• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 PEMBAHASAN. 58 operasi kraniotomi tumor cerebri dengan perbandingan jenis kelamin pria 24

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 5 PEMBAHASAN. 58 operasi kraniotomi tumor cerebri dengan perbandingan jenis kelamin pria 24"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB 5 PEMBAHASAN

Selama tiga tahun dari tahun 2008 s.d. 2010 di RSDM Surakarta dilakukan 58 operasi kraniotomi tumor cerebri dengan perbandingan jenis kelamin pria 24 kasus (41 %) dan wanita 34 kasus (59 %). Dari 58 operasi kraniotomi tumor cerebri terbanyak dilakukan pada kelompok umur 45-64 tahun sebanyak 29 kasus (50 %). Hal ini berbeda dengan laporan De Vita dari USA yang menyebutkan insiden tumor cerebri terbanyak pada laki-laki dengan umur rata-rata 55 tahun. (DeVita, 2008)

Dari 58 pasien tumor cerebri yang di operasi kraniotomi kondisi pasien post operasi 52 pasien hidup sedang 6 pasien meninggal dunia (10 %). Angka mortalitas 10 % sangat tinggi bila dibandingkan dengan laporan Paolino A. dari USA yang melaporkan angka mortalitas 1,7 % sampai 2,1 %.(Paolino A., 2006)

Beberapa hal yang diduga berperan pada kematian post operasi kraniotomi tumor cerebri yaitu terjadinya oedem cerebri yang timbul karena dipengaruhi beberapa kondisi perioperatif. Kondisi preoperatif pasien tumor cerebri dengan

underlying medical problem seperti usia tua, Diabetes Mellitus, hipertensi,

kelainan jantung, jenis tumor dan lokasi tumor cerebri dekat dengan pusat respirasi (fossa posterior) merupakan risiko tinggi terjadinya oedem cerebri sebagai komplikasi kraniotomi.( Charchafliech JG, 2003 ; Atmadja WB, 2004)

Kondisi intraoperatif yang diduga meningkatkan risiko kematian post operasi kraniotomi tumor cerebri adalah perdarahan yang banyak dan prosedur

(2)

commit to user

operasi yang lama yang diyakini menyebabkan komplikasi post operasi berupa oedem cerebri. Selain itu pengelolaan anestesi intraoperatif yang optimal diyakini akan memudahkan operator sewaktu operasi yang akan mempengaruhi keberhasilan operasi kraniotomi. Sedangkan kondisi post operatif yang mempunyai peranan penting untuk keberhasilan operasi kraniotomi tumor cerebri adalah penatalaksanaan post operasi di ICU. Penggunaan ventilator dengan tekanan dan volume yang besar akan meningkatkan tekanan intratorakal sehingga mengurangi Venous Return (VR) dan menyebabkan peningkatkan TIK serta memperberat oedem cerebri sehingga sebagian besar ahli berpendapat tidak semua pasien post operasi kraniotomi tumor cerebri memerlukan kontinuitas penggunaan ventilator. (Cottrell SE, 1996; Bisri T.,1998; Vidotto, 2008)

1. Profil Operasi Kraniotomi Berdasarkan Adanya Underlying Medical Problem

Dari 58 kasus kraniotomi tumor cerebri, 6 kasus pre operasi disertai

underlying medical problem seperti DM, hipertensi, Old Myocard Infark, TB

paru, dan pneumonia. Dari 6 kasus tersebut 5 kasus (83 %) post operasi menggunakan ventilator. Dari 6 kasus tersebut 1 pasien (16,6 %) dengan Old Myocard Infark dan DM meninggal. Pasien meninggal laki-laki, usia 50 tahun dirawat dengan astrocytoma regio parietal dekstra dilakukan kraniotomi eksisi tumor selama 3 jam dan meninggal hari pertama post operasi kraniotomi. Post operasi menggunakan ventilator CMC. Penyebab kematian belum dapat diketahui karena belum dilakukan CT scan kepala kontrol . RSDM belum mempunyai

(3)

commit to user

mobile ventilator sehingga pasien di ICU yang terpasang ventilator belum bisa

dilakukan pemeriksaan CT scan kepala.

Pasien tumor cerebri dengan underlying medical problem meningkatkan risiko kematian post operasi kraniotomi akibat komplikasi pada sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan pada sistem respirasi dan kardiovaskuler meningkatkan kebutuhan kontinuitas penggunaan ventilator. Pada pasien tumor cerebri yang disertai underlying medical problem apabila dilakukan prosedur operasi kraniotomi eksisi tumor, persiapan perioperatif haruslah memperhitungkan kondisi komorbid tersebut sekaligus antisipasi terhadap peningkatan risiko kematian. ( Charchafliech JG, 2003 ; Atmadja WB, 2004) 2. Profil Operasi Kraniotomi Berdasarkan Lokasi Tumor

Dari total 58 kasus tumor cerebri yang dilakukan operasi kraniotomi, 51 kasus (88 %) tumor terletak supratentorial dengan angka kematian 4 kasus (7,8 %). Sedangkan dari 7 kasus tumor cerebri infratentorial yang dilakukan operasi kraniotomi 2 kasus mengalami kematian (28,5 %). Dari 51 kasus tumor cerebri supratentorial 32 kasus (62%) post operasi menggunakan ventilator, dari 7 kasus tumor cerebri infratentorial 6 kasus (85%) post operasi menggunakan ventilator. Lokasi tumor cerebri infratentorial meningkatkan risiko kematian post kraniotomi tumor cerebri akibat terjadinya oedem cerebri. Oedem cerebri pada daerah fossa posterior karena dekat dengan pusat respirasi akan berakibat terjadinya depresi pusat respirasi dengan akibat gagal pernafasan. ( Charchafliech JG, 2003 )

Ada beberapa alasan mengapa kraniotomi tumor cerebri fossa posterior mempunyai risiko kematian lebih besar bila dibandingkan tumor supratentorial.

(4)

commit to user

Pertama, karena volume kompartemen infratentorial yang lebih kecil sehingga hematome yang kecil sudah cukup untuk menimbulkan tekanan pada fungsi batang otak. Kedua, retraksi pada batang otak dapat menyebabkan ischemia nukleus yang mengatur fungsi hemodinamik dan ventilasi/pernafasan. Ketiga, fungsi nervus kranial terutama nervus IX dan X yang mengatur reflek batuk dan fungsi laring terganggu sehingga dapat terjadi gangguan airway/aspirasi. Karena alasan tersebut pasien post kraniotomi tumor cerebri infratentorial sering memerlukan kontinuitas penggunaan ventilator. (Warner D.S., 2003)

3. Profil Operasi Kraniotomi Berdasarkan Jenis Tumor

Jenis histopatologis tumor cerebri terbanyak yaitu meningioma sebanyak 29 kasus (50 %) diikuti astrocytoma sebanyak 22 kasus (39,5 %) sesuai dengan laporan yang dipublikasikan dari Bandung tahun 2004 yaitu jenis tumor cerebri terbanyak astrocytoma dan meningioma.(Atmadja WB, 2004)

Dari 29 kasus meningioma 3 pasien (10,3 %) meninggal dunia, sedang dari 22 kasus astrocytoma 2 kasus (9,1 %) meninggal dunia. Post operasi tumor cerebri astrocytoma 14 kasus (63%) menggunakan ventilator sedang 17 kasus meningioma (58%) menggunakan ventilator. Tumor cerebri yang berasal dari sel saraf seperti astrocytoma, glioblastoma mempunyai prognosa yang kurang baik bila dibandingkan meningioma karena sifat dan letak tumor. Astrocytoma adalah tumor ganas yang berasal dari sel saraf yang cenderung bersifat invasif. Batas tumor ini dengan jaringan normal tidak tegas sehingga sering residif . Karena sifat tersebut maka komplikasi operasi kraniotomi tentunya lebih besar bila dibandingkan dengan meningioma. Meningioma adalah tumor jinak yang berasal

(5)

commit to user

dari selaput saraf/meningens. Letaknya cenderung di tepi parenkim dengan batas yang jelas sehingga bila dapat dilakukan kraniotomi eksisi tumor prognosisnya lebih baik bila dibandingkan jenis astrocytoma.(Atmadja WB, 2004)

4. Profil Operasi Kraniotomi Berdasarkan Lama Operasi

Prosedur operasi dikatakan lama bila diperlukan waktu minimal 2 jam. Dari 58 kasus operasi kraniotomi tumor cerebri yang dilakukan 56 kasus diperlukan waktu lebih dari 2 jam. Dari 6 pasien yang meninggal dunia 5 pasien membutuhkan waktu operasi lebih dari 2 jam sedang 1 pasien membutuhkan waktu operasi 2 jam. Dari 21 kasus operasi yang dilakukan 2-4 jam didapatkan 9 kasus (42%) post operasi menggunakan ventilator, 20 kasus operasi 4-6 jam 13 kasus (65%) menggunakan ventilator, dan semua kasus operasi yang lebih dari 6 jam post operasi menggunakan ventilator. (Cottrell SE, 1996; Bisri T.,1998)

Pada prosedur operasi kraniotomi yang lama akan terjadi peningkatan cedera cerebri yang akan mengakibatkan penurunan CBF (Cerebral Blood Flow) sampai 50 % ditandai dengan peningkatan PaCO2 . Penurunan CBF akan menyebabkan penurunan Cerebral Perfusion Pressure (CPP) yang bila berlanjut mengakibatkan oedem cerebri citotoxic/intraceluler, ischemia cerebri dan kerusakan otak. (Cottrell SE, 1996; Bisri T.,1998)

5. Profil Operasi Kraniotomi Berdasarkan Jumlah Perdarahan

Dikatakan perdarahan banyak bila terjadi perdarahan lebih dari 20 %

Estimated Blood Volume (EBV). Perdarahan yang banyak akan mengakibatkan

syok hipovolemia. Akibat selanjutnya dari penurunan tekanan darah akan menyebabkan penurunan yang nyata pada oksigenasi cerebri karena CPP = MAP-

(6)

commit to user

ICP. Pada penurunan tekanan darah akibat hipovolemia akan segera terjadi penurunan CPP. Normal CPP adalah 80-90 mmHg yang bila nilainya dibawah 40 mmHg akan menyebabkan ischemia cerebri dan infark cerebri. (Cottrell SE, 1996; Bisri T.,1998)

Dari total 58 kasus kraniotomi tumor cerebri 24 kasus (41 %) terjadi perdarahan 500-1000 cc dan 11 kasus (19 %) terjadi perdarahan lebih dari 1000 cc. Dari 6 kasus kematian 5 kasus terjadi perdarahan banyak dan 1 kasus perdarahan 300 cc. Untuk pasien dengan perdarahan banyak dilakukan tranfusi darah selama operasi. Dari 24 kasus perdarahan 500-1000 cc 17 kasus (70%) post operasi menggunakan ventilator, sedang pada perdarahan lebih dari 1000 cc semua pasien post operasi menggunakan ventilator.

Kematian pada operasi kraniotomi tumor cerebri dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya lama operasi dan jumlah perdarahan. Lama waktu operasi dan jumlah perdarahan dipengaruhi lokasi tumor dan jenis tumor. Tumor yang lokasinya sulit (infratentorial) tentu membutuhkan waktu operasi yang lama bila dibandingkan tumor yang berlokasi di supratentorial sehingga perdarahan yang timbul juga relatif lebih banyak. Tumor jenis astrocytoma atau glioblastoma karena letaknya yang lebih dalam bila dibandingkan meningioma tentunya dibutuhkan waktu operasi yang lebih lama dengan jumlah perdarahan yang lebih banyak. (Cottrell SE, 1996; Bisri T.,1998; Charchafliech JG, 2003 )

Untuk mengurangi jumlah perdarahan diperlukan kerjasama ahli anestesi dan dokter bedah saraf. Dokter bedah saraf harus mengontrol perdarahan yang terjadi sedang ahli anestesi harus mengendalikan tekanan darah selama operasi.

(7)

commit to user

Dihindari hipertensi yang akan menyebabkan fokal oedem dengan risiko perdarahan atau hipotensi berlebihan yang akan menurunkan CPP. Lebih disukai hipotensi ringan (90-100 mmhg) pada pasien normotensif untuk mengurangi perdarahan. Untuk mengurangi komplikasi perdarahan yang banyak diperlukan tranfusi darah selama operasi . (Bisri T.,1998; Warner D.S., 2003)

6. Profil Operasi Kraniotomi Berdasarkan Penggunaan Ventilator

Dari total 58 kasus kraniotomi tumor cerebri sebagian besar pasien yaitu 38 kasus (66 %) menggunakan ventilator dengan mode terbanyak SIMV 30 kasus (80 %). Alasan utama penggunaan ventilator pada pasien post operasi kraniotomi tumor cerebri adalah prosedur operasi yang lama 25 kasus (66 %) dan perdarahan yang banyak 11 kasus (29 %). Dari 6 kasus kematian post operasi kraniotomi tumor cerebri 4 pasien meninggal di ICU masih menggunakan ventilator sedang 2 pasien meninggal dalam perawatan di IMC (Intermediated Care) dan bangsal.

Pasien post operasi kraniotomi tumor cerebri yang menggunakan ventilator sebanyak 38 kasus (66 %) dengan lama pemakaian ventilator antara 1 sampai 7 hari . Lama hari penggunaan ventilator terbanyak 1 hari yaitu 30 kasus (79 %). Pasien dirawat di ICU antara 1 sampai 7 hari dengan lama perawatan terbanyak 2 hari yaitu 23 kasus (40 %).

Pasien yang meninggal di ICU ada 4 orang yaitu :

a. Wanita, 28 tahun, diagnosis meningioma regio temporoparietal dekstra , lama operasi 6 jam, perdarahan 1000 cc, di rawat di ICU 3 hari, penyebab kematian belum diketahui (tidak dilakukan CT scan control), ventilator CMV

(8)

commit to user

b. Laki-laki, 50 tahun, diagnosis astrocytoma regio parietal dekstra, lama operasi 3 jam, perdarahan 1200 cc, dirawat di ICU 1 hari, penyebab kematian belum diketahui (tidak dilakukan CT scan control), ventilator CMV.

c. Wanita, 35 tahun, diagnosis meningioma regio temporal dekstra, lama operasi 4 jam, perdarahan 2000 cc, dirawat di ICU 3 hari, penyebab kematian diduga karena perdarahan intraserebral (CT scan kepala), ventilator CPAP

(Continuous Positive Airway Pressured)

d. Laki-laki, 63 tahun, diagnosis neurinoma acustic regio occipital, lama operasi 2 jam, perdarahan 300 cc, dirawat di ICU 7 hari, penyebab kematian belum diketahui (tidak dilakukan CT scan control), ventilator CMV.

Dari 4 pasien yang meninggal di ICU semua pasien masih memakai ventilator. Tiga pasien menjalani prosedur kraniotomi lama dengan perdarahan yang banyak. Satu pasien dilakukan CT scan kepala kontrol dan didapatkan perdarahan intraserebral yang diduga merupakan penyebab kematian, sedang 3 pasien tidak dilakukan CT scan kontrol karena RSDM belum punya mobile ventilator sehingga penyebab kematian belum dapat diketahui.

Pasien yang meninggal di IMC dan bangsal adalah:

a. Wanita, 20 tahun, diagnosis glioblastoma regio frontoparietal sinistra, lama operasi 4 jam, perdarahan 1200 cc, dirawat di ICU 2 hari, ventilador SIMC

(Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation), dirawat dibangsal 14 hari,

penyebab kematian karena pneumonia (rongent thorak).

b. Wanita, 45 tahun, diagnosis meningioma regio occipital, lama operasi 10 jam, perdarahan 1500 cc,dirawat di ICU 2 hari, ventilator SIMV, dirawat di

(9)

commit to user

IMC 7 hari, penyebab kematian diduga karena oedem pulmo karena overhidrasi dan pneumonia (rongent thorak).

Pada pasien tumor cerebri yang dilakukan kraniotomi dapat terjadi komplikasi langsung dari operasi atau komplikasi selama perawatan. Komplikasi perawatan dapat timbul karena immobilisasi atau bed rest yang lama yang menyebabkan gangguan terhadap berbagai fungsi vital tubuh seperti fungsi gastrointestinal, pernafasan, kardiovaskuler dan genitourinaria. Komplikasi imobilisasi yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi sel cilia pada mukosa saluran pernafasan yang dalam kondisi normal berfungsi membersihkan sekret/mucous. Akibatnya sekret akan terakumulasi pada cabang bronkial, menghambat jalan nafas dan menyebabkan atelektase. Akumulasi sekret merupakan media yang baik bagi perkembangbiakan kuman sehingga dapat terjadi hipostatic pneumonia. Untuk mengurangi komplikasi tersebut diperlukan perawatan dengan mobilisasi dini dan chest physioterapy. (Robert T., 1993 ; Paolino A.,2006)

Pada pasien yang dilakukan operasi kraniotomi dengan prosedur operasi yang lama dan perdarahan yang banyak berisiko terjadinya oedem cerebri yang berakibat peningkatan TIK. Peningkatan TIK akan menyebabkan kompresi, herniasi, dan iskemia cerebri yang mengakibatkan depresi pada sistem pernafasan. Untuk menjamin oksigenasi cerebri pasien memerlukan pemasangan ventilator. Dengan mengatasi penyebab oedem cerebri dan penggunaan ventilator diharapkan komplikasi kraniotomi eksisi tumor dapat diatasi dan outcome pasien dapat ditingkatkan. (Rodrigue T., 2004; Rozet I., 2007)

(10)

commit to user

Pada pasien tanpa faktor risiko depresi pernafasan tidak diperlukan kontinuitas penggunaan ventilator mengingat komplikasi penggunaan ventilator akan menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehingga Venous Return

(VR) berkurang. Akibat selanjutnya terjadi peningkatan Cerebral Venous Pressure (CVP) yang mengakibatkan peningkatan Cerebral Blood Volume (CBV) yang

menyebabkan peningkatan TIK. Peningkatan TIK akan menyebabkan penurunan

Cerebral Perfusion Pressure (CPP) yang bila berlanjut mengakibatkan cerebral ischemia dan kerusakan otak. (Bisri T., 1998; Rozet I., 2007)

Keputusan apakah pasien pasien harus bangun dan diekstubasi post kraniotomi tumor cerebri biasanya sudah ditetapkan durante operasi. Hal ini tergantung derajat kesadaran pra bedah, lokasi tumor, luasnya oedem cerebri dan jumlah obat anestesi yang diberikan. Pasien yang pra bedah dalam keadaan koma dan tumor besar infratentorial sebaiknya tidak segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan dimonitor di ICU, diventilasi sebelum diekstubasi. Kebanyakkan pasien post operasi kraniotomi tumor cerebri supratentorial langsung diekstubasi di kamar operasi.(Bisri T., 1998)

Selain kondisi perioperatif yang mempengaruhi outcome kraniotomi tumor cerebri yaitu adanya underlying medical problem, lokasi tumor, jenis tumor, jumlah perdarahan, lama operasi dan penggunaan ventilator yang sudah dijelaskan diatas. Perlu difikirkan juga beberapa proses patofisiologi yang mungkin terjadi pada operasi kraniotomi tumor cerebri yang menyebabkan tingginya angka kematian post operasi.

(11)

commit to user

Untuk alasan yang belum sepenuhnya dimengerti, pasien yang dilakukan kraniotomi sering mengalami hipertensi. Diduga hipertensi merupakan respon tubuh terhadap stress yang menyebabkan pelepasan katekolamin dalam darah. Pada kraniotomi tekanan darah meningkat secara progresif terutama pada saat intubasi, pemasangan head pins, suntikan lokal anestesi, pemboran tulang, dan pada akhir operasi/ anestesi pada saat akan dilakukan ekstubasi. Hipertensi akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan intrakranial apabila tidak segera diterapi. Kematian post operasi kraniotomi terbanyak disebabkan oleh karena komplikasi perdarahan intrakranial. Peran ahli anestesi dalam memonitor hemodinamik dan ahli bedah dalam mengontrol perdarahan selama operasi sangat penting untuk menurunkan terjadinya komplikasi perdarahan intrakranial (Warner D.S., 2003)

Beberapa metode yang dapat digunakan ahli anestesi untuk mengontrol hipertensi adalah : anestesi yang dalam menggunakan narcotik Fentanil ,

Alfentanil atau Sufentanil, obat vasoaktif seperti Trimethapan, Phentolamin, dan Lidokain intratracheal atau intravena. Penelitian menunjukkan bahwa 30 menit

episode hipertensi bisa menyebabkan fokal oedem pada otak normal dengan peningkatan permeabilitas blood brain barrier. Oedem vasogenic/ekstraceluler hebat terjadi bila pasien hipertensi dilakukan kraniotomi dengan akibat peningkatan risiko perdarahan intraserebral dan peningkatanTIK. (Cottrell SE., 1996; Bisri T., 1998)

Pada pasien yang dilakukan operasi kraniotomi dekompresi terjadi perubahan patofisiologi dari kranium yang semula tertutup menjadi terbuka.

(12)

commit to user

Tekanan atmosfer dari luar ditambah gaya gravitasi dapat menurunkan volume intrakranial sehingga tekanan intrakranial akan meningkat dan menyebabkan depresi pada sistem saraf. Bila proses ini berlanjut dapat menyebabkan

paradoxical herniation dan Sinking Skin Flap Syndrome atau disebut juga Syndrome of Trephined. (Akins PT., 2008; Kemling A., 2010; Kwon MS., 2012)

Beberapa teori yang menjelaskan patofisiologi terjadinya defisit neurologis tersebut antara lain : a. tekanan langsung pada kortek cerebri b. gangguan pada hidrodinamik LCS terkait perubahan posisi c. penurunan Cerebral Blood Flow , kapasitas cerebrovaskuler dan Venous Return karena penekanan pada pembuluh darah dan jaringan otak d. gangguan metabolisme . Gejala klinis Syndrome of

Trephined mulai dari sakit kepala hebat, perubahan mental, defisit neurologis

lokal, kejang, hingga koma atau kematian. (Sarov F., 2010; Kemling A., 2010) Pada kraniotomi tumor cerebri bila terjadi peningkatan Cerebral Blood

Flow secara tiba-tiba setelah eksisi tumor akan menyebabkan terjadinya reperfusi

dan rekanalisasi pembuluh darah cerebri yang dapat menyebabkan terjadinya intracerebral hematome/ICH. Reperfusion injury adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat gangguan autoregulasi pembuluh darah cerebri yang mengakibatkan hipoksia dan kerusakan jaringan otak. Pada proses reperfusi setelah iskemia jaringan terjadi penurunan kadar ATP yang menyebabkan peningkatan hipoxantin yang dengan meningkatnya kadar oksigen akan menghasilkan asam urat dan melepaskan oxygen derived free radicals yang akan merusak jaringan dengan

lipid peroxydation. Selain itu radikal bebas akan merangsang lekosit berkumpul

(13)

commit to user

semakin merusak jaringan. Lekosit juga akan menempel pada endotel kapiler, menyebabkan obstruksi dan memperberat iskemia. Permeabilitas kapiler meningkat , menyebabkan oedem interstitial , menurunkan perfusi jaringan dan menyebabkan iskemia . (DSTC, 2009 ; Kwon MS., 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen pendidikan Islam adalah suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara Islami dengan cara mensiasati sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait

Tinggi tanaman mempunyai pengaruh yang besar terhadap hubungan antara panjang malai dengan hasil (Kamandanu, et al. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk kandang

Latar belakang dan arah kebijakan pembukaan serta pemanfaatan lahan rawa pada awalnya (1969- 1984) ditujukan untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi seiring

Faktor lain yang juga turut berpengaruh adalah banyaknya kegiatan penelitian dan uji coba sistem pertanian modern dengan pola terpadu di lahan rawa pasang surut tipe yang

Anda juga dapat menggunakan peranti lunak Windows Easy Transfer (Transfer Mudah Windows), yang disertakan bersama Windows 7 (model tertentu saja), untuk menyalin file dan pengaturan

Pemeliharaan Taman Viaduct Jatinegara, Taman Depan Kejaksaan, Taman Barkah, Taman Segitiga Viaduct Jatinegara (Sisi Barat dan Sisi Timur) (Swakelola). Pemeliharaan Taman

Sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bekasi maka program prioritas yang akan dilaksanakan pada tahun 2018 – 2023

Penambahan Fly Ash 20% mampu menurunkan nilai indeks plastisitas dari 28,61% menjadi 2,88% sehingga tanah sudah tidak memiliki potensi pengembangan yang tinggi Hal