelumnya, kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud kitābullāh, al-sunnah, dan ijmak hingga datang al-Syafi’i memaparkanya secara terperinci”.[12]
Dalil yang diduga sebagai dalil yang sahih namun tidak wajib diamalkan. Yang masuk dalam kategori dalil yang diduga sebagai dalil yang sahih yaitu; (1) syariat orang-orang terdahulu (syar’u man qablanā), (2) mazhab sahabat, (3) istihsān, (4) maslahah mursalah.
b. Ḥad dalam Hukum Islam 1) Pengertian Ḥad
Ḥad secara bahasa adalah mencegah, oleh karena itu pintu juga bisa disebut ḥad karena dapat menghalangi seseorang ketika sudah masuk. Demikian juga al-‘uqūbat disebeut ḥad karena hal itu dapat mencegah seseorang untuk melakukan sebab-sebab yang mengantarkan pada al-‘uqūbat tersebut. Sedangkan ḥad dalam termenologi syara’ masih terdapat perselisihan di kalangna ulama. Menurut Hanafiyah, ḥad adalah sanksi yang telah ditentukan dan hal itu wajib ditegakkan karena merupakan hak bagi Allah Swt. Oleh karena itu, takzir tidak bisa disebut sebagai ḥad karena takzir tidak ada aturan baku, demikian juga kisas tidak bisa disebut sebagai ḥad karena meskipun sudah ditentukan namun hal itu hak bagi sesama manusia sehingga didalamnya bisa berlaku adanya pemaafan dari ahli waris. Sedangkan menurut Jumhur, ḥad adalah sanksi yang telah ditentukan
secara syara’ baik hal itu adalah hak bagi Allah atau sesama manusia.[3]
2) Prinsip-Prinsip Penerapan Sanksi dalam Islam
a) Adil
Dalam menegakkan sanksi maka seorang hakim harus adil atau proporsional. Sehingga aturan akan berjalan sebagaiman mestinya dan sanksi tersebut dapat mencegah orang lain untuk melakukan hal yang serupa.
Dalam prinsip Islam bahwa manusia akan dibalas sesuai dengan perbuatannya, jika berbuat baik maka akan diperlakukan dengan baik dan sebaliknya jika berbuat kerusakan maka akan disanksi sesuai dengan perbuatannya tersebut.[3]
b) Menjaga Kemuliaan Manusia
Menjaga kemulian setiap manusia merupakan hal yang pokok dalam Islam. Karenanya tidak boleh dalam Islam terdapat sesuatu yang dapat menghilangkan kemuliaan tersebut. Oleh karena itu syariat tidak memperkenankan seorang hakim memberikan sanksi pada seseorang yang dapat menghilangkan kemuliaannya. Seperti memukul anggota-anggota yang sangat sensitif, semisal kepala, dada, perut dan kemaluan.[3]
c) Menjaga Kemaslahatan Umum atau Khusus secara Berbarengan
Menjaga kemaslahatan merupakan prinsip Islam dalam setiap hukum yang disyariatkan. Menjaga keutuhan tatanan sosial merupakan kewajiaban dasar yang tidak boleh dirusak dan diabaikan oleh setiap individu manapun. Sebagaimana masyarakat tidak mempunyai hak bagi setiap individu didalam mengatur hal-hal yang bersifat privasi, seperti hak kepemilikan dalam jual beli. Bertolak dari hal tersebut maka adanya ḥad tersebut dianggap sebagai langkah untuk menegakkan maslahat atau hak-hak masyarakat umum atau hak
Allah. Seperti salat, maksud dari salat itu sendiri adalah menegakkan agama (ḥifẓu al-dīn). Agama dalam tatanan kehidupan sosial merupakan pokok dasar yang senantiasa harus terjaga.[3]
d) Kesesuaian antara Perbuatan yang Dilakukan dengan Sanksi
Hal ini merupakan pokok dasar yang harus diperhatikan dalam menjalakan sanksi, oleh karena itu tidak boleh seseorang menerapkan sanksi melebihi batasan yang telah ditentukan oleh syariat, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw.;
َم ْن َب َ ل َ غ َح د َ غ ا َ ْ ي َح د َ ف ُه َو ِم َن ْ لا ُم ْع َ ت ِد ْي َن
e) Tidak Boleh Berlebihan dalam Menjatuhkan Sanksi
f) Dalam melakukan eksekusi sanksi tidak boleh seorang musyarri’ terlalu berlebihan dalam menampakkannya, melainkan memberikan ruang baginya untuk memperbaiki aib dan kesalahannya sendiri. Oleh karena itu syara’ memerintahkan untuk menutupi aib dan hal-hal yang bersifat privasi yang terjadi pada diri seseorang. Berdasarkan sabda Nabi Saw.; َم ْن َس ََ ي ُم ْس ِل ًم َس ا ََ ي ُه ُالل ي ِ ف دلا ْ ن َي َو ا ْ لا ِخ َر ِة
Barangsiapa yang menutup (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat.
Sebelum suatu perkara dilaporkan ke hakim seseorang boleh memberikan syafā’at (pertolongan) kepada pelaku demi meminimalisir terkuaknya persoalan dan mencegah semakin meluasnya perbuatan keji yang sama. Namun kalau sudah sampai ke meja hakim maka syafaat tersebut tidak bisa diterima[13]
g) Membentuk Tim Penyidik
Hal ini merupakan bagian yang penting untuk membantu seorang qāḍi didalam memutuskan hukum atas orang yang masih diduga atau
memutuskan suatu sanksi baik ringan atau berat.[13]
c. Macam-macam Sanksi dalam Islam Sanksi atas suatu perbuatan dalam Islam secara umum ada dua yaitu[13];
1) Sanksi Akhirat
Sanksi akhirat merupakan sanksi yang hanya dikuasai oleh Allah, jika Allah berkehendak memberikan sanksi kepada orang yang melakukan maksiat kepadanya maka pasti Allah akan menyanksinya dan begitupula sebaliknya jika Allah menghendaki untuk memaafkan maka pasti Allah akan mengampuninya.
2) Sanksi Dunia
Sanksi yang harus diterima oleh seseorang di dunia ketika melakukan suatu tindak kriminal ada dua, yaitu;[3]
3) Ḥad
Sebagaimana yang telah didefinisikan di atas, bahwa ada perbedaan di kalangan ulama dalam mendefinisikan ḥad. Oleh karena itu ulama juga berbeda dalam membagi macam-macam ḥad, antara lain; Hanafiyah membagi ḥad menjadi lima macam yaitu; (1) ḥad zina, (2) ḥad qażf (menuduh zina), (3) ḥad pencurian (had ḥirābah, memotong tangan), (4) ḥad minum khomer, (5) ḥad mabuk-mabukan. Jumhur ulama membagi ḥad menjadi tujuh macam yaitu; (1) ḥad zina, (2) ḥad qażf (menuduh zina), (3) ḥad pencurian, (4) ḥad ḥirābah, (5) ḥad mabuk-mabukan yang mencakup khomer dan lainnya yang dapat memabukkan, (6) had qiṣāṣ, (7) ḥad murtad
4) Takzir
Takzir merupakan bentuk sanksi yang ketentuannya tidak secara langusng dari syariat namun diserahkan kepada pemerintah yang berwenang (waliy al-amri). Sehingga pemerintah akan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan kepustakaan (library research). Penelitian pustaka adalah serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.[14] Data-data pustaka tersebut bisa berbentuk buku, kitab, jurnal, makalah dan sumber-sumber tertulis lainnya yang mempunyai hubungan dengan tema yang dibahas.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik-koperatif, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data sesuai dengan yang sebenarnya, kemudian data-data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang ada.[15] Penulis akan mengumpulkan data-data dari mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi tentang ḥad bagi pelaku inses, kemudian menyusun dan mengolah data-data tersebut untuk memberikan gambaran mengenai metode yang dipakai oleh kedua mazhab tersebut sehingga sampai pada kesimpulan ḥad harus di tegakan atau tidak.
4. PEMBAHASAN a. Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i, seseorang yang melakukan waṭ’ atau jimak dalam pernikahan tersebut di- ḥad sebagaimana ḥad zina. Penetapan ḥad pada pelaku jimak dalam pernikahan inses oleh mazhab Syafi’i didasarkan pada nas Alquran dan Sunnah serta ijmak:
1) Dalil dari Alquran;
َّمأ ْمُ ك ْيُ لَع َ ت َم ِّر ُحْ ْمكُتا َّمُ ع َو ْمَ كُتا َوُ خَ أ َو ْمَ كُتاُ ن َب َو ْمَ كُتا َهُ ي ِ ت َّلَّلا ُمُكُتا َه َّمأ َو ِتُ خْلْا ُ ْ تاُ ن َب َو ِخَ لْا َ ْ تاُ ن َب َو ْمَ كُتُلَاَ خ َوَ ْمك ِئا َسِن ُ تا َه َّمُ أ َو ِةُ عاَ ض َّرلا َن ِم ْمَ كُتا َوُ خَأ َو ْمَ كُن ْعَ ض ْرَ أَ ْن ِم ْمكِروُ ُج ُح ي ِ ف ي ِ ت َّلَّلا ُمُكُبِئاَبَر َو ْمتُلْخَد ي َِ ت َّلَّلا ُمُكِئا َسِن ْمك ْيُ لَع َحاَ ن ُج َ لََّف َّن ِهِب َ ْمُتْل َخ َد اوُنو ُكَت ْمَل ْنِإف َّن ِهِبَ َ ْ ي َب او ُع َم ْجت َ نْأ َو ْمَ كِبُ لَّ ْصَ أ ْن ِم َ َني ِذلا ُمَّ ك ِئاُ ن ْبَ َأ ُل ِئلَّ َح َوَ ِحَر ا ًرو ُف َغ َناَك َ َّللَّا َّنِإ َفَل َس ْدَق ا َم َّلَِإ ِ ْ يَت ْخلْاُ ْ ًمي
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nisā’: 23)
Manṭūq dari ayat di atas menjelaskan tentang keharaman ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuannya saudara laki-laki, anak perempuannya saudara perempuan, ibu Susuan, saudara susuan, ibunya istri (mertua), anaknya Istri (anak tiri), istrinya anak (mantu), istrinya ayah (ibu tiri), mengumpulkan dua bersaudara sekandung. Dalam kajian manṭūq-mafhūm, teks semacam ini masuk dalam ketegori dalālah iqtiḍā’ karena secara syara’ tidak mungkin suatu khiṭāb berhubungan dengan ‘ain (benda), melainkan pasti khiṭāb akan berhubungan dengan perbuatan mukallaf, oleh karena itu dalam teks ayat tersebut mengira-ngira lafad al-nikāḥ, sehingga diperoleh pemahaman bahwa seseorang dilarang menikahi ibu, anak, saudara dan begitu seterusnya sebagaimana telah disebutkan di atas. Konsekuensinya kalau pernikahan dengan orang-orang tersebut tetap dilaksanakan maka hukum pernikahan tersebut batal/tidak sah. Karena menurut Syafi’iyah, adanya larangan terhadap suatu perbuatan berarti menunjukkan terhadap tidak sahnya perbuatan tersebut jika tetap dilakukan.[16]
Perbuatan yang dianggap tidak sah tidak akan bisa melahirkan akibat yang diharapkan dari perbuaatan tersebut, sebagaimana dalam kajian ṣihhah dan buṭlān disebutkan bahwa ṣihhah/sah adalah memenuhinya suatu perbuatan terhadap hal-hal yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga akibat yang diharapkan dari perbuatan tersebut bisa tercapai. Dalam kontek ibadah, ketika
suatu ibadah dinilai sah maka seseorang yang telah melaksanakannya akan dianggap gugur dari tuntutan. Sedangkan dalam kontek selain ibadah (muamalah), ketika telah dinilai sah maka akibat yang dimunculkan dari perbuatan tersebut juga tercapai, semisal pernikahan, ketika pernikahan dianggap sah maka seseorang boleh melakukan hubungan suami istri (waṭ’ atau jimak) sebagai akibat yang diharapkan dari adanya pernikahan, atau jual beli, ketika jual beli dianggap sah maka akan terwujud adanya perpindahan kepemilikan (naqlu al-milki). Sedangkan buṭlān/fāsid adalah tidak memenuhinya seuatu perbuatan terhadap hal-hal yang telah ditentukan oleh syariat. Akibatnya manfaat yang diharapkan dari perbuatan tersebut tidak akan terwujud, semisal nikah, ketika pernikahan sudah dianggap tidak sah maka seseorang tidak boleh melakukan hubungan suami istri.[17]
Oleh karena itu pernikahan yang telah dilakukan diantara orang-orang yang mempunyai hubungan mahram tidak sah, dan hubungan badan yang dilakukan di atas pernikahan yang tidak sah dianggap sebagai zina. Maka orang yang melakukan waṭ’ atau jimak dari pernikahan tersebut harus di-ḥad sebagaimana ḥad dalam zina. Berikut surah al-Nisā’ ayat 22 yang dijadikan dasar tentang penetapan status zāni ;
ْ
دق ا َم َ لَ ِإ ِءاَّ ً َسِّنلا َن ِم ْمكُؤا َبآ ُ حَ كَ ن ا َم او ُح ِكَ نْت َ لَ َوَ لَّي ِبَس َءا َس َو اًت ْق َم َو ًة َش ِحاف َ ناَ ك َ هُن ِإ َّ َفَل َس Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. Al-Nisā’: 22)
Dalam ayat diatas terdapat lafadz fāḥisyah. Menurut istilah syara’ lafaz tesebut yang dimaksud adalah zina karena berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 15.
اود ِهُ شْ ت ْساَ ف ْمَ ك ِئا َسِن ُ ْن ِم ةَش ِحاَ فَلا َ ْ ي ِتأ َي ي ِْ ت َّلَّلا َو ْمكُن ِم ْ ة َع َب ْرً أ َّن ِهَ ْيَل َع Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)... (QS. Al-Nisā’: 15)
Melihat dalālah manṭūq dari ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa haram menikahi orang-orang tersebut, demikian juga pemahaman yang bisa diambil dari mafhūm ayat tersebut yaitu melakukan hubungan suami istri (waṭ’). Bahkan hal ini masuk dalem kategori faḥwa al-khiṭāb, yaitu makna yang terkandung dalam ayat itu lebih kuat dibanding makna yang tampak dari teks ayat. Sehingga larangan tentanng jimak yang terkandung di dalam ayat di atas lebih kuat, dan bagi orang yang melakukan waṭ’, walaupun sudah melalui jalur akad tetap di-ḥad, sebab adanya pernikahan dengan orang-orang tersebut tidak dianggap sebagai syubhatu al-‘aqdi yang bisa menggugurkan ḥad. Karena menurut Syafi’iyah hal itu tidak tergolong syubhatu al-‘aqdi, sehingga ḥad tetap diberlakukan.[18]
Al-Haqqi dalam menafsiri ayat tersebut menyebutkan bahwa keharaman menikahi ibu dan anak sudah ditetapkan semenjak zamannya nabi Adam hingga sekarang, bahkan tidak pernah dijumpai di dalam agama manapun yang membolehkan melakukan pernikahan tersebut. Kendatipun ada yang membolehkan yaitu orang-orang Majusi tapi para ulama sepakat bahwa hal itu adalah bohong. Sedangkan kebolehan menikahi saudara hanya boleh dilakukan pada zaman nabi Adam, dan itupun dilakukan karena dorongan ḍarūrah.
Yang dimaksud ibu dan anak dalam ayat di atas adalah ibu secara khusus atau anak secara khusus, bukan ibu dan anak secara umum, sehingga ayat tersebut tidak mungkin mengatakan bahwa seseorang dilarang menikahi para ibu, melainkan ayat tersebut ingin menyampain keharaman menikahi orang-orang yang mempunyai hubungan mahram.
2) Dalil dari Sunnah
و ٍرْم َع ُنْب ِ َّللَّا ُدْيَب ُع اَنثَد َح َّ ف َّرلا ٍطْي َسِّ ق ُن ْب و ُر ْمُ ع اَ نَثَد َحَّ ِنْب َديِزَي ْن َع ٍتِباث ِنَ ْب ِّى ِد َع ْن َع ة َس ْيَ نَ
ُ
َن ْيأ َ هُل َ تُ لْقُف َ ة َيا َر ٌ ه َع َم َو ُِّ مِّع َ تي ِقُ ل َلاَ ق ِهيِبَ أ ْنَ ع ِءاَََ يَِلاْ ق دي ِرُ تُ ِللَّا ُلو ُس َر ِ َّ نث َع َب َلاَ -ملسو هيلع الل لىص -َ لَ ِإ .هُلا َم َ ذَخآ َو ُ هُقَنُع َبُِ ضْ أ َنْأ َِ ت َر َمأَف ِهيِبَ أ َةَأ َر ْما َ حَكَن ٍلَ ُج َر ...aku bertemu dengan pamanku dan ia membawa bendera, lalu aku bertanya: hendak kemana engkau, lalu ia menjawab: Rasulullah mengutusku untuk menemui seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah dinikahi oleh ayahnya sendiri dan beliau memerintahkan aku untuk memenggal lehernya dan mengambil harta-hartanya.
Manṭūq hadis diatas menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan pernikahan dengan orang-orang yang telah diharamkan, baik melalui jalan nasab atau karena raḍā’ atau kemertuaan (muṣāharah), bukan disanksi dengan ḥad zina melainkan harus disanksi dengan cara dibunuh dan diambil hartanya. Oleh sebagian ulama, hadis ini dijadikan sebagai landasan untuk memberikan sanksi kepada orang yang melakukan pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan, Sehingga menurut zahirnya hadis tersebut, pelaku pernikahan inses tidak hanya disanksi sebagaimana sanksi dalam zina melainkan harus dibunuh dan diambil hartanya.[19]
Namun dalam beberapa literatur terdapat penjelasan menyikapi hadis ini, bahwa pembunuhan dan pengambilan harta sebagaimana yang dijelaskan di hadis tersebut mempunyai beberapa kemungkinan antara lain;
a) Karena orang tersebut murtad dan status hartanya menjadi harta fay’ b) Karena orang tersebut melakukan
perbuatan yang telah melampaui batas keharaman dan keburukan dan pengambilan hartanya dikategorikan sebagai sanksi.
3) Dalil dari Ijmak
Selain dari Alquran dan Sunnah yang menjadi dasar dari kasus ini adalah ijmā’ ulama tentang kebatalan pernikahan tersebut. Ketika pernikahan tersebut dianggap batal maka status waṭ’ atau jimak yang dilakukan dinilai sebagai sesuatu yang tidak halal (zina), sehingga
menurut mazhab Syafi’i palakunya harus tetap di-ḥad.
Dengan berdasarkan tiga dalil diatas dan dengan melihat dalālah manṭūq dan mafhūm, mazhab Syafi’i menilai bahwa pernikahan yang dilakukan dengan orang-orang yang mempunyai hubungan mahram adalah batal. Sehingga manfaat yang diharapkan dari akad tersebut tidak tercapai, dan adanya akad tersebut tidak dianggap sebagai syubhat al-‘aqdi yang bisa menggugurkan ḥad. Karena menurut mazhab Syafi’i, sesuatu yang syubhat adalah persoalan yang masih ada perbedaan di kalangan ulama tentang hukumnya, seperti nikah mut’ah. Sedangkan dalam persoalan ini para ulama sudah sepakat tentang keharamannya. Sehingga waṭ’ yang dilakukan dalam pernikahan tersebut dianggap zina, dan pelakunya di-ḥad zina.[3]
b. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mempunyai sikap yang berbeda dalam menyikapi sanksi bagi orang yang melakukan waṭ’ dalam pernikahan inses, khususnya Abu Hanifah sendiri, karena kedua aṣḥāb-nya, Muhammad dan Abu Yusuf mempunyai pandangan yang berbeda pula dengan Abu Hanifah terkait dengan orang yang sudah sama-sama tahu bahwa mereka mempunyai hubungan mahram.
Menurut kedua ashabnya jika sudah diketahui mempunyai hubungan mahram maka harus di-ḥad karena nas yang melarang pernikahan terebut sudah sangat jelas dan tegas. Sehingga ketika sudah diketahui bahwa hal itu haram namun tetap dilakukan maka harus disanksi karena ada unsur istiḥlāl di dalamnya. Sebagaimana tafsiran terhadap hadis yang diriwayatkan oleh al-Barra’ di atas. Menurut Abu Hanifah sendiri, kasus tersebut tetap dihukumi secara mutlak, baik seseorang tahu atau tidak tahu maka orang tersebut tetap tidak di-ḥad.[3]
Pandangan Abu Hanifah tentang ḥad, dimulai dari pandangan beliau tentang status pernikahan tersebut. Menurut Abu Hanifah pernikahan dengan orang-orang yang memiliki hubungan mahram adalah masuk dalam kategori pernikahan yang fāsid, dan
hubungan badan (waṭ’) yang dilakukan di dalam pernikahan yang fāsid tidak disebut sebagai zina. Hal ini didasarkan kepada ijmak bahwa waṭ’ yang dilakukan dalam pernikahan fāsid bukanlah tergolong zina, sehingga pelakunya tidak terkena hukuman ḥad.[13]
Dalam penerapann teori buṭlān/fāsid mazhab Hanafi membedakan antara fāsid dan bāṭil. Bāṭil adalah sesuatu yang asal atau sifatnya tidak pernah dibolehkan oleh syariat seperti dalam kontek jual beli khomer, babi. Sedangkan fāsid adalah sesuatu yang asalnya disyari’atkan namun sifat atau caranya tidak, seperti menjual satu dirham dengan dua dirham, andaikan yang dua dirham dikurangi sehingga menjadi satu banding satu maka jual beli akan sah.[20]
Perbedaan yang dimunculkan mazhab Hanafi tentang buṭlān dan fāsid mempunyai konsekuensi yang berbeda pula, kalau buṭlān sama sekali tidak bisa melahirkan manfaat yang diharapkan dari akad itu sendiri. Sedangkan akad yang fāsid dapat melahirkan manfaat atau akibat yang diharapkan dari akad itu sendiri, seperti bolehnya melakukan waṭ’ dalam pernikahan, berpindahnya kepemilikan dalam kontek jual beli.[21]
Oleh karena itu menurut Hanafiyah, buṭlān dan fāsid mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Bahkan dikatakan bahwa fāsid mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya melahirkan suatu hukum.
Dari beberapa uraian diatas dapat dipahami bahwa Hanafiyah mengarahkan larangan menikahi perempuan sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas adalah kepada fāsid, bukan kepada buṭlān sebagaimana yang disebutkan dalam mazhab Syafi’i. Hal ini didukung oleh adanya ijmak bahwa menikahi maḥārim, mengumpulkan lima orang istri dan menikahi dua saudara sekaligus adalah termasuk kategori pernikahan yang fāsid.
Dari sudut pandang yang lain, Abu Hanifah menilai bahwa perempuan-perempuan yang disebutkan dalam ayat tersebut tidaklah keluar dari maḥalliyatu al-nikāḥ, berikut dalil yang digunakan Abu Hanifah, tentang status perempuan dalam ayat diatas.
1) Dalil nasnya adalah Alquran berikut :
َ
عا َب ُر َو ثَ لََّث َو َ ُ نث َم ِءا َسْ نلا َن ِم ْمِّ كُل َباَ ط ا َم او ُح ِكَ ناْ فَ ..
Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat... (QS. Al-Nisā’: 3)
ْمك ِسُ فُنْأ ْن ِم ْمَ كُل َقَ لَخ َ نْ َأ ِهِتاَيآ ْنِمَو ا َه ْيل ِإ اوَ نُك ْسُ ت ِل اَ ًجا َو ْزَأ
..
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya...(QS. Al-Rūm: 21)
َو َركَذلا ِ َّ ي َج ْو َّزلا ْ قَ لَخ َ هُنَّأ َوَ َ نْنُ ْلْا
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.(QS. Al-Najm: 24)
Dalam ayat diatas Allah Swt. Menyebutkan al-Nisā’(perempuan) sebagai objek akad dengan bentuk yang umum, sehingga mencakup kepada semua perempuan.
2) Dalil Ma’qūl (Rasional)
Setiap perempuan dari anak cucu Adam bisa menjadi objek dari maqāṣid al-nikāḥ seperti membangun kehidupan rumah tangga, menghasilkan anak keturunan dan lain-lain. Sehingga dengan seperti itu secara otomatis perempuan-perempuan tersebut bisa menjadi objek dari hukum-hukum nikah. Karena hukum dari sebuah tindakan adalah sebagai wasīlah (perantara) untuk bisa sampai kepada apa yang menjadi tujuan dari tindakan tersebut. Andaikan syāri’ tidak membuat suatu wasīlah (perantara) untuk bisa sampai kepada apa yang menjadi maksud atau tujuan maka niscaya tidak akan ada makna tawassul. Namun kemudian syāri’ mengeluarkan perempuan tersebut dari objek nikah padahal sifat dia (perempuan) sebagai objek nikah secara hakikat masih ada. Sehingga jika terjadi akad dan maḥalliyahnya (sifat ia sebagai objek nikah) masih ada maka hal ini akan menimbulkan syubhat. Di sisi yang lain menurut Abu Hanifah bahwa pernikahan tersebut fāsid karena di dalam pernikahan tesebut sudah dijumpai beberapa komponen nikah seperti rukun-rukun nikah, ahliyyah, dan maḥalliyyah. Namun tidak dijumpai syarat sahnya sehingga
pernikahan tersebut dinilai sebagai pernikahan yang fāsid dan waṭ’ yang terjadi didalam pernikahan yang fāsid menurut ijmak tidak bisa disebut sebagai zina.[3]
Pada dasarnya waṭ’ yang dilakukan dalam pernikahan inses tetap harus disanksi, namun ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam memberikan hukuman. Menurut Syafi’iyah dan dua aṣḥāb Abu Hanifah dengan berlandaskan kepada dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas orang yang melakukan hubungan badan (waṭ’) harus di-ḥad sebagaimana ḥad zina, karena akad pernikahan yang dilakukan tidak bisa menjadi alasan digugurkannya ḥad. Karena akad pernikahan yang telah terjadi menurut Syafi’iyah bukan tergolong syubhatu al-‘aqdi. Beda halnya dengan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa orang yang melakukan hubungan badan tersebut menurutnya tidak harus di-ḥad sebagaimana ḥad zina melainkan cukup ditakzir dengan cara yang berat.
5. KESIMPULAN
Dalam menyikapi hubungan badan (waṭ’/jimak) dalam pernikahan inses mazhab Syafi’i menilai bahwa waṭ’ tersebut adalah zina, dikarenakan pernikahan inses itu sendiri tergolong pernikahan yang tidak sah (bāṭil). Sedangkan sesuatu yang bāṭil menurut Syafi’iyah tidak bisa melahirkan konsekuensi hukum. Oleh karena itu pelaku waṭ’ dalam pernikahan tersebut di-ḥad. Ada tiga dalil yang dijadikan pedoman oleh mazhab Syafi’i dalam melakukan istinbāṭ al-aḥkām tentang penetapan ḥad terhadap pelaku waṭ’ dalam pernikahan inses, antara lain;
a. Alquran b. Sunnah c. Ijmak
Dengan berlandaskan pada teori manṭūq-mafhūm maka mazhab Syafi’i menilai bahwa pernikahan tersebut dinyatakan batal. Maka hubungan badan yang dilakukan dianggap sebagai zina. Sehingga orang yang melakukan waṭ’ dalam pernikahan tersebut harus di-ḥad. Karena keberadaan akad tidak dianggap
sebagai syubhat al-‘aqdi yang bisa menggugurkan ḥad.
Mazhab Hanafi
Dalam persoalan menikahi perempuan yang telah disebutkan dalam ayat, menurut Hanafiyah perempuan-perempuan tersebut tidak dikeluarkan (di-takhṣīṣ) dari maḥalliyatu al-nikāḥ. Sehingga ketika terjadi pernikahan akan timbul syubhat. Dalil yang digunakan oleh Hanafiyah untuk mendukung pendapatnya tentang tetapnya maḥalliyatu al-nikāḥ bagi perempuan yang disebutkan dalam ayat adalah;
a. Alquran b. Ma’qūl
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka orang yang melakukan hubungan badan (waṭ’) dalam pernikahan tersebut menurut hanafiyah tidak di-ḥad, walaupun akad pernikahan tersebut haram dilakukan. Karena memandang bahwa maḥalliyatu al-nikāḥ pada perempuan tersebut tetap melekat padanya sehingga akan melahirkan syubhat yang bisa menggugurkan terhadap ḥad. Di samping itu menurut Hanafiyah pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan yang fāsid. Sementara waṭ’’ yang terjadi dalam pernikahan yang fāsid tidak disebut sebagai zina. Sehingga pelakunya tidak mungkin di-ḥad. Dalil yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah ijmak, bahwa hubungan badan yang terjadi di dalam pernikahan yang fasid, seperti inses, bukanlah zina.
6. REFERENSI
[1] R. Baalbaki, Kamus al-Maurid. Beirut: Dār al-‘Ilmi Li al-Malāyīn, 1995.
[2] B. A. Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang (Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No.1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya). Bandung: Pustaka Setia, 2008.
[3] W. Al-Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamiy Wa Adillatuhu. Suriah: Dār al-Fikr, 2004. [4] M. A. Al-Shobuni, Buku Pintar
Membina Rumah Tangga (Pernikahan dalam Perspektif Islam). Malaysia: Dār al-Fikr, 2004.
[5] I. M. M. Al-Harīri, Madkhal ila al-Qawā’id al-Fiqhiyyah a-Kulliyyah.
Oman: Dār al-‘Ammār, 1997.
[6] Z. Al-Anṣāriy, Fatḥu al-Wahhāb. Surabaya: Al-Hidayah.
[7] Q. A. R. Al-Dauri, Manāhiju al-Fuqāhā’ fi Istinbāṭi al-Aḥkām. Lebanon: Books-Publisher, 2011.
[8] A. ibn M. N. Al-Nāqib, Mazhab Hanafi (Marāḥiluhu-Ṭabaqātuhu-Ḍawābituhu-
Muṣṭalahātuhu-Khaṣā’isuhu-Mu’allafātuhu). Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, 2001.
[9] A. Al-Baghdādi, Tārīkh al-Baghdādi. Beirut: Dār al-Kutub, 2005.
[10] M. ibn I. Al-Syafi’i, Al-risālah. Mesir: Dār al-Wafā’, 2001.
[11] M. Al-Āmudi, Al-Iḥkām fī Uṣūli al-Aḥkām. Riyāḍ: Dār as-Ṣāmi’i, 2003. [12] D. Supriadi, Ushul Fiqh Perbandingan.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2014. [13] K. W. dan U. A. Kuwait, “Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah.” Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Kuwait, 1983.
[14] M. Zed, Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
[15] Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta, 2008.
[16] Z. Al-Anshāri, Ghāyat al-Wushūl Syarh Lubb al-Ushūl. Semarang: Maktabah Hidayah.
[17] M. M. Al-Zuhailiy, Al-Islāmiy, Al-Wajīz fi Uṣūli al-Fiqh. Beirut: Dār al-Khair. [18] T. Al-Subki, Jam’u al-Jawāmi’. Beirut:
Dār al-Ma’rifah.
[19] M. Zahrah, Uṣūl Fiqh. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi.
[20] A. B. M. As-Sarakhsi, Uṣūlu al-Sarakhsi. India: Lajnah Iḥyā’u al-Ma’ārif.
[21] M. ibn Ḥasan Al-Bazdawiy, Ma’rifatu Ḥujaji Syar’iyyah. Lebanon: ar-Risālah, 2000.